Si Lajang

Minggu, Juli 21, 2013


Sewaktu membaca buku triloginya Ayu Utami (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Ex-Parasit Lajang) saya menemukan istilah baru yaitu parasit lajang. Parasit Lajang atau single parasite adalah istilah yang dikemukakan para feminis Jepang untuk menggambarkan anak gadis yang tak menikah, selalu sibuk bekerja, namun masih tinggal dengan orang tua alias jadi parasit di rumah sendiri. Dulu saya pernah kenalan dengan seorang gadis Jepang, karena saya lupa namanya maka ada baiknya saya memanggilnya Kyoko. Kyoko ini adalah temannya Kak Syifa yang datang ke Indonesia dalam sebuah program khusus. Saya dan Kak Syifa (setahu saya sekarang beliau aktif di komunitas Makassar Berkebun) berkenalan karena sama-sama mengikuti program Sekolah Feminis yang diasuh organisasi Perempuan Mahardika (organisasi yang pada zaman Orde Baru bernama Gerwani) dan gara-gara itu ia memanggil saya dan beberapa teman alumni Sekolah Feminis untuk ikutan belajar bahasa Jepang dengan Kyoko sebagai pengajarnya.

Sebagai feminis, kami sebenarnya lebih tertarik dengan kehidupan perempuan Jepang disana ketimbang belajar bahasa Jepangnya. Kyoko lantas bercerita tentang kehidupan perempuan Jepang disana, terutama fenomena "kemandirian" yang disandang perempuan Jepang. Pada usia tertentu, cewek-cewek Jepang ini bisa meninggalkan rumah orang tuanya untuk berkarir dan haram hukumnya untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya. Biasanya mereka akan membeli rumah (atau apartemen) sendiri dan pulang sesekali untuk mengunjungi orang tuanya. Bertahan di negara macam Jepang membutuhkan mental sekuat baja (as you know Jepang adalah negara dengan tingkat bunuh diri paling tinggi), sometimes membuat perempuan-perempuan disana berpikir bahwa pernikahan adalah jalan keluar. Mungkin pikir mereka daripada capek-capek mending kawin aja deh. 

Tapi tidak semua perempuan Jepang memilih cara itu, misalnya si Kyoko yang sudah keluar dari rumah orang tuanya dan mandiri. Beberapa perempuan Jepang tetap settle down di rumah orang tua. Mereka aktif bekerja, bebas "main" dengan teman-temannya, dan tidak peduli dengan urusan rumah karena ada ibu yang mengurus. Mereka juga tak menikah, entah karena belum ketemu jodoh atau karena keenakan pacaran. Kehidupan itulah yang disandang sebagian perempuan disana dan merekalah yang disebut parasit lajang. Benalu bagi orang tuanya. Sudah benalu, jomblo pula (Jomblo itu adalah mereka yang belum menikah yaaa...).

Lalu apa hubungannya parasit lajang dengan saya?
Di keluarga saya ada dua macam ketakutan, ketakutan pada mati muda dan ketakutan pada tidak kawin-kawin. Saya punya banyak tante yang belum menikah, bukan karena mereka tak cantik jelita, tapi karena mereka terlalu hebat. Setengah dari mereka sudah mapan secara finansial, otak mereka dihargai gaji jutaan, kerjaan mereka suka keluar negeri, bahkan ada satu tante yang seorang diplomat di KBRI Washington dan belum married sedangkan ibunya mengharapkan ia untuk segera menikah diambang umur 50 tahun. Bahkan saya sendiri sudah diperingatkan oleh orang-orang tua di keluarga saya, "Boleh sekolah tinggi-tinggi, tapi ingat-ingat untuk kawin ya...". Seolah-olah bagi mereka cari suami kayak tinggal dibeli di toko. Ini horor, lebih horor daripada filmnya Suzanna.

Pernikahan jadi semacam momok. Tidak menikah kita disakiti secara sosial, tapi menikah juga belum tentu menjadi jaminan kebahagiaan. Saya tidak takut pada pernikahan yang saya takutkan adalah menikah dengan orang yang salah dan akhirnya menyesali pernikahan itu. Bukankah pernikahan adalah lembaga yang tidak serampangan dimasuki orang?sekali menikah sebaiknya anda tidak bercerai, kan. Kalau mau ditarik dalam konteks teologi kristen, pernikahan antara suami dan istri bagaikan pernikahan Kristus dengan Gereja-Nya. Saking kudusnya, gereja Katolik mengakui pernikahan sebagai sebuah sakramen (tanda pengurapan oleh Allah). Bagi saya sendiri, pernikahan adalah ikatan antara saya dengan si partner hidup. Orang yang akan menjadi teman seperjalanan saya mengarungi samudera kehidupan. Jadi jelas menikah bukan karena trend, mentang-mentang teman-teman sekolah dulu pada menikah dan punya anak, sedangkan saya masih jomblo akhirnya serampangan memilih. Kalau ternyata si suami tidak bertanggung jawab atau menderita sakit jiwa, tukang pukul istri atau tukang selingkuh, siapa yang akan menanggung duka saya, kalau bukan saya sendiri?

Ibu saya selalu mengingatkan,"Jangan pernah berpikir bahwa pernikahan adalah penyelesaian dari segala masalah. Justru sebaliknya masalah yang baru akan muncul". Untuk itulah ibu selalu mendidik saya untuk tidak tergantung pada orang lain, bahkan pada suami nanti. Karena sangat berbahaya menggantungkan hidupmu pada manusia. Tapi kalau tidak menikah juga maka kita akan kesepian secara mental-seksual dan akhirnya mati dengan cara dikremasi lalu abunya ditebar di 7 tempat berbeda karena tak ada anak-cucu yang mau menjenguk makan neneknya. 

Ah....perempuan dan masalahnya dengan dirinya sendiri maupun kehidupan sosialnya adalah konflik purba yang rumit. 

You Might Also Like

0 comments