5DaysBlogChallenge

[Day 3: Post One Photo & Explaine it] Biar Kuceritakan Tentang Mereka Kepadamu

Selasa, Oktober 13, 2015

foto: meike



Pasar Triwindu di kota Solo adalah salah satu pasar barang antik yang memiliki koleksi bagus-bagus di negeri ini. Seorang senior saya yang menjadi designer interior untuk salah satu cafe kece di Makassar bahkan membeli beberapa perabotannya disini. Di antara tumpukan barang-barang antik itu, terselip tumpukan foto-foto tua yang entah darimana asalnya. Mereka terkubur di antara barang-barang bekas pakai yang sudah melampaui zaman, setidaknya berbagai zaman politik di Indonesia. Saya bertanya-tanya dalam hati darimana penjualnya mendapatkan foto-foto ini? Keluarga mana yang tega menelantarkan kenangan-kenangan dalam foto-foto itu? Di antara tumpukan poster, kursi-kursi ukir yang terbuat dari besi dan kayu, telepon tempo dulu, lampu gantung zaman beheula, gramophone, perkakas dapur, sampai aneka perhiasan tusuk konde dan bros pemikat kebaya, foto-foto itu diam membisu sambil menantikan siapa saja yang tertarik membeli mereka.


***

Sebelumnya saya tak tahu kalau ada foto-foto tua yang dijual. Penjual di salah satu gerai yang menjual foto-foto itu yang menawari saya. "Ayo Mbak beli foto orang-orang dulu," begitulah katanya. Dasar saya makhluk terjebak masa lalu, saya menghamipiri gerai itu dan mulai mencermati foto demi foto. Sambil melihat-lihat foto yang kira-kira menarik hati, saya jadi teringat sebuah film yang salah satu adegannya juga menampilkan foto-foto tua seperti ini dijual di loakan. Saya lupa judul filmnya. Film itu tampaknya bercerita tentang seorang perempuan penipu yang membeli satu foto seorang perempuan cantik dan mengatakan bahwa itu adalah ibunya untuk mendapatkan simpati si Orang Kaya yang akan ditipunya. Saya toh tak sedang main film dan tak ada orang kaya untuk ditipu. Namun, foto-foto tua itu meskipun kadang tak jelas juga apa yang difoto sungguh menghadirkan perasaan ekstasi. Mungkin beginilah perasaan arkeolog atau filolog yang menemukan artefak atau manuskrip tua yang terkubur ratusan bahkan ribuan tahun.

Foto-foto tua itu dicetak hitam putih pada kertas yang kadang-kadang bergerigi. Beberapa sudah tak jelas warna dan obyeknya. Tanganmu akan terasa kasar karena debu yang menepel disana. Kumpulan foto tua itu dijual dengan berbagai variasi harga. Harga standarnya Rp.5000/foto kalau fotonya masih bagus atau orang-orangnya kece biasanya dijual lebih mahal lagi. Saya pernah kepincut satu foto seorang laki-laki yang tampangnya ganteng banget. Wajahnya mengingatkan saya pada Marlon Brando waktu masih muda. Ia memakai setelah jas. Rambutnya tersisir rapi. Marlon Brando versi Indonesia ini matanya tak menatap ke kamera melainkan agak serong. Tampaknya style foto yang dominan di era itu. Penjualnya menghargainya sampai Rp.20.000. Saya menawar sampai harga standar tetapi si penjual tetap kekeuh tidak mau menurunkan harganya. Karena jengkel dengan penjualnya, saya tak jadi membeli foto itu meskipun sudah jatuh sayang pada lelaki dalam foto itu. 

Foto-foto itu datang dari berbagai zaman. Dilihat dari jenis kertas dan kualitas gambarnya sepertinya datang dari tahun 1940-1970. Foto-foto tua itu mengingatkan saya pada foto-foto tua dalam album keluarga saya. Oma menyimpan beberapa album bersampul kulit yang berisi foto-foto keluarga kami. Dan sungguh ia sangat berhati-hati memperlihatkannya pada saya yang waktu itu masih kecil. Ia menyimpan album-album itu. Begitu rahasianya sampai hilang tersapu waktu dan ingatan. Album foto itu entah dimana. 

Sambil memilih-milih foto, saya mempelajari kehidupan orang dulu-dulu melalui foto-foto itu. Ada pas foto, ada foto angkatan, ada foto kawinan, ada foto rapat, ada foto pribadi dengan aneka gaya sampai ada foto benda-benda. Untuk foto gaya-gaya, tampaknya orang dulu-dulu lebih senang diprotret secara candid atau matanya tidak bertatapan dengan kamera. Biasanya foto tersebut diambil dengan menggunakan kamera pribadi. Kalau mereka menghadap kamera biasanya dilakukan di studio foto. Saya menemukan satu foto keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan bayi mereka. Itu adalah foto favorit saya. Mereka terlihat berbahagia. Di belakang foto itu hanya ada nama tanpa tahun. Nama-nama itu ditulis dengan tulisan tangan khas generasi baby boomers. Nama-namanya adalah Rita Sahara, Eddy Soegito, dan Tantri. Tampaknya Rita dan Eddy adalah pasangan suami istri dan Tantri adalah bayi di foto itu. Ada garis mendatar setelah nama Tantri. Sepertinya pasangan ini belum selesai memberi nama untuk bayi mereka. Kalau ada yang membaca blog ini dan mengenal keluarga ini, tolong sampaikan bahwa saya ingin memberikan foto ini pada mereka. Lalu ada foto pengantin yang difoto dengan model mirorr. Pengantin pria-nya mengingatkan pada Presiden kita hehehe...Ada pula foto dokumentasi kegiatan yang tampaknya seperti Sekolah Minggu. Anehnya, saya merasa salah satu anak perempuan yang ada di foto itu mirip dengan saya sewaktu masih kecil Selain foto-foto tua, saya juga membeli satu postcard yang datang dari tahun 1965 buatan Praha. Kartu pos itu dijual seharga Rp.23.000. Secara sinkronisitas, saya juga baru saja mendapatkan kartu pos dari teman saya Dilla yang baru pulang dari Praha.

Pertanyaan tentang asal foto-foto ini masih belum terjawab. Tampaknya bukan cuma di Indonesia saja karena film barat yang saya tonton itu juga melakukan proses dagang yang sama. Apakah ada keluarga atau keturunannya yang sengaja membuangnya dan dipungut oleh pemulung dan pemulung menjualnya di pasar loak? Apakah memang ada keluarga yang memang tega menjualnya? Apakah foto-foto ini awalnya tersimpan di gudang sebuah rumah tua yang dijual dan pemilik yang baru menemukan dan menjualnya ke loakan? Mungkinkah foto-foto ini dijarah pada kerusuhan 98? Tidak sedikit saya menemukan foto-foto dari keluarga Tionghoa di antara tumpukan itu. Kemungkinan-kemungkinan ini masih bisa bertambah dan saya belum menemukan jawaban yang pasti. Paling tidak untuk sementara, biarkan saja kita menikmati kenangan  dari orang-orang yang berada dalam foto-foto itu. Mungkin mereka masih hidup. Mungkin mereka sudah meninggal. Maka, biarkanlah waktu yang menghubungkan kita seperti ketika waktu juga yang memisahkan kita.


PS: anyway, ini fotonya terhitung satu kan...? hahhaaa....

5DaysBlogChallenge

[Day 2: Your Feeling Today] 4 Fase? Hmmmm....

Rabu, Oktober 07, 2015

www.tumblr.com



#NowPlaying Mocca - Happy


Butuh dua hari kontemplasi untuk menjawab tantangan ke-2 ini. Entah apa yang merasuki Alvidha sehingga memasukkan pertanyaan tentang "bagaimana perasaanmu hari ini" ke dalam tantangan blognya. Saya membayangkan dia duduk dengan memakai jas putih ala dokter sambil sesekali memperbaiki letak jilbabnya yang bersahaja. Laksana psikiater atau psikolog, ia menatap pasiennya dengan penuh perhatian sambil memegang buku notes tanpa garis-garis kesukaannya untuk sesekali digambari ultraman atau alter ego-nya kalau ia sudah bosan. Kita yang ditantang untuk menulis blog ini-lah pasiennya.

Alih-alih mengingat "bagaimana perasaan saya hari ini" (yang terakumulasi dari beberapa hari sebelumnya), saya malah teringat pada agenda bonus majalah Gadis di sekitar awal tahun 2000-an. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP. Agenda itu menarik karena tidak hanya berisi lembar-lembar untuk mencatat PR dan tugas-tugas sekolah, tetapi juga berisi kolom emosi dan pengetahuan tentang kesehatan dan astrologi. Kolom emosi itu yang paling menarik buat saya. Setiap kolom berisi gambar emoticon yang menggambarkan perasaan seseorang dengan skala: gembira, senang, biasa saja, marah, sampai sedih. Semakin ke atas, emosinya semakin positif, sebaliknya semakin ke bawah, emosinya semakin negatif. Setiap hari sepanjang tahun, kita diajak untuk memberi lingkaran penuh (dot) pada salah satu kolom-kolom itu. Tidak boleh lebih dari satu tanda dot. Di akhir bulan, kita akan menarik garis mengikuti setiap dot yang kita isi pada kolom-kolom emosi itu. Hasilnya, akan tergambar kurva yang menggambarkan emosi kita dalam sebulan. Well, ada masa-masa di mana emosi saya dominan berada di area negatif. 

Dalam menyangkut perasaan, tampaknya manusia akan berada dalam empat fase. Saya tidak tahu istilah ilmiahnya tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai fase berjuang, fase menikmati, fase menunggu, dan fase merana. Fase Berjuang adalah keadaan yang menempatkan kita untuk berjuang menggapai tujuan. Entah itu belajar di sekolah; proses menulis, bimbingan, sampai mengurus berkas untuk ujian skripsi/tesis/disertasi; belajar bahasa asing bagi mereka yang ingin sekolah ke luar negeri; orang-orang yang sedang berjuang dalam setiap karir yang mereka geluti; mereka yang berusaha menjadi orang terkenal; sampai mereka yang sedang berusaha membuat pujaan hatinya membalas perasaannya. Oh, fase ini sangat berat. Seperti berada dalam medan peperangan. Kita tidak tahu siapa musuh dan kawan. Kita tidak boleh lengah, karena setiap saat kita bisa dikalahkan. Musuh utama adalah diri sendiri. Musuh berat berikutnya adalah lingkungan internal: entah keluarga, teman, atau pacar yang berusaha menghalangi kita menggapai tujuan. Musuh ketiga adalah lingkungan eksternal yaitu orang-orang atau kelompok luar yang menghambat kita. Dalam fase ini, kita butuh strategi perang yang jitu untuk bertahan hidup. Semua perjuangan itu bermuara pada kemenangan yaitu setiaip tujuan yang kita harapkan. 

Ketika kita berhasil menggapai kemenangan, maka pintu fase kedua akan dibukakan: Fase Menikmati. Ini masanya bersenang-senang. Kita menikmati hidup sampai berat badan kita naik hihii. Pokoknya perasaan bahagia. Tantangan tetap ada tapi tidak mengancam -menggunakan istilah TNI- stabilitas keamanan nasional. Ini adalah masa-masa happy. Maka, nikmatilah. 

Tentu tidak selamanya orang bahagia. Ada fase di mana manusia berada pada keadaan yang berada di area abu-abu. Tidak senang, tidak juga merana. Ini adalah fase yang tricky. Fase ini adalah Fase Menunggu. Fase ini kerap kali membuat galau karena tidak tahu harus dirayakan dengan tawa atau air mata. Di kolom emosi, tanda dot berada pada garis senyum datar. Iman manusia diuji. Harapannya digantung. Seolah-olah Tuhan bekerja begitu lamban. Fase ini familiar dengan orang yang bersabar menunggu pengumuman beasiswa atau kerja yang tak jelas waktunya, menunggu dilamar kekasih, menunggu hadirnya belahan jiwa, menunggu kelahiran anak, menunggu kematian, sampai menunggu asap di Kalimantan berubah menjadi udara jernih. Kunci bertahan pada fase menunggu adalah kesabaran dan penerimaan. Fase ini mengajarkan kita untuk bersabar pada waktu dan menerima ketidakpastian. Saya berada dalam fase menunggu saat ini.  

Fase Merana adalah fase yang gelap. Jangan takut dan malu mengakui bahwa kita berada pada fase ini. Fase merana membuat cahaya dan harapan kita meredup. Banyak orang menutup dirinya ketika berada dalam fase ini. Sebagian merasa bahwa fase merana adalah tempat bagi orang-orang yang kalah. Fase merana adalah tanda kelemahan. Maka banyak orang berbondong-bondong mengingkari kelemahannya. Mengingkari bahwa mereka lemah dan tak berdaya. Padahal lemah dan tak berdaya adalah sifat hakikat manusia juga. Karena kalau kita kuat dan perkasa kita bukanlah manusia tetapi yang disebut orang beragama sebagai Tuhan. Mengingkari diri bahwa kita terluka sama saja dengan mengingkari kemanusiaan kita. Tak ada orang yang terlahir kuat, kita hanya selalu berusaha menguatkan dan menegarkan diri. Maka, seperti kata Ibu kita Kartini, "Habis gelap terbitlah terang". Karena cahaya dan pengharapan lahir dari kegelapan dan keputusasaan. 

Di fase manakah kamu?

5DaysBlogChallenge

[Day 1: Favorite Things] 6 Suasana Favorit dalam Hidup Saya

Minggu, Oktober 04, 2015

Sejujurnya saya bingung mau menuliskan apa. Ada banyak hal-hal yang masuk dalam kategori “favorite things”. Mulanya saya ingin mereview buku, lagu, atau film kesukaan. Tapi masalahnya, ada lebih dari 1 judul buku, film, dan lagu yang saya sukai. Sangat berat memutuskan mana yang “paling” saya sukai dari hal-hal tersebut karena saya menyukai semuanya. Setiap film, lagu, atau buku memiliki keunikan dan kenangannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu saya memilih suasana yang paling saya sukai. Setidaknya lebih mudah dikategorikan dan tidak terlalu banyak.  


1. Suasana saat mendengarkan lagu-lagu lama. 



pic from www.slate.com


Ohhh..itu surga sekali. Lagu-lagu itu telah menyentuh kedalaman diri kita. Ada suatu kedamaian yang sulit dinalarkan. Kita seperti terikat dengan memori dari lagu-lagu itu yang mungkin kisahnya belum pernah kita alami sebelumnya. Kadang saya merasa perasaan itu tertransfer dari memori kolektif orang-orang yang mendengarkan lagu-lagu itu sebelumnya kepada generasi sesudahnya. Selain itu, perasaan itu mungkin dipicu dari lirik dan melodi yang menjadi alat transenden kenangan yang tersimpan dalam lagu-lagu itu. Jika kau peka dan membuka diri serta tidak menganggap lagu-lagu itu kuno dan kampungan, lagu-lagu itu merasukimu sampai ke relung hati yang tak kau ketahui. Kau akan menemukan suatu perasaan magis yang bercampur dengan kenanganmu sendiri dan hal itu sanggup membuatmu meneteskan air mata. 


2. Foodgasm 



Saya sesungguhnya bingung memasukkan foodgasm sebagai suasana atau sesuatu, yang jelas saya senang sekali kalau mengalami hal ini. Foodgasm (food and orgasm) adalah kenikmatan yang kita peroleh ketika memakan suatu makanan yang disukai atau enak sekali. Seperti orgasme pada hubungan seksual, foodgasm juga terjadi dalam waktu yang singkat, meskipun makannya lama cyn hehe... Foodgasm adalah peristiwa yang berpusat antara dirimu dan obyek yang memberimu kenikmatan. Waktu terasa berhenti tetapi di saat yang sama juga terasa berjalan cepat. Suatu keadaan yang nisbi, kadang-kadang tak beraturan, dan nikmat. Hal itu juga membuatmu kacau dan sedih jika berakhir. Foodgasm biasanya terjadi ketika makanan itu akan habis atau kau memakan bagian yang dirasa lidahmu adalah yang terenak. Foodgasm tidak identik dengan makanan mahal. Sepiring nasi hangat dengan sayur bayam yang dicampur jagung, disajikan dengan ikan layang kecil yang digoreng kering, plus sambel terasi sudah cukup membuat saya melayang. Suasana yang tepat misalnya kebersamaan atau rasa lapar tak tertahankan bisa menjadi pemicunya.


3. Suasana pada saat sore menjelang senja 

menanti senja dengan teman-teman saya di Gili Trawangan


Ini suasana yang saya sukai sekaligus membuat saya takut. Ada pergantian waktu dari terang menuju gelap yang biasanya diselipi angin sepoi-sepoi yang membuat hati kita jadi hangat dan kadang-kadang oleh orang-orang tertentu menjadi suasana ritual memanggil masa lalu. Tapi juga membuat saya ngeri dan merinding. Kadang-kadang saya merasa takut terhisap oleh paranoia dan waktu peralihan itu. Entah mengapa. 
Biasanya suasana ini menyenangkan ketika kita berada di pantai yang mengarah ke laut lepas, pantai di sebuah pulau, suasana dari ketinggian (bisa gedung, bisa daratan tinggi) sambil memandang pemandangan di bawahnya, atau duduk di depan teras rumah sambil melihat orang lalu-lalang. Mungkin suasana ini juga yang menginspirasi orang-orang Barat yang kemudian dibawa orang Belanda ke Indonesia untuk melakukan tradisi minum teh sore-sore sambil makan roti gula atau biskuit. 


4. Suasana Menjelang Natal 

pic from www.images20.com


Suasana menjelang Natal bagi saya dimulai pada minggu kedua Desember. Biasanya akan ditandai dengan diputarnya lagu-lagu Natal. Saya paling suka mendengarkan lagu-lagu Natal sore-sore pas hujan. Saya juga suka ketika sedang berbelanja di Mall atau supermarket dan tokonya memutarkan lagu-lagu Natal. Bagi saya, Malam Natal selalu terasa lebih istimewa daripada waktu hari Natalnya sendiri. Pada hari Natal waktu terasa cepat berlalu. Kau akan lebih sering menerima tamu atau berkunjung daripada merenung. Seperti ada perasaan magis dalam masa penantian. Masa untuk menanti sebuah kedatangan. Perasaan misteri yang sekiranya seperti ketika kau sedang menanti kedatangan seseorang di bandara. Ada harap-harap cemas sekaligus damba. Ada rasa tak sabaran. Ada rindu dan melankoli. Biasanya, di malam itu orang sedang sibuk antara menyiapkan jamuan untuk esok hari, berdoa ke Gereja, atau menikmati acara-acara TV yang everlasting. Sesuatu yang everlasting biasanya juga menghangatkan hati. Sampai saat ini, saya masih berharap untuk tidak perlu bertemu polisi-polisi dengan senjata dan pemeriksaan ketat pada saat akan mengikuti misa Malam Natal. Mau dibilang terganggu jelas, tetapi kita tidak bisa protes karena karena hal itu dilakukan untuk kebaikan umat atau tepatnya mengantisipasi penyerangan bom yang dipicu peristiwa pengebomam Gereja di Malam Natal beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, tujuan kebaikan seperti itu justru menghadirkan perasaan khawatir sekaligus aman disaat yang bersamaan. Adakalanya, ketika pikiran saya sedang berada pada area negatif, saya takut sewaktu-waktu saya tidak berhasil menemui yang saya nantikan. 


5. Suasana malam di Jogja 

Jogja, setiap sudut menyimpan kenangan


Suasana malam di Jogja adalah suasana nostalgia. Di setiap sudutnya terdapat kenangan, selain tentu saja di kota itu juga banyak terjadi peristiwa bersejarah. Kenangan-kenangan bahagia menjadi abadi sehingga orang-orang ingin datang lagi ke kota ini. Namun, ada juga suatu melankoli yang menyihir orang untuk nyaman dengan kenangan-kenangan yang membuat sedih. Suasana malam disana tidak membuat kenangan sedih menjadi hal yang menyedihkan atau memalukan, tetapi sebaliknya kenangan itu justru bertransformasi menjadi perasaan optimis dan penerimaan (nrimo) yang tak disangka-sangka. Mungkin itulah sebabnya Katon Bagaskara menciptakan lagu Yogyakarta, Doel Sumbang menciptakan lagu Malioboro, Shaggy Dog menulis lagu Sayidan, dan Ismail Marzuki menciptakan lagu Sepasang Mata Bola
Pernah suatu ketika saya jalan-jalan ke Malioboro setelah melakukan perjalanan yang mempertemukan saya dengan pujaan hati yang sudah tak bertemu sekian tahun. Waktu itu saya sedang melankolis mengingat entah kapan lagi kami akan berpapasan jalan hidup. Apalagi pertemuan terakhir itu mengisyaratkan pupusnya harapan untuk bertemu kembali. Sambil menunggu antrian membeli es krim di gerai McDonald yang berada di luar Mall Malioboro, saya menonton pertunjukkan seniman-senian jalanan yang memainkan angklung dan alat-alat musik perkusi sederhana lainnya. Saya teringat dia tanpa berharap dia repot-repot mengingat saya. Tepat ketika itu, setelah memainkan berbagai macam lagu dangdut dan campursari, mereka memainkan lagu Farid Harja yang berjudul Ini Rindu. Kalau kamu jadi saya, bagaimana perasaanmu? 


6. Suasana ketika ngobrol dengan orang yang nyambung dan menyenangkan 
Saya suka sekali suasana ketika sedang ngobrol dengan orang-orang yang nyambung. Atmosfernya itu menyenangkan. Kau seperti merasa "akhirnya ada yang mengerti dirimu" atau "ada yang menerimamu". Kau seperti buku langka yang akhirya bertemu dengan kolektor yang juga mencarimu kemana-mana. Rasanya waktu berjalan cepat sekali dan kita merasa “Loh, kok gak kerasa ya?”. Tidak peduli apakah waktu itu kami sedang menunggu angkot di halte atau duduk di kantin yang kebersihannya diragukan. Kita sangguh tahan berbicara apa saja meskipun bau busuk sampah tak terurai masuk ke dalam mulut. Adakalanya pula kita berbincang di tempat yang bagus. Café dengan desain interior yang menarik. Suasana nyaman ruang ber-AC di tengah cuaca tropis yang membuat gerah. Di manapun tempatnya, ketika waktunya tepat dan bertemu orang yang nyambung rasanya sangat luar biasa menyenangkan. Sayangnya, kau bisa kecanduan untuk bertemu lagi dan lagi. Kau juga bisa diliputi rasa sedih ketika waktu dan aktivitas memisahkan pembicaraan itu. Ya, mau bagaimana lagi: ada waktu untuk bertemu, ada waktu untuk berpisah.




PS: seiring bertambahnya umur, daftar ini  akan terus bertambah

5DaysBlogChallenge

5 Days Blog Challenge From Alvidha

Jumat, Oktober 02, 2015





Dear Alvidha
Setelah bertapa naik gunung turun lembah, akhirnya saya memutuskan menjawab tantangan blog darimu. Dalam 5 hari ke depan, saya akan menulis postingan sesuai daftar yang kamu berikan. Mari kita berdoa, semoga daku tak terhalang oleh banyaknya janji temu dan kemalasan. 

Don't miss it :)