Review Buku

Mengenang "Bung": Di Antara Jatuh Cinta, Patah Hati, dan Kenangan

Kamis, November 19, 2015

photo by  meike



Judul : Buat Bung
Penulis : Bernadetta Diah Aryani
Penerbit: ArkeaBooks
Halaman : 212 hal
Tahun Terbit : 2015


Jatuh cinta datang dengan sepaket persoalan. Ia tak selalu hadir dalam merah muda romansa. Adakalanya jatuh cinta menjelma beban yang menyebabkan subyek yang mencinta jatuh bangun dibuatnya. Siapapun yang sedang jatuh cinta harus bersiap untuk merindu, cemburu, diabaikan, bahkan yang paling pedih yaitu ditolak. Ketika suatu hubungan tidak berlanjut seperti yang diinginkan, maka bersiaplah untuk sebuah perpisahan. Perpisahan itu juga bukan tanpa konsekuensi. Konsekuensi terberat itu adalah kesiapan untuk dilupakan. Namun, bagaimana bila kita tidak bisa melupakan orang yang pernah bersama kita itu? Bagaimana kalau masih ada "sesuatu" yang belum selesai? Bagaimana bila seseorang itu justru mendiami relung hati dan seperti bom waktu menunggu untuk meledak bersama kenangan dan optimisme?

Bernadetta Diah Aryani mengajak kita menelusuri pengalaman pribadi seseorang dalam mengenang sosok yang mendiami hatinya selama bertahun-tahun. Non -terkadang ia dipanggil demikian- tak bisa melupakan seseorang yang ia panggil Bung. Ditulis dalam bentuk prosa dan sebagian dalam bentuk puisi, karya ini tampak seperti antologi yang terpisah yang terbagi atas sembilan bagian besar. Lembar demi lembar memuat satu fragmen dari perasaan Non. Buku ini dimulai dari refleksi Non terhadap sosok Bung. Latar belakang  mengapa ia menuliskan perasaannya itu menjadi pintu gerbang menuju pertemuannya dengan Bung, awal mula hubungan mereka, keretakan hubungan mereka, perpisahan, dan terakhir derita kenangan yang dialami Non. Ada kalanya beberapa tulisan memuat perspektif dari Bung. Saya membacanya dengan hati-hati untuk menjaga spirit dari karya ini secara keseluruhan.

Bernadetta menyajikan kegalauan Non seperti lagu yang memiliki tempo naik-turun. Seperti lagu yang menghentak, ia begitu kuat menggambarkan kegalauan Non di awal cerita. Lalu perlahan ritmenya menjadi lambat seperti di lagu-lagu bertempo slow. Pembaca dibuai dengan irama slow buku ini dan tanpa disadari, Bernadetta mengejutkan pembaca pada hentakan-hentakan irama yang terkandung dalam sebab-musabab dan rahasia percintaan antara Non dan Bung. Anda harus teliti membacanya untuk mendapatkan kejutan-kejutan itu. Dialog-dialog antara Non dengan Bung juga menjadi kunci dalam cerita ini. Di akhir tulisan, pembaca diajak menyelami perasaan Non yang harus survive. Sesungguhnya, Non seperti seorang teman yang sedang curhat kepada kita. Kita diperkenankan mendengarkan segala pergumulannya akan cinta dan kenangannya. Non telah mewakili banyak orang di luar sana yang memiliki sosok yang tersimpan dalam ruang khusus di dalam hati dan tak pernah hilang dari ingatan.

"Dia masih mengingat Anda, Bung. Sejuta kenangan yang dijanjikan pria itu, dia yakini tak dapat menghilangkan jejak-jejak Anda, Bung. Jejak Anda tak akan pernah hilang. Mungkin sedikit akan menjadi kabur dari waktu ke waktu, tapi dia tahu bahwa semua kenangan itu tak akan hilang." (Buat Bung, hal. 192)

Walaupun samar-samar, buku ini juga menyajikan suatu konsep tentang penerimaan dan juga kekuatan dalam mencintai seseorang tanpa harus memilikinya. Kisah ini tidak mengobral kegalauan secara seronok, sebaliknya kepiawaian Bernadetta menulis membuat kegalauan itu terasa puitis dan elegan. Hal ini tampaknya didukung dengan latar belakang Bernadetta yang mantan jurnalis Reader's Digest Indonesia yang sekarang juga menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara. Ia mampu menghidupkan karakter Bung meskipun miskin deskripsi detail. Siapapun yang membacanya pasti sepakat bahwa tokoh Bung sangat hidup dan (mungkin) berasal dari orang nyata di luar sana. Novel ini sangat direkomendasikan untuk mereka yang mengalami pergumulan yang sama dengan Non, mereka yang terjebak di antara jatuh cinta, patah hati, dan kenangan.






Note:
kalau mau pesan bisa langsung ke ArkeaBooks atau kunjungi websitenya di BuatMantan.com

5DaysBlogChallenge

[Day 5: Letter to Yourself] Liebe Meike, ...

Selasa, November 17, 2015

Liebe Meike, 

Malam ini kau sulit tidur padahal dalam 4 jam lagi kau akan mengikuti kelas yang membahas pemikiran Foucault.Untuk mengundang kantuk, kau berusaha menyelesaikan novel terakhir Paulo Coelho yang kau beli, Adultery. Buku itu memang menceritakan tentang peristiwa yang belum kau alami. Tapi, kau tahu sendiri dalam riset tesismu yang kau lakukan, sebuah novel dapat memberi gambaran terhadap suatu peristiwa yang mungkin akan dialami pembacanya. Kisah yang dibaca pembaca sebelumnya dalam novel akan memberi perasaan familiar terhadap peristiwa serupa. Jadi, jika di masa mendatang kau menjadi Linda, kau sudah bisa mengantisipasi perasaan dan situasi tersebut.

Beberapa jam sebelumnya, kau juga membaca berbagai postingan satu-dua teman perempuanmu yang khawatir akan pernikahan. Mereka takut tidak akan mendapatkan pasangan. Mereka takut akan hidup sendiri, menjadi perawan tua, dan mati kesepian. Kau gemas pada mereka. Kau ingin berteriak pada mereka bahwa menjadi single bukanlah sebuah horor. Kau ingin bilang bahwa eksistensi perempuan tidaklah diukur dari ada tidaknya laki-laki yang menjadi pasangan mereka. Kau ingin bilang bahwa pernikahan seharusnya tidak menjadi ajang lomba lari. Kau ingin menjelaskan pernikahan harusnya menjadi persatuan dua manusia untuk hidup bersama dengan bertanggung jawab dan didasari cinta kasih. Kau ingin meneriakkan justru bersama dengan orang yang salah adalah sebuah horor dan bukannya karena untuk sementara kau masih sendiri. Tapi apa daya, kau harus memahami dan menahan diri. Mereka seumpama anak kecil yang mengetahui warna pelangi dari sebuah lagu anak-anak. Mereka tidak tahu bahwa selain merah, kuning, dan hijau juga terdapat jingga, biru, nila, dan ungu. 

Paulo Coelho rupanya sepakat. Di halaman 245, ia menulis:

What is really contagious is fear, the costant fear of never finding someone to accompany us to the end of our days. And in the name of this fear we are capable of doing anything, including accepting the wrong person and convincing ourselves that he or she's the one, the only one, who God has placed in our path. 

Lucu ya. Di buku ini kau menemukan beberapa argumen dan pemikiranmu yang sebelumnya tidak pernah kau ceritakan pada orang lain. Well, kau berencana menulisnya di blog tapi tulisan itu tampaknya sangat berat. Tulisan itu adalah dugaanmu terhadap penyebab kekosongan yang diderita manusia. Kau merasa Paulo Coelho mengafirmasi pemikiranmu. Bahkan kau punya pemikiran yang serupa. Dan kau terkejut, karena Paulo Coelho sudah kenyang makan asam garam kehidupan, sementara kau miskin pengalaman. Kau telah mengalami apa yang disebut Einstein sebagai lompatan quantum. Tapi biarlah kita menyebutnya sebagai kebetulan saja. 

Liebe Meike,
Seperti manusia mana pun di dunia. Kau pun mendambakan pasangan. Tetapi, itu bukan lagi satu-satunya tujuanmu. Kau mulai mempertanyakan apa tujuan Tuhan menciptakanmu ke dunia? Apakah kau hanya ingin hidup untuk dirimu sendiri atau untuk orang lain?. Kau memutuskan menjadi seorang guru. Tetapi ketika kau mengintip ke dunia itu, kau merasa tidak layak. Kau merasa belum pantas. Maka, kau ingin terus sekolah dan belajar. Kau menginginkan pengetahuan seperti Ibu kita Hawa menginginkan buah Pengetahuan. Kau tidak takut akan konsekuensi diusir dari Taman "Rumah Tangga" Eden untuk sementara waktu. Ular adalah penyelamatmu. Ia menawarimu kesempatan membuka mata untuk melihat dunia dan bertemu banyak orang. Ular menawarkanmu petualangan mengunjungi negeri-negeri jauh, pengalaman-pengalaman menakjubkan, dan kebersamaan dengan orang-orang yang tak pernah kau duga akan kau temui nanti di perjalanan. Kau memiliki cita-cita dan kau khawatir The Wrong Adam akan menjadi batu sandungan untuk menggapai cita-citamu itu. Kau berdoa untuk sebuah cinta dan masa depan yang penuh harapan.

Ingatlah ini, ketika di masa depan kau menghadapi dilema yang membuatmu harus memilih. 



Viele Liebe Grüβe,

deine Meike

5DaysBlogChallenge

[Day 4: One Important Person] Karena Semua Orang Itu Penting

Senin, November 09, 2015

Maafkan saya yang baru kali ini lama untuk meng-update blog, apalagi menjawab tantangan dari sodari Alvidha. Semoga ia masih menantikan kelanjutannya. Sejujurnya tantangan keempat terasa berat. Karena saya tidak bisa memilih siapa satu orang yang penting dalam hidup saya. Pertama, saya anak tunggal. Jika saya hanya menulis ayah saja, maka ibu saya akan sedih. Kalau saya menulis ibu, maka ayah saya akan cemburu. Kedua orang tua saya adalah orang-orang terpenting dalam hidup saya. Tapi kan soal tantangannya harus satu orang. Orang yang menikah dan berumahtangga akan memilih pasangannya atau anaknya. Kebetulan saya belum bersuami dan belum beranak-pinak. Dan saya pikir menomorsatukan pacar yang belum tentu berakhir di pelaminan sungguh adalah tindakan yang sangat takabur. 

Kalau saya punya saudara, mungkin saya akan menuliskan tentang adik yang tak pernah saya miliki itu. Tapi saya tidak yakin akan menyukai mereka. Secara biologis, kalau saya punya adik perempuan, maka adik tersebut akan lebih cantik, lebih tinggi, dan mungkin lebih pintar. Ah, mungkin adik laki-laki. Tapi kok yah saya gak rela punya adik. Selama ini perhatian dunia tercurah pada saya. Kalau saya punya adik, maka saya harus membaginya dengan si adik. Hmmm....

Bagaimana keluarga? Keluarga saya seperti kisah dalam Mahabharata. Bukan karena tragedinya, tapi karena tokoh-tokohnya tidak pernah luput dari kesalahan. Sebaik apapun mereka, seberapa favoritnya pun mereka. In the end, they're all human and human do mistakes. Lagipula, memfavoritkan salah satu di antara mereka juga bukan perbuatan yang adil karena mereka memiliki kebaikannya masing-masing.

Ketidakadilan. Nah, sepertinya itu masalahnya. Bayangkan, ada manusia yang dipilih menjadi yang "ter" diantara yang lain. Kalau kau yang terpilih sih mungkin enak di elu, tapi bagaimana dengan yang tidak terpilih? yang diabaikan itu? Saya jadi ingat toga kelulusan saya. Lulusan cum laude mengenakan toga yang berbeda dengan yang lulus dengan predikat sangat memuaskan dan lain-lain. Toga tersebut memiliki bis kuning di dada dan lengannya. Siapapun yang kuliah di kampus saya pasti tahu bahwa yang toganya berbeda itu adalah lulusan cum laude sementara yang toganya polos hitam berarti bukan lulusan cum laude. Di satu sisi, toga cum laude adalah bentuk apresiasi terhadap mereka yang memiliki prestasi akademik cemerlang. Tetapi di sisi lain, toga cum laude telah membuat perbedaan sekaligus menciptakan iri hati dan kesedihan. Saya memang mengenakan toga cum laude, tapi saya memikirkan teman-teman saya dan orang lain yang mengenakan toga biasa. Betapa terasa ada pembedaan. Dan pembedaan kadang menganggu rasa keadilan.  

Oleh sebab itu, bagi saya siapapun mereka, memiliki hubungan darah atau tidak, adalah orang-orang yang penting. Mereka harus diperlakukan dengan secara manusiawi. Yah, kecuali saya memutuskan tidak berteman dengan mereka dengan alasan tertentu misalnya ada yang memiliki masalah kejiwaan atau orang jahat yang menciptakan penderitaan pada saya atau orang lain. Mungkin memang ada favoritisme karena ada yang lebih dekat dengan kita dibandingkan yang lain, tapi itu bukan menjadi pengesahan kita memperlakukan orang secara berbeda-beda. Kalau kita bisa, kalau kita mau, semua orang bisa menjadi "important" bagi kita. 

Tapi, kalau dipaksa harus memilih lagi, maka saya akan memilih Dia yang kepadanya segala sembah dan syukur untuk dipanjatkan.

Dia...