Aku dan Tuhan

"Aku Pergi Takkan lama"

Sabtu, Mei 23, 2020

Sudah menjadi kebiasaanku jika langit sedang cerah dan banyak bintang, maka aku akan mencari bintang yang paling terang dan mengklaim-nya sebagai bintangku. Dia yang menemaniku. Seperti malam ini, suatu kegembiraan manakala malam-malam sebelumnya menampakkan langit kelabu. 

 *** 

Ingatanku melayang pada perempuan-perempuan pesisir di kota Makassar. Pertemuanku dengan mereka teramat singkat dan diliputi kesedihan yang menggigit. Waktu itu aku sedang melakukan riset tentang perempuan pencari kerang yang termarginalkan pasca reklamasi pantai. Area laut yang menjadi lahan pencaharian mereka diprivatisasi. Hal itu tidak saja mempengaruhi keadaan ekonomi mereka, tetapi juga jiwa mereka. Mereka terpisah dengan kekasihnya, sang laut yang setia memberi. 

Aku datang ke rumah Ibu Ani, salah satu perempuan pencari kerang dengan niat untuk mewawancarainya sebagai salah satu informan. Sejak reklamasi, ia dan teman-temannya tidak bisa leluasa lagi mencari kerang. Untuk mencukupi kebutuhannya, mereka juga harus membeli ulang dari penjual lain di pasar lelang ikan. Itu berarti modalnya harus banyak dan keuntungannya menjadi berkurang dibandingkan ketika dulu mengandalkan laut. 

Rumah Bu Ani sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan beratap seng. Rumahnya berlantai tanah. Jangan mimpi melihat tegel keramik atau marmer. Rumah-rumah khas pesisir memang dibuat seperti itu untuk gampang bertahan dari air dan arah angin. Mungkin juga supaya mudah dibongkar. Disitulah, Ibu Ani tinggal bersama suami dan 8 anaknya. 

Seusai wawancara, Ibu Ani mengambil seember besar penuh berisi kerang sebagai oleh-oleh bagi saya. Saya menolak menerimanya. Pertama, rasanya ada yang tak benar secara etika. Kedua, saya juga tidak memberinya apa-apa jika itu mau dianggap sebagai relasi transaksional. Bukannya sombong atau tidak berterima kasih, tapi saya tahu kerang-kerang itu adalah harta paling berharga Bu Ani. Kerang-kerang itu bisa menambah napas Bu Ani sekeluarga hingga beberapa hari ke depan.  Kerang-kerang itu akan lebih berarti buat Bu Ani daripada buat saya, lebih-lebih karena saya sendiri tidak doyan makan kerang. Namun, Bu Ani tetap bersikeras untuk memberi kerang-kerang itu. Ia bilang ia akan merasa sangat sedih jika saya menolaknya. 

Akhirnya, saya pulang ke rumah dengan membawa seeember penuh kerang yang entah akan dibuat apa. Di rumah, hanya Mami yang makan kerang dan lama-lama dia takut darah tinggi karena makan kerang tiap hari. Akhirnya, Mami mengolah sisa kerang-kerang itu menjadi kerang rica-rica dan membawa ke kantornya. Pulang dari kantor, Mami melaporkan kalau kerang-kerang itu habis dimakan orang-orang dan semuanya senang. Kerang-kerang itu menjadi berkat. 

Sudah beberapa tahun berlalu sejak kejadian itu. Riset itu sendiri sudah dipublikasikan di buku Ekofeminisme IV. Namunyang akhir-akhir ini membuatku teringat peristiwa itu adalah bahwa dalam keterbatasannya, seseorang masih mau memberi. Ia tidak hanya sekedar memberi. Ia memberi sesuatu yang paling berharga dari miliknya untuk orang lain. Ia memberi miliknya yang paling berharga untuk orang asing yang mungkin belum tentu akan kembali menjenguknya. Sebegitu dalamnya ia menghargai orang asing yang mau mendengarkan cerita sedihnya. Dan meskipun orang asing itu sudah lama pergi dari hadapannya dan mungkin Bu Ani sudah lupa juga pada wajahnya, suatu simpul kenangan yang indah tetap mengikat mereka. Suatu pelajaran penting: orang tulus memberi bukan karena mampu, orang tulus memberi karena mengasihi. Seperti tulisan-tulisan itu, yang aku berikan untukmu karena itulah yang terbaik yang aku miliki. 

*** 

Aku menceritakan kisah kerang Bu Ani pada Juni dan Juni membalasnya dengan menceritakan kisah sebelum Yesus naik ke surga. Dalam kisah itu, Yesus meminta makanan pada murid-muridnya dan mereka memberinya sepotong ikan goreng (Lukas 24 : 36 - 49). “Bayangkan, mereka hanya memberinya sepotong ikan goreng”, tak habis Juni menalarnya. Ya, kadang memang kita hanya mampu memberi dalam spontanitas dan kemampuan kita pada momen itu. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan selalu menerima apapun yang kita persembahkan untuknya. 

Itulah pertanyaanku sejak semula. Apa yang bisa kuberikan bagiMu, wahai Engkau yang memiliki segalanya? Dapatkah kita seperti anak kecil dalam lagu Natal “Little Drummer Boy”?. Anak kecil yang mempersembahkan permainan drumnya untuk bayi Yesus. Ia memainkan drum yang terbaik untuk sang Raja. Itulah yang berharga dan yang sanggup ia berikan. 

Sebelum Yesus naik ke surga ia mengucapkan bahwa Ia akan menyertai kita selamanya. Tidak pernah perjalanan ini dijanjikan ringan atau tanpa rintangan. Tapi, Ia selalu beserta kita. Itu janjiNya. Maka, ketika aku menangis, aku harus mengingat bahwa aku sedang menangis bersamaNya. Jika aku tertawa, maka aku pun sedang tertawa denganNya. Hari ini adalah hari KenaikanNya. Ia pergi. Tapi, Ia akan kembali lagi. Seperti lagu yang diciptakan Minggus Tahitoe dan dinyanyikan kembali oleh putranya, Ello, “Aku pergi takkan lama. Hanya sekejap saja ku akan kembali lagi, asalkan engkau tetap menanti…”

Setialah. Berjaga-jagalah. 

Aku dan Tuhan

Dan Gunungnya Tidak Pindah

Senin, November 18, 2019

Perempuan yang kusayangi ini tidak pernah banyak bicara. Tetapi, ia selalu hadir menemani. Ia bukan hanya sekedar Tante, ia adalah ibu sambungku. Berbeda dengan Mami yang ceria dan ekspresif, Mami Ice memiliki pembawaan yang kalem dan tenang. Ia tidak akan bercerita kalau tidak ditanya. Kata Mama Ani, kakak Mami Ice, sejak kecil Mami Ice anaknya sabar. Kalau Mami masih bisa fleksibel dan berkompromi untuk hal-hal tertentu, Mami Ice kebalikannya, ia sangat strict dan tegas.

Dunia pelayananku dibentuk di rumah Mami Ice. Bersama Papi Nes, suaminya, dan empat orang putri mereka yang kupanggil Kak Jeane, Kak Yola, Kak Is, dan Kak Ita, aku dan Mami menemukan keluarga. Waktu kecil aku suka dibawa mengikuti mereka pelayanan. Banyak keadaan suka-duka yang dialami dan dihadapi bersama. Ada hubungan yang dibentuk oleh manusia, tetapi ada hubungan yang dibentuk oleh Tuhan. Keluarga kami yang saling mengangkat saudara ini termasuk hubungan yang kedua. Bersama-sama kami tak pernah merasa sendirian. Ketika Papi Nes pergi duluan, Mami menemani Mami Ice. Kemana-mana pergi berpelayanan berdua. 

4 Juni 2018, Mami mengirimkan foto-foto kegiatan mereka di Toraja. Ada satu foto yang menarik perhatianku. Foto Mami dan Mami Ice berdua dengan latar belakang patung Yesus memberkati di Burake. Tak ada firasat apa-apa. 3 Juli 2018 pukul 5.30 WIB, Daddy menelpon dengan suara panik nyaris menangis. Mami tidak sadarkan diri. Aku bingung tetapi mencoba tenang. Mami bukannya baik-baik saja? Daddy memintaku menelpon Mami Ice dan Mami Ely, adiknya Mami Ice. Mereka bertiga adalah “kakak-kakak perempuan” Mami. Mami Ice segera ke rumah. Mami Ice dan Daddy mengambil keputusan membawa Mami ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Aku menelpon Om, kakak kandung Mami satu-satunya. Ia hanya berkata akan datang ke rumah sakit. Tapi sampai Mami pergi, ia tak kunjung datang. 

Malam terakhir sebelum Mami dimakamkan, terjadi ribut-ribut besar. Oma dan Om “menyerang” Daddy di depan umum. Aku segera memeluk Daddy dan menahannya supaya tidak roboh. Ia tidak tidur 3 hari. Fisik dan psikisnya lemah. Oma dan Om ditenangkan oleh seorang sepupu Mami dengan menggunakan bahasa Tana. Tak ada orang Maluku lagi yang berbicara bahasa Tana. Itu adalah bahasa asli Maluku dan dilakukan untuk berkomunikasi dengan leluhur. Ada apa ini? Setelah menenangkan Daddy, aku berlari menghampiri Mami Ice dan memeluknya. Ia tak berkata-kata selain balas memelukku. Aku menangis sesegukan. Ada semacam beban yang diberikan ke pundakku saat itu. Beban yang tak aku mengerti. Di depan jenazah Mami aku berbicara dalam hati. “Mami, salib apa yang kau wariskan padaku?”. 

Dua minggu setelah Mami dikubur, terjadi peristiwa besar yang mengubah hidup kami sekali lagi. Aku dan Daddy ditemani Mami Ice dan Mami Ely, serta Papi Toni, suami Mami Ely. Kami saling mendoakan dan menguatkan. Satu keluarga sedarah terputus, tetapi satu keluarga tak sedarah menjadi pengganti. Sejak Mami tidak ada, Mami Ice dan Mami Ely praktis menjadi Ibu pengganti. Mereka bergantian menanyakan kabarku. Melibatkanku dalam dunia pelayanan mereka. Kadang-kadang aku merasa seperti menjadi “pengganti” Mami bagi mereka. Tapi, di sisi lain aku menyadari bahwa mereka tak ingin memutuskan tali persaudaraan dengan keluarga kami. 

Tahun 2019, menjadi tahun yang baru dan ganjil bagi kami. Kami menyadari kami benar-benar kehilangan satu orang yang menjadi pengait di antara kami. Seringkali Mami Ice dan Mami Ely mengajakku bercerita seperti yang mereka selalu lakukan dengan Mami. Aku entah mengapa merasa terobligasi untuk menjadi pihak yang menggantikan Mami. Mereka bercerita banyak hal tentang hidup dan pelayanan mereka. 

September 2019, aku sudah mulai jarang mendapatkan WA dari Mami Ice. Ini aneh. Biasanya hampir tiap minggu ia mengirimkan ucapan selamat dan bertukar kabar. Aku mengirim WA ke Mami Ice, tetapi tak ada balasan. Tante Oce yang kujumpai di gereja kemudian memberi tahu kalau Mami Ice masuk rumah sakit. Katanya sesak napas. Kutanyakan keadaan Mami Ice pada Kak Jean dan Kak Yola. Katanya, Mami Ice akan melakukan operasi kecil. Ada air di paru-parunya yang harus dikeluarkan. Sebelum melakukan operasi, aku melakukan video call dengan Mami Ice. Di seberang sana, ia menatapku dan tersenyum. Ada yang ganjil dengan caranya menatapku. Tatapan matanya adalah tatapan mata sayang. Tetapi, ia seperti “melihat” Mami. Tatapan itu seperti mengucapkan perpisahan. Ia lebih banyak diam. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa. Tiga hari kemudian, Mami Ely tiba di Jogja dan memintaku menemaninya ke Semarang. Dalam perjalanan itulah, Mami Ely memberi tahu kalau Mami Ice didiagnosis oleh dokter mengidap kanker paru-paru stadium 4. Aku lemas. Aku ingin marah tetapi tidak bisa. Aku ingin tertawa satir, tetapi ini sama sekali tidak lucu. Aku merasakan kehampaan. Aku teringat foto Mami dan Mami Ice di Burake. 

Kutelpon Daddy mengabarkan keadaan Mami Ice. Daddy-lah yang kemudian melaporkan kondisi Mami Ice dengan mengunjunginya di rumah sakit, mengirim foto-foto dan video. Iman dapat menghadapi, tetapi psikis tidak. Di tengah-tengah duka itu dan drama kantor yang semakin kacau, aku kehilangan suaraku sampai tiga minggu. Bagaimana aku bisa mengajar dengan suara nyaris berbisik? Aku tidak bisa sering-sering video call dengan Mami Ice karena kemoterapi yang ia jalani dan suaraku yang habis. Ketika suaraku sudah kembali muncul, aku langsung video call dengannya. Disitu aku mengatakan aku mencintainya dan merindukannya. Aku memohon maaf tidak bisa pulang karena masa calon pegawai tidak membolehkan aku untuk mengambil cuti. Mami Ice bilang tidak apa-apa, ia mengerti aku baru saja memulai perjalananku meniti karir di dunia pendidikan. 

Seminggu setelah itu, Mami Ely mengabari kalau kondisi Mami Ice kritis. Kemoterapi tidak membawa perubahan apa-apa. Subuh itu, dokter bahkan mengatakan ia tak akan bisa melewati sampai malam. 30 Oktober 2019, aku berdoa meminta kemurahan Tuhan. Tidak ada yang mustahil baginya, tetapi biarlah kehendakNya yang jadi. Aku sudah pasrah. Aku mendoakan anak-anak dan saudara-saudara Mami Ice. Rasanya kejadian di pagi hari ketika Mami juga akan pergi terulang lagi. Dalam perjalanan ke kampus, aku memutar lagu kesukaan Mami Ice yang berjudul Never, Never, Never dari Shirley Bassey. Aku berkata dalam hati, “Kalau Mami Ice mau pergi, Meike ikhlas”. Sehabis berkata demikian, WA dari Mami Ely masuk. Mami Ice sudah pergi. Suara Shirley Bassey melengking seiring airmataku yang turun membasahi pipi. “Imposible to live with you, but I know I could never live without you..."

Dalam perjalanan menuju bandara, aku menziarahi makam Mami. Sudah setahun lebih dan banyak hal telah terjadi. Tak jauh dari makam Mami, terdapat makam Papi Nes dan Mami Ice. Ya, Mami Ice dan Papi Nes dimakamkan dalam satu liang lahat. Mereka berdekatan. Mereka semua dimakamkan di baris terdepan. Para punggawa gereja yang tak mau duduk di belakang ini sama-sama mendapatkan tempat peristirahatan terbaik di kota kami. Aku meninggalkan Makassar dengan dada yang terasa sakit. Rasanya seperti ditusuk pedang di tempat yang sama untuk kedua kali. Kehilangan tetap kehilangan. Dua ibu dalam kematian yang beruntun. Aku mengimani mereka kini sudah berbahagia di sana. Penderitaan mereka sudah berakhir. Kini mereka sudah berkumpul dan bernyanyi memuji Tuhan tak henti. Tinggal aku berdua dengan Mami Ely. Dengan bahasa kami yang sederhana, kami saling memaknai kepergian orang-orang yang kami cintai. Kami merasakan trauma yang hebat, tetapi kami tetap percaya. Tuhan selalu hadir dan menari bersama kami di dalam badai. 

Catatan: berjarak dari peristiwa itu, dengan psikosomatik yang kuderita dan keenggananku "melapor" tiap minggu padaNya, aku mulai menyadari bahwa peristiwa ini bukan tentang aku. Ini bukan tentang aku yang menggugat dan berteriak,”Kenapa diambil lagi?”. Ini adalah tentang Mami Ice yang memang harus pergi dengan cara demikian. Ia masih diberi kesempatan untuk mengetahui bahwa orang-orang di sekelilingnya sangat mencintainya. Sebagian penderita kanker menerima mujizat Tuhan seperti gunung yang berhasil dipindahkan. Namun, dalam kasus Mami Ice, ia tetap percaya sekalipun gunungnya tidak pindah. Itupun juga adalah sebuah mujizat.

Aku dan Tuhan

Tuhan Lama vs Tuhan Baru

Kamis, Juni 20, 2019

Tetot : Kenapa ya kita tersingkir?
Memoy: Karena kita melawan Patriarki
Tetot: Iya, kita melawan Tuhan.
Memoy: Kenapa ya orang-orang setia pada Tuhan yang Lama?
Tetot: Tuhan yang mengizinkan pertumpahan darah demi kekuasaan. Tuhan yang melarang perempuan masuk ke tempat ibadah saat menstruasi. Tuhan yang mendukung poligami. Tuhan yang berpihak pada yang kuat daripada yang lemah. Tuhan yang meminta mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
Memoy: Padahal ada Tuhan yang baru. Ia penuh kasih. Tuhan ini mengangkat penderitaan perempuan yang sakit pendarahan selama 12 tahun. Tuhan yang mau menyentuh dan mengasihi orang-orang lepra. Tuhan yang mau bergaul dengan pendosa. Tuhan yang mau mengenal dan mendengarkan kisah dari seorang perempuan yang sudah memiliki 7 suami. Tuhan yang mengajarkan orang-orang setia pada pasangannya. Tuhan yang menyuruh kita memberikan pipi kanan ketika pipi kiri ditampar orang. 
Tetot: Iya ya? Mengapa kita setia pada kekerasan daripada pada cinta? 

Aku dan Tuhan

Antua

Sabtu, Juni 08, 2019

“Anyway, I’m not good at prayer, but before you think I was a little rough on God, there’s another thing you need to know about my people. Our relationship with God was different from other people and their Gods. Sure there was fear and sacrifice and all, but essentially, we didn’t go to Him, He came to us. He told us we were the chosen. He told us He would help us to multiply to the ends of the earth. He told us He would give us a land of milk and honey. We didn’t go to Him. We didn’t ask. And since He came to us, we figure we can hold Him responsible for what He does and what happens to us. For it is written that “he who can walk away, controls the deal.” And if there’s anything you learn from reading the Bible, it’s that my people walked away a lot. 

You couldn’t turn around that we weren’t off in Babylon worshiping false gods, building false altars, or sleeping with unsuitable women (although the latter may be more of a guy thing than a Jewish thing.) And God pretty much didn’t mind throwing us into slavery or simply massacring us when we did that. We have that kind of relationship with God. We’re family.

Excerpt From: Christopher Moore. “Lamb, the Gospel According to Biff, Christ's Childhood Pal.” 

Note: "Antua" berarti beliau dalam bahasa Melayu Ambon.

Aku dan Tuhan

Percaya

Selasa, Mei 28, 2019

Apa itu percaya? Bagaimana sikap orang yang percaya?

Dua pertanyaan ini menganggu saya akhir-akhir ini. Sebagai orang yang perfeksionis, saya berdiri di atas keyakinan pada diri saya sendiri untuk mencapai tujuan hidup yang saya tetapkan. Saya terlatih dengan sadar untuk menyusun rencana dan langkah-langkah untuk masa depan saya. Saya tahu apa yang saya inginkan. Saya tahu kapasitas dan batas-batas yang saya terapkan dalam diri saya. Orang-orang bilang saya terlalu keras, tetapi bagi saya itu adalah prinsip. Apa lagi yang bisa dibanggakan dari ini selain nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu?

Namun, bagaimana jika dalam perjalanan menggapai tujuan tersebut, saya mengalami putaran haluan yang mengacaukan rencana dan cita-cita saya. Bagaimana bisa? seseorang yang tahu pasti dan sedang berjalan menuju jalur yang sudah seharusnya justru mendapatkan hasil yang 180 derajat berkebalikan dengan yang diharapkan. Untuk pertama kalinya, saya merasa tak berdaya. Saya sangat marah. Saya berusaha bangkit dan mencoba. Tetapi, saya jatuh dan gagal. Untuk pertama kalinya saya mempertanyakan keputusan Tuhan. Ada keengganan untuk percaya lagi.  

Hal ini menciptakan sejenis keraguan pada Tuhan. Saya diam-diam menyimpan rasa sangsi apakah misalnya jodoh yang Tuhan kasih (kalau Dia mau kasih) akan cocok dengan saya. Apakah saya akan menyukai pilihan-pilihan Tuhan dalam hidup saya? atau Seseorang yang Tuhan pilihkan untuk saya? Lalu, sampai sejauh mana saya bisa mengendalikan hidup saya? Kapan saya bisa membedakan tuntunan Tuhan dan ego saya? Ketika saya masuk gereja minggu ini, saya mendapat jawaban. Sebuah tamparan telak atau mungkin pengingat: "Damai sejahtera Kuberikan kepadamu dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang dunia ini berikan kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu!"

Saya menangis. 
Mengapa harus saya? Mengapa saya harus hidup untuk tidak sama dengan dunia ini? Mengapa tempat yang Kau pilihkan terlalu penuh dengan kesedihan dan kebencian? Mengapa harus aku yang menggarami air yang tawar?

Tuhan, ajarilah aku untuk percaya. Percaya pada apa yang kau berikan.


Aku dan Tuhan

Kapel

Rabu, April 03, 2019

Akhir-akhir ini saya suka bergereja di kapel RS Panti Rapih. Thanks to Lioni yang memperkenalkan saya dengan tempat itu. Misa dilaksanakan dengan tata cara Katolik dan berbahasa Inggris. Jadi, bisa lah sedikit-sedikit latihan merasakan misa kalau suatu saat melanjutkan sekolah ke negeri seberang. Tapi yang lebih istimewa lagi karena misa-nya diadakan di rumah sakit. Tempat itu selalu menakutkan bagi saya. Disitulah kehidupan dan kematian bertemu. Setiap jam ada saja yang pergi mendahului kita. Setiap jam ada juga yang terlahir ke dunia. Di tengah-tengah paradoks itu ada doa yang dipanjatkan sebagai jembatan antara yang hidup dan yang mati.

Biasanya saya datang misa yang dihelat pada sore hari. Di setiap misa itupula selalu bertepatan dengan hujan. Suasana rumah sakit yang sendu dan langit mendung yang gelap merupakan kombinasi munculnya rasa sesak yang ganjil. Kau tahu ketika kau menangis tapi tidak bisa, kau ingin marah tapi tidak bisa melampiaskan. Kau hanya bisa diam dan merenung. Kadang-kadang berkeluh kesah. Tapi lebih sering kau ingin teriak. Meskipun lagi-lagi tidak bisa. 

Kau tidak bisa marah pada persona yang kau cintai. Kau gemas. Tapi juga rindu pada-Nya. 




Peringatan 9 Bulan Mami Pergi
14 hari menjelang Pemilu
18 hari menjelang Paskah

Aku dan Tuhan

Ia Telah Menyelesaikan Pertandingannya Dengan Baik

Minggu, September 09, 2018



photo by Johann Siemens (https://unsplash.com/search/photos/tree)


Hari itu akhirnya datang juga. Hari yang paling kutakutkan seumur hidup. Yang pernah kubayangkan akan kuhadapi dengan suami dan anak-anakku kelak. Tetapi kenyataannya, aku menghadapinya bersama Daddy berdua. Kami sedang berjalan dalam badai, tetapi Tuhan berjalan bersama kami. Ia menguatkan langkah kami untuk saling menguatkan dan mendampingi. Ia tidak pernah membiarkan kami berjalan sendirian. Ia selalu mengirimkan orang-orang yang menolong kami seperti dahulu Simon dari Kirene menolong-Nya memikul salib. 

Ya, hari itu tiba tanpa semarak. Ia datang dengan tanda-tanda yang baru bisa kucerna setelah semuanya terjadi. Mami telah pergi. Ia tak bisa dijangkau secara fisik lagi. Tetapi jika kau peka saja sedikit. Ketika kau melihat dengan mata rohanimu, Mami tidak pergi kemana-mana. Ia tetap mengiringi. Ia tetap mendoakanmu. Ia bersamamu meski tak terjangkau oleh nafas dan denyut jantung. Mami ada dimana-mana. Tidak terasa perbedaannya. Ia seolah tidak pernah mati. Ia mendapat kehidupan kekal seperti yang dijanjikan Tuhan pada kita. Hanyalah tirai yang membatasi kita untuk bersentuhan dengannya secara fisik. Tetapi dia lebih hidup daripada sebelumnya. Bagaimana mungkin aku bersedih jika aku tahu bahwa Ibuku berbahagia disana?

Mamiku telah memberikan teladan sepanjang hidupnya. Seorang perempuan yang tetap setia dan bersandar pada Tuhan. Ia adalah ibu dan seorang sahabat. Mami telah menyelesaikan pertandingannya dengan baik. Ia telah sampai di garis akhir. Dan ia tetap memelihara iman. Ia adalah bukti nyata bagaimana orang yang hidup di dalam Kristus dan mati di dalam Kristus. Ia mati dalam keadaan siap. Ia meminta dipangil dalam keadaan siap. Ia taat sampai mati. Ia telah mempersiapkan segala sesuatu.

Mami menghembuskan nafas terakhir di pelukan Daddy, kekasihnya yang setia. Ia telah menikmati sisa hidupnya. Ia dikelilingi oleh orang-orang banyak yang mencintainya. Ia telah berpamitan dengan orang-orang. Ia mempersiapkan orang-orang yang dicintainya untuk menerima kepergiannya. Ia bahkan telah menyiapkan kostum yang ia akan pakai untuk bertemu dengan Tuhan. Semasa hidup, Mami paling membenci ketidakadilan, segregasi, dan penindasan. Ia terlahir sebagai putri Maluku Tengah dengan campuran Belanda yang jasadnya dibungkus kain tenun Maluku Tenggara. Ia konsisten memperjuangkan hal-hal itu bahkan sampai mati. Mami pergi pada jam yang sama dengan Yesus. Ia dikuburkan pada hari Jumat Pertama. Dalam tradisi Gereja Katolik, hanya orang-orang terberkati yang mengalami hal itu. Peringatan 40 Hari kepergian Mami bertepatan dengan perayaan Bunda Maria diangkat ke surga dan ulang tahun Daddy.

Mami menyimpan segala perkara di dalam hatinya. Ia yang selalu berkata “jadilah kehendak-Mu”. Mami memberikan contoh yang luar biasa untuk tidak perlu takut menjalani hidup. Ia memilih mengejar harta rohani daripada mengumpulkan harta duniawi. Ia dan Daddy yang mewariskan kepadaku keinginan untuk mengejar pengetahuan. Harta benda bisa lenyap, tetapi pengetahuan tidak akan berlalu.

Mami tidak punya apa-apa selain selalu memberikan hati dan kehadirannya untuk orang lain. Saat ia pergi, berbagai macam orang dari latar belakang suku, agama, kelas sosial, dan ideologi datang memberikan penghormatan terakhir. Orang-orang menangis tidak saja karena kehilangan, tetapi tangis itu juga bermakna harapan. Mami mendapat tempat terdepan di pemakaman umum di kota kami. Semasa hidup Mami tidak suka duduk di belakang, tidak dalam gereja tidak dalam acara-acara apapun. Ia mengajarkanku untuk percaya diri dan berani. Mami selalu percaya Tuhan akan menyiapkan semuanya. Dan memang benar. Tuhan kemudian memberikan tempat peristirahatan yang terbaik untuknya. Mami bahkan membuka jalan bagi kami.

Ada sebuah rahasia yang Mami simpan dalam hatinya. Rahasia besar yang kini sedang kami hadapi. Aku memegang tangan Daddy erat-erat. Mendampinginya dan menguatkannya seperti dulu Mami melakukannya. Mami adalah seorang pendoa, makanya jiwanya akan selalu mendoakan siapa saja. Terngiang kembali suara Mami di telepon sebelum ia pergi menghadap Kekasihnya beberapa waktu yang lalu, “Tuhan, selamatkan anakku….”

Selamat jalan Mami. Sampai bertemu kembali.

08 September, pada hari peringatan ulang tahun perkawinan orang tuaku yang ke-28 tahun.

Aku dan Tuhan

Gedono

Senin, Juli 17, 2017

*Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, Salatiga (foto: Meike)



Di tempat ini, keheningan adalah sahabat yang dicari. Alam menjadi ruang pertemuan antara yang fana dan yang Ilahi. Sekilas terasa tembok-temboknya mengingatkanmu pada suasana pedesaan di Eropa, namun bangunannya menghidupkan keasrian tanah Jawa dan Sumatra. Romo Mangun, sang arsitek (meskipun tak sampai selesai), adalah lelaki yang romantis. Ia merancang suatu tempat bersemayam bagi para perempuan pemuja misteri Kristus.

Para perempuan itu mengabdikan hidupnya dengan kaul dan ketaatan. Dalam kesederhanaan, mereka menyambut tubuh Kekasihnya dengan doa dan wajah berseri. Seumur hidupnya, mereka memuja Tuhan tujuh kali dalam sehari, mendoakan dunia. Bibir mereka tak hentinya mendaraskan Mazmur. Tangan-tangan mereka tak henti bekerja: menanam sayur-buah, membuat kefir dan butter, juga membersihkan segalanya. 

Hari itu tak banyak orang. Hanya kami dan seorang ibu paruh baya yang datang mencari sang Hening. Seorang perempuan yang cemas hati dan tak kuat dengan kejamnya waktu. Seorang perempuan yang menanti jawaban. Seorang perempuan dengan harapan yang tak muluk. Para lelaki dengan pikirannya masing-masing: pada panggilan atau realita. Masing-masing asyik dengan pergumulannya.

Kala malam, bulan purnama menggantung di langit. Seperti tahu bahwa kami membutuhkan teman. Mungkin juga pertanda akan adanya harapan. Di kala terang, matahari memberikan lukisan indah kompleks pertapaan dengan Gunung Merbabu sebagai latarnya. Siapakah lagi gerangan Sang Seniman itu?

***

Disinilah aku, dengan segala gelisahku, menangis tersedu-sedu.




Gedono, 7-9 Juli 2017

Aku dan Tuhan

Tenebrae

Senin, April 17, 2017




Jalan setapak menuju kapel itu dipenuhi taburan bunga. Di setiap siku kelokan, terdapat satu lilin yang apinya menari pelan ditiup angin magrib. Hening. Saya memeluk lengan June dengan erat. Suasana kedukaan mulai terasa. Ada rasa ganjil, namun bukan ketakutan. Ganjil ini menghadirkan kesedihan yang pasti. Pintu kapel terbuka lebar. Bau harum bunga dan dupa mulai tercium. Bebauan yang mengingatkan saya pada bau pemakaman Panaikang di Makassar. Saya dan June tercekat, memandang takjub sekaligus sedih akan pemandangan di depan kami. Di hadapan salib dan altar, terletak tiruan peti mati yang terbuat dari styrofoam. Peti itu ditutupi kain tile dan di atasnya ditaburi bunga. Di depan peti itu diletakkan potret Yesus. Ritual ini lazimnya dilakukan pada orang Kristen yang meninggal dunia. Selain itu, ada 8 lilin yang diletakkan di atas altar dengan rangkaian membentuk segitiga. Lilin-lilin itu belum dinyalakan. 

Kodong, Tuhanku… (Kodong, anak-Ku...

***

Sebelum memasuki kapel, kami membungkuk dalam, menghormati dan menyembah Ia yang bersemayam disana. Patung-patung di dalam kapel dibungkus kain ungu, tanda perkabungan. Kami duduk lesehan di depan altar, sangat dekat hingga bisa melihat raut wajah Yesus yang lembut. Ini pengalaman pertama bagi saya dan June. Kami datang dari tradisi yang sama sekali berbeda. Ironis memang, karena praktik ini sudah dilakukan gereja-gereja dan biara-biara kuno. Para frater mulai masuk melakukan persiapan. Ada yang menyiapkan nyanyian dan dibantu para pemuda dari OMK (Orang Muda Katolik). Sebagian lagi mempersiapkan teknis peribadatan. Umat mulai berdatangan: para romo, frater, suster-suster, dan umat awam. Kapel kecil itu mulai terisi penuh. Kedelapan lilin mulai dinyalakan. Ibadah dimulai. Kami mulai menyanyikan lagu-lagu dari Gita Taizé. 

Tinggalah bersama Aku di dalam doa (aku disini, Tuhan)

***

Tujuh sabda Yesus di kayu salib mulai dibacakan satu-persatu. Setiap selesai pembacaan satu sabda dan renungan, maka satu lilin akan dimatikan. Begitu seterusnya hingga tersisa lilin yang berada tengah. Lilin yang paling besar dari semua lilin disana. Lampu-lampu kapel juga perlahan-lahan dimatikan. Nyanyian Taizé yang bersifat meditatif mendukung suasana itu. Namun bukan berarti nyanyian petang itu selalu bersifat religi. Seorang solois menyanyikan lagu Let It Be dari The Beatles untuk merespon pembacaan dan renungan sabda ketiga. Sabda ketiga adalah ketika Yesus melihat ibu-Nya dari atas kayu salib dengan percakapan yang terkenal dengan kalimat "Ibu inilah anakmu" itu. Saya selalu mengenal Let It Be sebagai lagu sekuler yang humanis. Oh, tidak. Malam itu, lagu ini bercerita tentang Maria. Penderitaan Kristus adalah penderitaan Maria juga. Sang Bunda telah mengetahui segalanya. Ia tahu bahwa jiwanya akan tertusuk sebilah pedang seperti perkataan Simeon. Namun, perempuan ini berkata "Terjadilah...let it be..". Perkataan yang diikuti Yesus di depan sengsara-Nya, "Jadilah kehendak-Mu...". Penyerahan total Maria dan kekuatannya mendampingi putranya hingga mati di kayu salib telah menggetarkan dunia.

Terkadang dalam hidup kita tidak bisa lagi mengubah sesuatu atau keadaan. Ada kalanya, jalan terbaik adalah berserah. Penyerahan bukan kekalahan. Penyerahan adalah mengakui bahwa kita memiliki keterbatasan. Paul McCartney menciptakan dan menyanyikan lagu ini dalam kesedihan, kebimbangan, dan kesulitannya di masa-masa berakhirnya The Beatles. Ia bermimpi ibunya yang telah meninggal mendatanginya dan berkata, "It will be alright, just let it be...". Ketika Maria berkata "Jadilah kehendak-Mu", ia sudah tahu dan bersedia menjalani sukacita dan penderitaan secara bersamaan. Ia menyimpan perkara di dalam hatinya. 

When I find myself in times of trouble Mother Mary comes to me 
Speaking words of wisdom, let it be

***


Pembacaan sabda ketujuh telah selesai. Lilin ketujuh telah dimatikan. Lampu di ruangan kapel telah dimatikan semuanya. Satu-satunya cahaya adalah dari lilin yang kedelapan. Itulah simbol Yesus sang Terang dan Ketenangan Dunia. Romo mengambil lilin itu dan mengaraknya ke kanan, ke kiri (sakristi), ke tengah, dan pada akhirnya menjauhi altar (keluar kapel). Semakin cahaya lilin itu menjauhi altar, maka umat membuat suara gaduh: memukul bangku, bertepuk tangan, berteriak, atau apa saja yang menciptakan keributan. Situasi ini menyimbolkan keadaan dunia yang kacau ketika ditinggalkan Yesus. Dunia telah kehilangan harapan. Lalu kegelapan memenuhi dunia. Itulah Tenebrae.

***

Setelah mengambil saat teduh, kami keluar dari kapel. Orang-orang saling bersalaman. Layaknya perkabungan tak ada yang bersuara keras. Berjalan pun pelan-pelan. Saya dan June masih shock. Liturgi adalah perjalanan  kehidupan: kelahiran, masa bertumbuh, hingga kematian. Selama ini kami menjalani "liturgi" yang monoton. Ibadah Jumat Agung terasa sama saja dengan ibadah minggu biasanya. Ada kerinduan untuk memerlukan distingsi. Ketika kami akhirnya bertemu dengan salah satu tradisi purba Gereja, kami menyadari betapa mahalnya harga Reformasi Gereja. Betapa logos telah menjauhkan kami dari tradisi Gereja mula-mula. Reformasi telah membebaskan kami dari kekuasaan Gereja yang lalim, tetapi juga sekaligus mencabut kami dari akarnya. Umat hasil reformasi Gereja terdisartikulasi dari pengalaman purba koinonia-nya. Hari ini, tradisi seperti itu bisa saja dianggap "sesat" atau "menyimpang". Padahal disimilaritas seperti ini membuka ruang bagi ekspresi iman. 

Seperti Maria, para perempuan, para murid, dan Yusuf dari Arimatea yang menguburkan Yesus, kami pulang dari "pemakaman Tuhan" dengan tanda tanya di hati masing-masing.  

Apa yang telah terjadi pada Gereja hari ini?






P.S: Terima kasih untuk Celine, Tika, dan para frater yang mengundang kami untuk mengikuti Tenebrae (Kegelapan) di Skolastikat SCJ (Sacerdotum a Sacro Corde Jesu/Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus). Ibadah Tenebrae merupakan gabungan ibadah pagi dan ibadah sabda. Biasanya digabung dengan sabda-sabda dari Mazmur, Deutrokanonika, dan Perjanjian Baru. Paus menyerukan agar umat melakukan ibadah ini pada pekan suci terutama pada Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci. Tenebrae biasanya dilakukan pada jam 3 subuh, tetapi ibadah yang kami lakukan kemarin diadakan jam 7 Malam 

Kodong = Kasihan (dengan prihatin); bahasa Makassar.

Frase "terjadilah" diambil dari kalimat Maria yang ketika itu didatangi Malaikat Gabriel dalam pewartaannya tentang kelahiran Kristus, "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lukas 1:38).

Aku dan Tuhan

Natal Tahun Ini

Selasa, Desember 27, 2016

sumber: tumblr



Sudah dua hari berlalu sejak Natal dan saya masih mendapat ucapan selamat dan mengucapkan selamat dalam suasana kasih dan persaudaraan. Dari semua ucapan-ucapan itu, ada beberapa kawan yang menanyakan kado Natal apa yang telah saya terima. Saya sudah lama tak menerima kado dalam bentuk fisik. Pertukaran kado merupakan tradisi, sementara keluarga saya tak ikut tradisi itu. Cara keluarga saya memaknai Natal telah mendidik saya bahwa bisa merayakan Natal bersama dengan keadaan yang baik adanya adalah kado yang luar biasa dan itu jauh lebih bermakna daripada apapun. Tahun ini, salah satu Oma saya berpulang padahal biasanya setiap Natal kami akan sowan ke rumah beliau. Kami gembira menyambut Natal, tapi kami juga diliputi rasa sendu.

Pertanyaan tentang kado itu membuat saya berpikir bahwa orang-orang telah mengidentikkan Natal dengan kado. Natal memang selalu dikonstruksi sebagai hari yang penuh sukacita. Ada banyak kemeriahan bahkan kemewahan yang lahir dari selebrasi ini. Tahun ini saya malah merasakan Christmas spirit justru hadir di Mal-Mal dibandingkan di dalam Gereja. Sejak masa Advent, Gereja terlihat murung. Ornamen keceriaan Natal tetap ada di gereja, tetapi seperti gadis cantik yang patah hati, ia bermuram durja. Berbagai peristiwa dan tekanan yang dialami Gereja (dari perbatasan Palestina-Israel, Suriah, Jerman, sampai Indonesia) menjadikan Gereja memaknai Natal dengan bijak. 

Tak ada yang salah sesungguhnya dengan sukacita dan semarak. Bagi yang mengimani, Natal adalah hari yang penuh kebahagiaan karena keselamatan telah nyata bagi kami. Seperti seorang tahanan yang bebas dari penjara, kami menyambut hari Natal dengan gegap gempita. Ada sukacita, ada damai, dan ada debar-debar. Namun, Natal tidak selalu tentang perayaan dan sukacita. Natal tidak selalu tentang kebahagiaan. June, sahabatku yang juga seorang teolog, pernah berkata bahwa keselamatan lahir bersamaan dengan penderitaan. Ada saudara kembar tak terpisahkan dan harus direnguk bersamaan untuk menyambutnya. Ia mengatakan itu dengan sedih. 

June juga yang pertama kali mengajakku merefleksikan kisah Kelahiran Mesias yang terjadi dua millennium yang lalu dengan cara yang berbeda. Kami berfokus pada konteks politik di masa itu. Kisah sedih yang bermula dari kedatangan tiga orang Majus. Para Majusi adalah orang-orang asing. Teks lain merujuk mereka sebagai raja dari negara-negara tetangga di luar Israel. Teks lain juga berbicara bahwa mereka adalah para mistikus yang mempercayai sihir dan mitologi. Kedatangan Pemimpin Baru yang merevolusi umat manusia telah diramalkan sejak ratusan tahun lalu, disimpan selama berabad-abad dan dibacakan setiap hari Sabat. 

Para Majusi melihat bintang-Nya. Bintang Timur, bintang di atas segala bintang. Bintang yang menandakan suatu peristiwa besar di dalam mitologi. Bintang itu menunjuk suatu tempat. Para Majusi pun bergegas kesana dengan membawa persembahan: emas, kemenyan, dan mur. Dalam perjalanannya itu, mereka bertanya-tanya dimana sang Raja yang baru saja dilahirkan itu. Orang-orang asing yang datang ini menggemparkan orang-orang lokal. Tak terkecuali penguasa disana, Raja Herodes, yang terkejut dan kemudian merasa terancam. Ia memanggil penasehat dan ahli-ahli Taurat yang mengonfirmasi ramalan purba tentang kedatangan Mesias. Tak puas, Herodes memanggil para Majusi, bertanya-tanya darimana mengetahui hal itu, sambil menitip pesan, “Kalau udah ketemu Anak itu, kabari gue ya…” 

Namun para Majus tak kembali menemui Herodes. Mereka (secara politik) melindungi Anak itu. Raja Herodes berang bukan main. Kemunculan pemimpin baru selalu menakutkan bagi pemimpin lama. Dititahkannya untuk menyingkirkan lawan politiknya itu. Tentu saja bukan dengan potongan video yang diposting di Youtube. Herodes menitahkan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang mengerikan. Ia dengan hati dingin melakukan operasi pembantaian anak-anak laki-laki berusia dua tahun ke bawah yang berada di seluruh daerah kekuasaannya. Apakah kau bisa membayangkan betapa paradoksnya sukacita Natal bila diiringi tangisan ribuan bayi yang tewas dan ribuan ibu yang meratapi kematian mereka? Ini sebuah turbulen. 

Walaupun dibayangi penderitaan dan kesedihan, sukacita Natal tetap terang benderang. Ia menjadi matahari dalam dingin dan gelapnya dunia. Pada hari itu, orang-orang diperkenankan untuk berharap sesuatu yang istimewa akan terjadi. Meskipun sesuatu itu sangat tak mungkin terjadi. Simbol Santa Claus menjadi bermakna karena kita boleh percaya pada kemustahilan, percaya pada keajaiban. Pada hari itu, anak akan bertemu dengan orang tuanya, kekasih akan bertemu dengan kekasihnya, dan sahabat yang telah lama tak berjumpa akan bertemu kembali. Tangis bayi mungil yang dibungkus lampin itu mengingatkan kita akan harapan. Tetapi, tangis ribuan bayi yang dibantai mengingatkan kita akan derita dan ketidakadilan. 

Mungkin begitulah cara Tuhan menyapa manusia. Meskipun kau telah melihat berbagai ketidakadilan. Meskipun penderitaan berat menekan hidupmu. Kau hanya perlu ingat satu hal: kau selalu punya Harapan.


Selamat Natal.

Aku dan Tuhan

Pada Bulan Purnama

Kamis, September 03, 2015

Bulan purnama telah tampak sekalipun langit masih terang. Senja bahkan tak mampu menutupi kecantikan Dewi Ratih. Dengan berkebaya ala Bali, saya berboncengan dengan Nirvanda menuju Pura. Sudah sejak lama saya ingin mengikuti upacara sembahyang umat Hindu. Apakah itu upacara rutin seperti upacara Purnama dan Tilem atau upacara khusus seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Sayang, selalu ada halangan. Keinginan itu berawal karena kesukaan saya membaca kisah Mahabharata sejak kecil, lalu berlanjut dengan membaca 1/10 Bhagavad Gita yang membuat saya berhenti makan anjing, dan dipicu peristiwa pada suatu sore. Saat itu saya berpapasan dengan Dayu dan Nirvanda yang sedang siap-siap berangkat menuju Pura. Mereka mengenakan kebaya Bali. Sebuah selendang berbentuk pita mengikat erat di pinggang mereka yang ramping. Saya terkesan. Mereka berdandan sedemikian indah untuk bertemu Sang Hyang Widhi. 

Mau kemana? 
Mau ke Pura, Mbak. 
Ohhh...ada upacara apa? 
Tilem, Mbak. 
Apa itu? 
Bulan Mati. Setelah Purnama, lalu bulan Tilem (mati). Lalu, kembali purnama lagi. 
Lalu secara spontan saya berseloroh, "Nanti kapan-kapan, saya boleh ikut sembahyang?."
Boleh Mbak. 

Dan “nanti” selalu berujung pada penundaan yang entah sampai kapan. Begitulah. Kesempatan itu terhalang sampai setahun berlalu. Akhirnya pada Sabtu lalu, genap sudah keinginan itu. Saya dan Nirvanda ke Pura untuk mengikuti upacara Purnama. Ia tampak terkejut ketika saya mengatakan ingin ikut dan bertanya mengapa. Saya jawab karena ingin tahu. Tetapi diam-diam saya meyakini bahwa Tuhan itu universal. Dia ada dimana-mana. Dalam segala agama. Dalam tradisi dan ritual manapun. Hanya masing-masing kita mengenali-Nya dengan nama yang berbeda. Nirvanda juga sepikiran. Maka berangkatlah kami bersama-sama mengenakan kebaya putih, kain endek Bali, dan selendang merah muda yang mencolok. Kain endek dan seledang yang saya kenakan adalah kain yang saya titip pada Nirvanda sewaktu dia pulang ke Bali setahun silam. Siapa sangka, saya malah memakai kain itu tepat ketika akan pergi ke pura bersama dia.


Berpakaian kebaya Bali setahun lalu. Kebaya yang sama saya pakai ketika pergi ke Pura bersama Nirvanda. Sayang, tak ada kesempatan untuk berfoto berdua. (foto: truly)



Pura Jagatnatha terletak agak jauh dari poros jalan Solo. Banguntapan nama daerahnya. Sebuah daerah yang tampaknya banyak dihuni oleh orang Bali. Hal ini terlihat dengan lumayan banyak rumah berarsitektur Bali lengkap dengan sanggah di depannya. Tak jauh dari Pura, kami melewati banyak tempat makan babi. Orang Bali memang pemakan daging babi sebab sapi adalah binatang suci dan tak boleh dimakan. 

Apa karena sapi adalah Nandi, kendaraan Btara Syiwa? 
Nirvanda mengangguk. Ya, selain itu sapi adalah lambang ibu. Sebab dari susunyalah mengalirkan kehidupan. 

Langit sudah gelap ketika saya dan Nirvanda sampai di Pura. Sudah banyak orang yang berada di Pura, entah yang mau pulang maupun yang baru datang. Orang-orang yang beribadah didominasi para pemuda dan pemudi. Sejauh mata memandang golongan orang tua tidak terlalu banyak. Saya berasumsi bahwa mungkin mereka sudah ke Pura pagi tadi atau memilih mengikuti upacara bersama pada jam 7 malam nanti. Sambil menunggui Nirvanda membeli canang untuk berdoa, tiba-tiba saya merasa terasing. Secara fisik, tak ada sedikitpun jejak Bali pada diri saya. Saya merasa kerdil di antara mereka semua. Saya tersadar bahwa identitas saya semakin nyata. Di situlah untuk pertama kali saya merasa terlihat lebih Flores-Ambon-Belanda dibanding sebelumnya. Identitas etnis itu mewariskan agama pada saya sama seperti Nirvanda dan lainnya yang mewarisi agama dari identitas etnisnya. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku yang memilih kamu. Saya lalu meminta satu canang pada Nirvanda. 

Mbak Meike mau berdoa? 
Ya. Saya mau ikut berdoa. 

Kami memasuki gerbang Pura. Alas kaki harus dilepas. Permukaan lapangan bersemen langsung menyambut telapak kaki kami. Di depan gerbang terdapat tempayan berisi air suci. Nirvanda memerciki dirinya dengan air suci. Ia menoleh pada saya dengan tatapan apakah-saya-mau-juga-diperciki, saya melangkah maju membiarkan kepala saya diperciki air suci. Air suci yang dipercikkan ke kepala itu mengingatkan saya pada momen ketika saya dibaptis dan pada tradisi gereja Katolik yang mengambil air suci sambil melakukan tanda salib sebelum masuk dan keluar gereja. Betapa sesungguhnya banyak ritual yang mengambil makna yang serupa. 

Kami lalu memasuki gerbang utama. Di meja panjang, Nirvanda mempersiapkan sesaji, canang, dan dupa. Dupa melambangkan unsur api yaitu sang Hyang Agni. Di atas canang itu, Nadia menaruh sekeping uang logam sebagai persembahan. Setelah selesai mempersiapkan semuanya, Nirvanda melangkah mendahului saya menuju tugu atau pelinggih yang ada di dalam pura. Seperti anak yang baru mengikuti upacara sembahyang dan mengikuti ibunya dengan takjub, begitulah saya mengikuti Nirvanda kemana-mana. Nirvanda juga lebih tinggi dan ramping dari saya, sehingga gambaran maternal itu kian terang.


Pelinggih dan Pedanda di Pura Narmada yang dibangun Raja Karanganyar, Gusti Ngurah, di Lombok, NTB (foto:meike)



Sebelum melangkah ke pelinggih, Nirvanda meyakinkan saya apakah saya ingin menghampiri satu-per satu pelinggih itu. Kalau saya tidak salah ingat ada lima pelinggih, dengan satu pelinggih utama di tengah. Saya bisa saja memilih menunggu sambil duduk di lapangan. Tapi saya ingin ikut. Saya ingin ikut sembahyang. Pelinggih utama disebut padmasana merupakan simbol dari Trimurti: Brahma-Wisnu-Syiwa. Kesitulah kami pertama-tama. Saya memperhatikan Nirvanda meletakkan canang dengan dupa di atasnya, lalu ngayap dan berdoa. Pelinggih itu paling besar dibandingkan yang lainnya. Nirvanda menjelaskan kemudian bahwa bagian dasar pelinggih berbentuk Bedawang Nala, seperti penyu dan naga. Secara keseluruhan berbentuk tegak dengan bagian bawah yang lebar menyerupai padma (teratai). Dalam berbagai kepercayaan, bunga teratai adalah simbol Tuhan. Gelap malam membuat saya tidak bisa melihat rupa pelinggih itu dengan jelas, namun samar-samar ia mengingatkan saya pada candi,  Candi Prambanan tepatnya. Dari cerita Nirvanda, masing-masing Pura memiliki pelinggih yang berbeda-beda. Pelinggih yang ada di Pura ini berbeda dengan yang ada di Pura Karanganyar Lombok, setidaknya dari arsitekturnya. Pelinggih di Puri Narmada (Lombok) berbentuk rumah yang bersusun tiga khas arsitektur Bali sementara pelinggih di Jagatnatha terbuat dari batu ala candi-candi yang banyak ditemui di Jawa. Pelinggih padmasana itu bagaikan tubuh perempuan yang anggun dengan latar bulan Purnama. Angin malam berhembus menyentuh tengkuk dan mengalirkan desir di dada.


Padmasana di Puri Jagatnatha (sumber foto: purahindu.wordpress.com)



Setelah itu, kami berjalan searah jarum jam menuju pelinggih-pelinggih lain yang mengelilingi padmasana, termasuk pelinggih di sebelah timur tempat Btara Surya bersemayam. Nirvanda meletakkan canang dan dupa serta melakukan ngayap pada setiap pelinggih yang kami datangi. Entah mengapa saya teringat tabernakel, tempat di mana hosti sebagai tubuh Kristus disimpan dalam tradisi gereja Katolik. Setiap kali melewati tabernakel, orang harus berlutut dan melakukan tanda salib. Pelinggih atau tabernakel mengingatkan saya bahwa Tuhan atau sang Hyang dalam bentuk materi ada disana. Ini tentu berbeda dengan penyembahan berhala. Berhala tidak selalu berbentuk patung. Berhala bisa kekayaaan, kekuasaan, bahkan pacar. Bagi saya berhala adalah ketika kita mengagungkan atau mendahulukan yang lain melebihi dari Yang Kuasa. Mengakses facebook, path, atau instagram saat ibadah sedang berlangsung itu baru berhala. 

Setelah menghampiri setiap pelinggih di dalam pura, saya dan Nirvanda pun melakukan sembahyang. Ada dua macam model sembahyang. Pertama, sembahyang bersama yang dipimpin seorang pedanda. Biasanya ada pembacaan dharma dan khotbah. Kedua, sembahyang secara pribadi. Kami memilih yang kedua. Katanya kalau yang pertama cukup lama. Ini tentu hal yang baru bagi saya. Seumur hidup, saya melakukan ibadah ke gereja secara kolektif. Doa pribadi biasanya dilakukan di rumah dengan waktu yang bersangkutan inginkan. Adapula kebaktian yang diadakan di rumah-rumah, tapi itupun juga secara kolektif. Semua itu adalah bagian dari karakteristik gereja yang koinonia (persekutuan). 

Kami mengambil tempat di lapangan yang menghadap ke padmasana. Tak ada kursi. Lapangan itu sudah disemen dan ada beberapa bagian yang ditumbuhi rumput. Adapun tata cara berdoa, yaitu bagi laki-laki berdoa dengan cara duduk bersila sementara bagi perempuan dengan cara bersimpuh. Lagi-lagi hal ini berbeda dengan ketika beribadah dalam gereja di mana umat duduk di atas kursi, berada dalam ruangan yang nyaman, dan ber-AC. Di dalam pura kami benar-benar duduk di lapangan bersemen. Tak ada atap yang menaungi. Hanya ada umat dan alam semesta. 

Nirvanda memberitahukan tata cara berdoa Hindu. Ia menyebutkan suatu mantra tapi saya tak tahu mantra itu. Satu-satunya mantra dalam Hindu yang saya tahu hanya Mantram Gayatri. Itupun yang versi India. Mantram Gayatri Hindu Bali ternyata agak berbeda dengan India. Maka, saya hanya duduk sambil sesekali melirik ke Nirvanda. Ia khusyuk membacakan mantra, dalam posisi bersimpuh, kedua tangannya dikatupkan di depan dada dengan dua ibu jari saling menempel. Keadaan bersimpuh membuat saya tak nyaman karena tak kuat menahan kram. Beberapa kali posisi saya berganti-ganti. Sebaliknya, Nirvanda yang sudah terbiasa tak goyah sedikit pun. Saya lalu berdoa, tanpa mantra apapun. Saya mengucapkan puja-puji pada Tuhan semesta alam dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus: Tritunggal. Itulah Tuhan yang saya kenal, yang pribadinya saya rasakan selama ini. Doa itu lebih berisi ungkapan syukur. Belum ada permohonan. Hanya pujian. Setelah mengucapkan amin, saya melirik Nirvanda. Rupanya matanya masih terpejam. 

Sambil menunggu instruksi selanjutnya dari Nirvanda, pandangan saya lalu terarah ke padmasana. Rasa asing menyergap lagi. Biasanya saya menghadap salib, namun kini saya berhadapan dengan pelinggih simbol Trimurti. Dalam rasa asing itu, saya berpikir bahwa konsep Trimurti dalam agama Hindu relevan (meskipun tidak persis sama) dengan konsep Tritunggal dalam tradisi kekristenan saya. Orang Kristen percaya bahwa Kristus adalah firman yang menjadi manusia. Ia sehakekat dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Mereka adalah pribadi yang allos (sesuatu yang lain dari jenis yang sama) bukan hetero (sesuatu yang lain dari jenis yang berbeda). Bukankah ini tak jauh berbeda dengan Rama, Sri Krishna, atau Begawan Parasurama yang merupakan salah satu dari sepuluh avatar Btara Wisnu? Bukankah Mahadewa Syiwa yang menjelmakan Wisnu dan Brahma untuk melakukan tugasnya masing-masing? Namun, seperti pertikaian antara Katolik dan Protestan di Eropa pada abad pertengahan, pertikaian antara penganut Syiwa dan penganut Wisnu juga terjadi di Nusantara. Bagaimana bisa umat yang menyembah Tuhan yang sama saling bertikai? 

Pikiran saya terhenti, Nirvanda menginstruksikan tata cara berdoa selanjutnya. Kami mengambil sedikit kelopak bunga dalam canang, menyelipkannya di sela-sela ujung jari, dan dengan tangan terkatup terangkat sejajar dengan kepala, kami berdoa. Kata Nirvanda, pada bagian ini kita bebas menghaturkan permohonan. Gerakan itu diulang sebanyak 4 kali. Pada gerakan ketiga, salah satu kelopak bunga diselipkan pada rambut. 

Angin kembali berhembus ketika kami sama-sama berdoa. Terasa damai dan sejuk hati ini. Cuaca begitu cerah, langit terang oleh Purnama. Saya pernah mengalami perasaan serupa ketika berdoa di dalam gereja Immanuel Gambir di Jakarta pada ibadah Natal tahun lalu. Rasa syahdu itu datang kembali, pada tempat yang berbeda, pada ritual yang berbeda. Dalam posisi bersimpuh itu, saya seperti tertarik dalam suasana Nusantara abad ke-9 sampai 12 M. Di masa itulah kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di tanah air. Meskipun kejayaan itu telah berlalu, namun warisan Hindu masih hidup dalam kehidupan kita sampai hari ini. Istilah “Ibu Pertiwi” yang disebut-sebut itu mengacu pada Btari Parwati. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara kita pun lahir dari pemikiran para raja-raja Hindu itu hampir seribu tahun yang lalu. Setelah berdoa, kami menghampiri meja panjang dekat pelinggih untuk sekali lagi diperciki air suci dan mengambil beras yang nanti akan diletakkan di dahi dan bagian pusat leher yang letaknya sejajar dengan tulang belikat. Beras yang menempel di dahi dan leher itu tidak boleh dibersihkan, melainkan dibiarkan saja sampai jatuh sendiri. Di saat yang bersamaan seorang pendanda yang memakai sarung dan baju serba putih mulai memimpin upacara bersama-sama. Karena kami sudah sembahyang, kami tak ikut. Upacara itu ditutup dengan memberikan sesajen pada penghuni pohon beringin di depan Pura. 

Sebelum pulang, saya dan Nirvanda singgah untuk makan malam. Kami mampir makan daging babi di rumah makan Bali yang tak jauh dari Pura. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal. Termasuk pergumulan perempuan dengan agama minoritas di Indonesia: menemukan pasangan yang seiman. Selain minornya jumlah kami, ada faktor-faktor lain. Nirvanda bercerita bahwa ia berbenturan dengan sistem kasta sementara saya jarang menemukan cowok Kristen yang pikirannya dalam. Ada sih, biasanya Katolik. Tapi entah mengapa dalam situasi yang saya temui, cowok-cowok Katolik kadang melihat cewek Protestan "berbeda" dengan mereka.

***

Malam itu memberikan saya suatu pengertian yang lebih luas tentang iman. Di titik inilah saya menyadari bahwa sungguh kita tidak boleh memaksakan agama pada orang lain, bahkan melalui pernikahan sekalipun. Kita tidak bisa memaksakan iman kita pada orang lain. Iman adalah persoalan meyakini. Dan untuk yakin orang harus percaya dulu. Untuk percaya kita terlebih dulu mengenal. Walaupun saya senang membaca tentang Hinduisme dan tahu tentang dewa-dewa Hindu, tetap saja bukan sosok Syiwa atau Wisnu yang saya kenal. Begitupula sebaliknya, orang-orang dari agama Hindu tidak mengenali sosok Muhammad, Yesus, atau Yahwe. Agama bukan cuma persoalan identitas dan ritual. Agama adalah persoalan iman. Iman tidak bisa diukur dengan rasionalisasi. Sebagai catatan, tidak semua pula orang beragama itu beriman. Persoalan tentang Tuhan selamanya menjadi misteri. Saya lantas teringat kalimat imanmu menyelamatkan engkau yang sering dikatakan Yesus setelah ia menyembuhkan orang-orang dari penyakitnya. Mengapa harus iman yang menandai suatu perbuatan mujizat?

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Begitulah yang tertulis dalam kitab Ibrani ribuan tahun lalu. Ya, mungkin karena iman-lah yang membantu kita mengenali Sang Ilahi. Karena iman kita mengasihi Dia, sebagaimana apapun Dia.  

Sekian.

Aku dan Tuhan

Dekonstruksi Tuhan

Kamis, September 11, 2014

*pic from wehearit*




Pertanyaan mendesak dalam hidup manusia adalah: siapakah Tuhan?

Tapi manusia lebih banyak berdiskusi tentang bagaimana mereka diciptakan, "Siapa" adalah sesuatu yang jauh, yang tak terjamah, sesuatu yang liyan. Maka berduyun-duyunlah manusia membuat teori-teori canggih tentang penciptaan: teori big bang, teori bang-bang, teori bleh-bleh, atau teori bla-bla. Semenjak saat itu segala sesuatu sebaiknya dijelaskan dengan rasional dan tuhan menjadi sebuah konsep untuk sesuatu yang tidak dijangkau oleh rasionalitas.

Tapi saya tidak suka dengan hal yang demikian apalagi ketika Hollywood mulai mengonstruksi Tuhan. Tuhan menjadi sesuatu yang rasional. Tuhan adalah suara berat dengan awan-awan. Tuhan adalah pria dengan janggut putih. Mengapa juga harus tuhan-tuhan itu berbentuk laki-laki? Pernahkan Tuhan menyebut dirinya laki-laki atau perempuan? Pada Musa ia berkata dengan tegas: Aku adalah Aku. Siapakah namamu? Musa memaksa. Tuhan diam. Tuhan tak mau jadi rasional. Tuhan melampaui rasionalitas. Perjanjian Baru menyebutnya "melampaui segala akal."

Tapi Hollywood sudah membuat gambaran indah (namun menyedihkan) tentang Tuhan. Tuhan seperti gambaran pada suatu masyarakat tertentu menjelma dan berubah-ubah. Lama-kelamaan ia menjadi ganteng. Ia punya otot dan six pack, sehingga anak-anak gadis akan memandang tubuh indah itu terpaku pada tiang kayu, dengan darah yang mengucur dari bilur-bilurnya, melewati badannya dan turun di antara sela-sela kakinya. Manusia tak terima jika sebenarnya yang disebut Tuhan jauh dari perkasa. Manusia tak bisa terima yang disebut "bahkan orang memalingkan wajahnya dari Dia...", atau menurut pria baik hati dari Kirene,"Ia begitu ringkih dari yang lain". 

Saya tidak menyukai tuhan yang jauh
Saya tidak menyukai tuhan yang gigantis, yang terasa sangat besar dan menakutkan
Saya tidak suka tuhan yang ada dalam kalender-kalender dan patung-patung segala zaman.
Saya tidak suka dengan tuhan yang berwajah datar, seolah-olah penderitaan manusia bisa membuatnya tidur nyenyak. 

Saya lebih senang membayangkan tuhan seperti seseorang dalam bus seperti dalam lagunya Joan Osborne. Mungkin ia adalah laki-laki dengan letak mata kiri dan kanan yang tak sejajar, ia bongkok, dan jalannya pincang. Mungkin juga ia adalah seorang gadis bertumbuh gempal dengan jerawat di wajahnya. Ia begitu merasa dirinya tak menarik sehingga tak ada satu pun anak lelaki di sekolah yang menyukainya. Mungkin ia adalah seorang nenek tua renta dengan kebaya dan jarik, yang menyambung hidup dengan berjualan kerupuk bulan 4000 perak. Mungkin ia adalah bapak tua seperti Oemar Bakrie dengan kepala lesu karena gajinya begitu sedikit sementara anaknya yang berjumlah lima orang menuntut beli iphone. 

Mungkin tuhan seperti perempuan berwajah sendu itu, yang sedang dalam perjalanan pulang. Menunggu seseorang menelponnya dan berkata, "Apa kabar?".




Jogjakarta, 11 September 2014