Review Film

High Fidelity

Senin, Januari 18, 2021



What came first, the music or the misery? People worry about kids playing with guns, or watching violent videos, that some sort of culture of violence will take them over. Nobody worries about kids listening to thousands, literally thousands of songs about heartbreak, rejection, pain, misery and loss. Did I listen to pop music because I was miserable? Or was I miserable because I listened to pop music?

(Rob Gordon, High Fidelity, 2000)


Catatan:

  • Ini salah satu film yang script-nya keren. Khususnya, untuk anda yang suka musik dan film setipe Almost Famous (2000). 
  • Selalu kagum dengan aktingnya John Cusack yang bisa hapal dialog panjang. Kemampuannya setara Woody Allen kalau lagi membintangi film-film yang dibuatnya sendiri. 
  • Setelah nonton film ini, saya jadi pengen punya toko yang jual vynil, buku, dan cafe buat diskusi kayak karakter utama Rob yang punya vynil store bernama Championship. Oiya, plus mau jadi produser musik juga. 
  • Hulu memproduksi remake High Fidelity dalam bentuk serial yang diperankan oleh Zöe Kravitz. Yang suka musik, urban fashion, dan cerita patah hati wajib nonton. 

Review Film

"Live To The Fullest"

Rabu, Januari 06, 2021

Setelah menonton film Soul (2020) saya terkenang keadaan tiga tahun lalu ketika saya ditolak untuk PhD ke Jerman. Sahabatku Shinta mencoba menghiburku. Caranya unik. Ia mengundangku ke kosnya untuk menginap. Saat pillow talk, Shinta bercerita tentang salah seorang temannya. Temannya itu ingin sekali studi di luar negeri. Ia bercita-cita mengambil masternya di Amerika. Teman itu kemudian berjuang apply kampus dan beasiswa. Ia juga mengalami jatuh bangun. Tak sedikit ia mendapat penolakan hingga kemudian waktunya tiba. Akhirnya setelah berdarah-darah, temannya Shinta akhirnya mendapatkan beasiswa dan kampus di Amerika. Kampus sudah siap, beasiswa sudah di tangan, visa dan tiket sudah di tas. Tahukah kamu apa yang terjadi? Dua hari sebelum berangkat, ia meninggal dunia. Ya, setelah semua pencapaiannya. Kisah itu seperti tamparan telak bagiku dan juga bagi Shinta, bahwa hidup ini bukan milik kita. Hidup terlalu berharga untuk setiap detiknya. 

***

Kata Afif, film ini merupakan antitesa dari kehidupan masyarakat modern yang penuh ambisi dan mengejar keberhasilan. Demi tujuan hidup itu, mereka lupa menjalani hidup. Mereka lupa mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup. Film ini dibuka dengan kehidupan Joe Gardner sebagai guru sekolah yang punya cita-cita menjadi pemain piano jazz. Mimpi terbesar Joe adalah manggung bersama musisi besar dan memainkan pianonya. Ia merasa disitulah tujuan hidupnya. Di hari Joe mendapatkan kesempatan itu, ia mengalami kecelakaan dan masuk ke Alam Sesudahnya. Joe berontak dan ingin lari sebab ia belum menunaikan mimpinya itu. Joe kesasar ke Alam Sebelumnya yang ternyata tempat untuk mempersiapkan jiwa-jiwa yang belum lahir untuk turun ke bumi. Disana ia dijadikan mentor untuk membimbing Jiwa nomor 22 agar menemukan "spark"-nya. 

Jiwa nomor 22 ternyata rumit. Berbeda dengan jiwa-jiwa lain, ia susah menemukan spark itu. 22 juga satir. Kalimat favoritku waktu 22 bilang, " Can't crush a soul here. That's what life on Earth is for".  Ia sudah mencoba semuanya tetapi belum bisa menemukan spark-nya. 22 juga sebenarnya tidak mau ke Bumi karena penderitaan yang dilihatnya. Ia merasa nyaman dengan kehidupan di Alam Sebelumnya. Para mentor terdahulu sudah putus asa menghadapi 22, mulai dari Bunda Teresa, Archimedes, Abraham Lincoln, Copernicus, Muhammad Ali, Marie Antoinette, hingga George Orwell. Joe Gardner dan 22 pun membuat kesepakatan, Joe akan membantu 22 menemukan spark-nya yang mana nanti akan menjadi kartu pass ke Bumi. Joe akan menggunakan kartu itu untuk kembali hidup. 22 sendiri setuju karena penasaran melihat Joe kembali ke kehidupannya yang sedih. 

***

Sama seperti Joe, kita semua punya tujuan jiwa. Namun, kita perlu berhati-hati. Jiwa yang terobsesi dan cemas dengan tujuannya akan terputus dengan kehidupan. Kita akan menjadi jiwa-jiwa yang hilang. Film Soul mengingatkan kita bahwa spark bukanlah tujuan jiwa. "Merasakan kehidupan" bukanlah dengan mencapai tujuan tertentu, tetapi proses menuju tujuan itu. Proses itulah yang membentuk kita menjadi sekarang. Tujuan jiwa seseorang bisa bermacam-macam: mulai dari mengajar, meneliti, bekerja di industri, membuat konten youtube, atau kerja-kerja humanitarian lainnya. Tapi merasakan percikan hidup adalah hal yang lain. Percikan itu bisa hadir dari daun yang jatuh dan mengenai keningmu. Angin yang berhembus dan membuat hatimu berdesir. Senyum sapa penjaga mini market. Kabar baik dari sahabat-sahabatmu. Ucapan sayang dari kekasih hatimu. Suara orang tuamu yang menyapamu untuk sekedar menanyakan kabar. Bahkan hanya berjalan kaki saja sambil melihat langit biru. Hal-hal kecil yang tampaknya sepele itulah percikan hidup, itulah yang membuat kita menjalani hidup dan bersedia terbuka pada berbagai kemungkinan.  Ketakutan Joe mencerminkan ketakutan kita semua, " I'm just afraid that If I died today my life would have amounted to nothing". Apa yang bisa kita tinggalkan untuk dunia ini?

Ketika akhirnya Joe menerima hal ini, ia pun berserah dan meninggalkan semuanya. Ia memberi kesempatan pada 22 untuk merasakan hidup. Lihatlah, ending kisah ini menarik karena Joe justru mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup. Dia berjanji pada dirinya bahwa ia akan "going to live every minute of it". 

Review Film

Reply 1988

Sabtu, Juni 20, 2020



Bagi yang ingin bernostalgia kembali di tahun 1980-an, yang menyukai percakapan mendalam tentang keluarga, persahabatan, dan cinta, yang suka musik-musik tahun 80-an, yang suka fashion tahun 80-an, yang ingin nonton drakor yang "beda" gak kayak modelan telenovela seperti biasanya, dan yang ingin dapat insight dengan quote-quote yang gak cheesy dan menggurui, maka serial Reply 1988 sangat direkomendasikan. 

Peringatan: beberapa cerita sangat riil dengan kehidupan nyata, mengembalikan memori di zaman kita masih kecil, memicu jatuhnya airmata dan memancing tawa, serta memberi candu untuk nonton terus meskipun ada 20 episode dan masing-masing episode berdurasi 1 jam-an. 

Review Film

Nonton Dilan

Jumat, Februari 02, 2018

sumber: harian nasional


Pernahkah kamu melakukan sesuatu yang sebetulnya pernah kamu cela tetapi di kemudian hari kamu malah melakukannya? 

Yang kumaksud tidak hanya sekedar mencela cowok-cowok badboy namun kalau dideketin mereka ternyata bisa luluh, tetapi juga mencela produk media populer jaman now, misalnya nonton film Dilan 1990 dan malah sampai membaca dua buku lanjutannya dalam waktu dua hari karena saking penasarannya. 

Yep. Saya kena karma dan karma memang tidak pandang bulu meskipun kita rajin sembahyang dan tak lupa menabung. Setelah nonton Dilan 1990, Laili mengirim pesan melalui wa dan terjadilah percakapan ini: 

Laili: "Gue cuma heran kenapa tipe-tipe cewek yang disukai cowok tahun 1990 sampai 2018 sama semua?"
Meike: "Konstruksinya kayak gimana?
Laili: "Secara fisik yang kalem, rambut panjang, kurus, halus, lembut..."

Percakapan itu berlanjut dengan bagaimana Laili melting melihat Dilan persisten mengejar Milea. Cara pdkt Dilan memang unik, ada usaha disana. Bayangkan pertemuan pertama saja, Dilan merayu Milea dengan cara diramal. Pada saat Milea ulang tahun, orang-orang mengucapkan selamat dengan cara yang klise, tetapi Dilan justru memberi kado TTS yang sudah diisi semua biar Milea tidak pusing mencari jawabannya. Waktu Milea sakit, ia mengirim mbok tukang pijat. Semua cewek senang dikasih surat cinta, tetapi Dilan mengirimkan surat cinta kepada Milea melalui Bu RT atau Simbok. Perbuatan Dillan yang lain adalah memberi cokelat yang ia titipkan kepada pengantar koran dan menelpon Milea tiap hari. Belum lagi puisi-puisi yang ia tulis untuk Milea yang diam-diam ditunjukkan oleh ibunya Dilan. Ia juga rela tidak solider dengan teman-teman geng motornya yang ingin tawuran karena Milea mau jalan-jalan hari itu juga. Semua yang Dilan lakukan membuat cewek-cewek mupeng, mereka ingin diperlakukan manis seperti itu. Anak muda itu sudah puas dengan pencapaiannya sebagai panglima tempur geng motor dan membuat Milea ketawa. 

"Aku cuma pengen punya cowok yang bisa buat aku ketawa, Meik," katanya lirih sewaktu aku ketemu dia keesokan harinya.
"Iya ya. Cowok-cowok yang dekat sama kita semuanya bikin dahi berkerut". Kami berdua tertawa ngakak. 

Saya akhirnya benar-benar menonton Dilan 1990 bersama Shinta. Kami ingin menikmati film ini dengan khusyuk bersama segenap murid-murid SMP dan SMA yang mendominasi bioskop sore itu. Lupakan dulu sejenak senjata teori-teori kritis yang dipelajari. Harus kuakui, gombalan Dilan memang receh, konyol, kadang-kadang jijay, bodoh, tapi anehnya....manis. Satu kata: kontradiksi. Film ini lebih mengeksplorasi proses bagaimana Dilan pdkt ke Milea hingga mereka jadian dengan cara yang unik dan mengesankan. Maklumlah, di jaman itu teknologi komunikasi belum canggih dan suasana represif ORBA masih kuat. 

Menurut Shinta, Dilan itu sebenarnya seperti anak-anak Kiri jaman now. Mereka datang dari kelas menengah ke atas dengan akses bacaan, memiliki semangat perlawanan, dan punya orang tua yang sanggup membelikan mereka motor. Kata Dilan, syarat jadi anggota geng motor ada dua: punya motor dan mau. Dalam masa yang represif, rasa keadilan mereka terganggu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali dengan menjadikan hidup ini sebagai komedi satir. Rasa perlawanan itu akhirnya terkonversi ke dalam semangat ber-geng motor. Geng motor disini bukan yang kita anggap begal sekarang. Geng motor-nya Dilan hanya akan tawuran kalau mereka diserang duluan. Ingat, jaman itu tidak ada kebebasan untuk berserikat dan berorganisasi. Kumpul-kumpul seperti itu membuat mereka tetap waras. 

Shinta menambahkan bahwa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pidi Baiq, penulis novel Dilan, adalah kehidupan remaja tahun 1990-an seperti relasi mereka dalam keluarga, bagaimana mereka berkomunikasi, konflik apa saja yang mereka hadapi, hingga aktivitas dan kesukaan apa yang sedang hits di zaman itu. Dilan 1990 membantu kita membaca periode 1990-an melalui kacamata Dilan dan Milea. Kita juga bisa melihat Bandung tahun 1990-an yang masih sepi dan adem. Aku manggut-manggut setuju mendengarnya. Pemilihan Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla juga pas. Film ini tidak lebay dan terkesan sendu. Menurut kami berdua, si Iqbaal cocok menghidupkan sosok Dilan karena wajahnya yang imut, gemes, dan terkesan bandel. Maskulinnya tidak dengan bentuk badan yang kekar, tetapi dengan sikap.

"Shin, setelah ini aku gak keberatan deh kalau pacaran sama berondong."

Kami berdua tertawa terbahak-bahak.

Review Film

Posesif

Sabtu, Oktober 28, 2017

Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino) di film Posesif (2017)


Persoalan cinta memang persoalan yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Masalah ini sama peliknya dengan persoalan ekonomi-sosial-budaya-politik yang selalu membuat umat manusia saling debat. Sayangnya, banyak orang berusaha tak hirau dengan soal cinta. Mereka bilang cinta itu remeh-temeh, gak penting. Saya jelas tak sepakat, wong cinta ini masalah substansial dalam hidup manusia kok. Hal yang paling esensial sehingga selalu laku jadi komoditi dalam industri budaya.

Perhatian saya lantas terpaku pada film Posesif (2017) yang disutradari oleh Edwin. Nama Edwin sudah saya kenal gegara film Babi Buta Ingin Terbang (2008), film yang pernah diputar di festival film jaman saya kuliah dulu. Film garapan Edwin terlihat non-mainstream sehingga rasa penasaran untuk menonton film komersial seperti Posesif menjadi faktor utama yang mendorong saya menonton film ini. Faktor kedua adalah karena isunya tentang kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja. Hampir dua tahun saya concern ke isu kekerasan seksual dan saya berusaha membaca film ini untuk menemukan tanda-tanda yang digunakan Edwin untuk menghadirkan wacana tentang kekerasan, terutama di kalangan remaja. Ketiga, saya suka dengan Adipati Dolken, entah mengapa wajahnya mengingatkan saya pada Ryan Hidayat (fix gak move on dari idola sejak masih buta huruf :p). 

Saya tidak akan menceritakan resensi film ini (silahkan cari di blog lain). Saya lebih tertarik dengan wacana kekerasan yang diproduksi para pembuat filmnya. Ada beberapa tanda yang menarik didedah. Pertama, kekerasan hadir berulang dalam relasi. Pada mulanya adalah cinta, tetapi cinta bertalian dengan kepemilikan. Kita tak mungkin peduli pada sesuatu yang dengannya tidak kita sayangi. Karena kita sayang, makanya kita merasa memilikinya. Ketika kita sudah merasa memiliki, maka kita akan merasa takut kehilangan. Ada banyak faktor yang membuat obyek yang dicinta bisa hilang, bisa karena keinginan si obyek, bisa karena faktor esktenal lain. Demi melindungi supaya si obyek tak hilang, si subyek yang merasa memiliki berusaha menundukkan si obyek. Ketika si obyek "bebas" , orang-orang yang posesif ini justru menghukum obyek yang dicinta, berikut orang-orang yang mengancam akan merebut si obyek darinya. Di titik inilah, kekerasan tercipta. Kekerasan tidak jatuh dari langit, ia adalah produk dari mekanisme relasi subyek-obyek yang berulang. Hal ini tampak dari perlakukan Ibu Yudhis ke Yudhis dan direproduksi oleh Yudhis ke Lala. Tidak ada kekerasan dalam hubungan yang setara alias subyek dengan subyek. Coba bandingkan bagaimana ayah Lala dengan Lala yang cenderung membebaskan anaknya terhadap pilihan-pilihannya. 

Kedua, rasa sayang yang berubah menjadi rasa kepemilikan itu mengerikan karena akan menciptakan belenggu dalam relasi. Tak ada lagi relasi yang setara, yang satu akan senantiasa menundukkan yang lain untuk menjaga status kepemilikan itu. Kebebasan si korban terancam. Ada adegan menarik dalam film Posesif, ketika Yudhis mengaitkan kalung kepada Lala sebagai hadiah ulang tahun dengan simbol inisal nama mereka. Dalam budaya, kalung (rantai) yang diikat di leher adalah simbol penaklukkan dan kepemilikan. Kita bisa lihat pada anjing yang dirantai lehernya sebagai simbol kepemilikan dan penaklukkan atau para budak tanah jajahan. Mereka yang dirantai tidak bisa bebas, mereka mudah dikendalikan. Selama Lala memakai kalung itu, pilihan-pilihannya selalu disetir oleh Yudhis. Yang menarik dari film ini, Lala berusaha melakukan resistensi dalam diam (adegan ketika ia memilih kuliah di UI yang sebenarnya bertentangan dengan bujukan Yudhis). Relasi subyek-obyek tidak bisa disederhanakan dengan menganggap kontrol ada di si pemilik. Ketika kalung itu hilang, Lala justru mencari Yudhis yang malah "meninggalkan"-nya. Relasi subyek-obyek tidak akan pernah putus sampai salah satu pihak dengan gagah berani melepaskan ikatan itu ("..lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang..." *nyanyik)

Ketiga, ciri khas konsekuensi dari relasi seperti ini biasanya adalah korban melakukan self-blame atau menyalahkan diri sendiri. Self-blame kerap kali dilakukan korban kekerasan untuk membenarkan  persepsinya tentang kekerasan yang dilakukan pelaku (bisa karena kekerasan itu tanda cinta, dll) dengan tujuan melindungi pelaku (lihat adegan dialog antara Lala dengan ayahnya di tempat cuci piring). Adegan-adegan seperti itu banyak muncul dalam film ini, seperti ketika Lala melarang ayahnya untuk menelpon polisi atau ketika Lala bercerita kepada Ega, sahabatnya. Di kehidupan nyata, ketika kamu berhadapan dengan korban kekerasan dalam rumah tangga (atau pacaran dan cinta bertepuk sebelah tangan :p) tak jarang korban melakukan self-blame seperti ini. Ketika pelaku meminta maaf dengan cara-cara yang lebay yang bagi korban dianggap "romantis" (seperti Yudhis di film ini), korban akan luluh dan merasa bahwa ialah satu-satuya yang bisa mengubah si pelaku menjadi orang yang baik. Keadaan ini kemudian mengingatkan kita pada dongeng Beauty and The Beast dimana Belle berusaha mengubah The Beast menjadi orang baik (dan tampan) lagi. 

Kekerasan fisik dan psikologis yang dihadirkan dalam film ini tak melulu soal relasi. Namun, juga kekerasan simbolik yang dilakukan masyarakat terhadap keperawanan perempuan. Masyarakat patriarkal mengagung-agungkan keperawanan perempuan dan memandang hina perempuan yang sudah tidak perawan. Menariknya, tokoh Lala tidak terbebani dengan hilangnya keperawanannya. Ya, dia memang meminta maaf sebatas karena membuat ayahnya sedih dan malu. Tetapi, sebagai perempuan ia tidak melakukan self-blame seperti perempuan pada umumnya yang melakukan hubungan pra-marital seksual dengan pacarnya. Tampaknya, hubungan seks antara Lala dan Yudhis (meskipun tidak ditampilkan secara visual) terjadi atas persetujuan bersama. Artinya, baik Yudhis dan Lala sama-sama menginginkan hubungan itu, tahu resikonya, serta bertanggung jawab atas pilihan itu. Hubungan seks konsensual seperti ini menghilangkan kultur kekerasan seksual serta menghilangkan beban "perawan" ala masyarakat patriarkal yang ditanggung perempuan. Jika perempuan bertanggung jawab dalam hubungan seks yang konsensual seperti itu, ia tidak perlu meminta pertanggungjawaban atau menyalahkan pihak laki-laki jika sewaktu-waktu relasi mereka berakhir. 

Saya banyak melihat perempuan yang menderita karena sudah terlanjur melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Banyak diantara mereka yang akhirnya memasrahkan diri dalam relasi yang  tidak setara dan menjadi korban kekerasan (fisik, psikologis, seksual). Mereka tidak bisa disalahkan karena mereka dibesarkan dalam masyarakat yang menaruh nilai pada tubuh mereka. Dalam masyarakat patriarki, keperawanan perempuan dimaknai sebagai segel dan barangsiapa yang pertama kali membukanya maka ia menjadi pemilik dari obyek yang dibuka segelnya itu. Perempuan yang segelnya dibuka mau tidak mau akan mengikatkan diri pada si pembuka segel. Maka, tak heran meskipun menderita dalam relasi timpang seperti itu mereka tetap bertahan. Sedih dan mengerikan bukan?.

Overall, film ini berhasil menghadirkan wacana kekerasan dengan baik, baik secara teks maupun visual. Tak ada kesan vulgar dan menggurui. Edwin menawarkan isu ini dengan lembut dan menyusup ke kesadaran penonton. Salut untuk aktingnya Adipati Dolken yang terlihat maksimal disini. Ia sukses menghadirkan karakter Yudhis yang charming sekaligus psycho. Putri Marino juga tampil dengan baik sebagai Lala. Seperti lagu I Just Called To Say I Love You-nya Stevie Wonder di film Babi Buta Ingin Terbang, Edwin juga menyelipkan satu lagu tertentu sebagai "penanda" di film Posesif yaitu lagu Dan yang dinyanyikan Sheila on 7. 

Film ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa ada sisi gelap dari romansa. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam mendefiniskan tindakan kasih dari orang-orang yang kita cintai. Mendapatkan pendidikan dan membaca buku-buku anti penindasan tidak menjadi jaminan seseorang tidak mereproduksi kekerasan. Selama ia masih memandang relasi antara manusia sebatas subyek-obyek, maka selama itu pula ia akan menundukkan orang lain. Jürgen Habermas pernah bersabda bahwa hanya dengan memandang manusia lain sebagai subyek yang setara, maka dialog akan tercipta untuk menghasilkan pemahaman dan tindakan yang tidak merugikan salah satu pihak. 

Pertanyaannya sekarang, apakah kamu sudah memandang manusia lain sebagai subyek yang setara? Selamat berkontempleasi. Saya mau nyanyi dulu.

"Lupakan saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala..."

Review Film

Whiplash & La La Land

Jumat, Januari 27, 2017




Damien Chazelle memiliki keresahan. Keresahan itu hanya bisa dirasakan pecinta musik Jazz. "People wonder why Jazz is dying" adalah keresahan Damien yang ia titipkan dalam karya-karyanya. Teks ini muncul dua kali di film Whiplash (2014) melalui tokoh Terence Fletcher dan La La Land (2016) yang diwakili tokoh Sebastian. Damien sendiri yang menyutradarai, menulis skenario, dan menyumbang sedikit untuk penataan musik dalam dua film ini. Damien hampir seperti Woody Allen tanpa Freud dan Kierkegaard. Proses produksi kedua film ini memang matang. Tidak mengherankan, bila kedua film ini mendapat nominasi dan penghargaan di ajang-ajang apresiasi film di Hollywood. 





Banyak orang melihat kedua film ini tentang tentang cinta dan pengorbanan. Tentang usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai cita-cita dan mimpinya. Ketika kita menonton dua film ini secara berurutan, Damien ingin bilang bahwa kita sekarang krisis generasi yang menjaga dan menghidupkan kebesaran suatu warisan hebat di masa lalu, seperti hutan hujan tropis yang dibakar di Kalimantan atau pegunungan kapur untuk meresap air yang terancam menjadi bahan baku pabrik semen. Generasi ini bukannya tak kreatif, tapi justru apatis dan pragmatis. 

Sebagai pecinta musik Jazz, Damien gelisah bahwa musik yang besar itu perlahan-lahan kehilangan pendengarnya. Jazz adalah "tangisan" dan "teriakan" atas penindasan. Musiknya berbicara tanpa perlu ada lirik. Musik yang besar itu menjadi picisan dengan musisi-musisi jazz baru yang tak lagi bersuara untuk "penindasan" tapi demi industri rekaman. Jazz memang tidak untuk semua orang karena untuk mendengarnya kamu harus mengenalnya dulu. Untuk mengenal Jazz, kamu harus membuka hati. Tetapi, bagaimana Jazz dapat bertahan bila tak ada lagi "teriakan" dan "tangisan" itu? Bagaimana mungkin Jazz dapat didengarkan jika para pendengarnya seperti robot? 

Jazz berbicara tentang perasaan. Dan perasaan sekarang menjadi basi.

Review Film

Paper Towns: Mencintai Seseorang atau Mencintai Ide Tentang Seseorang

Selasa, September 01, 2015

Paper Towns
Paper Towns (sumber: google)


Ini adalah film kedua hasil adaptasi novel John Green yang saya tonton. Sebelumnya, The Fault in Our Stars yang populer itu tidak meninggalkan kesan yang mendalam. Film itu tak ada bedanya dengan kisah cinta novel (yang berevolusi jadi film) ala Nicholas Sparks versi abg. Lagipula masa saya untuk menjadi pembaca John Green telah lewat meskipun novel-novelnya sudah sering saya lihat di Periplus, dipajang dengan tulisan best seller. Film Paper Towns sendiri keluar tahun 2015 hanya berselang satu tahun dari The Fault in Our Stars dan dibintangi Nat Wolff dan Cara Delevingne, yang rupanya sama-sama memiliki latar belakang sosialita. Natt sendiri tampaknya sudah teken kontrak untuk membintangi film-film yang disadur dari novelnya John Green karena buktinya ia sudah muncul sebagai salah satu pemain di The Fault in Our Stars.

Plot utama Paper Towns sudah sering muncul di film-film hollywood. Sekilas mengingatkan kita pada adegan pembuka di film Flipped namun dengan posisi terbalik. Kali ini tokoh pesakitan bukan seorang gadis cupu yang menyukai cowok populer seperti yang dominan dalam film remaja pertengahan 2000-an. Quentin (Nat Wolff) adalah representasi cowok yang diam-diam menyukai gadis istimewa (karena dia bukan tipe cewek pada umumnya) bernama Margo Roth Spiegelman (Cara Delevinge) yang meskipun nyentrik ternyata pacaran dengan cowok populer dan kaya raya yang sudah tentu tidak selevel dengan Quentin yang hidupnya lurus dan bercita-cita jadi dokter. Beberapa adegan akan mengingatkan kita dengan kisah berpola sama seperti dalam film The Perk of Being Wallflower. Persoalannya, Paper Towns tidak berbicara tentang bagaimana mendapatkan gadis impian itu, film ini mau menunjukkan perbedaan mencintai seseorang dan mencintai ide tentang seseorang. 

Menonton film ini membuat saya teringat masa remaja yang juga diisi dengan film-film drama hasil saduran novel (biasanya karena novelnya laris), terutama dari karya-karya Nicholas Sparks seperti A Walk To Remember atau The Notebook. John Green adalah Nicholas Sparks masa kini sehingga tidak mengherankan jika remaja sekarang adalah saya versi 10 tahun lalu. Selain memasang bintang-bintang muda yang sedang naik daun, cerita yang disajikan jauh lebih kompleks. Jika Nicholas Sparks umumnya menonjolkan alur kisah yang orthodox dan sentimentil, maka John Green selangkah lebih maju, ia mempertanyakan kesadaran seseorang dalam hal mencintai. Sesuatu yang dilihat dari kejauhan biasanya indah, tetapi apakah keindahan itu sama ketika kita melihatnya dari dekat? Pertanyaan John Green ini yang divisualisasikan oleh sang sutradara Jake Schreier dalam adegan ketika Quentin dan Margo melihat kota mereka dari atas gedung SunTrust dan Margo (sebagai gadis istimewa) mempertanyakan kegelisahannya menjalani rutinitas dengan menggunakan metafora "orang-orang kertas". Margo ingin pergi ke suatu tempat di mana waktu berhenti, di mana "orang-orang kertas" seperti dirinya eksis yaitu kota kertas (paper towns) yang sesungguhnya tidak nyata. 

paper towns
Quentin dan Margo melihat panorama kota dari atas gedung SunTrust (sumber: google)


Sayangnya, Quentin telah kadung tenggelam dalam sosok Margo yang ia sukai sejak pertama bertemu. Ia dan (mungkin banyak orang) membangun mitos terhadap sosok Margo. Dalam obsesi alam bawah sadarnya, ia selalu merasa Margo mengirimkan tanda-tanda kepadanya. Margo adalah keindahan yang dilihatnya dari kejauhan. Dan ketika semakin dekat ia melihat Margo, ia tidak lagi melihat Margo sebagaimana adanya. Adegan favorit saya adalah ketika Quentine mengajak Margo berdansa dengan diiringi instrumen saxophone lagu Lady in Red yang dulu dinyanyikan Chris de Burgh di pertengahan tahun 1980-an. Film ini lebih berat dan terasa lebih berbobot dari The Fault in Our Stars, bahkan untuk ukuran film remaja lainnya yang sezaman. Selain menghabiskan beberapa puluh ribu, penonton juga dimanjakan dengan wajah Ansel Elgort (pemeran utama The Fault in Our Stars) yang muncul sebagai cameo. Saya sendiri senang memandangi Natt Wolff yang membuat saya kepingin memiliki anak laki-laki yang tampangnya mirip dia. Pada akhirnya, Paper Towns kembali mengingatkan saya (dan semoga anda) bahwa ada memang orang-orang tertentu yang lebih baik tetap berada dalam fantasi daripada bersinggungan dengannya di dunia nyata. 

Review Film

Nonton Friends Lagi Yuk...

Selasa, Maret 31, 2015

*pic from Google*


Jika saya sedang jenuh pada sesuatu, saya biasa melakukan "escape from time" atau melarikan diri dari realita sekarang menuju masa yang lewat (karena belum bisa berjalan ke masa depan). "Mesin Waktu" itu bisa berupa buku yang melegenda, lagu-lagu lawas, atau film-film jadul yang jadi icon di zamannya. Kita bisa memetik hikmah sekaligus membaca zaman dari hal-hal yang kita temukan dalam mesin waktu itu. Salah satunya adalah ketika Mbak Truly menawari saya untuk menonton serial Friends. Awalnya saya masih ogah-ogahan, tapi come on ini adalah Friends. Semua generasi 90-an tahu serial ini (zaman itu acara TV memang masih sedikit dan hanya orang kaya yang punya parabola). Ketika pulang ke Makassar kemarin -dan koleksi film saya sudah menipis-, iseng-iseng saya mencoba menonton satu episode dan....ketagihan. 

Ketika serial Friends heboh hampir 20 tahun lalu, saya masih anak-anak. Gigi geraham saya belum tumbuh dan saya belum bisa cebok sendiri. Serial itu mulai tayang pada tahun 1994 di mana waktu itu saya belum masuk TK. Saya bahkan tidak bisa membaca nama Phoebe, salah satu karakter dalam serial itu dengan benar. Saya menyebutnya "Pobe" dan bukan "Vibi" seperti yang seharusnya. Saya tidak ingat bagaimana ceritanya di awal-awal session. Lagipula serial itu ditayangkan cukup larut di televisi (bagi saya yang masih balita). Samar-samar saya ingat, ada sepasang sahabat yang menikah di antara mereka (Monica dan Chandler). Dan ketika saya menonton kembali (saat ini sampai session 6), kemungkinan saya dulu sempat menonton sampai season 7, setelah itu saya tidak lagi mengikuti serial ini yang berakhir ketika saya duduk di bangku SMP. 

Friends adalah salah satu serial paling sukses yang diproduksi di Amerika. Serial yang melejitkan nama Jennifer Aniston, Courtney Cox, Matthew Le Blanc, David Schwimmer, dan Matthew Perry ini bertahan selama 10 tahun dari tahun 1994-2004 dengan total 10 season. Para bintangnya disebut menjadi artis serial termahal dengan honor 1 juta dollar/episode. Friends juga menjadi salah satu icon New York City selain Cats dan Broadway-nya, karena sebagaimana kita tonton di film The Terminal, sewaktu Tom "Viktor Navorski" Hanks dalam perjalanan untuk melengkapi apa yang ada dalam kaleng yang ia sebut "jazz", kita disuguhkan scene-scene icon kota New York seperti yang disebutkan Viktor: Cats dan bilboard Friends

Kisah ini menceritakan 6 orang yang menjadi sahabat. Karakter utamanya adalah kakak-beradik Ross (David Schwimmer) dan Monica Geller (Courtney Cox) yang memiliki sahabat-sahabat: Rachel Green (Jennifer Aniston), sahabat Monica sejak SMA yang ditaksir Ross mati-matian, Chandler Bing (Matthew Perry) roomate Ross sewaktu kuliah yang kemudian tinggal bersebrangan dengan apartemen Monica dan memiliki roomate, seorang aktor keturunan Italia Joseph "Joey" Tribbiani (Matthew Le Blanc) yang tampan tapi bodoh, serta Phoebe Buffay (Lisa Kudrow) mantan roomate Monica yang masih tetap berhubungan baik meskipun sudah pindah apartemen. Keenam sahabat ini memiliki karakter yang berbeda dan menghadapi konflik yang dekat dengan realita yang sehari-hari kadang kita hadapi. Mereka sering berkumpul di coffeeshop bernama Central Perk. Tempat itu semacam menjadi public sphere mereka selain apartemen Monica atau Chandler. 

Kita akan tertawa dengan humor-humor cerdas dari Chandler yang sarkastis atau Phoebe yang unik dan apa adanya. Kadang-kadang kita dibuat sebal dengan sikap Monica yang obsesif compulsif dan Joey yang ceroboh. Kadang tanpa sadar kita dibuat menangis dengan scene-scene yang sebetulnya sederhana tetapi memiliki kedalaman makna seperti ketika Rachel mengetahui -melalui video rekaman prom Monica- bahwa Ross selama ini memiliki perasaan padanya sejak dulu atau kita dibuat terharu dan tertawa ketika Chandler dan Monica lamaran.

Kekuatan serial ini karena menyuguhkan kisah dengan problem-problem yang kita hadapi sehari-hari dalam realita. Misalnya: bagaimana hubungan awkward Rachel dan Ross ketika putus dan sikap sahabat-sahabatnya atau ketika Monica dan Chandler akhirnya pacaran dan kucing-kucingan dari sahabat-sahabatnya. Kita juga akan melihat isu komitmen dan percintaan beda usia yang disentil dalam beberapa episode. Serial ini tidak hanya mengangkat tema percintaan dan persahabatan tetapi juga menyentil isu-isu sosial seperti feminisme dan gender, lesbianisme dan gay, persoalan buruh, perlindungan hewan dalam industri fashion, plagiat, perbedaan kelas sosial, surogasi, dan banyak lagi. Isu-isu tersebut tidak dibungkus secara serius melainkan komikal, sehingga dari komedi-komedi itu maknanya menjadi lebih mengena kepada audiens dan semakin membuat serial ini tidak sekedar picisan. Selain karakter masing-masing tokoh begitu kuat dan unik sampai-sampai kalau saya menonton serial ini sejak awal akan sulit menghilangkan masing-masing pemain dari karakter mereka di Friends dengan film-film mereka yang lain. 

Bagi saya yang menonton serial ini 20 tahun kemudian, jelas terasa kekontrasan zaman yang dijadikan setting dalam film ini. Pertama, dari segi backsound lagu-lagu lama seperti With or Without-nya U2, The Way Look Tonight-nya Tonny Bennet, Wonderful Tonight-nya Eric Clapton atau All By Myself-nya Eric Carmen turut menghiasi beberapa adegan plus OST-nya dari The Rembrandt - I'll Be There For You yang iconic. Kedua, tentu saja kita membaca zaman dari gaya fashion yang sangat 90's dan awal millennium. Saya agak surprise ketika menonton salah satu episode di mana Rachel memakai baju yang ternyata sama persis dengan yang saya miliki sewaktu kecil dulu. Di adegan itu, Rachel menggunakan turtleneck biru bulu-bulu yang mungkin sedang trend di masa itu. Saya sendiri tidak terlalu menyukai baju itu karena lengannya yang terbuka (saya dulu tidak suka memakai baju yang terbuka) sehingga kira-kira tidak lebih dari tiga kali saya memakai baju itu. Saya jadi bertanya-tanya, apakah baju itu masih tersimpan di rumah atau mungkin berakhir di tangan para sepupu?


turtleneck biru bulu-bulu yang sama persis dengan milik saya waktu kecil.


Ketiga, teknologi yang digunakan masih sangat jadul, seperti telepon dan pager yang masih menjadi alat komunikasi paling kece masa itu. Di beberapa session akhir tahun 90-an barulah muncul telepon genggam. Komputer dan laptop yang digunakan juga masih memiliki OS entah zaman kapan dengan tampilan layar hitam dan hijau. Minimnya penguasaan teknologi komunikasi di masa itu, membuat komunikasi face to face di antara mereka terasa intim. Bandingkan dengan kita yang hidup di masa sekarang yang lebih suka berkomunikasi dengan smartphone ketimbang dengan orang yang duduk di depan kita. Ironis memang. Scene-scene itu menjadi teguran bahwa percakapan langsung memang jauh lebih menyenangkan.

Pada akhirnya, sama seperti serial-serial jadul lainnya seperti Sex and The City, Ally McBeal,  atau Desprete Housewives, Friends tetap menjadi salah satu yang memorable dan membuat siapapun yang menontonnya saat ini tercerahkan sekaligus bernostalgia. 

Life Story

Sliding Doors : Perkara 60 Detik

Kamis, Januari 23, 2014



Pagi itu cuaca cukup cerah di London. Helen pun bersiap-siap berangkat ke kantor. Ia menciumi pacarnya Gerry yang sedang tidur kemudian keluar rumah, membeli sandwich sebagai sarapan, dan akhrinya ia tiba di kantor. Rupanya ia sudah ditunggu oleh para koleganya dan bummm...ia dipecat. Seketika itu juga London menjadi tak ramah padanya. Ia melangkahkan kakinya dengan gusar dan masuk ke lift. Takdir rupanya menunggunya disana. Tak sengaja anting-antingnya jatuh dan seorang lelaki memungut dan mengembalikan padanya. Tak ada perkenalan. Hanya ucapan terima kasih.

Helen kemudian memutuskan pulang ke rumah untuk membenahi perasaannya yang tak enak. Ia memutuskan naik kereta api. Ia harus bergegas kalau tidak ia akan terlambat menaiki kereta yang menuju daerah apartemennya. Rupanya usahanya tidak berjalan mulus. Banyaknya orang hingga anak kecil yang menghalangi jalannya menyulitkan Helen sampai tempat waktu. Ia ketinggalan kereta. Hanya kira-kira 60 detik jika ia lebih cepat saja, ia akan sampai naik ke kereta tersebut.

Begitulah kira-kira adegan pembuka dalam film Sliding Doors (1998) yang dibintangi Gwyneth Paltrow. Selanjutnya, film ini akan menampilkan dua adegan: yang satu menggambarkan jalan cerita jika Helen naik ke kereta dan yang kedua jika ia tidak naik ke kereta itu. Persis seperti judulnya, alur film ini seperti pintu slide yang sering ada di rumah-rumah mewah. Kisah ini mengangkat tema mengenai takdir, apakah dua orang bertemu memang sudah digariskan demikian atau karena kebetulan. Dengan filosofi pararel universe sebagai nafas filmnya, cerita yang terjalin menjadi tidak biasa. Cenderung membuat kita mikir pada akhirnya. 

Film ini diproduseri sutradara kawakan Sydney Pollack dan disutradarai oleh Peter Howitt. Entah ini ada hubungannya atau tidak, seperti film Sabrina (1995) yang disutradarai Pollack, film ini termasuk kategori film romantis yang terkesan dingin meskipun bukan Pollack yang menyutradarainya. Jangan mengharapkan film ini akan seperti film-filmnya Gary Marshall atau Nancy Meyers yang penuh dengan aktor-aktor ganteng dan cantik serta backsound musik jazz yang manis (kecuali lagunya Elton John, Dido, dan Aqua yang jadi soundtrack di film ini). Kalau lebih diperhatikan lagi, film romantis Pollack memang lebih cenderung realistis dengan isi cerita yang lebih filosofis. Selain itu pemerannya juga lebih realistis, setidaknya bagi saya Gwyneth (meskipun dia mantan pacar Brad Pitt dan sekarang jadi istrinya Chris Martin) tidak bisa dibilang cantik-cantik banget. Selain itu, pemeran utamanya John Hanna yang memerankan tokoh James lebih banyak dikenal sebagai pemeran pendukung (ingat tokoh Jonathan di serial The Mummy?). Ke-biasa-an ini membuat kita yang menonton film ini seperti menonton kehidupan orang lain saja. 

***

Seusai menonton film ini saya jadi bertanya-tanya (diskusi ini sangat cocok jika ada Kak Emma), what if adalah pertanyaan paling pas untuk menerangkan kegundahan ini. Misalnya:

Saya janji ketemu dengan seorang kawan di sebuah cafe jam 7 malam. Atas kesepakatan itu, saya minimal harus berangkat dari rumah setengah jam sebelumnya. Namun karena sore itu hujan, saya terpaksa harus menunggu sampai reda. Untungnya ojek yang mengantar berhasil membuat saya hanya terlambat 15 menit dari waktu yang sudah disepakati. Saat memasuki cafe, saya berpapasan dengan seorang laki-laki kira-kira berusia enam atau tujuh tahun diatas saya. Ia sedang bersama seorang perempuan. Saya tidak terlalu memperhatikannya karena buru-buru harus menemui teman saya itu sedangkan laki-laki itu juga buru-buru masuk ke dalam mobilnya diikuti perempuan itu, sepertinya mereka baru pulang kantor karena laki-laki itu masih memakai setelan kerja, kemeja warna biru ke-abu-abuan yang digulung sampai siku. Perempuan itu juga mengenakan setelan blazer warna cokelat. Bersilanganlah kami. 

Saya akhirnya menjumpai teman saya itu. Untungnya ia mengerti keterlambatan saya karena persoalan cuaca. Kami memesan makanan. Saya memesan mie Penang sedangkan teman saya memesan satu set teriyaki. Saya kemudian ke tempat cuci tangan, entah ada angin apa saya terpeleset, untungnya di cafe sedang sepi. Saya bangkit sendiri dan kemudian menuju tempat duduk saya. 

Coba bayangkan jika saya datang setengah jam lebih awal.

Saya masuk ke dalam cafe. Rupanya malam itu tidak terlalu banyak orang, hanya satu keluarga dan pasangan yang sedang melahap makanan mereka yang hampir habis. Sepertinya pasangan itu baru pulang kerja karena laki-lakinya masih mengenakan setelan kerja, kemeja biru keabu-abuan yang lengannya digulung sampai siku sedangkan perempuanya mengenakan setelan blazer warna cokelat. Saya dan teman saya kemudian memesan makanan. Saya memesan mie Penang, teman saya memesan satu set teriyaki. Saya pamit pada teman saya untuk cuci tangan, disaat yang sama laki-laki itu juga menuju tempat cuci tangan. Kami sama-sama tiba di tempat cuci tangan. Namun, saya lebih duluan selesai. Entah ada angin apa, saya terpeleset. Laki-laki itu rupanya berbaik hati menolong saya berdiri. "Hati-hati mbak, lantainya memang agak licin", ia berkata sambil tersenyum. Akhirnya saya memperhatikan bahwa laki-laki ini tipe idaman gue banget. Ia kemudian kembali ke mejanya begitupun saya. Di masa yang akan datang, rupanya laki-laki ini adalah jodoh saya, pemirsa. Kami akan bertemu tiga atau empat tahun lagi. Soalnya saat ini, ia masih pacaran dengan perempuan itu #hiks.

Pararel universe memang konsep yang sedikit ngejelimet dengan persoalan waktu. Waktu adalah sistem yang membuat kita kabur untuk membedakan mana yang takdir dan mana yang cuma kebetulan. Namun, setelah menimbang dengan seksama, dalam konteks ini baik takdir maupun waktu adalah sistem yang berjalan tetap. Yang sering mempermainkan mereka adalah pilihan kita. Kitalah yang tanpa sadar mengacaukan sistem mereka. Kita adalah subjek yang menentukan apakah akan mengikuti sesuai sistem atau keluar dan berimprovisasi dari sistem. Mengapa saya harus menunggu hujan reda padahal saya bisa saja datang dengan menggunakan taksi?. Pada akhirnya, dari pertanyaan "what if..." kita akan berujung pada sebuah pernyataan "seandainya...".

Kita tidak sadar bahwa detik sekalipun sanggup merubah jalan cerita hidup kita. Ahhh...hidup manusia lebih rumit dari seluruh film di muka bumi dijadikan satu. 

Review Film

Upik Abu dalam Drama Korea

Rabu, November 06, 2013




Dongeng Cinderella tidak pernah mati. 

Kisah si Upik Abu yang akhirnya menikah dengan Pangeran tidak pernah menjadi kuno, setidaknya bagi saya. Cinderella terus bertransformasi lebih modern. Dia tidak harus mengenakan baju jaman dahulu kala atau memiliki saudara tiri yang jahat. Cinderella bisa saja sebagai anak bungsu atau anak tunggal yang mencari ayahnya. Kita tidak butuh ibu peri yang menghadiahi Cinderella kereta kencana atau gaun yang bagus. Cinderella modern bisa kerja part time atau memiliki sahabat kaya yang bersimpati padanya. 

Bagaimana dengan Pangeran? Dongeng- dongeng terdahulu tidak pernah menceritakan tentang riwayat hidup si Pangeran. Ia tahu-tahu muncul mencari si pemilik sepatu kaca. Pangeran selalu muncul belakangan seperti superhero, mungkin Batman atau Iron Man. Dengan kegagahannya, ia menjemput Cinderella ke istana dan hidup bahagia selamanya. Tamat. 

Pangeran jaman sekarang memiliki kompleksitas kehidupan. Keluarga yang tidak harmonis, persaingan antar saudara, ancaman dari pihak-pihak yang ingin mengambil alih kerajaan kecilnya atau menghadapi pernikahan politik demi bersatunya korporasi. Pangeran tidak harus menaiki kuda berwarna putih, jaman telah berubah, saat ini kita mengenal kuda putih itu dalam bentuk Ferrari atau Porsche. Pangeran menjadi pribadi yang kritis sekaligus romantis. Ia membenci ketidakadilan namun tidak rela melepaskan kemewahan yang dibangun diatas ketidakadilan itu. 

Begitulah gambaran kehidupan Cinderella dalam drama korea. Beberapa judul film drama korea bisa kita telusuri sambil mengingat-ingat kisahnya. Mayoritas cerita tersebut berkisah tentang gadis miskin yang dijatuhi cinta oleh pemuda kaya raya pewaris kerajaan bisnis. Intrik muncul dengan berbagai variasi. Saudara tiri yang jahat menjelma sebagai tunangan Pangeran. Cinderella memiliki ibu yang cacat. Rival Pangeran juga jatuh hati pada Cinderella. Kerajaan kecil tersebut juga mengalami konflik, Presiden Direktur yang hampir mangkat serta penggantinya, kakak sang Pangeran yang diliputi dilema sebagai bayang-bayang ayahnya. 

Itulah gambaran kisah Cinderella versi The Heirs yang dibintangi Lee Min Ho dan Park Shin Hye. Tentu saja seperti drama korea lainnya yang piawai mengemas cerita (meskipun sebenarnya standar) namun tetap mampu mengaduk-aduk emosi penonton lewat perkawinan scene dan backsound yang pas. Airmata siap meleleh dan impian memiliki kisah cinta dan kekasih seperti di film pun kian membabi buta. Maka, hanyutlah saya dalam perangkap pop culture dari Korean wave. Ironisnya, saya memuja sekaligus mencibir. 



PS: sebagai pencibir dan pemuja (gabungan yang sangat kontradiktif) sepertinya masih lama bagi saya untuk menamatkan serial ini. 

Review Film

When Harry Met Sally

Rabu, November 06, 2013



"...when you realize you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible." 
Harry

Sepanjang minggu ini saya menonton film-film lawas mulai dari era 60-an sampai akhir 90-an. Salah satu film lama yang memorable bagi saya adalah film "When Harry Met Sally" yang dibintangi Meg Ryan dan Billy Cyrstal. Film yang dirilis di tahun 1989 ini merupakan salah satu dari sekian film romantis legendaris Hollywood. Sejujurnya, film ini agak mengingatkan saya pada trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight karena kekuatan film ini terletak pada dialognya. Jika trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight termasuk "serius" dengan dialog-dialognya, berbeda dengan When Harry Met Sally yang cenderung ringan tapi mengena. Kita akan terbawa pada serunya perdebatan Harry dan Sally tentang relationship antara laki-laki dan perempuan.

Di tahun 1977, Sally Albright (Meg Ryan) berkenalan dengan Harry Burns (Billy Crystal) yang saat itu berpacaran dengan Amanda, roomate-nya saat kuliah di University of Chicago. Sally memberikan tumpangan pada Harry yang kebetulan memiliki tujuan yang sama ke New York. Sally ingin melanjutkan sekolah di bidang Jurnalisme sedangkan Harry ingin meniti karir di kota Big Apple itu. Dalam perjalanan menuju New York inilah mereka berdua selalu terlibat perdebatan sebelum akhirnya kemudian berpisah. Dalam dialog-dialog itu kita dapat melihat perbedaan sudut pandang laki-laki dan perempuan dalam melihat sebuah hubungan men-women friendship

Harry: Men and women can't be friends because the sex part always gets in the way. 
Sally: That's not true. I have a number of men friends and there is no sex involved. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: You only think you do. 


Lima tahun kemudian, Sally dan Harry bertemu lagi. Kali ini Sally sudah menjadi jurnalis dan sedang berkencan dengan Joe yang ternyata teman lama Harry. Harry sendiri akan menikah, sesuatu yang membuat Sally takjub. Mereka pun tetap kembali berdebat tentang men-women friendship sampai akhirnya berpisah lagi.

Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Kali ini Sally sudah putus dengan Joe sedangkan Harry bercerai dengan Helen, istrinya. Sikon mereka yang pas itu membuat keduanya berteman. Harry mulai mengenal pribadi Sally, demikian juga sebaliknya. Tanpa disadari, Harry dan Sally pun mulai saling bergantung.

Harry: There are two kinds of women: high maintenance and low maintenance. 
Sally: Which one am I? 
Harry: You're the worst kind; you're high maintenance but you think you're low maintenance.

Persahabatan Harry dan Sally kemudian teruji ketika "sex involve into friendship" seperti yang pernah dikatakan Harry. Hubungan mereka pun merenggang. Namun, khas film Hollywood, hubungan Harry dan Sally tentu saja tidak berakhir sad ending macam film Asia. Menonton film ini membuat saya berpikir tentang konsep jodoh. Meskipun terpisah bertahun-tahun, namun entah mengapa kita akan kembali dipertemukan dengan orang itu. Bukan hanya itu saja, kita juga terkoneksi dengan orang-orang yang dekat dengan orang itu. Film ini cocok ditonton di malam minggu dalam keadaan sendiri maupun dengan orang terkasih. Soundtracknya juga pas membingkai jalinan peristiwa dalam film, seperti lagu Let's Call The Whole Thing Off-nya Ella Fitzgerald dan Louis Armstrong atau It Had To Be You-nya Frank Sinatra yang dibawakan Harry Connick, Jr. 

Menonton film ini membawa saya kembali ke masa kanak-kanak dan tentu saja kembali optimis seperti yang dinyanyikan dalam lagu It Had To Be You:
"It must have been that something lovers call fate, kept me saying," I Had To Wait". I saw them all, just couldn't fall 'till we met."


PS: menyempatkan menonton film di sela-sela hiruk-pikuk  Mid-Term :p

Review Film

Love Letter : There's a Reason Behind Love At The First Sight

Senin, April 08, 2013



Setiap orang memiliki kenangan yang ia simpan dalam ingatannya. Ingatan itu dapat mengabadi hingga membuat manusia sesak oleh kenangan-kenangan itu. Kadang ingatan menjadi kabur bahkan hilang sama sekali. Namun, ada juga ingatan yang hilang sebentar dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali. Film Love Letter yang diproduksi pada tahun 1995 adalah salah satu film yang mengambil tema ingatan manusia sebagai intisari jalan ceritanya. Shunji Iwai, sutradara sekaligus penulis skenarionya sangat apik mengemas drama bittersweet romance dengan alur maju mundur dan tidak membuat kita pusing menontonnya. Di masanya, film ini banyak meraup penghargaan termasuk mengorbitkan Takashi Kashiwabara ( yang jadi Irie Naoki di Itazura Na Kiss) sebagai rising star kala itu. 

Love Letter dibuka dengan adegan peringatan 2 tahun kematian Itsuki Fujii (Takashi Kashiwabara) yang meninggal karena kecelakaan saat ia naik gunung bersama teman-temannya. Peringatan kematian itu  membawa tunangan Itsuki, Hiroko Watanabe (Miho Nakayama) yang masih mencintainya pada sebuah perjalanan ke masa lampau ketika ibu Itsuki memperlihatkan buku tahunan SMA Itsuki. Dalam buku tahunan itu, tercantum alamat rumah mereka sewaktu masih tinggal di kota Otaru. Menurut ibu Itsuki, rumah itu sudah dihancurkan saat pembangunan jalan. Iseng-iseng, Hiroko pun mencatat alamat rumah Itsuki yang lama dan mengiriminya sebuah surat dengan kalimat," Apa kabar Itsuki? Aku baik-baik saja". Dua hari kemudian ia mendapat balasan.

Hiroko yang kaget mendapat balasan yang tidak mungkin itu menceritakannya pada Akiba (Etshusi Toyokawa), teman Itsuki yang juga mencintai Hiroko. Akiba sendiri mengalami kehilangan yang besar karena ia bersama dengan Itsuki saat mereka naik gunung. Sejak kematian Itsuki, Akiba tidak mau lagi naik gunung dan ia berusaha untuk menjaga Hiroko. Dalam proses kirim berkirim surat itu akhirnya diketahui bahwa yang membalas surat itu adalah Itsuki Fujii (Miho Nakayama) teman SMA Itsuki yang memiliki nama yang sama dengannya. 

Lalu, apa jadinya ketika cinta yang kita percayai begitu jujur perlahan-lahan tersibak oleh ingatan masa lalu? Bagaimana rasanya dicintai hanya karena menjadi refleksi dari bayangan orang lain? Disitulah cerita kemudian mengalir, baik Hiroko dan Itsuki sama-sama menelusuri ingatan mereka tentang Itsuki. Seperti kalimat "orang yang mati lebih banyak berbicara" maka pertemuan Hiroko dan Itsuki perempuan juga menjadi jawaban atas hubungan Hiroko dan Itsuki serta kedua Itsuki. Hiroko mendapati kenyataan bahwa Itsuki perempuan memiliki wajah yang sangat mirip dengannya. Mungkin lewat film ini kita jadi tahu bahwa cinta pada pandangan pertama tidak terjadi begitu saja. There's a reason behind love at the first sight. Dan lagi-lagi cinta yang tak pernah terucap itu bikin nyesek. Kisah ini pun menunjukkan bahwa hati laki-laki juga tak kalah sedalam samudera untuk menyimpan perasaannya. 

Video berikut adalah kumpulan adegan antara kedua Itsuki Fujii dengan backsoud lagu Sweet Memories yang dicover oleh Olivia Ong. Lagu ini aslinya dinyanyikan oleh Seiko Matsuda. Di film ini diceritakan, Itsuki menyanyikan salah satu lagu Seiko Matsuda sebeluma ia meninggal. 



Shunji Iwai menghadirkan banyak perspektif untuk melihat sosok Itsuki yang sudah mati. Tanpa kita sadari sebenarnya Itsuki pun sudah menceritakan kisahnya lewat pandangan Hiroko, Itsuki, Akiba, dan orang-orang yang mengenalnya. Film ini pun juga memberikan gambaran seperti apa jadinya seseorang bila ia telah tiada dan ingatan kita adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk hidup. Memang benar bahwa pada akhirnya semua pertanyaan akan terjawab, itu semua hanya menunggu waktu.
Love Letter menambah lagi daftar film favorit saya. Saya juga bingung ini antara ceritanya yang platonis abis atau karena Takashi Kashiwabara yang menjadi big crush saya waktu SD hehehee. Meskipun dialognya sederhana, tapi film ini mampu memberikan emosi yang besar. 






PS : Dua malam yang lalu saya membaca personal message BBM dari Kak Emma. Ia menulis,"In Remembrance of Things Lost", ternyata buku yang diberikan Itsuki laki-laki kepada Itsuki perempuan juga berjudul sama. Kejadian ini begitu pararel ya :)

Review Film

Rectoverso: Melodrama Cinta Yang Tak Terucap

Jumat, Februari 15, 2013

Februari diklaim sebagai bulan penuh cinta karena sebuah tanggal 14 yang diperingati sebagai hari Valentine, hari dimana orang berbagi kasih sayang dengan sesama. Momen yang tepat untuk mengungkapkan cinta pada yang didamba dan mendamba. Bagi saya, bulan ini adalah bulan yang saya tunggu-tunggu untuk menyaksikan visualisasi dari omnibus (kumpulan film pendek yang dijadikan satu film panjang)  "Rectoverso" yang diangkat dari kumpulan cerpen dan lagu karya Dewi "Dee" Lestari. Buku ini terbit di tahun 2008, tetapi saya pribadi baru membacanya di tahun 2011. Overall, buku ini sangat menyentuh dengan ke-11 cerita yang sederhana, unik, namun senantiasa membuat kita yang membaca kepikiran. 

Karya-karya Dee memang senantiasa mengajak orang untuk berfilsafat, terutama untuk mengetahui makna cinta. Dari ke-11 cerita dalam buku "Rectoverso" hanya 5 cerita yang dipilih untuk difilmkan dengan tema "Cinta Yang Tak Terucap" dimana kisah-kisahnya memiliki benang merah akan cinta yang tak tersampaikan secara langsung oleh yang dicinta. 

Ini merupakan karya pertama 5 artis cantik : Marcella Zalianty, Happy Salma, Rachel Maryam, Olga Lydia, dan Cathy Sharon sebagai sutradara. Selain itu, karena cerita-cerita dalam buku Rectoverso memiliki masing-masing lagu, ke-5 lagu dalam cerita inipun di recycle ulang oleh Glenn Fredly, Dira Sugandy, Drew, Tohpati ft. Acha, dan Raisa. 

Malaikat Juga Tahu
sutradara : Marcella Zalianty

Persahabatan unik antara Leia dan Abang

Seperti dalam bukunya, Malaikat Juga Tahu bercerita tentang Bunda (Dewi Irawan) yang membuat rumahnya sebagai rumah kos. Salah satu anak Bunda yang dipanggil Abang (Lukman Sardi) kerap kali membantu ibunya dalam mengumpulkan pakaian kotor anak-anak kos di rumah itu. Sayangnya, Abang adalah sosok yang berbeda. Ia menderita autis. Leia (Prisia Nasution), salah satu anak kos disitu adalah satu-satunya penghuni kos yang menaruh perhatian lebih padanya. Meskipun keduanya sangat berbeda jauh, namun diantara Leia dan Abang terjalin sebuah hubungan yang unik. Abang adalah pendengar setia dari cerita-cerita Leia dan Leia pun menikmati setiap ucapan berulang yang dicelotehkan Abang tentang hitungan dan komposer-komposer musik dunia. 

Konflik mulai muncul ketika Hans, adik Abang datang ke rumah itu setelah menyelesaikan sekolahnya di luar negeri. Hans jatuh cinta pada Leia, begitupun sebaliknya. Kisah antara Hans dan Leia diketahui oleh Bunda yang juga mengetahui apa yang ada dalam isi hati Abang. Abang telah mencintai Leia tanpa pilihan untuk seumur hidupnya. Pertentangan batin antara Bunda yang melihat kisah cinta tak mungkin antara Abang dan Leia membuat kisah ini menjadi menyedihkan.

Hanya Isyarat
sutradara : Happy Salma

Al yang diam-diam mencintai Raga namun hanya sebatas punggungnya.


Cinta sebatas punggung adalah salah satu jenis cinta paling umum yang diderita banyak orang. Kadang-kadang kita jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup kita lihat dari kejauhan, menikmati punggungnya, dan begitu bersyukur kalau-kalau suatu ketika bisa berinteraksi dengannya. Cinta pada seseorang yang kita tahu tidak bisa kita miliki, kalau pinjam lirik lagunya Kahitna "apalah artinya cinta pada bayangan". Cinta jenis inilah yang masih saudara sedarah dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Jenis cinta yang diderita Al (Amanda Soekasah) pada Raga (Hamish Daud) yang bahkan warna matanya pun ia tak tahu. Al, Raga, Tano (Fauzi Baadillah), Bayu, dan Dali adalah sekumpulan backpacker yang awalnya berteman di milis hingga kemudian memutuskan kopi darat di sebuah pulau. Walaupun baru beberapa hari bertemu namun Tano, Raga, Bayu, dan Dali sudah akrab. Lain halnya dengan Al yang masih merasa asing di antara mereka.

Al jatuh hati pada Raga namun ia tak bisa untuk memiliki lelaki itu. Suatu malam, Al yang biasanya hanya menjadi latar dari percakapan Tano, Raga, Dali, dan Bayu diundang untuk bergabung dalam permainan mereka. Dalam permainan itu mereka harus menceritakan kisah yang paling sedih. Siapa yang menang akan memberi perintah kepada salah satu diantara mereka untuk melakukan sesuatu. Satu per satu diantara mereka pun mulai menceritakan kisahnya: tentang kehilangan kekasih, sahabat, dan bencana alam. Tibalah giliran Raga yang menceritakan kisahnya yang pernah mati suri. Setelah kejadian itu, ia pun bertekad untuk mencari kembali cinta Ilahi yang pernah ia sempat rengkuh. Ia tak mencari keluarga, persahabatan, atau hal-hal yang duniawi. Singkatnya ia menjadi pertapa dalam peradaban yang modern. 

Kemudian tibalah giliran Al yang menceritakan kisah tentang sahabatnya yang pernah tinggal di negeri orang dan hidup hanya dengan mengetahui defenisi punggung pada ayam. Ia lantas mengaitkan dengan kisahnya yang hanya mampu mencintai seseorang sebatas punggungnya saja. Cinta yang hanya mampu ia isyaratkan sehalus udara, langit, udara, dan hujan. Kisah itu kemudian membawa Al sebagai pemenang. Hadiah yang membuatnya mengetahui warna mata dari Raga.

Firasat
sutradara : Rachel Maryam

Senja yang memiliki firasat pada Panca

Firasat bercerita tentang Senja (Asmirandah) yang bergabung dalam klub Firasat, sebuah klub tempat orang-orang dengan "kelebihan" berkumpul untuk sharing yang diketuai oleh Panca (Dwi Sasono). Senja jatuh hati pada Panca namun ia memiliki firasat buruk tentangnya. Lewat mimpi yang terus-menerus ia mimpikan, firasat Senja semakin kuat terhadap Panca, bahwa akan ada sesuatu yang menimpa Panca. Senja selalu memiliki firasat pada orang-orang yang akan meninggal, seperti ketika ia memiliki firasat sebelum ayah dan adiknya meninggal dalam kecelakaan. 

Berulang kali, Senja ingin menceritakan  pada Panca namun ia tak pernah bisa menyampaikannya. Sampai pada akhirnya Panca akan berangkat ke Padang untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit. "Firasat" adalah salah satu cerita yang endingnya dibuat berbeda. Cuma satu adegan yang membuat saya kepikiran dalam film ini yaitu saat Panca tahu semuanya sudah terjadi. Ekspresi Dwi Sasono sangat menyentuh sekaligus bikin melting. Gara-gara ending filmnya yang seperti itu, saya malah teringat dengan film If Only yang dibintangi Jennifer Love-Hewitt di tahun 2004 lalu.

Curhat Buat Sahabat
sutradara : Olga Lydia

Reggie yang setia mendengarkan curhat Amanda

Kadang-kadang cinta yang selama ini kau cari sebenarnya ada di depan matamu. Mungkin itulah yang menjadi soul dari cerita mengenai Amanda (Acha Septriasa) dan sahabatnya Reggie (Indra Birowo). Amanda sebagai perempuan dengan segala keinginannya untuk memiliki seorang kekasih jatuh dari pelukan lelaki yang satu ke lelaki yang lain sedangkan Reggie dengan cintanya selalu menjadi seseorang yang "selalu ada" untuk Amanda. Sayangnya perasaan Reggie tak pernah terucap. Hanya tindakannya saja yang mampu  menyampaikan bagaimana isi hatinya pada Amanda. Sebuah perasaan yang terlambat disadari Amanda. 

Cicak di Dinding
sutradara : Cathy Sharon

Saras dan Taja serta cicak di dinding

Kisah "Cicak di Dinding" adalah kisah antara Taja (Yama Carlos) dan Saras (Sophia Mueller a.k.a Sophia Latjuba). Taja yang seorang pelukis bertemu pertama kali dengan Saras di sebuah cafe. Mereka melakukan one night stand yang ujung-ujungnya membuat Taja jatuh cinta pada Saras. Ketika Saras tahu perasaan Taja, ia meninggalkannya begitu saja.

Tahun-tahun pun berlalu, sampai Taja kembali bertemu dengan Saras. Sayangnya, Saras telah menjadi tunangan dan sebentar lagi akan menikah dengan Bang Irwan (Tio Pakusadewo) yang merupakan sahabat Taja. Saat pernikahan Saras dan Irwan, Taja tak datang. Namun, ia menghadiahkan sebuah kado, lukisan cicak di dinding dengan filosofi cicak adalah bintang yang melindungi manusia dari nyamuk, sekalipun ia tak pernah diperhatikan. Gambar cicak itu merupakan gambar tatto yang dimiliki Saras, tatto yang dilihat Taja saat mereka bersama.

"Cicak di Dinding" juga mengalami pengembangan cerita. Meskipun berbeda dengan versi buku tapi nafas kisahnya masih sama. 

***

Sebagai pecinta karya-karya Dee, tentu saja menikmati karya-karyanya dalam bentuk film juga merupakan suatu kesenangan tersendiri bagi saya. Sejak pertengahan tahun 2012 hingga awal tahun 2013, dunia perfilman Indonesia menyuguhkan karya-karya Dee dalam bentuk gerak dan gambar. Pembaca buku-bukunya yang sudah kepalang penasaran ingin menonton dan berharap ekspektasinya terpenuhi. Hasilnya? Tanggapan penonton Perahu Kertas 1 dan 2 cukup menggembirakan. Lalu kemudian menyusul Rectoverso dan Madre yang akan dirilis  pada Maret nanti.

Harus diakui Film Rectoverso memang memiliki poin plus karena memadukan cerita yang bagus, lagu yang memukau, dan gambar yang cantik.  Meskipun disutradarai oleh ke-5 artis yang notabene baru pertama kali menyutradarai sebuah film namun terbukti mereka memiliki "feel" yang bagus dalam memilah dan memadukan adegan sehingga pas di mata penonton. Bantuan dari DOP dan film editor-nya, Cesa David Lukmansyah sangat membantu menghadirkan gambar-gambar cantik sehingga untuk soal teknis, film ini tidak  mengecewakan. 

Casting yang pas juga menjadi kekuatan dari film Rectoverso, para pemain di film ini sudah tidak diragukan lagi kualitas aktingnya, mereka mampu menghadirkan visualisasi ekspresi yang pas dalam aktingnya sesuai dengan karakter dalam buku. Walaupun bisa dikatakan film ini bagus, namun sepertinya ke-5 sutradaranya cenderung bermain aman dengan tidak mengambil terlalu banyak konsekuensi atau bereksplorasi terlalu jauh dengan urusan teknis dan urusan casting pemain atau bahkan perubahan ide cerita.

Secara keseluruhan, film ini mampu membuat orang menangis dengan perpaduan kisah, akting pemain, dan lagunya. Beberapa adegan lucu dan humor yang meski garing tapi karena kegaringannya malah lucu. Kekuatan film ini selain menghibur juga mengajak kita berpikir lebih jauh tentang cinta yang hanya sebatas isyarat, cukup hanya dengan firasat, bertemankan cicak di dinding, lewat curhat dengan sahabat, dan hanya malaikat yang tahu. 



NB: Semoga Supernova juga difilmkan, someday. :)

Review Film

Rectoverso Movie

Kamis, Januari 24, 2013

Saya tidak sabar untuk menonton film Rectoverso yang diangkat dari bukunya Dewi "Dee" Lestari. Lebih tepatnya saya tidak sabar menunggu pada bagian "Hanya Isyarat". Mungkin karena proximitas atau karena seolah-olah kisah itu menyinggung saya (padahal orang-orang dari seluruh dunia juga pernah mengalami hal itu hihihi...). Tapi, untuk menonton keseluruhan film saya sudah tidak sabar :D




Review Film

Tuhan Menciptakan Pasangan

Rabu, Desember 12, 2012



"Aku melihat Tuhan dalam dirimu..."

Suri adalah seorang lelaki sederhana dan pemalu yang menjalani rutinitasnya sebagai pegawai kantor. Ia menikah dengan seorang gadis cantik bernama Taani. Sejak melihat Taani, ia sudah jatuh hati. Namun, sayangnya Taani belum merasakan hal yang sama. Perkawinan Suri dan Taani dijalani dengan kaku. Seperti sebuah rutinitas, Taani melayani Suri dan Suri memenuhi apa yang dibutuhkan Taani. Mereka pun tidur terpisah dan melakukan percakapan seperti dua orang yang baru saja saling mengenal.

Suri yang mencintai Taani sadar bahwa sejak menikah dengannya, Taani kehilangan kebahagiaanya. Suatu hari Taani meminta izin pada Suri untuk mengikuti kelas menari. Demi menyenangkan Taani, Suri pun mengizinkan. Di saat itulah, Suri curhat dengan Bobby, pemilik barber shop yang menjadi teman Suri. Ia ingin membahagiakan Taani. Dari curhat Suri itu, ia akhirnya menemukan ide untuk menyamar sebagai seorang pria yang 100 % kebalikan dari Suri. Suri memutuskan menyamar menjadi tokoh ciptaanya, Raj. Raj yang adalah Suri sendiri ikut di kelas menari yang sama dengan Taani.

Seperti sudah ditakdirkan, kelas menari tersebut menggelar kompetisi dansa dimana Taani berpasangan dengan Raj. Latihan dansa demi kompetisi itu membuat Raj dan Taani menjadi dekat. Sosok Raj mampu membuat Taani kembali bahagia. Ketika Raj menyatakan cintanya, Taani bingung karena disatu sisi, ia masih menjadi istri Suri. Namun, Taani bertekad untuk menemukan kembali kebahagiaannya. Saat Raj mengajaknya untuk pergi bersamanya, Taani setuju.

Hari sebelum kompetisi, Suri mengajak Taani untuk berdoa di kuil. Disanalah kedua orang ini berdoa kepada Tuhan dengan permohonannya masing-masing. Suri berdoa untuk kebagiaan Taani dan Taani meminta Tuhan untuk menunjukkan diri-Nya. Saat, Taani membuka mata, ia terkejut karena yang muncul di hadapannya adalah Suri. Di saat itulah Taani sadar bahwa ia tidak bisa meninggalkan Tuhan, ia tidak bisa meninggalkan Suri.

Taani menyampaikan hal itu pada Raj. Ia tidak bisa pergi bersama Raj karena ia sesungguhnya telah melihat Tuhan dalam diri Suri. Raj yang adalah Suri sendiri terharu dan menyadari bahwa Taani benar-benar setia padanya.

Saat kompetisi berlangsung, tibalah giliran Raj dan Taani untuk tampil. Namun Raj tak muncul. Taani pun memberi tahu pada MC bahwa Raj tidak akan datang. Di saat itulah muncul Suri dengan penampilannya yang seperti biasa. Taani kaget terlebih lagi ketika Suri dapat menari bersamanya, persis seperti yang dilakukan Raj. Ditulah Taani sadar, bahwa untuk membuatnya bahagia kembali, Suri rela menyamar menjadi orang lain yang berbeda dari dirinya, karena ia tahu sosok Suri selalu membuat Taani bersedih.

Rab Ne Bana Di Jodi (artinya Tuhan Menciptakan Pasangan) adalah film India yang dibintangi oleh Shahrukh Khan dan Anushka Sharma. Secara tidak sengaja saya pernah menontonnya sewaktu diputar di TV. Kalau kita percaya tidak ada yang kebetulan terjadi di dunia ini dan Tuhan tidak melempar dadu sembarangan, maka bisa jadi, lagi-lagi saya mendapat teguran dari Yang di Atas.

Tuhan yang menciptakan pasangan. Maka, Ia sendiri yang akan mempertemukan kita dengan seseorang yang mewakilkan cinta-Nya pada kita. ketika hal itu terjadi, kita benar-benar dapat melihat Tuhan dalam diri orang itu.


Review Film

Secretariat

Kamis, November 15, 2012



"This is not about going back. This is about life being ahead of you and you run at it! Because you never know how far you can run unless you run." - Penny Chenery

Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Bang Rey a.k.a Reynold Aslin, salah seorang senior yang telah memperkenalkan film ini pada saya. Lebih tepatnya cuplikan film ini wajib ditonton oleh tiga ribu mahasiswa KKN saat pembekalan KKN Unhas Gelombang 82 kemarin. Bang Rey saat itu menjadi pemateri untuk memotivasi kami sebelum berangkat KKN dan film Secretariat adalah salah satu media yang dia gunakan untuk menyampaikan materinya.

Secretariat merupakan film produksi Disney pada tahun 2010 yang dibintangi oleh Diane Lane dan John Malkovich. Film dengan latar tahun 70-an di Amerika ini diangkat dari kisah nyata seorang Penny Chenery dan kudanya yang melegenda, Secretariat. Penny Chenery-Tweedy adalah seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak yang hidup bahagia dengan suaminya, Jack Tweedy. Kehidupan normal yang dijalani Penny berubah ketika ia mendapat kabar bahwa ibunya, Helen Chenery meninggal dunia. Selepas kematian ibunya, Penny merasa bertanggung jawab untuk menjaga ayahnya, Chris Chenery yang sedang sakit. Ia pun terpanggil kembali untuk mengelola peternakan kuda milik orang tuanya yang dulu merupakan cita-citanya sejak kecil.

Konflik kemudian muncul tak lama setelah ayahnya meninggal. Suami dan saudaranya, Hollis menyarankan untuk menjual peternakan  itu. Namun, Penny berusaha keras untuk mempertahankan dan mengelola dengan baik peternakan kuda itu. Ia kemudian mencari pelatih kuda terbaik, Lucien Laurin untuk melatih Secretariat, salah satu kudanya yang baru lahir hasil percampuran kuda terbaik milik pengusaha Ogden Phipps. Dunia pacuan kuda yang didominasi oleh kaum pria juga menjadi tantangan baru bagi Penny karena kerap kali Penny diremehkan oleh perbedaan gender. Singkat cerita, meski pada awalnya diremehkan, namun Secretariat terbukti sebagai kuda pertama yang menjadi juara dalam Triple Crown Champion setelah kurun waktu 25 tahun. Dalam 21 balapan karirnya, Secretariat berhasil memenangkan 16 pertandingan, 3 kali juara kedua, dan sekali menjadi juara tiga. Sampai saat ini, belum ada kuda yang mampu menandingi kehebatan Secretariat.

 Secretariat dan jokinya, Ronnie Turcotte


Lalu apa yang menarik dari film ini?
Semua orang hebat pada awalnya selalu diremehkan. Penny Chenery dianggap tidak mampu mengelola peternakan kuda warisan keluarganya karena ia seorang perempuan. Secretariat diremehkan karena ia dianggap tidak memiliki stamina yang kuat. Penny dan Secretariat akhirnya memiliki tautan hati yang kuat karena keduanya merasakan hal yang sama. Baik Penny maupuan Secretariat memiliki pergumulan yang sama. Ada scene yang menguatkan kontak antara Penny dan Secretariat sebelum pertandingan di Belmont Stakes. Penny berkata kepada Secretariat, "I've run my race. You run yours."

Secretariat dan Penny



Kadang-kadang dalam hidup kita menghadapi tantangan yang datang dari segala arah. Bahkan keluarga kita sendiri pun dapat menjadi batu sandungan dalam perjalanan hidup kita. Bunyi peluit dapat dimaknai berbeda bagi setiap orang. Bunyi yang memekikkan telinga itu dapat membuat kita menutup telinga dan menghindar. Sebaliknya, bunyi bising itu dapat memacu kita agar terus berlari, bertarung, dan memenangkan apa yang kita yakini. Bunyi peluit juga menjadi arahan apabila kita telah berlari ke jalur yang salah. Orang yang masih memperhatikan bunyi peluit secara postif membuatnya memahami didikan. Didikan yang baik membawa kita pada pengetahuan yang baik. Pengetahuan yang baik membawa kita pada kemenangan dalam peperangan yang kita jalani.