Mantra Kalimat

Kutipan Favorit Negeri Senja

Rabu, Juli 31, 2013

*tumblr*


Aku tidak tahu apakah kau akan  percaya padaku Alina - kurasa aku tidak akan pernah tahu, karena kau tidak pernah berbicara apa-apa kepadaku, hanya mendengarkan dengan mata penuh ingin tahu. Tapi kapankah aku akan pernah bertemu lagi denganmu, Alina, jika aku tak pernah tahu apakah akan pernah kembali? Seperti juga aku tak pernah tahu, atau takut untuk tahu, apakah dikau menunggu atau tidak menunggu. 


(Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma, hal.10)

Love Story

Outrageous

Senin, Juli 29, 2013

I hate to be woman in love...

Selain efek kejut jantung dan butterfly stomach, akal sehat juga kadang-kadang macet. Cenderung telat mikir, lambat loading, kadang malah bertingkah konyol. Untungnya tidak sampai tremor atau bibir bergetar (bibir bergetar terjadi kalau nangis saat tahu gebetan sudah punya calon istri #hik). Saat masa-masa merah muda itu berakhir dan ketika kita menoleh ke belakang, kita sadar bahwa ada beberapa kejadian yang justru sangat memalukan, so outrageous. Ya, jatuh cinta kadang membuat kita lengah dan itu sering dilihat sebagai kelemahan.



NB : tadinya mau bikin tulisan yang lebih panjang, tapi sudahlah yang pendek ini saja sudah cukup mewakili. 

Kisah Perempuan

Are You Original?

Sabtu, Juli 27, 2013

*pic google*


"I'm not that regular of a person, and they really like regular."
(Erica Barry, Something's Gotta Give)


Setelah lama merenung mengenai konstruksi kecantikan, saya jatuh pada kesimpulan bahwa yang salah bukan konstruksinya tapi manusia yang memakai konstruksi itu sebagai standar. Konstruksi kecantikan bisa berubah sesuai perkembangan zaman yang tentu saja dipengaruhi manusianya. Konstruksi itu sendiri setelah melalui fase -yang kalau pake modelnya Berger-Luckmann harus melewati tahap internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi- bisa berubah apabila manusianya menghendaki. Manusia memegang kontrol untuk melanggengkan sebuah konstruksi. Manusia punya kuasa untuk membongkar pasang atau mengganti konstruksi kecantikan itu dengan yang baru. Sayangnya, tidak semua manusia sadar akan hal itu. Lebih menyedihkan lagi sebagian besar manusia menerima konstruksi itu sebagai hal yang wajar. Hasilnya manusia yang "tidak sadar" itu dikuasai oleh manusia yang "sadar" untuk lambat laun mengikuti kemauannya. 

Kita menerima bahwa standar cantik dinilai dari bentuk tubuh yang tinggi, tentu saja dengan tungkai kaki yang panjang sedangkan kita perempuan Indonesia tidak semua terlahir dengan kaki panjang, kita common sebagai makhluk berkaki pendek. Lalu warna kulit yang putih, which is itu tentu saja kontra dengan warna kulit kita sebagai penduduk negara tropis yang membuatnya menjadi sawo matang atau kuning langsat. Lalu masuk ke muka : bentuk hidung yang mancung, bibir merah merekah, atau alis mata yang bagaikan semut hitam berbaris. Tidak sampai disitu, rambut juga menjadi varian penting dalam kecantikan. Sampai sekarang pun rambut masih laku untuk dijual. 

Saya pernah sangat membenci rambut saya dan kemudian meluruskannya karena saya tidak tahan diejek yang lantas membuat saya tidak percaya diri dengan rambut ikal saya (percayalah, di dunia ini bukan cuma saya satu-satunya yang melakukan itu). Zaman itu orang-orang sedang tergila-gila dengan drama asia dimana cewek-ceweknya memiliki rambut hitam lurus panjang. Teman-teman sekolah saya yang mayoritas Tionghoa, memiliki rambut seperti Pai Su Cien, si siluman ular putih yang tentu saja serupa dengan model iklan shampoo masa itu, ah iya iklan shampo-shampo jaman itu mendukung rambut indah Pai Su Cien. Akhir-akhir ini saja iklan shampoo yang sesuai perkembangan zaman berubah lagi menampilkan rambut panjang bergelombang, rambut ikal, rambut saya. Jengkel saya melihat itu. 

Untuk itulah saya tertarik dengan kajian feminisme (bedakan tertarik dan mengagung-agungkan). Feminisme ataupun paham-paham kritis lain jika dengan benar dipahami akan membawa kepada cara berpikir yang lebih -tentu saja kritis, moderat, dan yeah secara tak sadar kita menjadi destruktif terhadap sesuatu yang merupakan hasil konstruksi. Feminisme berusaha menggeledah, membongkar, dan menyadarkan manusia (terdiri dari laki-laki, perempuan, dan LGBT), untuk keluar dari apa yang dikatakan Marx sebagai "kesadaran palsu". Laki-laki dan perempuan diluar kodratnya, merupakan bentukan dari sistem masyarakat kita (ini yang disebut gender atau peran) dan kemudian sistem masyarakat ini (yang notabene lebih banyak tidak adilnya daripada adilnya) juga masuk dalam mengonstruksi tubuh manusia utamanya tubuh perempuan. Seksualitas perempuan adalah hal yang kompleks. Tubuhnya itu memiliki nilai-nilai yang berbeda-beda antara satu bagian dengan bagian yang lain. 

Ketika keperawanan begitu diagung-agungkan, perempuan yang tadinya adalah manusia kemudian mengecil menjadi sebatas selangkangan. Waktu SMP saya pernah mewakili sekolah untuk mengikuti simposium kedokteran yang membahas kesehatan reproduksi. Si Ibu Dokter pemateri memberikan fakta yang membuat kami anak-anak lugu ini bergidik. Banyak kasus perempuan yang tidak perawan (entah karena sudah pernah berhubungan seks atau selaput darahnya sobek saat berolahraga) langsung dikembalikan ke rumah orang tuanya begitu malam pertama berakhir. Diceraikan hanya karena tidak perawan. Salah satu Tante saya pernah berkata begini kepada saya sambil memegang segelas air putih,"Perempuan itu seperti gelas, kalau gelasnya pecah tidak bisa disusun kembali". Ia berbicara lebih kepada peringatan. Sedangkan Mami saya lebih menegaskan kepada pentingnya keperawanan untuk menjaga statusmu dalam rumah tangga,"Kalau perempuan sudah tidak perawan, ya cenderung dipandang enteng sama suaminya". Mami mengajarkan saya tentang self defense. Ia tidak berbicara tentang menjaga keperawanan sebagai barang pusaka tapi menjaganya sebagai pelindung jikalau dalam rumah tangga itu kita secara tak sadar "dilecehkan" dan "dikuasai". Singkatnya dengan menjaga keperawananmu kamu tidak "disiksa" dalam pernikahan. 

Kembali pada kecantikan, lagi-lagi perempuan-lah yang paling berat mengalami cobaan ini. Ada berapa kasus anoreksia dan bulimia remaja putri hanya karena ingin memiliki bentuk tubuh ideal? Ada berapa banyak perempuan yang melakukan operasi plastik demi memiliki standar kecantikan itu? Mereka tidak bisa disalahkan, mereka hanyalah korban ketidakadilan yang mencoba untuk diterima dalam sistem masyarakat kita yang tidak adil ini. Mereka lebih tepatnya ingin diterima oleh lingkungannya dan tentu termasuk lawan jenisnya.

Perasaan ditolak itulah yang menjadi luka. Dan setiap perempuan memiliki lukanya masing-masing. Kini dengan perkembangan teknologi yang semakin maju justru membuat akses keseragaman manusia itu semakin mudah. Media massa lagi-lagi (dan selalu) ikut ambil bagian dalam merayakan sekaligus mempromosikan sebuah konstruksi kepada kita. Kulit luar menjadi lebih penting daripada mengkualitaskan diri di dalam. Sesuatu yang hanya tampak di mata menjadi pusatnya. Lalu kita mulai mengelompokkan orang berdasarkan apa yang nampak itu. Kita tidak melihat sesuatu yang original lagi, sesuatu yang disebut "manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang unik" yang ada hanyalah sekumpulan manusia terutama perempuan yang penampakannya seperti lirik lagunya Superman Is Dead : sama dan seragam. 

Mereka secara tak sadar menjadi regular, menjadi yang biasa. Lalu laki-laki yang tolol yang terjebak dalam kesadaran palsu itu akan seperti buaya lapar yang mengejar mereka. Akhirnya, ketika apa yang dibentuk selalu tak abadi dari apa yang tak nampak yang  ternyata lebih tahan lama, maka kecewalah mereka. Terbentuklah homo homini lupus. Untungnya masih ada perempuan yang sadar bahwa mereka adalah manusia yang dikarunia akal pikiran. Mereka yang masih berpikir dan bersyukur bahwa mereka dinilai atas kerja otaknya ketimbang dandanannya. Mereka yang berharap menemukan seseorang yang mampu melihat ke "dalam" melampaui apa yang terlihat. Karena mereka sadar bahwa 30 tahun dari sekarang, mereka akan kehilangan kemudaannya. Namun, karakter yang dibentuk oleh kerja keras dan konsistensi itulah yang membuat kecantikan setiap perempuan akan abadi.

Bagaimana denganmu, apakah kamu masih original?

Review Buku

Mengenal Perempuan Bali Lewat Oka Rusmini

Selasa, Juli 23, 2013

buku Tarian Bumi dan Tempurung



Pada tahun 2010 untuk pertama kalinya saya membaca karya Oka Rusmini atau Ida Ayu Oka Rusmini yang berjudul Tempurung. Novel itu saya beli patungan dengan Indri. Di saat itu pula saya giat-giatnya mencari tahu tentang feminisme. Pilihan saya dan Indri tak salah, kami membaca buku yang tepat. Buku itu pernah saya pinjamkan kepada beberapa orang, salah satunya Kak Darma, senior saya yang mengenalkan saya pada buku-bukunya Mitch Albom. Kak Darma juga pernah membuat review buku Tempurung (yang penasaran bisa membacanya disini). Sekarang di tahun 2013, saya kembali membaca karya Oka yang berjudul Tarian Bumi. Berbeda dengan Tempurung, Tarian Bumi adalah karyanya yang terbit di awal tahun 2000. Kini Tarian Bumi sudah dicetak ulang dengan cover yang lebih manis. 

Karya-karya Oka Rusmini memang sarat dengan nilai-nilai masyarakat Bali. Ia menggunakan tokoh sentrum perempuan Bali yang kerap berhadapan dengan sistem masyarakat (kasta dan kepercayaan) dan juga nalurinya sebagai perempuan. Alur kedua buku ini juga mirip, kalau meminjam istilah Kak Darma, alur mengakar, beranak-pinak. Tokoh pertama yang anda temui dalam buku ini belum tentu tokoh utamanya karena masih ada tokoh-tokoh berikutnya yang muncul dengan problemnya masing-masing. Pokoknya melelahkan kalau dibaca tapi bikin penasaran sehingga kita ingin terus tahu kelanjutannya. 

Oka selalu mengangkat masalah mengenai kehidupan perempuan Bali yang hidup dalam sistem masyarakat kasta yang sudah pasti juga patriarkal. Kita bisa menemukan sudut pandang mengenai Bali dari orang Bali-nya sendiri. Believe it or not, beberapa bulan setelah saya membaca buku Tempurung, saya malah menginjakkan kaki di pulau dewata itu. Dan tentu saja buku Tempurung menjadi semacam guide bagi saya untuk mengamat-amati kehidupan disana. Tentu saja guide disini bukan berarti tempat wisatanya tapi guide untuk lebih mengerti mengenai sistem kepercayaan bahkan cara hidup masyarakat Bali dimana perempuan-lah yang menjadi tulang punggung keluarga sementara lelaki senang menyabung ayam. 

Selain nilai-nilai masyarakat, Oka juga sering memasukan nilai kesenian masyarakat Bali di dalamnya. Kadang tokohnya adalah seorang penari atau malah mahasiswa seni tari. Tema yang diangkat Oka ini mengingatkan saya pada Divakaruni dengan tokoh perempuan-perempuan India yang ditulisnya. Dengan membaca karya-karya Oka, saya sebagai perempuan dapat melihat sebuah realitas berisi sentimen gender yang coba dituangkan Oka dalam tulisannya. Masalah-masalah yang dianggap tabu dalam masyarakat bahkan fenomena mistis juga sering dimasukkan Oka untuk mewarnai kisah dalam bukunya. Jangan membayangkan kata-kata manis dalam buku ini, kadang-kadang kata-kata Oka cenderung frontal tapi itulah mungkin cara dia sebagai penulis dalam menuangkan "kemarahan" dan kritik-nya lewat tulisan-tulisan itu.

Kalau kalian sedang jalan-jalan ke toko buku dan ingin membaca sesuatu yang berisi, kedua buku ini saya rekomendasikan untuk anda. 



Review Buku

Buku Ke-2 : Perjalanan Ke Negeri di Utara

Senin, Juli 22, 2013




Judul : Perjalanan ke Negeri di Utara
Penulis : Meike Lusye Karolus
Penerbit : UPT KKN Unhas
Tahun : 2013

Ini adalah buku kedua yang saya tulis pada akhir tahun 2012 kemarin. Pak Hasrullah, supervisor sekaligus kepala UPT KKN Universitas Hasanuddin meminta saya untuk menulis buku yang berkisah tentang pengalaman mahasiswa Unhas yang melakukan KKN di perbatasan Malaysia - Thailand. Mengapa diberi judul Perjalanan ke Negeri di Utara? karena kampus Universiti Utara Malaysia (UUM) yang merupakan base KKN kami berada di utara Malaysia. Deadline-nya cukup bikin semaput, satu minggu. Tapi dengan beberapa kali dispensasi akhirnya buku ini saya tuntaskan selama satu bulan. 

Buku ini untuk sementara dicetak terbatas dan diberikan kepada beberapa petinggi kampus dan pihak UUM. Saya belum tahu apakah UPT jadi memperbanyak buku ini, tapi saya pribadi memiliki niatan untuk mencetaknya sendiri sebagai arsip dan kenang-kenangan kepada almamater. Buku ini bagi saya adalah bentuk sumbangsih yang saya berikan bagi Unhas. 

Ini adalah buku pertama saya dengan nama sendiri di sampulnya. Sebelumnya saya pernah menulis puisi dalam bentuk antologi bersama 11 penyair perempuan dari Sulawesi Selatan berjudul Kaki Waktu. Di buku ini, Pak Hasrullah menjadi editornya. Untuk layout dan cover saya dibantu senior saya, Kak Wawan'06 dan untuk foto dibantu Titah dan Pyonk. Siapa yang menjadi covernya? saya sendiri. Banyak yang menyangka itu adalah cowok loh -___-


buku "Perjalanan ke Negeri di Utara" yang sudah dicetak


Buku ini saya persembahkan untuk ke 27 teman KKN saya yang bersama-sama menjalani perjalanan luar biasa ke negeri di utara.

Kisah Perempuan

Si Lajang

Minggu, Juli 21, 2013


Sewaktu membaca buku triloginya Ayu Utami (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Ex-Parasit Lajang) saya menemukan istilah baru yaitu parasit lajang. Parasit Lajang atau single parasite adalah istilah yang dikemukakan para feminis Jepang untuk menggambarkan anak gadis yang tak menikah, selalu sibuk bekerja, namun masih tinggal dengan orang tua alias jadi parasit di rumah sendiri. Dulu saya pernah kenalan dengan seorang gadis Jepang, karena saya lupa namanya maka ada baiknya saya memanggilnya Kyoko. Kyoko ini adalah temannya Kak Syifa yang datang ke Indonesia dalam sebuah program khusus. Saya dan Kak Syifa (setahu saya sekarang beliau aktif di komunitas Makassar Berkebun) berkenalan karena sama-sama mengikuti program Sekolah Feminis yang diasuh organisasi Perempuan Mahardika (organisasi yang pada zaman Orde Baru bernama Gerwani) dan gara-gara itu ia memanggil saya dan beberapa teman alumni Sekolah Feminis untuk ikutan belajar bahasa Jepang dengan Kyoko sebagai pengajarnya.

Sebagai feminis, kami sebenarnya lebih tertarik dengan kehidupan perempuan Jepang disana ketimbang belajar bahasa Jepangnya. Kyoko lantas bercerita tentang kehidupan perempuan Jepang disana, terutama fenomena "kemandirian" yang disandang perempuan Jepang. Pada usia tertentu, cewek-cewek Jepang ini bisa meninggalkan rumah orang tuanya untuk berkarir dan haram hukumnya untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya. Biasanya mereka akan membeli rumah (atau apartemen) sendiri dan pulang sesekali untuk mengunjungi orang tuanya. Bertahan di negara macam Jepang membutuhkan mental sekuat baja (as you know Jepang adalah negara dengan tingkat bunuh diri paling tinggi), sometimes membuat perempuan-perempuan disana berpikir bahwa pernikahan adalah jalan keluar. Mungkin pikir mereka daripada capek-capek mending kawin aja deh. 

Tapi tidak semua perempuan Jepang memilih cara itu, misalnya si Kyoko yang sudah keluar dari rumah orang tuanya dan mandiri. Beberapa perempuan Jepang tetap settle down di rumah orang tua. Mereka aktif bekerja, bebas "main" dengan teman-temannya, dan tidak peduli dengan urusan rumah karena ada ibu yang mengurus. Mereka juga tak menikah, entah karena belum ketemu jodoh atau karena keenakan pacaran. Kehidupan itulah yang disandang sebagian perempuan disana dan merekalah yang disebut parasit lajang. Benalu bagi orang tuanya. Sudah benalu, jomblo pula (Jomblo itu adalah mereka yang belum menikah yaaa...).

Lalu apa hubungannya parasit lajang dengan saya?
Di keluarga saya ada dua macam ketakutan, ketakutan pada mati muda dan ketakutan pada tidak kawin-kawin. Saya punya banyak tante yang belum menikah, bukan karena mereka tak cantik jelita, tapi karena mereka terlalu hebat. Setengah dari mereka sudah mapan secara finansial, otak mereka dihargai gaji jutaan, kerjaan mereka suka keluar negeri, bahkan ada satu tante yang seorang diplomat di KBRI Washington dan belum married sedangkan ibunya mengharapkan ia untuk segera menikah diambang umur 50 tahun. Bahkan saya sendiri sudah diperingatkan oleh orang-orang tua di keluarga saya, "Boleh sekolah tinggi-tinggi, tapi ingat-ingat untuk kawin ya...". Seolah-olah bagi mereka cari suami kayak tinggal dibeli di toko. Ini horor, lebih horor daripada filmnya Suzanna.

Pernikahan jadi semacam momok. Tidak menikah kita disakiti secara sosial, tapi menikah juga belum tentu menjadi jaminan kebahagiaan. Saya tidak takut pada pernikahan yang saya takutkan adalah menikah dengan orang yang salah dan akhirnya menyesali pernikahan itu. Bukankah pernikahan adalah lembaga yang tidak serampangan dimasuki orang?sekali menikah sebaiknya anda tidak bercerai, kan. Kalau mau ditarik dalam konteks teologi kristen, pernikahan antara suami dan istri bagaikan pernikahan Kristus dengan Gereja-Nya. Saking kudusnya, gereja Katolik mengakui pernikahan sebagai sebuah sakramen (tanda pengurapan oleh Allah). Bagi saya sendiri, pernikahan adalah ikatan antara saya dengan si partner hidup. Orang yang akan menjadi teman seperjalanan saya mengarungi samudera kehidupan. Jadi jelas menikah bukan karena trend, mentang-mentang teman-teman sekolah dulu pada menikah dan punya anak, sedangkan saya masih jomblo akhirnya serampangan memilih. Kalau ternyata si suami tidak bertanggung jawab atau menderita sakit jiwa, tukang pukul istri atau tukang selingkuh, siapa yang akan menanggung duka saya, kalau bukan saya sendiri?

Ibu saya selalu mengingatkan,"Jangan pernah berpikir bahwa pernikahan adalah penyelesaian dari segala masalah. Justru sebaliknya masalah yang baru akan muncul". Untuk itulah ibu selalu mendidik saya untuk tidak tergantung pada orang lain, bahkan pada suami nanti. Karena sangat berbahaya menggantungkan hidupmu pada manusia. Tapi kalau tidak menikah juga maka kita akan kesepian secara mental-seksual dan akhirnya mati dengan cara dikremasi lalu abunya ditebar di 7 tempat berbeda karena tak ada anak-cucu yang mau menjenguk makan neneknya. 

Ah....perempuan dan masalahnya dengan dirinya sendiri maupun kehidupan sosialnya adalah konflik purba yang rumit. 

Mantra Kalimat

Amelia

Rabu, Juli 17, 2013



Amelia: I just keep injesting these poisonous men until I make myself sick.
Viktor Navorski: You're not sick, Amelia, no. You're a little far-sighted.


(The Terminal, 2004)

Sehimpun Puisi

Matahari, Bulan, dan Sepi Malam Ini

Rabu, Juli 17, 2013

Untuk temanku Matahari,
Mengapa kau iri pada Bulan bila engkau-lah sang pusat tata surya?
Mengapa kau ingin jadi Bintang, padahal semua benda di langit bersujud di kakimu?

Malam ini memberiku petunjuk, wahai Matahari
bahwa kita senasib
Kita kesepian

Tak ada yang bisa mendekatimu
karena jika terlalu jauh kau menyilaukan,
dan ketika terlalu dekat kau membinasakan



6 Juli 2013
dalam taksi, hujan keras, setelah ngobrol lama dengan Amdya.

Aku dan Tuhan

Cita-Cita Yang Terwujud

Senin, Juli 15, 2013



Sebelum membaca tulisan ini ada baiknya anda membaca dulu dua tulisan berikut ini, jangan lupa perhatikan tanggal postingannya :


Kalau sudah membaca dua tulisan di atas, maka anda diperkenankan membaca kelanjutan tulisan dibawah ini.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena ia memberikan talenta menulis pada saya. Saya bersyukur bahwa hati saya digerakkan untuk mengembangkan talenta yang Tuhan kasih, bukan menguburkannya dalam-dalam atau meniadakannya. Menulis sudah menjadi kesukaan sekaligus panggilan dalam hidup saya. Sudah tiga buku yang saya keluarkan (informasi mengenai kedua buku itu akan saya posting nanti). Sejujurnya saya tidak pernah menyangka akan menerbitkan buku, apalagi buku ketiga saya yang sedang dalam proses itu akan beredar di seluruh Indonesia. Bukan genre fiksi atau sastra, tapi buku ilmiah, sebuah penelitian yang dipublikasikan. Cita-cita menjadi penulis sudah terwujud. Saya masih anak bawang dalam dunia tulis-menulis, kemampuan merasa dan menulis harus terus diasah. Menjadi terkenal itu hanyalah persoalan waktu. Saya menikmati proses merangkak dari bawah. Setiap proses memberi kita pelajaran yang berharga.

Cita-cita lain yang terwujud adalah dengan menjadi dosen. Menulis dan mengajar adalah dua kegiatan yang saling berkesinambungan. Ada benang merah diantara keduanya. Ketika saya berbicara di depan banyak orang mengenai suatu hal yang saya tahu (entah dalam diskusi atau ngobrol santai) saya merasakan kenikmatan tersendiri. Saya bukan orang yang pandai berbicara atau berdebat tapi ketika saya mengajarkan tentang sesuatu saya merasa bahagia bahwa keberadaan saya berguna untuk orang lain. Dari bibir saya mungkin ada kata-kata yang bermanfaat bagi orang lain. Rumah, Gereja, sekolah, dan kampus telah banyak memberikan saya pelajaran dan kesempatan untuk menemukan panggilan, tujuan, dan passion saya. Terutama di kampus lewat KOSMIK, saya bertemu dengan banyak orang yang Tuhan pakai untuk membantu saya mengembangkan potensi yang saya miliki. Jika menilik bakat, orang tua saya juga suka mengajar, mereka sering menjadi instruktur dalam pelatihan professional di bidang masing-masing. Malahan Daddy pernah mengemukakan pendapatnya kalau ia ingin saya menjadi guru. Baiklah saya akan menjadi guru....guru di perguruan tinggi.

Ternyata untuk menjadi dosen butuh perjuangan yang keras. Mulai dari urusan akademik, sebaiknya kamu memiliki prestasi akademik yang baik, bagaimana bisa kamu menjadi teladan kalau track record-mu acak kadut? kedua, tentu saja menguasai bidang keilmuan yang ditekuni, ketiga ini saya kutip dari Kak Jamil, senior saya, seorang dosen harus memiliki yang namanya "semangat akademik" artinya ia tidak menyerah untuk terus-menerus bergumul dengan ilmu pengetahuan yang terus bergerak sesuai pergerakan manusia. Ada juga pemahaman baru yang saya dapat dari Kak Yuyu, salah satu senior saya. Ia mengutip kata-katanya Prof.Hafid Cangara, dosen saya di Komunikasi Unhas bahwa, "Science contains aesthetics value. Scientist is an artist, lecturer is an artist either". Seorang dosen bertanggung jawab mendidik generasi calon pemikir bangsanya, ia juga bertanggung jawab dalam membantu memikirkan solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam berbangsa dan bernegara. Nah, bagaimana ia mampu menjadi seorang guru sekaligus seniman jika ia secara pribadi tidak mampu?

Pekerjaan dosen bagi saya bukan pekerjaan pelarian karena tidak mampu bersaing dengan orang lain di rimba lapangan kerja sana. Pekerjaan dosen adalah panggilan, saya terpanggil untuk mengajar, mendidik, sekaligus menjadi seniman dengan menjadi perenung hidup dan penulis. Sejak maba cita-cita itu sudah tertanam di hati saya. Meskipun banyak orang bilang saya mampu menjadi jurnalis, PR, atau bahkan diplomat sekalipun tapi panggilan saya bukan disitu. Lulus kuliah godaan pun datang, tawaran pekerjaan dari statisun TV ternama sampai bank besar berdatangan. Tapi saya sudah memantapkan diri, saya harus lanjut sekolah dan menjadi dosen.

Saya lantas teringat masa di awal semester, saya pernah bercakap-cakap dengan Mymy, salah satu teman kuliah saya. Dari Mymy dan juga Kak Yuyu saya tahu bahwa untuk jadi dosen di Unhas itu tidak mudah. Selain tes-nya yang sulit, koneksi juga penting. Jujur saja, saya jadi minder, apakah bisa saya mewujudkan cita-cita itu? Disitulah iman saya diuji. Koneksi satu-satunya yang saya miliki hanyalah doa pada Tuhan. Dalam setiap doa-doa, saya memohon dibukakan jalan untuk meraih cita-cita saya. Akhirnya, doa saya dijawab. Tidak gampang memang, bukan jatuh dari langit. Tapi buah dari kesabaran dan penderitaan itu benar-benar manis. 

Manusia berencana tapi Tuhan tetap yang menentukan. Saya selalu ingin melanjutkan sekolah di luar negeri. Saya mati-matian les bahasa Inggris untuk meningkatkan bahasa Inggris saya. Pernah saya berdoa, "Tuhan, bawa saya jauh dari Makassar...". Dalam pikiran saya sebuah tempat di negeri Eropa atau Amerika. Tuhan memang membawa saya jauh dari Makassar, ke pulau Jawa, ke kota para raja, Yogyakarta (catatan: lain kali doa harus lebih spesifik :p). Bukan...bukannya saya tidak berusaha. Tapi program beasiswa yang saya ikuti ini memang mengharuskan memilih universitas di dalam negeri. Padahal ada juga untuk ke luar negeri, tapi surat pemberitahuan yang diberikan kepada saya adalah khusus dalam negeri sedangkan saya baru tahu ada program yang sama ke luar negeri justru di hari terakhir batas pendaftarannya. Lihatlah betapa jalan hidup seseorang sudah diatur. Saya pikir saya telah merencanakan hidup saya dengan benar, tapi ternyata kehendak Tuhan yang jadi. Setelah melalui proses seleksi yang rumit, akhirnya saya dinyatakan lolos tes untuk S2 di Universitas Gadjah Mada dan berhak menerima beasiswa dari Dikti untuk calon dosen. Mengenai tempat, saya rasa Tuhan punya rencana yang tidak saya ketahui sehingga saya ditempatkan disana. Lagipula UGM memang selalu menjadi kampus idaman saya (dahulu saya ingin sekali kuliah S1 disana) dan Yogyakarta adalah kota yang seperti dinyanyikan Savage Garden, "I knew I loved you before I met you...". 

***

Satu beban terangkat, namun beban yang baru ditimpakan kembali di pundak saya. Saya harus belajar keras untuk menyelesaikan S2 saya tepat waktu dan segera mengabdi sebagai civitas akademika. Orang bilang jangan andalkan dengkulmu, andalkan otakmu. Tapi bagi saya sebagai orang percaya, saya mengandalkan dengkul saya untuk berdoa, berlutut memohon pertolongan Tuhan tiap saat. Otak hanyalah alat yang saya pergunakan. Tubuh ini hanyalah kendaraan dalam menghadapi hidup ini. Tapi doa menyelamatkan kita dari kebinasaan.

Tulisan ini adalah kesaksian saya, bahwa Tuhan benar-benar hidup dan berkuasa. Ia-lah yang saya percayai untuk menyelesaikan perkara-perkara saya. Cita-cita itu benar-benar terwujud, selalu ada jalan untuk orang yang berharap pada-Nya. Dan karena ini adalah sebuah panggilan, maka saya harus pergi ke tempat dan kepada siapa saya diutus. 

Sebuah perjalanan baru akan saya jalani....sebentar lagi.






"Janganlah berkata: aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman Tuhan." (Yeremia 1 : 7-8)



Life Story

Susahnya Bersikap Adil

Rabu, Juli 10, 2013



Pernah suatu ketika saya menjadi moderator untuk acara workshop sebuah film berskala nasional yang berlokasi di kampus. Workshop tersebut mendatangkan sutradara dan beberapa pemain dari film  itu. Salah seorang pemainnya berdarah indo dan tampak seperti tak fasih berbahasa Indonesia. Selain aksen-nya yang englishman perawakannya juga mendukung, ganteng abis-lah pokoknya. 

Seperti layaknya workshop tentu saja sebagai "penengah" antara hadirin dan yang punya hajatan, saya akan bertanya seputar pembuatan film itu. Ada satu moment yang sebenarnya bikin saya gerah sama si bintang indo-ganteng-abis ini. Waktu saya bertanya dalam bahasa Indonesia ke dia, dia berlagak seolah gak ngerti dengan pertanyaannya (atau bahasanya) padahal saya sudah berbahasa Indonesia yang baku loh. Sampai salah satu sutradara yang konon saudara jauhnya bilang, "Dia gak tinggal di Indonesia jadi bahasa Indonesia-nya gak lancar". Akhirnya, saya bertanya dengan bahasa Inggris, and guess what dia menjawabnya dengan bahasa Indonesia yang.......lancar.

So, I was thingking at the moment kayaknya saya dikerjain deh. Mentang-mentang saya masih mahasiswa, belum pernah liat saya bakar ban atau lempar mortir di mukanya ya?. Kejadian itu berulang terjadi setiap tiba sessi saya bertanya ke dia. Tapi apa yang terjadi? Karena dia ganteng, jadinya dimaafkan. Malah saya ngebet foto-foto sama dia seusai acara. Setelah itu saya lama berpikir. Sepertinya ada sesuatu yang salah, yang tidak pada tempatnya. 

Pikiran itu lantas semakin menguat ketika saya sudah menonton film The Help, film yang mengangkat isu rasial di Amerika. Kadang-kadang kita menjadi lembek pada orang-orang yang memiliki kriteria fisik yang rupawan meskipun sebenarnya sifat, kelakuan, atau tabiatnya tidak secakep wajahnya. Sebaliknya kita juga kadang memandang sebelah mata orang yang memiliki kriteria fisik yang tidak mainstream dengan konstruksi cantik atau ganteng dalam masyarakat. Satu saja tindakan mereka yang salah sudah membuat kita men-judge tanpa ampun. Melihat mereka datang dengan pertolongan membuat kita sudah curiga setengah mati. Sebaliknya mereka yang punya penampilan oke ini malah sering membuat hati kita teriris-iris dengan perlakuannya. Anehnya kita baik-baik saja menerima, cenderung mendiamkan dan membiarkan.

Saya paling suka kata-katanya Pramoedya Ananta Toer yang dituangkan dalam buku Bumi Manusia. Beliau mengatakan,"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Bersikap adil memang bukan hanya sebatas tindakan namun juga dalam bentuk pikiran. Kadang-kadang secara tidak sadar kita juga sering menjadi korban ketidakadilan dalam bentuk pikiran. Kau dinilai sebatas darimana kau berasal, apa pendidikanmu, siapa orang tuamu, dan sebagainya. Lalu jika kau memenuhi kriteria tertentu kau akan diterima dengan welcome bahkan berlebihan, tapi jika kau tidak mencapai kriteria itu kamu mungkin diterima tapi perlakuannya akan berbeda. Katakanlah begini, dalam sebuah kunjungan di kedutaan, manakah yang diterima dengan lebih ramah? mahasiswa dari UI atau mahasiswa dari Unhas? atau penulis dari tanah air dengan penulis dari mancanegara? Bahkan dalam sidang PBB, presiden dari negara-negara berkembang dengan presiden dari negara-negara adidaya beda perlakuan dan tempat duduknya. 

Salah satu cara bersikap adil adalah mencoba adil. Meskipun ini sebenarnya nyaris mustahil mengingat manusia suka menilai atau melekatkan diri pada nilai-nilai tertentu. Waktu sekolah dulu, kadang-kadang saya yang notabene pribumi sering diejek karena memiliki kulit lebih gelap ketimbang teman-teman saya yang beretnis Tionghoa (belakang waktu kuliah saya malah dikira orang cina karena putih, hmm karma does exist, huh?). Sedangkan dengan sesama bangsa sendiri, kadang dinilai dari mana kau berasal, "Ohh...dari Makassar? wahh, suka ricuh disana ya? atau "ohh...anak Unhas? suka tawuran ya?".

Menjadi korban ketidakadilan pasti pernah dirasakan oleh semua umat manusia. Mungkin hanya kadar ketidakadilannya yang berbeda-beda. Tapi menjadi penonton ketidakadilan juga sama tidak enaknya. Salah seorang teman kuliah saya yang (katanya) cantik jelita, -sebut saja A- semena-mena dengan teman kuliah saya yang lain,-sebut saja B-. A memaksa B untuk mengerjakan tugas kuliah sekaligus menyontek jawaban final test. Si B ini tak mampu membela dirinya sedangkan A semakin diatas angin. Ketika B menunda memberikan pekerjaannya untuk dicontek, A memaki-maki B di dalam kelas. Tebak pemirsa....tak ada satu pun teman angkatan saya yang membela B. Ada pembiaran disitu. Sayangnya saya tidak berada di kelas itu karena beda prodi. Kalau saya melihatnya sendiri sudah pasti akan saya tegur si B...atau mungkin cuma duduk diam tak mampu melakukan apa-apa. Sungguh menjadi pahlawan pembela keadilan itu tidak mudah, kawan.

Saya pun jadi ragu apakah saya mampu melawan ketidakadilan. Apakah saya memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan? Apalah saya mampu bersikap adil baik dalam tindakan maupun pikiran?

Mungkin saat ini saya belum mampu tapi saya mau belajar. Belajar untuk mengubah sikap saya. Setidaknya saya mau belajar memperlakukan sesama manusia tidak dengan berlebihan. Ingin rasanya mengulang kejadian si bintang -film -ganteng -abis- yang -mengerjai- saya- tapi -saya -tetap -mau -minta -foto -sama -dia dengan sikap siapa elo-siapa gue.

Lain kali saya akan memperlakukan manusia dengan tidak berlebihan. Mungkin istilah kaum sosialis "sama rata, sama rasa" bisa dipraktekkan disini.





PS : waktu ketemu Sapardi Djoko Damono saya cuma mampu memandangi punggungnya dari kejauhan dan itu sudah cukup. 

Special Moment

Dear Brother and Sister, Happy Fasting ^^

Senin, Juli 08, 2013



Selama dua dekade tinggal di Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk serta mayoritas beragama Muslim membuat saya jadi banyak belajar tentang toleransi dan menghargai perbedaan. Sejak kecil, orang tua saya sudah mengajarkan untuk saling menghargai kepercayaan masing-masing. Terutama saat bulan Ramadhan tiba, saya dididik untuk menghormati saudara-saudara kami yang sedang menjalankan ibadah puasa. 

Waktu kecil saya pernah dimarahi Mami abis-abisan karena makan es krim di dalam angkutan umum padahal saat itu sedang bulan puasa. Sejak saat itu saya tidak berani mengunyah atau memegang makanan di public area. Kami juga memiliki keluarga angkat yang beragama Muslim. Mereka keturunan raja Mandar, rakyat jelata memanggil mereka Puang Andi, tapi saya memanggil Ibu dan Bapak Gode (karena badannya besar) serta anak-anaknya dengan sebutan kakak. Saya sering dititip disana karena orang tua saya bekerja. Saya paling suka kalau bulan puasa tiba, disana pasti banjir makanan enak hehe. Setiap lebaran kami pasti wajib kesana. Rasanya ada yang ganjil kalau lebaran tidak silaturahmi ke rumah Ibu, seperti kalau tidak ke gereja kalau hari Minggu. 

Bersekolah di sekolah Katolik juga memberikan pelajaran berharga untuk saya. Di Rajawali ada siswa yang beragama Muslim, Hindu, Buddha, dan tentu saja Kristen Protestan. Kalau bulan puasa tiba, teman-teman yang Muslim pasti lebih "berat" menjalaninya karena mereka minoritas disana. Sekolah memberikan kebijakan dengan sekolah setengah hari. Di luar bulan puasa karena tentu saja hanya ada kapel di sekolah, teman-teman Muslim bisa pulang lebih dulu kalau mereka minta izin untuk sholat di mesjid. Kami yang tidak puasa meminta izin kepada teman-teman yang puasa kalau mau makan jika kebetulan mereka ada disitu. Biasanya teman-teman saya itu mempersilahkan dan tidak mempermasalahkan hal itu. 

Memasuki dunia kampus, karena saya kuliah di kampus negeri, tentunya keadaan jadi berbalik. Kami yang tidak puasa kadang ikut-ikutan puasa karena kantin-kantin di bulan puasa tutup. Ada satu kantin yang terletak di kolong fakultas ekonomi yang buka tapi saya tidak cocok makan disana karena pernah gatal-gatal akibat mie instan yang dimasak tidak higienis. Waktu semester awal saya pernah bawa makanan dari rumah, atau kalau ada teman yang tidak puasa karena datang bulan kami akan pergi makan di Mtoz. Waktu kuliah juga saya tahu kalau selain puasa di bulan Ramadhan juga ada puasa Senin - Kamis. Saya juga baru tahu kalau perempuan tidak boleh sembayang atau ke mesjid/mushollah kalau lagi datang bulan. Saya menghormati aturan itu. 

Keberagaman memang menjadi makanan sehari-hari orang-orang yang tinggal di Indonesia. Tentu saja selain kepercayaan kita yang beragam, masyarakat ini juga terdiri dari ratusan bahkan ribuan suku dan etnis. Sebagai masyarakat yang majemuk tentu saja menjaga persatuan dan kesatuan sudah menjadi tanggung jawab bersama.

Akhirnya saya mau mengucapkan selama menunaikan ibadah puasa untuk saudara-saudaraku yang menjalankan. Semoga mendapatkan berkat dari Tuhan. 



PS : menerima undangan berbuka puasa atau ajakan teman untuk berbuka :p


Aku dan Tuhan

The Answer

Senin, Juli 08, 2013


Waktu pertama kali masuk di bangunan itu saya tidak terlalu memperhatikan keadaan di sekitar. Tidak lihat kiri-kanan apalagi tebar pesona. Pandangan mata saya lurus ke depan, menuju satu tempat dimana isi otak saya akan dikuras, kemampuan saya akan dinilai. 

Saya selalu percaya bahwa Tuhan selalu berbicara kepada kita dengan berbagai media. Entah iklan di TV, tulisan di papan reklame, ayat-ayat di kitab suci, kutipan seorang terkenal, atau ucapan dari mulut seseorang.  Kita tak bisa membatasi Tuhan menggunakan media apa. Segala hal dapat Dia gunakan. Saya rasa pun ketika Tuhan menjawab Ayub setelah dia complain mengenani nasibnya, Tuhan tidak serta merta turun ke bumi dan ngobrol langsung sama Ayub. Tuhan punya banyak cara untuk berkomunikasi, bagaimanapun Dia-lah yang berkuasa.

Setelah menyelesaikan serangkaian tes, saya pun berjalan keluar dari bangunan itu dan tiba-tiba saya memalingkan kepala mengarah ke bagian kanan saya. Dan muncullah tulisan yang menempel di dinding bangunan itu. 

Mata saya berkaca-kaca, Tuhan menjawab saya. :)

Cerita Pendek

Surat Cinta Yang Tak Dikirimkan

Minggu, Juli 07, 2013

*google*



Selamat ulang tahun, selamat menikmati usia akhir 20-anmu. 

Kau tahu Thomas Alva Edison menemukan 999 cara untuk menciptakan lampu pijar sebelum cara ke-1000 yang dilakukannya berhasil. Coba bayangkan kalau dia berhenti pada percobaan kedua,ketiga, atau mungkin ke-476, dunia ini pasti bagaikan pohon natal tanpa hiasan. Aku berharap suatu saat bisa meneladani kegigihan Thomas Alva Edison.

Ide surat-menyurat itu datang karena aku tahu kita berbagi bulan lahir yang sama. Kita hanya berbeda 9 hari dan 7 tahun. Aku tahu persoalan umur sensitif bagimu. Tapi bukankah Celine Dion dan suaminya berbeda puluhan tahun begitupun Soekarno dengan Ibu Dewi? Maka jangan salahkan aku jika berharap ada surat untukku suatu hari nanti. 

Lalu saat itu pun datang. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyadari bahwa sudah cukup bagiku untuk mempertahankan hubungan yang ganjil ini. Butuh waktu untuk mencerna dan membaca dengan seksama tanda-tanda yang kau berikan bahwa komunikasi itu hanya semu. Aku gagal menciptakan lampu pijar di hatimu yang mampu melihatku lebih dari sekedar yang kau tahu. Tapi aku tetap berdoa semoga akan ada yang berhasil menciptakannya sehingga kau mampu melihat dalam kegelapan. 

Akhirnya di hari 359 aku memutuskan tak akan meneruskan hubungan yang ganjil ini. Aku memutuskan tidak akan membuatmu tak nyaman. Aku tak akan mengganggumu lagi. Bukan...bukan karena aku merasa tak pantas untukmu ataupun sebaliknya. Bukan karena perbedaan yang mencolok di antara kita atau karena aku menyerah dengan tidak menciptakan lampu pijar dengan cara ke-1001. Itu semua aku lakukan karena aku sampai pada pengertian bahwa cara terbaik untuk mencintai adalah dengan membebaskan, cara terbaik untuk memiliki adalah dengan melepaskan. 

Karena aku kini mengerti untuk tidak menahan seseorang yang tidak ingin berada di sampingku. 



Yang cuma mampu memandang punggungmu dari kejauhan,


Sarah

Special Moment

Partner in Crime

Rabu, Juli 03, 2013


We did it, Mom.
We've been through this...


( "...Engkau telah melaksanakan rancangan-Mu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu." - Yesaya 25 : 1b)