Life Story

Kita Coba Lagi Ya...

Kamis, Desember 31, 2020

foto by: Clément M (www.unsplash.com)


Sepuluh hari yang lalu saya menerima e-mail yang mengatakan kalau aplikasi saya untuk mendaftar PhD di salah satu universitas di Australia ditolak. Seperti kejadian yang sudah-sudah, alasan penolakannya juga "aneh" setelah sebelumnya dikasih harapan tinggi. Bak bermain kencan online, sepertinya kami memang tidak jodoh setelah sudah bercakap-cakap mesra. Jujur saja saya kecewa. Namun, berhubung saya sudah banyak kali ditolak, penolakan kali ini lebih bisa kuterima dengan lapang dada. Sisi positifnya, saya berhasil mengatasi ketakutan untuk memulai lagi dan menyelesaikan proposal dengan ide yang baru. Sayangnya, penolakan itu memicu traumaku atas penolakan lanjut studi yang dulu terjadi. Kepercayaan diriku langsung drop shay hehehe. Ya, studi S3 memang sulit, daftarnya aja susah hehehe. Untuk orang-orang yang senang belajar, penundaan untuk sekolah itu menyakitkan. Niat baik saja ternyata tidak cukup untuk mencapai tahta ilmu pengetahuan. Kita butuh kemampuan, kesiapan intelektual, mental, dan fisik serta  akses dan support system yang memadai. Ilmu pengetahuan dan gelar tidak jatuh dari langit. Ia butuh kapital. Pintar saja tidak cukup, anda butuh keberuntungan.

Sebagai manusia biasa yang lemah, saya mau mengambil hak saya untuk mengeluh dan mengasihani diri. "Tuhan, apa aku bodoh sekali ya sampai tidak bisa menulis proposal dengan baik? Tuhan apa aku begitu hina sampai gak ada yang mau menerimaku? Tuhan, apa aku begitu kecil sampai Engkau tidak melihatku?. Dan terputarlah lagu yang sering kunyanyikan dengan Angel manakala kami merasakan ketidakadilan, "Yesus....Tuhan...dengar doaku....Orang lain Kau hampiri, jangan jalan terus...". Lalu, setelah puas mengeluh dan mengasihani diri, saya lalu menghibur diri. "Tidak apa-apa, belum waktunya" dan "dunia ini belum siap untukmu" sambil mengpuk-puk diri sendiri. 

Kalau Mami masih hidup, beliau pasti bilang, "Tidak apa-apa, coba lagi ya..jangan menyerah". Saya cerita pada Daddy dan seperti biasa dia mencoba menghibur, tapi penghiburannya malah terkesan tidak merestui untuk sekolah di tempat yang jauh. Setelah menangis dan lelah sampai jatuh tertidur, saya mencoba menggapai sahabat-sahabat terdekat untuk cerita. Mereka yang sama-sama paham apa artinya kegagalan dan penolakan. Lalu, kami mulai saling menghibur dan menguatkan. Kami malah menertawakan kejadian kegagalan itu. Tawa dapat menjadi bahasa orang-orang kalah. Ya, humor adalah salah satu cara terbaik bertahan dalam tragedi. Saya beruntung memiliki sahabat-sahabat yang tetap mendorong untuk maju. Salah satunya adalah Dee. Dee bilang,” Namanya juga berjuang dari bawah ke atas. Itu tidak gampang”. Saya dan Dee berencana untuk membuat pertemuan rutin agar proposal kami bisa diperbaiki lebih baik lagi. 

Saya menuliskan kisah ini sebagai bentuk terapi. Butuh keberanian besar untuk mengakui kalau kita gagal di dunia yang selalu menuntut kesempurnaan dan keberhasilan. Kegagalan adalah cara lain untuk kreatif dalam hidup, begitu kata Judith/Jack Halberstam, seorang queer theorist. Pengakuan membantu kita untuk tidak denial. Kalau kita sudah mengakui kegagalan kita, maka kita bisa menarik napas sejenak. Istirahat. Kumpulkan tenaga dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. 

Malam tahun baru ini kututup dengan keinginan untuk beristirahat dulu. Setelah babak belur dihantam pandemi dan mengalami perkara-perkara mistik, saya ingin ambil jeda. Ini bentuk cinta pada diri sendiri. Tahun ini dia bertempur terus tanpa istirahat. Nanti kalau sudah pulih energinya, ia akan berjuang lagi. Buat teman-teman di luar sana yang mengalami hal yang sama, semoga tetap semangat dan jangan menyerah. 

Kita coba lagi ya... 

Life Story

Menunggu

Senin, Desember 21, 2020




Sejujurnya, aku tidak suka menunggu. Mungkin banyak orang yang juga seperti itu. Padahal, hidup adalah tentang menunggu. Apalagi menunggu dalam celah. Sebuah sela. Sebuah antara. Mau mundur tidak bisa, mau maju juga tidak bisa. Terjebak. Stagnan. Tidak bisa kemana-mana. Ketika keadaan itu terjadi tanpa kita prediksi, apa yang akan kita lakukan? Bertahan atau mundur dan menyerah? 
 
***

Tempat kerjaku adalah tempat penantian. Di sana sudah ada sekelompok orang-orang dalam jumlah besar yang sedang menunggu. Mereka telah menunggu enam tahun lamanya dalam ketidakpastian. Hukum alam pun berlaku: yang kuat bertahan, yang tidak tahan akhirnya mundur. Tak ada yang akan menahanmu pergi dan tak ada yang memperjuangkanmu untuk tinggal. Semua pilihan diserahkan kepada masing-masing individu. Namun, ada secercah harapan yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk terpenuhi. Bahwa suatu ketika, apa yang dinantikan itu akan diterima. Keadaan mereka akan dikembalikan seperti sedia kala. 

Seperti orang-orang yang sedang dalam masa penantian, mereka pun berada dalam kegelisahan hebat. Ketakutan akan masa depan. Ketakutan untuk kehilangan yang selama ini dimiliki. Menunggu memang melelahkan. Luka dan ketidaksabaran memproduksi kemarahan yang besar. Kemarahan itu menjadi kebencian. Pertanyaannya, mengapa tetap bertahan meski tidak pasti? Padahal bisa saja mereka pergi dan menemukan kehidupan yang jauh lebih baik. Butuh waktu lama bagiku untuk memahami itu, sampai akhirnya aku meluputkan satu hal yang penting dari perenunganku saking sederhananya. Ya, orang-orang itu memang tidak mau pergi. Rasa cinta-lah yang menahan mereka. 

*** 

Aku teringat film The Terminal yang dibintangi Tom Hanks. Film itu tentang menunggu. Semua orang menunggu dalam hidup dan masa penantian tidak pernah mudah. Kita akan berhadapan dengan suatu frasa yang kutemukan dalam lagu berbahasa Perancis, yang kalau diterjemahkan menjadi the joys of a maybe. Ketidakpastian membuat manusia kadang hilang dan tersesat. Namun, ketidakpastian menawarkan kemungkinan: sesuatu yang terwujud sesuai dengan keinginanmu bahkan lebih atau sesuatu yang jauh sama sekali berbeda sehingga membuatmu kecewa. Seperti percakapan antara tokoh Viktor Navroski yang diperankan Tom Hanks dengan Officer Torres, petugas imigrasi: 

Officer Torres: "Why do you wait here two hours every day when I’ve told you there’s nothing I can do for you..." 
Viktor: "I have a chance go New York, 50:50…” 

Berdasarkan pengalamanku, aku takut pada kemungkinan bukan karena kekecewaan, tapi karena kepercayaan. Ketika aku memiliki keyakinan bahwa sesuatu itu akan terjadi dengan indah, namun ternyata hal itu tidak terjadi, maka rasanya kemampuanku untuk percaya yang dirampas. Tanpa rasa percaya tidak akan ada harapan. Hidup tanpa harapan membuat orang seperti hidup dalam neraka. Kemungkinan secara paradoks menyediakan ruang bagi kita untuk percaya sekaligus disaat yang sama membuka ruang bagi kita untuk menjadikan rasa percaya sebagai taruhan. Kehilangan rasa percaya sangat menyakitkan. Rasa percaya adalah dasar cinta. Ketika kita kehilangan rasa percaya, disaat itulah kita kehilangan kemampuan kita untuk mencintai. 

*** 

Aku punya keyakinan bahwa penantianku tidak akan sia-sia. Aku percaya cintaku akan kembali pada waktu dan cara yang indah. Untuk tahu apakah kita ditakdirkan bersama, maka aku harus merelakannya. Inilah paradoks cinta: semakin kamu mencintainya, semakin kamu harus melepaskannya. Untuk tahu apakah itu milikmu, kamu harus membiarkannya pergi untuk melihat apakah dia akan kembali lagi padamu. Kepercayaan itulah yang membuatku berjuang. Meski orang-orang –bahkan yang sekalipun mencintaiku- melemahkan semangatku karena mereka takut aku terluka. Aku tetap percaya dan terus berjalan. Tentu saja, ada kalanya aku merasa bodoh, marah, sedih, lelah, dan merasa ditinggalkan. Ada kalanya aku merasa apa yang sudah aku lakukan terasa sia-sia. 

Tapi, disinilah seni berjuang. Berjuang itu artinya tidak pantang menyerah. Ketika ada tantangan dan masalah, maka kita tidak mundur. Tantangan harus dihadapi dan masalah harus dicari solusinya. Prof. Cornelis Lay, Guru besar Ilmu Politik UGM pernah bilang bahwa,”Iman Kristen itu sederhana. Mengasihi Tuhan dan sesama dan bagaimana itu diperjuangkan dalam hidup sehari-hari.” 

Aku tidak hanya memperjuangkan cintaku saja, tapi inilah imanku. Di minggu Advent yang terakhir ini, minggu masa penantian, aku meminta pada Tuhan untuk menguatkan aku dalam perjuanganku. Cinta itu bertahan. Bertahan itu juga pelayanan. Aku mencintainya. Itulah kenapa aku tidak mau pergi sekalipun ia melepaskan aku. Aku sudah berjanji akan menemani dia menghadapi dunianya. Aku berjuang untuk menepati janjiku seperti Viktor Navroski menepati janjinya pada almarhum ayahnya. 

***

Ketika orang mencintai, mereka berusaha untuk membuktikan cintanya. Orang juga memiliki kecenderungan untuk menguji cinta itu. Aku tidak perlu membuktikan padanya cinta seperti apa yang aku berikan untuknya. Cinta sejati tidak perlu dibuktikan. Cinta itu akan hadir secara konstan dalam tindakan yang konsisten. 

Generasiku seringkali dicibir oleh generasi sebelumnya sebagai generasi yang lembek dan manja. Generasi yang mudah menyerah begitu dihantam badai. Aku akhirnya memahami ketidaktahanan itu karena kami berjuang tidak pada jalurnya. Kita berjuang, namun cara berjuangnya salah karena kita tidak setia pada jalan perjuangannya. Kita mudah pindah-pindah jalur, tidak konsisten pada jalan perjuangannya. Kesetiaan hanya bisa dilihat dari konsistensi. Jalan perjuanganku adalah iman, pengharapan, dan kasih; dan yang paling besar dari ketiganya adalah kasih. Dan aku menambahkan satu nilai untuk melengkapinya: ilmu pengetahuan. Ya, inilah jalan perjuanganku. Sisanya adalah kehendak Tuhan. 

Kejarlah kasih itu!

Sikap Bela Negara untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus

Kamis, Desember 03, 2020

Foto 1. Bersama Pengurus BEM Universitas dalam launching komunitas Srikandi UPN "Veteran" Yogyakarta (Yogyakarta, 13 Maret 2020)


Sebelum menjadi dosen dan ASN di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya hanyalah seorang peneliti dan aktivis kesetaraan gender. Berdasarkan pengalaman saya, wacana yang dominan berkembang di tengah-tengah kelompok aktivis adalah ketidakpercayaan atas lemahnya upaya Negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, contoh: mandeknya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pengalaman itu kemudian menjadi bekal yang mungkin membedakan saya dengan rekan-rekan yang lain. Dengan masuk sistem, saya memiliki peluang untuk menjadi agen yang menjembatani Negara dan rakyat. Tujuan idealis saya sebagai ASN adalah menghadirkan kembali Negara kepada rakyatnya yang melindungi mereka. Sebagai dosen, tugas saya adalah mencerdaskan dan mempersiapkan kaum muda menjadi generasi yang cerdas, berintegritas, dan berkarakter. 

Menjadi dosen yang dapat diakses untuk berdiskusi dan memahami mereka adalah strategi saya untuk mengenal dan mendidik para mahasiswa. Puncaknya, beberapa mahasiswi datang mengadukan mengenai pelecehan yang mereka alami di lingkungan kampus. Tak hanya mahasiswi, beberapa mahasiswa juga mulai terbuka bercerita mengenai keadaan mereka sebagai laki-laki yang juga mengalami pelecehan. Baik mahasiswa laki-laki dan perempuan sama-sama diserang seksualitasnya, tetapi berada dalam spektrum yang berbeda. Pada laki-laki, pelecehan yang mereka alami adalah penyerangan pada kemaskulinitasannya sementara pada perempuan dijadikan objek seksual. 

Di masa habituasi latsar CPNS, saya meminta izin Dekan untuk membuat program #SalingJaga!. Program itu untuk membantu fakultas memiliki SOP pencegahan kekerasan seksual di kampus yang pada waktu itu belum ada. Ada beberapa kasus yang terjadi yang menciptakan kebingungan di pihak institusi karena mereka belum memiliki kebijakan dan SOP cara menanganinya. Umumnya, kasus diselesaikan secara “baik-baik” dan tertutup. Hal ini menimbulkan kemarahan dan trauma di pihak korban. Penyelesaian model mediasi seperti ini membuat posisi korban yang umumnya mahasiswa tidak berdaya. Kasus-kasus kekerasan seksual di kampus harus diputus mata rantainya dengan payung hukum yang melindungi dan memberikan rambu-rambu bagi segenap civitas akademika. 

Langkah pertama adalah mengimplementasikan nilai-nilai Bela Negara yang menjadi nilai utama Kampus UPN “Veteran” Yogyakarta, antara lain: 1) cinta tanah air; 2) kesadaran berbangsa dan bernegara; 3) setia kepada Pancasila sebagai ideologi negara; 4) rela berkorban; dan 5) memiliki kemampuan awal bela negara. Sikap Bela Negara yang awalnya berlaku di ranah Tri Dharma Perguruan Tinggi, kemudian diperluas maknanya agar dapat diimplementasikan untuk mencegah kekerasan seksual di kampus. Contoh, teman yang baik adalah teman yang menjaga temannya dari kekerasan seksual. 

Foto 2. Buku saku SOP Pencegahan Kekerasan Seksual Berbasis Nilai-Nilai Bela Negara di FISIP UPN "Veteran" Yogyakarta 


Bersama para mahasiswa pengurus BEM, para dosen dan tendik yang peduli terhadap isu ini, serta dukungan pihak pimpinan kampus (fakultas dan universitas) upaya tersebut mulai menampakkan hasil. Pengkajian dan SOP tingkat fakultas sudah disusun, adanya kampanye sosial melalui media sosial kampus, adanya pembentukan jaringan di level mahasiswa melalui komunitas Srikandi UPN “Veteran” Yogyakarta, serta sebagai pamungkas mendorong pembuatan kebijakan kampus berbentuk peraturan rektor. Hal yang patut diapresiasi adalah pihak rektorat terbuka mengenai ide ini, sebuah kemewahan yang tidak dimiliki semua kampus di Indonesia. Sikap Bela Negara sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka untuk menciptakan sistem yang aman dan nyaman bagi segenap civitas akademika. Berbagai upaya tersebut masih dalam proses. Namun, inilah tindakan nyata dari kolaborasi antara pihak. Partisipasi aktif ini menjadi sinyal positif bagi proses berdemokrasi di lingkup kampus ketika kita berjuang bersama untuk memiliki kehidupan bersama yang lebih baik. Selebihnya, api harapan harus tetap dibiarkan menyala.

Cerita Lagu

"Fear Cannot Be Trusted"

Kamis, November 19, 2020




"...I want to hold you till the fear in me subsides."

(Sometimes When We Touch - Dan Hil)


Lagu ini suka diputar Mami semasa hidup. Penyanyi aslinya bernama Dan Hill. Waktu ditanya cerita dibalik lagu ini, Dan Hill mengatakan bahwa lagu itu dibuat untuk seorang perempuan yang ia cintai. Sayangnya, perempuan itu memilih orang lain sebagai pasangannya. Dan membuat lagu ini dengan tujuan untuk memenangkan hati perempuan itu. Kata Dan, "Mungkin dengan lagu ini, dia akan tahu siapa yang terbaik mencintainya". Tidak ada cerita lanjutan apakah Dan berhasil atau tidak memenangkan hati  perempuan yang dicintainya itu, namun lagu Sometimes When We Touch menjadi hits di dunia bahkan dinyanyikan banyak penyanyi top dari berbagai negara. Menurut saya, versi Olivia Ong yang paling manis. Olivia akhirnya bisa membuat saya mengerti liriknya. Sebelumnya, saya sama sekali kesulitan memahami isi lagu ini. Sejauh ini, saya menyukai lagu ini karena melodinya yang indah. Ya, saya menyukai fisiknya saja. Olivia membuat saya bisa memahami kepribadiannya. 

Setelah menyimak liriknya dengan seksama, lirik lagu ini memang sangat personal. Hanya Dan dan perempuan itu yang tahu maknanya. Tapi, tampaknya keintiman yang intens memang menakutkan. Kadang manusia terlalu fokus pada reaksi yang ditimbulkannya. Keberbedaan itulah yang menciptakan ketakutan. Kita takut sesuatu yang "beda" ini akan hilang. Kita lupa menyadari betapa tidak semua orang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan hal ajaib ini. Mengapa kita begitu fokus pada sesuatu yang belum terjadi, pada ketakutan-ketakutan yang belum tentu terbukti? sementara kita sudah diberikan waktu untuk merasakan bahagia, namun malah memilih lari darinya. 

Kata temanku yang seniman, Mas Boy, takut adalah tanda bahwa seseorang ingin serius. Takut karena ia ingin memberikan yang terbaik. Seperti saya yang harus berjarak kurang lebih satu bulan untuk mulai mengurus berkas pengajuan jabatan fungsional dosen. Saya ingin memberikan yang terbaik. Saya ingin menunjukkan bahwa saya sumber daya insani yang layak buat negara ini. Tapi, saya takut. Takut kalau saya tidak bisa melakukan yang terbaik untuk tanah air saya. Takut tidak bisa menjadi guru yang baik bagi murid-murid saya. Saya butuh jeda. Saya butuh berjarak sejenak dari berkas-berkas itu. Saya butuh mengumpulkan niat untuk bergerak. Saya butuh meredakan ketakutan saya. 

Pada akhirnya, saya berhasil. Saya berhasil mengalahkan ketakutan saya karena saya tidak sendirian. Saya ditemani teman-teman saya, Mbak Sika dan Uswah. Mereka berdua yang men-deadline saya. Mereka berdua yang membantu saya mengisi berkas dan mengecek kesiapan berkas-berkas saya. Bersama-sama mereka, saya bisa mengatasi semua keraguan dan ketakutan ini. Sosok berikutnya yang saya banggakan adalah diri saya sendiri karena berani menyambut uluran tangan mereka ketika saya tenggelam dalam rasa takut dan ragu. Kemarin, kami bertiga akhirnya menyetorkan berkas kami ke jurusan untuk diproses. Rasanya luar biasa lega. Semua terjadi indah pada waktunya. Saya berterima kasih pada Mbak Sika dan Uswah yang tidak meninggalkan saya. Sungguh bodoh rasanya bila tetap memilih tenggelam dengan rasa takut dan tidak kemana-mana padahal banyak orang yang bersedia menemani dan menolong. Jika saya tetap takut, saya mungkin akan menyia-nyiakan kesempatan dan peluang indah yang menanti di depan sana. 

Ya, takut itu manusiawi. Takut itu tanda seorang hamba yang sadar ada kekuatan yang mahabesar di luar dirinya. Tapi, kita juga jangan membiarkan diri kita percaya pada rasa takut. Fear cannot be trusted kata Elsa di film Frozen 2. Takut bukan untuk pergi dan menjauh. Takut justru menyediakan ruang bagi kita untuk bersiap-siap melakukan sesuatu. Jangan sampai kita seperti Dan Hill. Ia terlambat menyadari bahwa orang yang dicintainya akhirnya pergi meninggalkannya. Setiap orang memiliki batas waktunya di dunia ini. Penyesalan tidak akan membawamu kemana-mana. Orang yang menyesal dihukum seumur hidup oleh rasa bersalahnya. 

Waktu itu berharga. Jangan biarkan rasa takutmu menghisap waktu dan kebahagiaan yang sudah diberikan kepadamu. 

Cerita Lagu

Sudah - Ardhito Pramono

Minggu, November 01, 2020

 


Sudah, 
Lupakan semua derita
Doa semesta mencairkan 
Luka akan hilang perlahan terobati 

Belajar memahami masa depan 
Tak kah yang disimpan akan tenang 
Melahirkan semua nada indah 
Mencoba menjadi bahagiamu sendiri

Life Story

The Poetics of Depression

Rabu, Oktober 14, 2020

Itu adalah judul artikel di salah satu media online tentang Virginia Woolf, salah satu penulis perempuan yang berpengaruh di awal abad ke-20. Tulisan Virginia merupakan narasi diri perempuan yang berada di lapis dalam sehingga layak dikaji untuk membuktikan keberadaan narasi feminin di tengah narasi maskulin yang mendominasi dunia sastra. Kejujuran Virginia menceritakan keresahannya dan depresinya secara puitis menjadi kekuatannya. 

Virginia memang punya sisi gelap. Akumulasi dari rasa kehilangan dan ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya (ibunya, ayahnya, dan saudaranya meninggal dunia dalam waktu berdekatan) membuat dia menderita depresi dan mood swing disorder. Suaminya, Leonard, adalah orang yang paling setia menemani dan menghadapi berbagai serial episode perubahan mood Virginia. Ia bisa sangat marah, sangat sedih, dan menderita serangan panik. Pada akhirnya, Virginia memilih mengakhiri hidupnya. Ia menenggelamkan dirinya di sungai dekat rumahnya. 

***

Bagi orang-orang yang tidak mengalami depresi atau tidak pernah berhadapan dengan mereka yang menderita depresi, dorongan untuk meniada sepertinya tampak konyol. Tapi percayalah, bahwa kesedihan dan kesakitan yang ditanggung mereka itu tidak tertahankan. Kebanyakan mereka yang depresi memilih bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya. Mereka tidak bisa melihat terang. Mereka tidak bisa memiliki harapan. Mereka kesulitan merasakan bahwa mereka dicintai. Mereka selalu merasa lelah, memberi terus-menerus tetapi tidak menerima kembali: entah cinta, respek, atau apresiasi. Orang-orang depresi menderita rasa bersalah, takut, dan melakukan self-abuse karena merasa diri mereka tidak berarti. Mereka percaya bahwa keberadaan mereka tidak penting dan tidak diinginkan di dunia ini. Orang depresi banyak melakukan "penundaan" menuju klimaks rasa sakitnya dengan melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya. Rasa sakit menjadi semacam adiksi. Dengan merasa sakit, maka semakin benarlah perasaan dan pikiran bahwa mereka adalah penyebab malapetaka: ibumu atau ayahmu meninggalkanmu karena kamu bukan anak baik, kekasihmu meninggalkanmu karena kamu tidak sempurna, teman-temanmu menjauh karena kamu tidak memiliki apa-apa, atau apapun pekerjaan atau usaha yang kamu lakukan semuanya sia-sia. 

Orang-orang depresi berjalan dalam jurang yang gelap. Sangat sedikit orang-orang yang menemani mereka dan ketika menemani mereka pun, kita tidak tahu harus berbuat apa. Aku teringat perkataan sahabatku yang berjuang bertahun-tahun dengan sakitnya, "Apakah karena kita begitu ingin dicintai dan diterima sampai kita terus-menerus yang berusaha? yang mengemis?"

***

Aku sekarang menyukai tema kehancuran: kesakitan, penderitaan, kehilangan, ditinggalkan, diabaikan, kesepian, keterpisahan, ketidakpastian, ketidakterdugaan, kerapuhan, kegilaan, dan penantian. Di tengah kehancuran, aku menemukan keindahan. Sebuah paradoks. A happy sad story or a happy horror story.  Rasanya seperti berenang dalam black hole. Jalan kehancuran kupilih (atau dipilihkan?) untuk melakukan ziarah ke dalam diri. Ini adalah jalan sunyi menuju penciptaan yang baru.

Akhirnya, aku memberanikan dan menguatkan diri untuk memanggil inner child-ku atau kusebut sweet child o'mine seperti judul lagunya Guns N' Roses. Dialah luka batinku di masa kecil yang kubawa sampai dewasa. Dalam bayanganku, dia berwujud anak kecil  berusia kurang lebih 5 tahun berkulit putih dengan mata sipit, rambut ikal kecokelatan, mengenakan kaos warna merah gambar Satria Baja Hitam, celana jeans pendek, sepatu Keds warna merah, dan topi bowler warna biru tua. Kecemasanku adalah produk dari trauma yang dia alami dulu. Dia-lah yang melakukan self abuse bertahun-tahun: pikiran-pikiran jahat dan sedih yang terus-menerus muncul manakala trauma-ku ke-trigger. Dia-lah yang merengek memaksakan keinginannya ketika tidak dituruti. Dia-lah yang akan membanting pintu dan menyakiti dirinya. Kata-katanya selalu terasa benar. Dia adalah si Jenius. Dia sebenarnya lucu dan suka tertawa. Dia yang penyayang dan akan memberikan segalanya kepada yang dicintainya. Tetapi, ketika dia merasa tidak dicintai, dia akan berbalik menyalahkan dirinya karena ada bagian dari dirinya yang tidak diterima, suatu keadaan yang divergent. Dia anak perempuan tetapi ekspresi gender-nya androgini. Dia bisa sangat maskulin sekaligus bisa sangat feminin dan bisa diantara keduanya. Aku pikir traumaku dulu hanya seputar Daddy issue dan Oma (dan aku sudah berdamai dengan itu). Namun, ternyata ada trauma yang tersembunyi. Trauma itu tentang identitasku yang hybrid. Aku harus membunuh identitasku yang satu, untuk bisa diterima di lingkungan tertentu. Kecemasanku membutuhkan validasi. Trauma itu juga dimiliki Mamiku. Tidak, trauma tidak diturunkan secara genetik, melainkan melalui pola asuh dan faktor pendukung seperti lingkungan tempat kita dibesarkan atau perlakuan orang-orang yang berinteraksi dengan kita. 

Inner child-ku itu memandangiku. Ia tampak sangat sedih, sendiri, dan kedinginan. Wajahnya hidup dalam beberapa fotoku yang diambil secara candid, wajah orang yang ditolak. Ia selalu merengut: antara sedih dan marah. Ia sering menggugat. Tapi, suaranya tidak didengarkan. Psikolog bilang aku harus melepaskan inner child-ku. Tetapi, itu tidak mungkin. Aku tidak bisa meninggalkan atau berpisah dengan dia. Dia adalah bagian diriku. Yang bisa kulakukan adalah berdamai dengannya, menerimanya, dan bekerjasama dengannya. Tentu itu semua tidak bisa dalam sekali waktu. Ini baru tahap awalnya. 

Aku lalu merentangkan tangan, mengundang anak kecil itu mendekat. Ia pelan-pelan menghampiriku. Ia masih kaku, tapi badannya akhirnya tumpah di pelukanku: Meike tidak ditolak, kamu sangat dicintai. Maafkan aku ya...aku mencintaimu, Meike.” 

Seperti kata Kermit, the Frog, "Maybe you don't need the whole world to love you. Maybe you just need one person.”

And that person is you, diri kita sendiri. 



Aku sedang bergandengan tangan dengan inner child-ku sambil mendengarkan lagu ini, "Someday we'll find it, the rainbow connection...the lovers, the dreamers, and me..". 

Love Story

The Answer

Rabu, Oktober 07, 2020

"Your silence in this time of my pilgrimage is nothing but the earthly manifestation of the eternal word of Your love."

(Encounters with Silence by Karl Rahner, SJ, 1966, p.57)



Note: It's a Grace for us

Cerita Lagu

"The Joys of a Maybe"

Rabu, Oktober 07, 2020

 


"Your laugh that I love and who takes me surely having fun with the joys of a maybe

Life without you doesn't exist 

My tears long for you 

I'm afraid to forget everything"


Sohibku Yuseptia memperkenalkan lagu Perancis ini ketika kami sedang bertugas. Seperti para tentara kesepian yang mengingat kekasih mereka, kami pun bernyanyi.

Love Story

Attachment

Minggu, September 27, 2020

Guruku, Bhagawan Eyang Pomo pernah memberi nasehat,”Dalam hidup, kita harus punya sikap prihatin”. Lalu saya bertanya, “Prihatin itu bagaimana, Eyang?”. Eyang menjawab,”Kalau sakit itu diterima. Jangan ditolak, jangan diingkari”. 
 
*** 

Trauma pertama manusia adalah ketika mereka lepas dari rahim Ibu. Itulah rasa sakit pertama kita. Ketika dimuntahkan ke dunia, disitulah tanda keterpisahan itu bermula: rasa sakit dan sedih keluar dari rasa aman dan nyaman bak Adam dan Hawa yang keluar dari Taman Eden. 

Banyak orang bisa berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain dalam level kepentingan bersama. Namun, belum tentu ketika masuk dalam relasi interpersonal yang lebih intim seperti persahabatan dan percintaan, manusia bisa merawat hubungan yang sehat, aman, dan stabil. Persoalan keintiman menjadi suatu masalah yang mendasari timbulnya kekerasan di ranah privat. Jika kekerasan di ranah privat masih terus terjadi, maka jangan heran jika kekerasan di ranah publik juga terjadi. Begitulah kira-kira teori Anthony Giddens dalam karyanya yang terkenal Transformation of Intimacy. Keintiman menjadi dasar menuju demokrasi. 

Keintiman bukan persoalan jatuh cinta dan mendapatkan orang yang ditaksir semata. Dalam kuliahnya Mbak Dian Arymami, dosenku dulu di UGM, keintiman melampaui batas-batas seksualitas. Keintiman merupakan “sesuatu yang berada di dalam” tentang apa artinya menjadi manusia dalam relasinya dengan subjek manusia dan non-manusia dan pada ide–ide sosial dalam ruang dan waktu. Keintiman hanya bisa dicapai dengan pengungkapan diri (self disclosure) di antara kedua belah pihak. Keintiman juga tercipta di antara Tuhan dan manusia. Keintiman ini hadir ketika yang Rahasia mengungkapkan dirinya. Jalan ini hanya bisa dicapai dengan rasa

*** 

Hubungan kita dengan manusia lainnya saat dewasa sangat ditentukan dengan proses pengasuhan yang diberikan pengasuh utama kita (entah orang tua, kakek-nenek, om-tante, kakak, atau babysitter) di masa awal tumbuh kembang. Begitulah bunyi teori Attachment yang dikemukakan pakar Ilmu Psikologi, John Bowlby. Dulu saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Nara, sahabatku yang seorang peneliti kesehatan jiwa. Sayangnya, waktu itu teori Narsistik dan Borderline Personality Disorder jauh lebih menarik buatku. Namun, teori Narsisitik dan Borderline tampaknya terlalu ekstrim dan kurang tepat dalam membaca konflik hubungan asmara saya. Ada hal-hal yang tidak sinkron dan dapat dipatahkan argumentasinya dengan data yang ada. Seperti Archimedes yang berteriak Eureka!, Attachment theory tampaknya jauh lebih cocok untuk memahami pergumulan asmara sekaligus bisa memahami diri dan pasangan dalam berelasi. 

Berdasarkan teori Attachment, dalam berhubungan intim, manusia terbagi ke dalam empat kategori: secure, anxious, dismissive avoidant, dan fearful avoidant. Sebenarnya, keempatnya ini dalam diri manusia, tetapi selalu ada dua yang dominan. 

Pertama, secure. Orang yang secure terbentuk karena ketika ia masih balita, ia mendapatkan kebutuhan emosi yang cukup dari pengasuhnya. Sang pengasuh selalu “hadir” dan membuat dia merasa aman dan stabil. Ketika dewasa, orang-orang secure akan memiliki hubungan intim dengan pasangannya yang stabil dan sehat secara intelektual, emosional, dan spiritual. Mereka bisa meregulasi emosi dan merespon emosi dirinya dan orang lain dengan konstruktif. Mereka bisa mandiri (independent) sekaligus juga bisa co-dependent dengan pasangannya. Mereka tidak posesif dan membebaskan pasangannya. 

Kedua, anxious. Singkatnya, orang yang anxious atau cemas terbentuk karena sewaktu balita sang pengasuh kadang ada dan kadang tidak ada. Mereka merasa ditolak dan diabaikan. Tetapi, karena pengasuhnya kadang muncul, maka mereka butuh untuk diyakinkan. Ada trust issue disini. Saat berhubungan romantis di masa dewasa, orang-orang anxious sering meminta afirmasi atau validasi dari pasangannya. Pertanyaan, apakah aku dicintai? Apakah aku dirindukan? Apakah dia selingkuh?dll merupakan pertanyaan orang-orang cemas yang dipicu rasa insecure. Orang-orang anxious cenderung menjadi needy, clingy, dan mungkin jadi posesif selama ia tidak mendapat validasi dari pasangannya. 

Ketiga, dismissive avoidant. Ini yang rumit. Mereka yang dismissive avoidant adalah anak-anak yang tidak mendapatkan kebutuhan emosi di masa sangat membutuhkan kebutuhan emosi dari pengasuhnya. Entah orang tuanya pada saat itu sedang bekerja atau studi lanjut sehingga tidak bisa secara emosional hadir untuk mereka atau mereka memang ditinggalkan. Akibatnya, si anak merasakan penolakan dan diabaikan. Perasaan inilah yang menjadi trauma. Namun, berbeda dengan mereka yang anxious, dismissive avoidant merepresi luka itu dengan berjarak dengan keintiman. Akibatnya, ketika berhubungan romantis mereka tidak suka jika pasangannya demanding dan cenderung membatasi diri untuk intim dengan pasangannya. Orang-orang dismissive avoidant ini tidak bisa dimiliki, tidak bisa dipakaikan rantai di lehernya. Secara tidak sadar, mereka mensabotase sendiri hubungan mereka sehingga membuat pasangannya yang akhirnya memilih meninggalkan mereka. Orang-orang dismissive avoidant juga kesulitan mengungkapkan perasaannya dan meregulasi emosi yang intens karena sejak kecil sudah terlatih membangun tembok pertahanan diri. Jika orang pada umumnya membangun batasan dengan orang yang tidak terlalu dekat, maka orang avoidant membangun batasan justru dengan orang-orang yang penting dan paling mereka cintai. Tujuannya, mereka tidak mau lagi merasakan luka yang sama yang mereka alami di masa kanak-kanak. 

Keempat, fearful avoidant. Hampir sama dengan dismissive avoidant. Fearful avoidant merupakan gabungan dari anxious dan dismissive avoidant. Orang yang fearful avoidant adalah mereka yang merindukan keintiman sekaligus ingin berjarak dengan keintiman itu. Mereka takut ketika mereka sudah cinta setengah mati, orang yang dicintai akan meninggalkan mereka. Yes, trauma ini karena takut kehilangan. Sama seperti dissmisive avoidant, mereka juga cenderung melakukan sabotase dalam hubungan untuk mengetes pasangannya. Kalau orang non-avoidant mengetes pasangannya dan berharap pasangannya berhasil, maka orang fearful avoidant justru berharap pasangannya gagal. Mereka yang fearful avoidant berharap untuk dikecewakan. Kasarnya, harapan mereka seperti ini: "Nah, bener kan, dia sama saja dengan yang lain. Mereka akhirnya meninggalkanku". Akhirnya, sebagai avoidant, baik yang dismissive maupun fearful memilih membangun dinding es yang tebal untuk melindungi dirinya. 

*** 

Terus, konflik asmaranya apa? 

Hmm..masalah muncul ketika si Mbak yang secure dan anxious ini menjalin hubungan dengan si Mas yang dismissive avoidant dan fearful avoidant. Orang yang ada anxious-nya secara inheren percaya bahwa mereka ditolak sementara orang yang ada avoidant-nya percaya bahwa orang-orang akan meninggalkan mereka. Sisi secure si Mbak diperoleh dari ibunya yang selalu hadir setiap saat baik secara fisik, emosional, dan spiritual. Namun, sisi anxious-nya lahir dari ayahnya yang ternyata seorang avoidant sejati. Di masa awal kembang, sang Ayah bertugas di luar kota. Bahasa cinta sang Ayah adalah act of service, ia suka memenuhi kebutuhan orang-orang yang dicintainya. Namun, si Mbak akan merasa dicintai kalau diberi quality time. Ia mau berbincang dengan ayahnya tentang apa yang dia jalani dan rasakan dalam percakapan yang mendalam atau paling tidak ayahnya hadir mendukung dia dalam momen-momen di hidupnya. Hal ini bentrok karena Ayahnya punya luka dengan keintiman di masa muda. Menjadi intim dengan orang-orang yang dicintainya sama dengan mengoyak lukanya di masa lalu. Selama bertahun-tahun, si Mbak mencari validasi dari sang Ayah, apakah aku ini dicintai? Apakah aku ditolak? Barulah, ketika ada quality time akhirnya ia memahami bahasa cinta ayahnya. Sungguh, cerita menara Babel tentang pengacauan bahasa memang menjadi sumber konflik manusia. 

Di sisi lain, si Mas terbentuk menjadi seorang yang dismissive avoidant dan fearful avoidant. Sisi secure si Mbak bisa berdamai dengan sisi avoidant si Mas, tetapi sisi anxious si Mbak membuatnya bersusah hati. Mengharapkan validasi dari orang yang avoidant itu seperti mengharapkan hujan turun di musim panas. Apalagi sisi dismissive si Mas tidak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, dia semakin menjauh. Sebagai mekanisme pertahanan dirinya, maka orang-orang dismissive avoidant cenderung mengabaikan emosi. Bagi mereka, emosi itu tanda kelemahan. Si Mas membeku bukan karena tidak mencintai si Mbak, tetapi karena ia butuh untuk merasa “aman” dan tidak kehilangan dirinya. Namun, sisi fearful avoidant-nya memiliki sensitivitas dan merindukan keintiman sekaligus takut ditolak dan ditinggalkan. Lagi-lagi ada trust issue ini. Dari yang biblis menuju profan, inilah makna "diterima tetapi dianggap sepi" (Hosea 3) itu. Si Mas mencintai dalam diam. Ia merindu dalam diam. Si Mas membalikkan makna “diam” yang umumnya dipahami sebagai bentuk penolakan, hukuman, atau penghindaran. Si Mbak didiamkan bukan karena dia ditolak, dibenci, atau dihindari, melainkan karena dia sangat dicintai. Si Mas seperti sang “Mistikus Cinta"-nya Dewa: 
apa yang sedang kurasa
apa yang sedang kau rasa 
adalah cinta yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata

Alexythymia adalah sindrom ketika seseorang tidak dapat mengenali atau menyampaikan perasaannya. Ia tidak punya kata-kata untuk bisa mengungkapkan perasaan yang dia rasakan. Sebagai catatan, keadaan ini berbeda dengan tidak memiliki perasaan. 

Kalau sudah begini, bagaimana? Hubungan ini tampaknya impossible hehehe. 

Sudah benar memang doa mereka dulu. Ajaib memang, mereka mendoakan hal yang sama. Hanya Tuhan saja yang bisa menjadi perantara, penengah, dan pemersatu. Namun, beliau jugalah yang jadi alasan pemisah. Si Mas sebagai anggota kopassus, pasukan elit Yang Mulia Komandan, harus menunaikan misi khusus: disuruh sekolah, belajar berkomunikasi, dan juga berdamai dengan masa kecilnya. Sebaliknya, si Mbak yang seorang anggota Infanteri alias pasukan tempur pejalan kaki disuruh bertempur dulu disini. Banyak urusan dan drama yang harus diselesaikan. Selebihnya, adalah kasih karunia Komandan. 

Untuk melanjutkan hidup, si Mbak harus belajar mengelola rasa anxious-nya dengan mencari tahu dan berfokus pada kebutuhan personalnya. Jika rasa anxious-nya terkelola dengan baik, sisi secure-nya akan mengambil alih dan membuat beban di hatinya terangkat. Begitu juga dengan si Mas. Ia harus belajar menerima bahwa tidak apa-apa berhadapan dengan emosi, itu bukan tanda kelemahan. Tidak apa-apa sekali-kali menjadi rentan. Si Mas harus berani dan percaya bahwa orang-orang yang benar-benar mencintainya tidak akan meninggalkan dia. Dengan begini, si Mas akan pelan-pelan bertransformasi untuk menjadi pribadi yang secure

*** 

Barangkali benar kata Rsi Meike Walmiki kepada Mpu Afif Tantular,” Bukan masa lalu yang menakutkan, tetapi masa depan. Terlalu banyak kemungkinan yang tidak sanggup dibayangkan.” 
Ya. Makanya kita hanya bisa berusaha sebaik-baiknya untuk hari ini”, ujar Mpu Afif Tantular. 
Rsi Meike Walmiki mengangguk,” Ya, seperti kata Yesus, kesusahan sehari cukup sehari, hari esok memiliki kesusahannya sendiri. Kita tidak pernah tahu, apakah besok lusa kita masih ada dunia ini atau tidak. Atau apakah kesempatan itu bisa datang dua kali.”

Life Story

Kakak

Selasa, September 22, 2020

Tidak tahu apa yang mendorongku, tetapi diam-diam aku ingin sekali memiliki anak baptis atau anak serani, istilah lawas yang dalam KBBI merujuk "Kristen", "Indo-Eropa", dan "orang Portugis". Kata di-seranikan kemudian berarti di-kristenkan yang biasanya ditandai dengan dilakukannya sakramen baptis pada seorang anak. Anak-anak yang dibaptis memiliki orang tua rohani yang disebut Papa dan Mama Serani atau disingkat Papa Ani dan Mama Ani. Istilah ini sangat umum, terutama dalam budaya di Indonesia Timur. Dalam bahasa Inggris, Papa-Mama Ani ini disebut Godparents (Godmother dan Godfather). 

Biasanya orang yang ditunjuk menjadi orang tua serani adalah orang yang dipercaya oleh orang tua kandung. Mereka mendapat tugas membimbing anak-anak baptis mereka secara spiritual. Jika terjadi apa-apa dengan orang tua kandung, orang tua serani yang kemudian mewakilkan mereka.

Bertahun-tahun aku menunggu, adakah orang yang mau mempercayakan anaknya kepadaku sebagai orang tua rohaninya. Harapanku bertumpu pada keluarga, entah anak-anak dari kakak-adik sepupu atau bahkan teman dan sahabat. Kesempatan itu tak kunjung datang dan aku menyerah untuk tetap mengharapkannya.

***

Aku mengenal pasangan Angel dan Nael sebelum mereka menikah. Kami bertemu pada tahun 2017 di saat AOA Space baru saja di-launching. Saat itu, aku, Tami, dan Angel mengambil bagian dalam pekan seni kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kami bertiga membacakan puisi. Angel merupakan temannya Tami. Nael adalah pacar Angel saat itu. Aku berkenalan dengan Angel karena aku ingin diramal dengan kartu tarot. Pertemanan kami berjalan dengan akrab. Rupanya kami sama-sama Kristen. Nasib Nael sama sepertiku: berayah Katolik dan beribu aktivis GPIB. Angel adalah seorang Katolik dengan banyak pertanyaan tentang patriarki. Kami memiliki perhatian yang sama pada isu-isu kesetaraan, humanisme, dan spiritualitas. Aku lebih dekat memang dengan Angel. Kami sama-sama penyintas. Kami sama-sama rindu dan ingin dekat dengan Tuhan. 

Tahun 2019, ketika konflik keluargaku terus berlanjut, Angel dan Nael adalah sebagian dari orang-orang yang menolong dan menemaniku. Mereka juga kena imbas, tapi hal itu tidak membuat mereka takut dan menjauhiku. Sebaliknya, ikatan kami semakin kuat. Sebagai sesama perempuan, Angel menemaniku juga dalam menghadapi pergumulan romantikaku yang unik.

***

Ketika akhirnya Nael dan Angel menikah, aku dan teman-teman yang lain turut berbahagia. Namun, berita sedih juga datang. Pertama, Angel dan Nael pindah ke Bali. Kedua, Angel memiliki kista di rahimnya sehingga dalam perhitungan medis, ia dikatakan akan sulit hamil. Lebih dari setahun menikah, Angel dan Nael menikmati rumah tangga mereka dengan ceria. Hingga suatu ketika, Angel memberitahu bahwa ia berencana untuk melakukan operasi pengangkatan kista. Di saat-saat menunggu waktu yang tepat untuk operasi itu, ia mengagetkanku dengan mengatakan bahwa ia baru menggunakan testpack dan hasilnya positif. 

Perasaanku campur aduk. Antara khawatir dan senang. Khawatir karena kesehatan Angel dan ragu apakah itu false pregnancy. Senang karena Angel menawariku untuk menjadi Mama Ani bagi si buah hati. Ketika Angel mendapatkan konfirmasi dari dokter kandungan dengan tes yang lebih akurat, kami begitu bahagia menyambut si kecil. Gila! kami sedang menantikan kehadiran janin yang sedang berperang dengan kista yang terus-menerus ingin memakannya setiap saat. 

Janin itu kami panggil Kakak. Kakak adalah buah cintanya Papa Nael dan Mama Angel. Kakak adalah pejuang kecilku, Mama Ani-nya. Nael bertugas mencari Papa Ani buat Kakak tapi dia menyerah karena menurutnya teman-temannya tidak ada yang beres hehee. Sejak hamil, hubunganku dengan Angel makin dekat. Kami terus berkontak untuk meng-update perkembangan Kakak. Kami sudah punya banyak khayalan. Kami suka mengajak ngobrol Kakak. Bahkan Mama Ani dengan jiwa controlling dan posesifnya sudah mulai mengatur-atur Kakak harus kuliah dimana hihihi. Telpon dan chat yang intens dengan Angel membuatku merasa dekat dengan calon anak baptisku ini. 

***

Di tengah-tengah pergumulan kami, aku dan Angel saling menemani. Hingga apa yang kutakutkan terjadi dan apa yang Angel takutkan terjadi. Detak jantung kakak tidak berdetak padahal usianya sudah menginjak 8 minggu lebih. Aku sendiri putus kontak dengan Aquaman. Di saat-saat itulah, aku dan Angel bertelut, menyerahkan semuanya kepada Bapa. Kami berhadapan dengan mereka yang dicintai. Cinta yang kami rasakan sebagai anugerah. Keduanya telah lama dinanti. Yang satu dengan yang ada di dalam diri dan yang satu dengan yang ada di luar diri. Meskipun itu anugerah, cinta itu ternyata memiliki pilihan dan kehendaknya sendiri. Sebagai orang yang mencintai, kami hanya ingin yang terbaik bagi yang dicintai. Yang satu ada di dalam diri tetapi tidak berdetak. Yang satu ada napasnya, tetapi diam. Kedua-duanya sepertinya ragu dan belum siap. Dua perempuan yang mencintai mereka ini hanya bisa pasrah sambil tetap punya kepercayaan dan pengharapan pada Allah. "Bapa, Lihatlah kami...". Setelah berdoa, kami jauh lebih tenang dan merasa dikuatkan.

***

21 September 2019 adalah hari yang kuingat selalu. Pertemuan secara pribadi dengan Aquaman dan bagaimana kami tenggelam dengan pembicaraan mengenai perasaan kami masing-masing. Itulah momen yang menandai kebersamaan kami. Itupula pertemuan kami secara fisik sebelum dia pergi mengikuti aliran sungai hidupnya. 

21 September 2020, aku pikir akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang kuharapkan. Aku menunggu. Adakah tanda-tandanya? Aku jatuh tertidur setelah pulang dari kampus. Tubuhku sedang pendarahan karena menstruasi. Aku sangat kelelahan. Begitu bangun. Aku mendapat WA dari Angel:"Kakak sudah pergi ke Surga..."Intrauterin fetal death, kematian dalam kandungan. Petarung kecil kami akhirnya menyelesaikan pertandingannya. 2 bulan lebih lamanya ia berjuang untuk hidup. Kakak membuktikan dia adalah pejuang sejati. Bagi pejuang, hanya ada dua kata: menang atau mati. Tidak ada kata menyerah apalagi mundur. 

Angel seperti Bunda Maria yang kehilangan putranya. Hancur. Namun, ia masih punya kekuatan untuk menguatkan suaminya Nael yang masih bersedih. Sesiap apapun kita pada perpisahan. Sepasrah apapun kita pada nasib, kita tetap saja terguncang. Kehilangan tetap kehilangan. Dalam kasusku, Aquaman tidak hilang, tetapi saat ini aku merasa ditinggalkan. 

Kami menangis bersama. Angel harus segera dikuretasi untuk mengeluarkan Kakak dari kandungannya. Setelah itu, ia akan dijadwal lagi untuk operasi pengangkatan kista. Tak ada luka lebih dalam dari kehilangan orang yang dikasihi. Cinta itu bertumbuh dalam dirinya dan kini harus terpisah. Tak hanya Angel dan Nael yang kehilangan Kakak. Sebagai Mama Ani-nya yang secara spiritual ikut mengandung dia, rasa kebahagiaan itu seperti dirampas begitu saja. Kesedihan hati dua ibu dalam spektrum yang berbeda.

Siapakah kami ini, Tuhan?. Semuanya bukan milik kami. Bapa lebih tahu yang terbaik, maka jadilah menurut kehendakMu. Aku dan Angel berusaha mengubah kepedihan kami menjadi sukacita. Angel bilang,"Ya, Kakak sekarang main sepak bola disana. Nanti kalau kandungan Mama sudah sehat, Kakak akan kembali lagi. Nanti ketemu sama Mama Ani lagi". 

Yang menakjubkan dari peristiwa ini adalah kami masih memiliki kepercayaan dan kekuatan untuk melangkah lagi. Kami masih punya harapan. Itu membuktikan Tuhan Allah hadir di antara kami. 


Selamat jalan Kakak, anak seraniku yang pertama....sampai bertemu lagi.

Love Story

“Berikanlah Milikmu Yang Paling Berharga”

Jumat, September 18, 2020


Kumaknai lukisan ini sebagai penyatuan Bunda Maria dan Yesus. Aku lupa nama pelukisnya, tetapi lukisan ini kulihat dalam sebuah pameran seni di Taman Budaya, Yogyakarta. Sehari sebelum kami berdua bertemu dan membicarakan perasaan masing-masing. 




Aku merasa seperti Ekalaya dalam pewayangan. Dia seorang anak dari kelompok marginal yang bercita-cita untuk menjadi pemanah terbaik di dunia. Ekalaya sangat mengagumi Guru Drona dan percaya dibawah bimbingan Drona, ia bisa mewujudkan cita-citanya itu. Sayangnya, Drona juga punya ambisi pribadi. Gelar pemanah terbaik di dunia sudah ia siapkan untuk Arjuna, putra raja Hastinapura yang elit dan memiliki segalanya. Ia menolak menjadikan Ekalaya muridnya demi menjaga posisi itu untuk Arjuna. Ekalaya pun pulang, namun tidak putus asa. Ia mendirikan sebuah patung Drona. Ia percaya ia bisa belajar sendiri meski dibawah “bayang-bayang” Drona. 

Selama satu tahun, aku seperti Ekalaya dalam fragmen ia belajar di bawah patung Drona. Aku mencintai seseorang yang merupakan representasi Dia yang kucinta. Aku melihat Tuhanku dalam dirimu. Sejak saat itu, aku merasakan kesepian yang dalam sekaligus cinta yang membara. Cinta yang tidak bisa dipahami oleh orang banyak. Cinta ini adalah suatu rasa yang sejati. Cinta yang mengubahkan. Cinta yang mengalami keterpisahan dan kemudian diutuhkan dalam suatu pertemuan. Ia bisa memahami yang kau rasakan dan mengatakan yang tak bisa kau ucapkan. Ia mewakilkan kasih Tuhan yang paling menggelisahkanmu. Di matanya, aku adalah sosok Tuhan yang mengetuk terus pintu hatinya. Bagiku, dia adalah sosok Tuhan yang indah dan diam. Pada akhirnya, kami berdua merasakan kasih karunia itu. Tetapi, itu tidak sederhana. 

Seperti Ekalaya yang mencintai Drona, aku juga mencintai Tuhanku. Seperti Drona, Ia pun tidak bisa kugapai. Kekasihku kemudian menjadi representasi patung Drona/Tuhan yang bisu. Ditemani diamnya, aku sendiri yang berlatih, jatuh, dan luka hingga akhirnya bangkit, pulih, dan menemukan tujuan latihan ini. Ya, aku sendiri. Tetapi, aku tidak sendirian. Aku selalu ditemani oleh Dia, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang datang menemani dan menguatkanku. Aku seperti Harry Potter. Harry bertahan bukan karena kekuatannya sendiri. Tetapi, ia memiliki support system yang kuat. Ada orang-orang yang mencintainya, peduli, dan rela berkorban untuknya. Ini yang membedakan Harry dengan Voldemort. 

Pelan-pelan aku akhirnya menyadari latihan ini memang untuk tujuan yang lebih besar. Ini untuk tanggung jawab yang lebih besar lagi. Orang-orang terdekatku melihat perubahan itu: lebih sabar, lebih bisa mendengarkan orang lain, dan mau menunggu. Aku telah mendapatkan pendidikan latihan tempur-ku kali ini dengan penuh airmata dan sukacita. Latihan ini untuk berhadapan dengan mereka yang membutuhkan pertolongan. Ada banyak hati yang perlu disembuhkan. Orang-orang yang memiliki harapan namun dikecewakan terus-menerus. Mereka yang kesepian karena tidak dicintai dan diterima sepenuh hati. Mereka yang ditolak dan diabaikan. Mereka yang terluka karena ditinggalkan. Untuk bisa menjadi penolong, aku harus mengenal diriku lebih dulu dan semua luka-lukaku. Langkah pertama yang kulakukan adalah menerima bahwa aku sakit dan cacat. Langkah kedua adalah aku mau pulih. Aku tidak mau orang lain, generasi mendatang, mengalami kepedihan yang kurasakan. Aku kini menyadari penuh tujuan dan peranku. Aku dilatih dan berlatih untuk mengasihi. Jika harus disuruh memilih antara hukum atau kasih, aku akan memilih kasih. Aku bukan pembela kebenaran yang baik. 

***

Dulu aku pikir aku sekedar menemani kekasihku yang mengenakan mahkota duri dan memikul salib. Ternyata, aku sendiri-lah yang justru mengenakan mahkota duri dan memikul salib itu. Menanggung adalah salah satu bentuk ketekunan dalam iman selain tetap berharap pada Dia. Inilah tanggung jawab besar itu. Setiap orang memiliki kekuatan di dalam dirinya. Ketika kekuatan yang dimiliki itu tidak diarahkan pada Dia, maka ia akan menjadi sebab kehancuran diri dan orang lain. Tetapi, jika kekuatan itu dipusatkan pada Dia, maka itu akan membawa perubahan besar yang membawa kebaikan, sebuah metanoia. Tuhan tidak lagi di atas langit, tetapi hadir di tengah-tengah kita. 

Dalam cerita wayang, Drona yang tahu kemampuan Ekalaya yang melampaui Arjuna itu tidak terima. Drona tetap ingin Arjuna yang memegang posisi sebagai pemanah terbaik di dunia. Untuk mewujudkan ambisi itu, Drona memanfaatkan rasa cinta Ekalaya kepadanya dengan meminta sembah bhakti. Ia meminta milik Ekalaya yang paling berharga: jari jempol kanannya. Tanpa jari jempolnya, mustahil Ekalaya bisa memanah lagi. 

Lalu, apakah yang dilakukan Ekalaya? Inilah cintanya yang paling tinggi. Ia menyerahkan miliknya yang paling berharga itu: kemampuannya. Aku pun juga memberikan milikku yang paling berharga: hatiku. Hatiku sebagai persembahan padaNya. Seperti Ekalaya, aku tahu hikmat yang kudapatkan ini bukan sekedar pemberian. Tetapi, hasil dari merespon anugerah itu. Tak perlu ada pengakuan siapa yang menang atau kalah. Rasa cintanya tidak bisa diadu. 

Aku ikhlas melepas kepergian kekasihku dengan damai. Aku tahu Allahku tidak seperti Drona. Allah tidak meminta tumbal. Allahku adalah kasih. Kasih itu membebaskan dan kekal. Aku sangat mengasihinya, maka aku melepaskannya agar ia bahagia dengan apapun pilihan hidup dan jalan yang ia pilih. Dengan melepaskannya, aku mengalami kepulihan. Aku tidak perlu menggenggam terlalu erat lagi. Pada akhirnya, semuanya bukan milik kita: ibumu, ayahmu, anakmu, kekasihmu, saudaramu, sahabatmu, hartamu, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan bahkan kebijaksanaan itu sendiri. Aku memilih dan akhirnya merasakan kepenuhan di dalam Dia. Aku harus selalu mengingat ini karena aku juga masih berdarah dan lemah. Aku sudah utuh. Inilah kebahagiaanku yang sejati. 

Selebihnya adalah misteri.

Cerita Lagu

Apocalypse

Jumat, September 18, 2020

 




"Got the music in you baby, tell me why 
You've been locked in here forever and you just can't say goodbye."

(Cigarettes After Sex - Apocalypse)

Life Story

Bukan Hati Kapten Davy Jones

Jumat, September 18, 2020

Kadang-kadang aku berpikir bahwa dosa asal itu benar adanya. Kadang-kadang aku merasa bahwa segala kekacauan dan kegilaan dalam hidupku itu bagian dari upaya penebusan dosa. Anak-cucu harus menanggung apa yang diperbuat para leluhurnya. Pembalasan karma. Hahaha...mudah sekali ya menyalahkan kemalangan  diri sendiri pada orang lain. 

Hatiku kini seperti hati Kekasihku, yang membara karena cinta dan berduri karena penderitaan. Jiwaku kini seperti Ibuku, yang tertusuk sebilah pedang. Kadang aku sungguh tidak sanggup menanggungnya. Aku hanyalah hamba sahaya. Aku bisa berdamai dengan kesepian, tetapi aku kadang tidak kuat menanggung banyak kesedihan. Ingin rasanya aku mengikuti jejak Kapten Davy Jones di film Pirates of the Caribbean. Ingin kucabut hatiku itu, menyimpannya dalam sebuah peti, dan menguburkannya di dasar laut supaya aku tidak lagi merasakan rasa sakit karena dalamnya perasaan cinta. 

Namun, kalau hatiku itu kubuang ke dasar laut, aku tidak akan bisa menolong orang lain dengan tepat. Aku akan menjadi mayat hidup. Aku akan seperti Jones yang menjelma kengerian dan membawa kematian bagi orang lain. Ia tidak bisa menjadi martir dan prajuritNya yang setia. Ia hanya akan menjadi cerita seram untuk menakut-nakuti anak-anak. 

Aku tidak mau kisah hidupku seperti itu. Aku ingin suatu saat di nisanku akan terukir sebuah kalimat: Seorang pejuang cinta yang gagah berani. Sebab kebanggaannya adalah penderitaan dan kesukaran.

Aku mungkin bisa menyerah pada manusia, tetapi aku tidak akan menyerah pada cinta. Sebab hatiku bukan hati kapten Davy Jones. Hatiku adalah hatiNya dan aku berada dalam Dia. 

Semuanya harus tergenapi.


Note: tugas Kapten Davy Jones adalah membantu menyeberangkan jiwa-jiwa di lautan menuju dunia baru.  

Sehimpun Puisi

I Carry Your Heart With Me (I Carry It In) - E.E. Cummings

Rabu, September 09, 2020

i carry your heart with me (i carry it in my heart)
i am never without it (anywhere 
i go you go, my dear; and whatever is done 
by only me is your doing, my darling) 
                                                     i fear 
no fate (for you are my fate, my sweet) i want 
no world (for beautiful you are my world, my true) 
and it’s you are whatever a moon has always meant 
and whatever a sun will always sing is you 

here is the deepest secret nobody knows 
(here is the root of the root and the bud of the bud  
and the sky of the sky of a tree called life; which grows 
higher than soul can hope or mind can hide) 
and this is the wonder that’s keeping the stars apart 
i carry your heart(i carry it in my heart)

Cerita Lagu

Emotion

Jumat, Juli 24, 2020



Pagi-pagi benar saya memutar lagu ini. Tidak tahu kenapa saya teringat untuk memutarnya. Kisahnya sedih. Tapi musiknya asyik. Ceritanya tentang putus cinta. Si subjek yang menyanyi masih belum bisa move on dari mantannya yang ternyata sudah punya pacar baru. Di imajinasi saya, si subjek lagu ini menangis sambil joget-joget asoy. 

Lebih dari itu, sebenarnya saya suka melodinya. Saya lebih menyukai versi Samantha Sang dan Bee Gees daripada Destiny's Child. Versinya Samantha Sang dan Bee Gees ini terasa sekali sound tahun 70-annya. Sound yang membawa suasana gloomy tapi cheerful. Ceria yang sedih. Paradoks.  

Life Story

Banyak Bacot Tentang Humanisme

Rabu, Juli 22, 2020

Halo good people
and evil people
juga people yang belum bisa memilih menjadi good or evil...

Pagi ini saya terbangun dengan banyak pertanyaan di kepala. Saya memang punya banyak pertanyaan dalam hidup. Mungkin ini bagian dari sikap keberimanan saya yang apinya kadang nyala kadang redup, fides quaerens intellectum (iman yang mencari-cari pengertian atau iman yang memahami). Semuanya dipicu beberapa peristiwa yang terjadi secara simultan dan percakapan dengan para sahabat. Pertanyaan-pertanyaan itu cukup banyak: Kenapa orang baik selalu tersakiti? Kenapa orang tulus yang selalu ditinggalkan? Kenapa ya orang mudah memperlakukan manusia lain dengan tidak manusiawi? Kenapa sih orang-orang makin egois? Kenapa ya orang-orang makin mementingkan dirinya sendiri? Kenapa sih ada orang hilang begitu saja padahal sedang pdkt dengan seseorang atau berkomitmen dengan orang itu? Kenapa kita mudah menjadikan manusia lain sebagai barang pemuas kebutuhan? Kenapa ada orang jago ngomong humanisme tapi prakteknya kok nol besar? 

Nah, pertanyaan terakhir ini yang cukup menghentak. Di zaman dimana menjadi spectacle atau tontonan adalah sebuah simbol kemapanan yang wajar diikuti, homo sapiens tampaknya bertransformasi lagi. Saya tetap percaya sifat dasar altruistik manusia itu ada. Tapi, sifat altruistik itu tidak murni lagi. Sifat itu terkontaminasi dengan hal-hal yang imateriel lainnya yang bersifat abstrak seperti pengakuan, status sosial, bahkan kekuasaan. Hal-hal imateriel ini kemudian dipertukarkan dengan hal-hal yang materi. Kita membentuk citra kita untuk dipandang atau dilekatkan dengan sesuatu. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa saya orang yang humanis, saya menunjukkan dengan memposting di instagram gambar-gambar plus caption yang bernarasi tentang kebaikan atau penghormatan pada kemanusiaan. Ya, pada titik ini sih hal-hal tersebut masih terasa wajar. Tetapi, ketika kemudian citra itu menjadi tidak matching dengan aksi/tindakan, bukankah kita menjadi pembohong dan menipu diri sendiri dan orang lain? Dimana etika kita?

Dulu saya punya teman-teman yang suka sekali berdandan seperti gembel. Tidur di emperan atau memakai baju yang itu-itu saja. Beberapa juga tidak mandi untuk menunjukkan kegembelannya. Mereka ngomongin tentang ketimpangan kelas dan relasi kuasa. Mereka rajin bicara tentang humanisme dan potensi manusia untuk melakukan hal-hal baik. Mereka tak segan membagi ilmu. Mereka juga tak segan berbagi makanan dengan teman-teman yang kelaparan. Mereka naik angkot atau jalan kaki. Mereka ikut aksi menentang penggusuran. 

Siapakah mereka ini sebenarnya? Ya, teman-teman ini kebanyakan anak-anak orang kaya. Mereka punya priviledge. Sebagian anak pejabat dan sebagian lagi keturunan bangsawan yang harta kekayaannya tak habis tujuh turunan. Mereka bisa menolong orang lain karena memang mereka mampu untuk menolong. Saya sempat mengagumi mereka atas keberaniannya menyuarakan suara kaum tertindas. Saya kagum akan keberpihakan mereka. Namun, saya pelan-pelan curiga apakah mereka ini benar-benar hatinya tulus atau jangan-jangan mereka sedang mengalami sindrom Sidharta Gautama? Itu loh, sindrom yang banyak dialami anak-anak orang kaya yang melihat kemiskinan dan penderitaan sebagai hal yang eksotik. Saya ragu mereka memang benar-benar berempati pada orang-orang lemah atau sebenarnya itu pemberontakan untuk melawan Patriak atau Matriak di rumahnya? Mereka kemudian terbagi dua: Mereka yang dengan bersemangat melihat penderitaan bagai anak kecil yang memandang makhluk-makhluk air dari balik aquarium raksasa atau mereka yang benar-benar tenggelam bersama mereka yang benar-benar terpinggirkan. 

Lalu masalahnya dimana? Kan hak setiap orang untuk memilih mau berpijak dimana. Nah, beberapa kejadian membuat saya bingung. Saya menemukan inkonsistensi dan tidak adanya korelasi antara apa yang mereka bicarakan dengan kemudian relasi-relasi interpersonal dan berkomunitas yang mereka lakoni. Pacar-pacar mereka mengadu sebab mengalami kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual. Tapi, yang paling parah jenis kekerasan simbolik. Waktu itu kami belum belajar Bourdieu dan kekerasan simbolik masih menjadi istilah asing. Tapi, yang mereka rasakan hampir sama. Ada kekuatan (biasanya lewat wacana yang mereka buat) yang kemudian menudukkan pacar-pacar mereka ini. Ada ikatan tidak kasat mata untuk mengikat mereka kepada fantasi tentang relasi yang romantis dan indah. Pacar-pacar mereka ini ditundukkan secara body, mind, and soul dan mereka bersedia patuh padanya. Akibatnya fatal, pacar-pacar ini hanya bisa pasrah dan memaklumi apabila diperlakukan kasar dan tidak adil. Dalam berkomunitas, mereka ternyata terbagi-bagi lagi. Ada yang suka mengadu domba. Ini taktiknya proxy war banget. Ada yang opurtunis. Ada lagi yang sebenarnya apatis tapi suka mencitrakan kepedulian yang mendalam. So, humanisme yang kau bacotkan itu apa ya? Bagaimana orang lain bisa percaya kontribusimu pada masyarakat jika dalam hubungan interpersonal saja kamu sudah menjadi tiran? 

Sejak saat itu, saya jadi belajar tidak mudah terkesima dengan orang-orang. Ini juga tidak mudah buat saya karena saya liyan dan ada sejenis hasrat untuk bisa fit in di dunia yang menolak saya. Dengan kenal atau dekat dengan mereka, saya seperti merasa diterima. Sayangnya, hanya karena mereka punya kisah hidup yang wow dan bicaranya sangat inspiratif, belum tentu mereka adalah orang-orang yang tulus hati dan punya kemauan menolong orang lain. Belum tentu mereka tetap mau memperlakukan manusia lain dengan manusiawi. Belum tentu orang-orang yang bacot tentang humanisme adalah orang-orang yang bisa memanusiakan manusia. 

Saya sendiri juga jadi berhati-hati. Karena setiap kata-kata yang saya keluarkan harus bisa saya pertanggungjawabkan. Mempertahankan konsistensi, komitmen, dan kesetiaan itu sangat sulit. Mengapa? karena realitas selalu memaksa kita untuk beradaptasi. Adaptasi yang membuat kita harus memilih. Kalau harus memilih antara kebenaran dan kasih, kamu akan memilih apa? Sungguh ini tidak mudah. Tapi kita selalu punya pilihan. Memilih untuk setidaknya mencoba atau memilih pergi berganti haluan. Memang gampang bicara tentang humanisme, tetapi lebih berat lagi mempraktekkannya. 

Life Story

Minggu Pagi

Minggu, Juli 19, 2020

Jangan pernah meremahkan informasi. Satu informasi yang positif membuatmu happy menjalani harimu. Satu informasi yang negatif memberimu perasaan sedih. 

Sepertinya keputusan saya menonton ulang film Before Sunset di hari minggu yang tidak cerah ini adalah salah. Pertama kali nonton film ini di kala remaja dan saya tidak mengerti. Barulah di usia dewasa seperti saat ini, saya baru bisa relate dengan konflik yang diajukan film ini. Dialog-dialog antara Jesse dan Celine yang akhirnya berjumpa setelah sekian lama membuat perasaan berkecamuk. Rindu yang membara, perasaan skeptis, depresi, kemarahan, ketidakberdayaan, dan harapan. Ya, kadang kita seperti Jesse dan Celine yang merindukan koneksi dan komunikasi di antara manusia. Perasaan bahwa akhirnya kita tidak sendirian lagi. Perasaan yang disebut cinta. Namun, cinta tidak pernah sederhana. Cinta bukan tujuan melainkan proses. Bertemu dan berpisah. Bersama dan tidak bersama. Bersatu dan sendiri-sendiri. Walaupun endingnya bahagia, pertengahan film sampai menjelang ending benar-benar menguras emosi. "I put all my romanticism into that one night and I was never able to feel all this again. Like, somehow this night took things away from me and I expressed them to you, and you took them with you. It made feel cold like love wasn't for me", begitu kata Celine penuh emosional. Apakah benar bahwa cinta hanya bisa dikatakan romantis bila ia dialami bersama seseorang yang tidak bisa dimiliki dan kamu harus melepaskannya? bahwa waktu ternyata bukan milik kita?

Dan seperti belum cukup. Sebuah berita duka datang di saat yang sama. Sang maestro puisi Indonesia, Sapadi Djoko Damono berpulang ke pangkuan Sang Kekasih. Rasanya Indonesia harus bersabar menunggu lahirnya maestro puisi berikutnya lagi. Selamat jalan, Eyang Sapardi. Karya-karyamu abadi. Engkau abadi. 

Life Story

Bangkit!

Jumat, Juli 17, 2020

Yeayy...
Akhirnya apa yang harus diselesaikan berhasil diselesaikan. I'm really proud of myself. Trauma mungkin tidak bisa hilang. Ia hanya tertidur. Tapi kita bisa selalu membuat dia tidur lebih lama. Tidak mudah melawan demon di dalam diri sendiri. Sungguh. Yang benar-benar bisa menyelamatkan diri kita sendiri adalah diri kita sendiri (*kemudian nyanyi lagu Hero-nya Mariah Carey). Orang lain hanya bisa berdiri di garis tepi untuk memberi dukungan dan semangat. Namun, perjuangan itu memang harus dilalui sendiri. Tentu karena kita cacat, kita perlu mengandalkan Dia. Dia yang merangkul bahu kita dan menemani kita berjalan. 

Dia yang cintanya seindah siang disinari terang. Dia yang menyapa dengan angin sejuk di kala petang. Dia yang lembut dan penyayang. Aku sayang padaNya.

Life Story

Tentang Trauma

Senin, Juli 06, 2020

Saya sedang tidak bisa fokus. 

Ceritanya saya memiliki banyak deadline. Namun, saya tidak bisa melaksanakannya. Tidak bisa menulis. Setiap saya memulai untuk menyelesaikan tulisan tersebut saya seperti membeku di tempat. Padahal, ide-ide itu sudah meletup-letup di otak saya. Tapi, saya tidak bisa bersalin, saya tidak bisa beranak. "Anak" saya yang kesekian ini sepertinya sungsang. Loh penyebabnya apa? Trauma saya ke-trigger. Kali ini lebih intens. Trauma itu sudah ada sejak lama dan saling berkelindan. Lalu, peristiwa-peristiwa setelahnya memperdalam betul trauma itu. 

Saya punya tiga trauma yang berhasil diidentifikasi. Trauma pertama tentang penolakan. Trauma penolakan itu sudah dimulai sejak saya masih janin. Hal inilah yang menjelaskan mengapa wajah saya jika dalam mode "default face" tampak seperti orang marah atau merengut, padahal saya sama sekali tidak marah. Beberapa orang menghakimi saya karena wajah saya ini dibilang seperti orang yang judes atau sombong. Saya tidak pernah menyadari betul hal itu sampai saya memperhatikan foto-foto saya yang diambil secara candid. Ketika saya sadar dengan kamera dan tersenyum, wajah saya ceria dan ramah. Begitu saya tidak tersenyum, wajah saya jadi menakutkan. Rassel, teman saya yang fotografer, mengatakan bahwa wajah saya itu memang seperti respon terhadap penolakan. Mungkin begitulah wajah orang yang dilahirkan dalam amuk badai. Di beberapa video yang saya lihat ketika menjadi pembicara, saya menangkap suatu inkoherensi. Apa yang saya ucapkan dengan yang saya ekspresikan tidak nyambung. Tapi, mungkin dengan latihan public speaking itu bisa diubah. Trauma penolakan yang lain adalah bullying dan body shaming semasa saya SD-SMP. Saya baru menyukai tubuh saya dalam proses panjang ketika duduk di bangku SMA-kuliah S1. Tampaknya, proses penerimaan diri ini merupakan proses seumur hidup. 

Trauma kedua adalah pelecehan seksual yang saya alami di jalan. Saya masih sulit menceritakan detilnya. Kejadiannya waktu saya duduk di bangku SMA sekitar tahun 2008. Saya baru menceritakan hal itu pada Mami di tahun 2017. Sejak saat itu, bersama teman-teman penyintas kekerasan seksual lainnya kami concern berjuang untuk pemulihan dan keadilan hukum pada korban. Sayangnya, di beberapa kasus dimana saya pernah ikut mengadvokasi bersama teman-teman, trauma saya ke-trigger. Di saat itu, saya ingin sekali menggapai orang-orang terdekat saya. Ketika salah satu diantara mereka tidak bisa ada secara emosional, maka akan memicu trauma saya yang ketiga.  

Trauma ketiga adalah trauma karena ditinggalkan/diabaikan yang muncul karena saya menghadapi kematian orang-orang yang tercinta secara mendadak, dalam waktu yang dekat dan beruntun, serta tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Kita semua berhak mendapatkan perpisahan yang layak. Sayangnya, perpisahan itu menjadi menyakitkan karena terjadi tanpa persiapan. Seperti manusia pada umumnya, kita semua takut mati. Tapi, setelah peristiwa kematian-kematian itu, saya mulai berpikir bahwa mati itu lebih enak daripada hidup. Saya kaget dengan pemikiran saya itu karena saya termasuk orang yang berencana ingin hidup 1000 tahun lagi. Pola tidur dan makan saya juga tidak teratur. Saya ingin tidur saja. Tetapi, kalau saya tidur saya bermimpi buruk dan sedih. Akhirnya, saya takut untuk tidur. Akibatnya, saya seperti zombie: hidup tidak bersemangat, mau mati pun tapi belum waktunya. 

Waktu itu, saya membaca artikel tentang PTSD dan tampaknya saya mengalami beberapa simpton dari PTSD. Saya juga ikut dalam tes online dan hasilnya ada indikasi saya berada di fase depresi ringan. Dengan menyadari peristiwa yang menurut saya "ganjil", saya langsung mendiskusikan hal itu dengan Laili yang juga pernah mengalami trauma menghadapi kematian beruntun di keluarganya dan dia menyarankan saya ke psikolog. Syukurnya, psikolog yang saya temukan cocok. Guys, pilih psikolog seperti menemukan jodoh, salah pilih bisa bahaya. Kadang psikolog yang salah ini bisa memperburuk keadaan kita. Sebagian dari mereka suka menghakimi dan memaksakan diagnosis atau pendapat mereka kepada kita. Saya beruntung bahwa psikolog yang men-treatment saya lebih banyak mendengar dan membantu saya menemukan kualitas-kualitas diri saya yang baik. Ia juga tidak menghakimi. Di akhir sesi, setelah menangis, kami berpelukan. Nah, psikolog serta curhat dengan orangtua dan para sahabat adalah bantuan eksternal. Ada beberapa teman yang memilih yoga dan meditasi untuk trauma healing-nya. Saya memilih menulis seperti yang saya lakukan di blog ini. 

***

Pada titik ini, saya bersyukur masih memiliki kesadaran untuk mengontrol hidup saya. Saya bisa menangkap sense of danger dan bisa segera mencari pertolongan sebelum keadaan itu menjadi parah dan tidak bisa ditangani. Saya juga cukup beruntung karena pergaulan saya membuat saya aware dengan kesehatan mental. Di negara-negara maju, kesadaran terhadap kesehatan mental merupakan hal yang menjadi fokus perhatian sehingga banyak anak muda juga tidak segan mencari pertolongan ke psikolog atau psikiater. Sayangnya, hal yang sama belum berlaku di Indonesia. Masih banyak orang yang tidak mau menghadapi kenyataan bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan stigma pada pasien kesehatan mental sangat negatif. Saya memiliki beberapa teman yang struggle dengan hal yang sama dan kami berjuang saling support untuk bisa survive. Kami membentuk support system supaya bisa saling menjaga dan berjalan bergandengan tangan bersama. Kami semua adalah penyintas.  

Ya, saya sangat suka sekali kata "penyintas". Penyintas adalah korban yang berusaha bangkit dari keterpurukannya. Ia punya kemauan dan ada daya untuk bangkit lagi. Kita tidak bisa menghindar dari tindakan yang menyakiti kita. Menjadi penyintas atau tetap menjadi korban adalah pilihan. Apa bedanya? Penyintas berusaha berjuang untuk mengubah keadaan tersebut supaya tidak dialami lagi oleh orang lain. Penyintas berusaha memahami mengapa "hal itu terjadi" dan berdamai dengan itu. Penyintas memberikan dorongan yang lebih positif kepada orang-orang di sekitarnya. Ia akan lebih memahami trauma orang lain dan bisa memberikan pertolongan yang efektif. Di sisi lain, korban memiliki ketidakberdayaan. Ia marah dan dendam dengan peristiwa yang dialaminya dan pada orang yang melakukannya. Aura korban memang negatif karena penuh dengan kemarahan, kekecewaan, dan putus asa. Rasa sakit yang tidak terperi. Kita semua yang terluka adalah korban, tetapi ketika kita tetap menjadi korban kita akan memiliki sejenis rasa "hak untuk menjadi jahat" karena sudah diperlakukan tidak adil oleh hidup dan orang lain. 

Kata Mbak Puput teman kos-ku yang kuliah ilmu Psikologi, semua orang pasti punya trauma. Kita semua ini punya cacat dan tidak ada manusia yang bisa bilang dengan percaya diri bahwa dia "tidak punya kepahitan atau tidak punya gangguan jiwa". Orang yang bilang "aku tidak punya gangguan jiwa" adalah pasti punya gangguan jiwa. Mbak Puput memberi contoh pada orang-orang yang bangga mengakui dirinya perfeksionis. Perfeksionis sendiri adalah gangguan jiwa. Bagaimana bisa kamu ingin sempurna di dunia yang tidak sempurna? 

Trauma ini bukan tentang orang yang melakukannya pada kita. Namun, trauma terjadi karena tindakan orang tersebut. Efek setelah mengalami tindakan itu yang menyebabkan traumanya muncul lagi. Misalnya: Si A punya trauma penolakan dan ditinggalkan/diabaikan. Suatu hari ia mengekspresikan rasa cinta dan rindunya pada pacarnya melalui surat. Tetapi, tanpa diduga, pacarnya tidak mau berkomunikasi lagi dengannya selama berbulan-bulan setelah menerima surat itu. Padahal, sebelumnya tidak ada pertengkaran dan hubungan mereka juga baik. Kalau pacarnya ingin berpisah, kenapa tidak ada kata selesai? Kalau A ada salah dengan mengirim surat itu, kenapa pacarnya tidak memberitahu letak kesalahannya? kenapa pacarnya malah diam? A tidak menemukan koherensi sebab-akibat dalam peristiwa itu. Apalagi suratnya adalah niatan baik untuk menguatkan dan menghibur pacarnya. Trauma A tentang penolakan muncul lagi akibat respon pacarnya dan berkelindan dengan traumanya karena ditinggalkan tiba-tiba. Ada juga cerita Si B. Dia punya trauma karena diremehkan orang tuanya. Sehari-hari dia bekerja dengan baik dan berhubungan sosial dengan baik juga. Namun, suatu hari Bosnya mengatakan sesuatu yang meremehkan dia atau membuat dia merasa tidak diperhitungkan. Trauma B langsung ke-trigger dan dia langsung down. B berpikir untuk bunuh diri. B merasa tidak layak meskipun dia dikelilingi orang-orang lain yang menyayangi dia seperti pacar dan sahabat-sahabatnya. Perlu dicatat, meskipun ini tidak semua dan kasuistik, ada memang kecenderungan mereka yang memiliki trauma untuk menyalahkan diri dan menyakiti diri. Efek lain adalah mereka bahkan tidak merasakan apa-apa atau kebas (numb) padahal yang mereka alami adalah trauma hebat. 

Hal yang membedakan kita yang masih bisa berfungsi dan bekerja dengan baik dengan pasien yang dirawat di RSKD adalah tingkat keparahannya. Mereka yang dirawat di RSKD sudah ada di level fisiologis dan psikotik yang tidak saja membutuhkan treatment berupa konseling, tetapi juga pengobatan untuk bisa berfungsi lagi. Kita yang belum di level itu sebenarnya ada di level neurotik. Tapi penjelasan mengenai ini bisa dibaca di website lain yang lebih komprehensif tentang kesehatan mental.

***

Pada akhirnya, pilihan tetap di tangan saya. Saya mau menyembuhkan trauma saya. Saya berusaha belajar menerima, ikhlas, dan berdamai meskipun itu sangat berat dan sulit ketimbang pilihan untuk menjadi jahat dan melakukan balas dendam yang jauh terasa lebih mudah. Saya memilih cinta. Saya memilih kebaikan. Semuanya saya lakukan supaya saya bisa menjalani hidup saya dengan tenang dan bahagia. Saya pikir dengan tetap berbuat kebaikan dan berdamai, maka trauma itu akan hilang. Tapi rupanya traumanya tidak hilang begitu saja, pemirsa. Trauma itu bisa muncul lagi apabila ter-trigger oleh suatu peristiwa, tindakan, atau hal-hal ekternal lainnya tanpa kita bisa prediksi atau kontrol. Ini benar-benar sangat melelahkan karena seperti berhadapan dengan setan yang sama berulang-ulang. Benar kata Nara, seperti orang yang kena tipes, trauma ini suka kambuh. Trauma bisa menimbulkan efek dominonya yaitu stress dan bisa berujung pada depresi. Depresi yang membuat kita tidak menghargai hidup lagi. Depresi yang membuat kita berpikir "kematian pun makin akrab" seperti judul puisi Subagyo Sastrowardoyo. 

Tulisan ini tentang trauma dan bagaimana trauma mempengaruhi cara kita bertindak dalam hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Tindakan kita bisa sangat berakibat fatal pada orang lain. Kita pun juga tidak bisa mengontrol tindakan orang lain yang mentrigger trauma kita. Mungkin kita tidak bermaksud jahat, mungkin tindakan kita hanya respon dari upaya kita melindungi diri. Namun selalu ingat, kita tidak pernah bisa benar-benar lepas sepenuhnya dari jaring-jaring hidup yang rumit. Kata temanku Didin, jangan pernah mengharapkan jawaban yang sederhana karena kita semua berangkat dari pengalaman yang berbeda-beda. Mungkin jalan tengahnya adalah dengan mencoba melakukan humanisasi, memanusiakan manusia. Ini adalah titik temu ketika orang-orang yang punya trauma bertemu dan berinteraksi. Apalagi ketika mereka saling mencintai. 

Life Story

Setelah Dia Pergi

Jumat, Juli 03, 2020

Reinkarnasi. Konsep ini menjadi mengerikan buatku sekarang. Saya membayangkan kita menjalani hidup yang penuh penderitaan ini lalu kemudian mati dan terlahir kembali untuk menjalani hidup yang sama menderitanya di kehidupan selanjutnya. Namun, saya lebih ngeri lagi membayangkan terlahir kembali dan tidak menemukan Mami dan Daddy sebagai orang tua saya lagi. Di kehidupan kali ini, saya sangat terberkati mendapatkan mereka sebagai orang tua. Hidup bersama mereka tidak bisa dibilang mulus bagai serial TV Amerika, tapi kami bertiga belajar bersama-sama. Kami belajar mengasihi dan menerima apa adanya. Kami belajar untuk sama-sama bertumbuh. Kami belajar mengampuni dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Kami belajar bekerjasama. Kami belajar untuk saling melindungi. Kami belajar untuk setia, kuat, dan bertahan. Kami belajar menjadi versi terbaik dari kami masing-masing.

Ingatan saya kembali ketika saya masih sangat kecil. Mungkin di usia yang baru bisa belajar berbicara. Di atas motor RX King punya Daddy, kami bertiga berboncengan. Kadang saya berdiri di tengah, kadang duduk di depan. Lalu Daddy akan memacu motornya di jalan Panakkukang Mas. Mami akan bertanya, "Kakak itu gambar apa?," sambil menunjuk lampu hias berbentuk bermacam-macam hewan. Lalu, saya akan mulai mengabsen mereka satu per satu, "ikan, bebek, udang, kupu-kupu...". Bahagia sekali keluarga muda itu. Kami selalu bertiga. Hingga suatu hari yang tidak diduga, dia yang selalu menjadi perekat, perantara, dan penegah di antara mereka bertiga itu menyelesaikan perziarahannya di dunia ini. Chaos!

Tidak terasa sudah 2 tahun Mami pergi. Sejak saat itu saya bangun dengan merasakan lubang hitam di dalam dada. Ada kesedihan yang tidak bisa dideskripsikan. Namun, ada juga sejenis kelegaan bahwa Mami sudah berada di tempat yang lebih baik. Sisi rasional saya memandang Mami sudah tidak perlu merasakan rasa sakit dari kehidupan lagi. Ia sudah selesai dengan semuanya. Mami sangat mencintai saya. Maka, meninggalkan saya pun adalah hal yang juga berat baginya. Ya, kepercayaan itu membuat saya lebih bisa menerima kepergiannya. 

Saya dulu berpikir kematian adalah akhir dari segalanya. Tidak ada ikatan lagi antara orang yang hidup dan orang yang mati. Orang yang mati hanya menjadi kenangan. Tapi saya salah. Kematian tidak memisahkan kita dari orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Seperti ada tertulis, cinta kuat seperti maut dan nyalanya seperti nyala api Tuhan. Cinta tetap ada meski raga sudah tak ada. Cinta membentuk ikatan yang tidak bisa dilenyapkan oleh waktu dan dibatasi dunia antara yang hidup dan mati. 

Sejak saat itu, pelan-pelan saya mengasah rasa. Belajar bersentuhan dengan yang halus dan rahasia. Melihat dengan hati. Membaca yang tidak terselami. Ada yang bisa kita kenali ketika tubuh sudah tak dikenali lagi. Kadang saya tidak mengerti bahkan meragukan kewarasan saya. Tapi, rasa itu sangat kuat. Ia hanya bisa semampu itu. Ada jurang tak terjembatani di antara kami. Ia tidak bisa kembali lagi kesini, tetapi suatu saat nanti saya bisa pergi ke tempatnya berada. 

Daddy juga sudah banyak berubah. Saya melihat kualitas-kualitas yang ternyata sama dengan Mami. Mereka berdua memang sejoli. Daddy memiliki komitmen yang kuat. Ia sangat loyal. Dia memiliki konsistensi. Dia jujur dan tulus. Dia punya dunianya sendiri. Dia tidak pandai menunjukkan perasaannya. Tapi, melalui tindakan yang konsisten dengan mengingatkan makan atau mengirimkan ayat-ayat kitab suci, ia sedang menunjukkan rasa sayangnya. Kami sudah jarang bertengkar lagi. Ini hal yang sangat kusyukuri. Kami belajar berkomunikasi dengan baik. Rasanya hidup di tahun ini lebih baik dan stabil untuk kami berdua. 

Namun, ada berita duka. Selain corona yang entah kapan akan berakhir, Daddy baru saja kehilangan sahabatnya, Om Yoseph. Walaupun saya tidak pernah bertemu langsung dengannya, Om Yoseph adalah salah satu tokoh penting yang turut menyelamatkan keluarga kami. Tuhan memakai Om Yoseph untuk memperingatkan kami mengenai hal-hal sehingga kami bisa waspada. Perannya mengingatkanku pada nabi Natan. Selain Om Yoseph, sebelumnya ada Om Aman, temannya Mami yang juga dipanggil Tuhan. Saya terakhir berjumpa dengan beliau di pemakaman Mami Ice. Rasanya sangat ngeri dan mengejutkan bahwa kematian memang mengintai kita setiap saat. Saya mengenang Om Aman sebagai arranger musik gereja yang mumpuni. Di waktu kecil, dia sering sekali ngobrol dengan Mami sambil membicarakakan saya, “Kak Meis, itu Meike diajak menyanyi”. Mami hanya akan membalas dengan tertawa, “Edede… jangan mi..nda disitu bakatnya”. 

Ya begitulah. Hidup masih terus berjalan. Banyak gelombang. Banyak kejutan menanti. "Mami, bagaimana kabarmu disana? Ramai mi toh… banyak mi temanmu disana. Hehehe..”.

Review Film

Reply 1988

Sabtu, Juni 20, 2020



Bagi yang ingin bernostalgia kembali di tahun 1980-an, yang menyukai percakapan mendalam tentang keluarga, persahabatan, dan cinta, yang suka musik-musik tahun 80-an, yang suka fashion tahun 80-an, yang ingin nonton drakor yang "beda" gak kayak modelan telenovela seperti biasanya, dan yang ingin dapat insight dengan quote-quote yang gak cheesy dan menggurui, maka serial Reply 1988 sangat direkomendasikan. 

Peringatan: beberapa cerita sangat riil dengan kehidupan nyata, mengembalikan memori di zaman kita masih kecil, memicu jatuhnya airmata dan memancing tawa, serta memberi candu untuk nonton terus meskipun ada 20 episode dan masing-masing episode berdurasi 1 jam-an. 

Love Story

Queer Romance

Jumat, Juni 19, 2020

Halo sahabat,

Enam bulan terakhir ini saya belajar menghadapi ketidakjelasan, ketidakstabilan, ketidakterbatasan, ketidakmungkinan, ketidaknyamanan, dan ketidaktahuan yang sungguh melelahkan. Saya seperti berhadapan dengan udara dan air bersamaan. Air mengikuti bentuk, tetapi tidak bisa digenggam. Udara menempati ruang, tetapi tidak bentuk ruang. Bayangin dong, saya yang lahir dibawah naungan elemen tanah yang stabil, solid, teguh, dan jelas ini harus menghadapi sesuatu yang berkebalikannya. 

Tapi saya selalu punya pilihan. Ketimbang lari dari kenyataan, saya memilih belajar dan berdamai dengan sisi-sisi kehidupan yang membuat kita tidak nyaman. Saya belajar berdamai dengan keadaan yang ngambang kayak tai di kali. Saya belajar hidup di dalam keadaan "antara". Tidak ada hitam putih, ya dan tidak. Saya sedang berada dalam situasi yang queer, situasi yang sedang berproses untuk "menjadi". Sesuatu yang cair dan tak sederhana. Saya tidak bisa langsung memilih menjadi optimis atau pesimis. Saya kini berada di antara keduanya. Nggak enak banget kan perasaannya? hehee. Selamat datang di dunia baru saya. Dunia yang saya sebut queer romance dalam ruang heteronormatif. Queer romance adalah hubungan romantis dengan partner anda dalam situasi yang tidak fixed, tidak stabil, cair, dan ke-ngambang-an. Tenang, relasi ini juga berlaku di hubungan pertemanan, pekerjaan, bahkan keluarga. 

Orang awam akan melihat ini sebagai usaha yang sia-sia dan tidak pasti. Buang-buang waktu saja, mending cari yang pasti-pasti. Namun, sebagai seorang ilmuwan sosial dan passionate lover, bagi saya ini seperti sebuah dunia yang baru. Seperti Alice yang memasuki dunia ajaib penuh hal-hal gaib yang mencengangkan. Perspektif saya jadi diperluas untuk mengeksplorasi hidup yang penuh warna-warni. Saya bersyukur bahwa saya diperkenankan menghadapi hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Manusia itu memang unik, maka cara berkomunikasi dan bertindaknya bisa beda-beda. Ya, tentu ada yang termasuk reaksi "umum", "normal", "kebanyakan", atau "biasanya". Tetapi, kita tidak bisa menafikan bahwa ada hal-hal primer yang khas yang tidak bisa digeneralkan. Dengan mempertimbangkan betapa unik dan kompleksnya manusia, maka tentu ada banyak model dan bentuk jenis-jenis relasi antar manusia.

Berikut, ada dua lagu dari Sheila Majid yang diiringi permainan akustik Tohpati. Kedua lagu ini ceritanya kurang lebih sama yaitu tentang menunggu kembalinya sang kekasih yang tiba-tiba menghilang. 

Lagu yang pertama berjudul "Haruskah Ku Pergi" ini musiknya lebih sendu dan terkesan pesimis. 


...
katakan padaku
apakah salahku?
kau terdiam tak berkata
menjauh dan menghilang

haruskah ku pergi
sendiri menyepi
meninggalkan cinta kita untuk selamanya
mengapa terjadi?
kau pergi dariku
Tuhan, tolong bimbing aku
akankah dia bisa kembali?


Lagu yang kedua berjudul "Kunanti" musik dan liriknya lebih optimis. Seperti ada harapan untuk bertemu kembali.


...
walau kau tak disini
tak lelah ku menunggu senyummu
membelaiku, memelukku
rajut kisah kasih kita berdua 
indah selamanya

dengar hai kasih
aku menunggumu
apakah jua terasa getaran itu
walau kau pergi tinggalkan diriku
Oh Tuhan, kumohon bawa dia kepadaku
disini kehadiranmu kunanti



Saya suka mendengarkan kedua lagu ini bergantian. Tapi, kalau kamu tanya perasaan saya condong kemana? Hmmm... hehehe...