Life Story

Filosofi Bolu Meranti dan Bolu Bakar

Senin, April 30, 2018

Saya tidak suka kue bolu. Tetapi bolu Meranti yang hanya didapatkan di Medan ini mengubah selera saya. Saya jadi penggila bolu Meranti sehingga kenalan dekat yang akan ke Medan hampir pasti akan kena pajak bolu Meranti. Sebulan yang lalu saya meminta sahabat saya yang sedang dalam perjalanan dinas ke Medan untuk membawakan sekotak bolu Meranti keju favorit saya. Membayangkan makan bolu dengan perpaduan krim dan potongan keju saja sudah membuat saya menetaskan liur. Saya berharap sekali saat itu. Sahabat saya pun berjanji akan membawakan bolu Meranti itu. Namun, apa yang terjadi? Sepulangnya dari Medan, ia memang membawa sekotak bolu Meranti tetapi bolu Meranti itu bukan untuk saya saja. Kotak bolu Meranti yang dibawanya berisi tiga gulung bolu dengan aneka rasa: keju, mocca, dan blueberry. Bolu Meranti itu dinikmati beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Kecewa? Ya. Saya berharap bolu Meranti itu akan spesial untuk saya, maka ketika harus membaginya dengan orang lain, saya merasa sedih yang ganjil. 

Tiga minggu kemudian, teman kos saya liburan ke Bandung. Awalnya saya juga titip untuk dibawakan brownies Kartika yang terkenal itu. Teman saya berjanji akan membawanya meski tampaknya ia tidak terlalu yakin. Bandung sangat macet dan kadang yang kita cari tidak selalu ada. Jadi, saya juga tidak berharap banyak. Siang tadi ia mengetuk pintu kamar saya dan memberikan sekotak bolu bakar rasa keju dari Bandung. Saya tidak pernah makan bolu bakar sebelumnya. Bolu bakar yang dimaksud tampak seperti hibrida roti bakar bandung dan kue bolu Meranti. Ada taburan keju dan krim di tengahnya. Malam ini sambil makan bolu bakar itu, saya merefleksikan kedua peristiwa tersebut.

Kadang-kadang ketika kau mengharapkan sesuatu, sesuatu itu ternyata bukanlah untukmu. Di sisi lain, ketika kau tidak terlalu berharap banyak, sesuatu yang tidak pernah kau minta (namun tampaknya seperti pengganti dari yang kau harapkan) tiba-tiba hadir dan terasa tepat. Sesuatu itu hanya diperuntukkan untukmu. Sesuatu seperti bolu bakar itu.

Sekian. 

Life Story

Layfe

Jumat, April 20, 2018


Bagaimana rasanya menjadi bagian dari ketidakadilan?

Lelah. Sangat Lelah. 

Rasanya seperti ada hubungan patron-klien yang tidak terputus. Seperti ada relasi kuasa abadi yang tidak bisa diubah. Kau adalah korban ketidakadilan, kau melihat ketidakadilan di depan matamu, kau melakukan ketidakadilan kepada orang lain, dan kau tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah bahkan mencari solusi dari hal itu. Kita terjebak di dalam dunia yang tidak adil. Parahnya, sistem agama mengajarkan kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Tuhan yang disembah di langit maupun yang menjelma sistem universal yang menjebloskan kita ke dalam dunia yang penuh penderitaan. Samsara. Dukha. Bisakah kita tetap percaya pada seseorang yang mengecewakan kita? Bisakah kita tetap setia ketika kita merasa ditinggalkan? 

Bayangkan, satu-satunya kekuatanmu di dunia. Satu-satunya yang paling kau cintai dan imani. Satu-satunya yang kau pegang. Dan Dia pula yang mengkhianatimu. Meninggalkanmu di tengah jalan ketika api harapanmu berkobar. Kini, kau merangkak, berdarah, penuh luka dan memar kembali mengulang dari nol. Tanpa kekuatan. Tanpa modal. Tanpa kawan. Sendirian di jalan yang terlalu sunyi. 

Sisifus dikutuk hal yang sama. Ia dikutuk para Dewa untuk mendorong batu besar sampai ke puncak gunung. Begitu sampai di puncak, ia harus mendorong kembali batu itu ke bawah, duk...duk…duk...gluduk….Lalu ia mulai lagi mendorong batu itu ke atas, dan melemparkannya kembali ke bawah. Begitu terus seumur hidupnya. Orang awam melihatnya sebagai tindakan sia-sia, tak berguna, dan tanpa harapan. Tetapi filsuf Perancis, Albert Camus, melihatnya sebagai upaya mempertajam kesadaran. Setiap kali Sisifus mengulang pekerjaan itu, kesadarannya terbangun. Ia mengenali setiap langkah yang ia lewati. Ia tak melupakan setiap lekuk, tanjakan, dan lubang yang ia temui. Mungkin kadang ia berhenti sejenak dan menikmati pemadangan dari atas gunung, melihat pelangi sehabis hujan, atau melihat matahari dan bulan yang menyapanya. Ia makin sensitif memaknai perjuangannya.

Begitukah hidup?