Life Story

Mimpi itu.... Nyata

Sabtu, Januari 17, 2015

Saya menuliskan ini karena sesungguhnya saya sedang bingung atas apa yang terjadi. Beberapa hari yang lalu, saya bermimpi. Mimpi itu terasa nyata sekaligus menakutkan, bahkan ketika terbangun pun ada perasaan janggal yang tertinggal.

Dalam mimpi itu, saya melihat eksekusi seorang tahanan perempuan. Saya tidak bisa melihat wajah perempuan itu dengan jelas. Namun, seolah-olah saya  ikut merasakan ketakutannya menghadapi ajal. Kemudian saya melihat sebuah tubuh yang sudah ditutupi kain putih, jenazah tahanan perempuan itu yang lalu dimasukkan dalam peti kayu berwarna cokelat. Di belakang peti mati itu, berdiri seorang perempuan lagi yang juga akan dieksekusi menyusul perempuan pertama. Satu-satunya informasi yang saya tahu bahwa perempuan pertama berasal dari Papua. Namun, asal dan wajah perempuan kedua tidak bisa saya ketahui. Saya juga tak tahu apa yang mereka lakukan sehingga dihukum mati. 

Mimpi aneh itu coba saya analisis. Para psikoanalisis bilang sebuah mimpi terangkai dari pengalaman atau keinginan sebelumnya. Malam sebelum saya bermimpi, saya menonton film Chicago dan ada scene seorang tahanan perempuan yang dieksekusi. Kenapa Papua? Mungkin saja karena pengalaman saya yang berkesan sewaktu saya kesana dan akhirnya bertabrakan dengan pengalaman nonton film tersebut. 

Anehnya, besok-besoknya saya malah mendapat banyak pertanda tentang eksekusi tersebut. Pertama, lagi-lagi film yang saya nonton berikutnya bercerita tentang eksekusi mati. Kedua, dan ini yang paling aneh, saya menonton dan membaca berita dua hari berturut-turut tentang rencana eksekusi beberapa tahanan kasus narkoba di Semarang. Dua dari mereka adalah perempuan, satu berkebangsaan Vietnam dan satunya berkebangsaan Indonesia. Jika ini adalah kebetulan, bagaimana bisa? Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan mereka. Tapi jika ini bukan kebetulan, apakah ini yang dinamakan kesatuan afinitas? Karena saya masih meragukan apakah saya punya kemampuan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai tempat dan waktu. 

Berita mengenai eksekusi itu bisa kalian akses di berbagai media. Dan sebagai tambahan, mereka semua akan dieksekusi sebentar lagi. Tepat pukul 00.00 di hari Minggu 18 Januari 2015.



Agak berjarak dari tulisan ini dibuat, saya baru tahu dari seorang kawan bahwa kedua perempuan dan 4  lelaki terpidana mati itu dieksekusi pukul 00.30, tepat ketika saya juga terbangun di hari Minggu itu. 

Cerita Lagu

Beberapa Album yang Menjadi Moodbuster Akhir-Akhir Ini (Part. 2)

Sabtu, Januari 10, 2015

Tiga album sebelumnya di postingan Beberapa Album yang Menjadi Moodbuster Akhir-Akhir Ini (Part.1 ) saya dapat dari Tante saya. Nah, 3 album berikutnya ini saya dapat sendiri secara tidak sengaja ketika lagi mencari album (baca: membeli) ketiga album sebelumnya. Mungkin inilah yang dinamakan serendipity, keberuntungan yang tidak disengaja :)


4. Marianna Leporace - Acoustic Retro


Waktu itu saya ke Disc Tarra untuk mencari albumnya Motown dan Elfa, tapi sayang sekali yang dicari tak ada. Di saat itulah mengalun suara seorang perempuan menyanyikan lagu Easy-nya The Commoders versi akustik. Tentu ini jadi sesuatu yang heartwarming mengingat versi asli lagu ini juga demikian. Saya langsung mengecek ke kasir, mengecek di bagian "now playing" dan menemukan album Acoustic - Retro yang dinyanyikan seorang penyanyi bernama Marianna Leporace. Penyanyi asal Brazil ini juga berprofesi sebagai jurnalis loh. 


*cover album Acoustic - Retro*

Album ini berisi 36 lagu hits dari era 70-90-an seperti Easy - The Commoders, Overjoyed - Stevie Wonder, Bizzare Love Triangle - New Order, If - Bread, I Say A Little Prayer - Dionne Warwick, Killing Me Softly - Roberta Flack, Luka - Suzanne Vega, sampai Kiss From The Rose-nya Seal. Overall, meskipun lagi-lagi aransemennya monoton, tapi album ini layak didengarkan terutama jika kamu suka pada lagu-lagu lama tapi membuka diri pada interpretasi baru terhadap lagu-lagu itu. Percayalah, banyak orang yang suka lagu-lagu lama kadang tidak begitu suka jika lagu-lagu tersebut dinyanyikan kembali. So far, lagu ini asyik untuk menemani waktu istirahat di siang dan malam hari  atau untuk mengiringi kamu kerja tugas. 


5. Chanton - C'est du Jazz

Nama Chanton memang masih asing di telinga saya, terutama karena keterbatasan saya mengenal penyanyi-penyanyi asal Perancis selain penyanyi lawas Edith Piaf, Claudine Longet, atau mantannya Jhonny Depp, Vanessa Paradis. Lagipula informasi tentang Chanton belum ada di wikipedia. Namun, hal itu tak menghalangi saya untuk tak mendengarkan lagu-lagunya. Karena sungguh, album ini memang masuk kategori "wajib didengarkan". 

Album C'est du Jazz seperti judulnya memang album bergenre jazz. Ditambah lagi bahwa sang penyanyi memang secara khusus menyanyikan lagu-lagu klasik Perancis yang sebagian besar dinyanyikan dulu oleh Edith Piaf seperti C'est si bon, La vie en rose, Comment te dire adieu, dan Les  jeux ouvertx  alias versi Perancis dari lagu Dream a Little Dream of Me-nya Ella Fitzgerald.


*cover album C'est du Jazz*


Untungnya aransemen lagu-lagu di album ini lebih segar dibanding yang sudah-sudah. Suara Chanton juga enak didengar: tebal tapi tetap ringan untuk dinikmati. Meskipun tidak mengerti bahasanya, tapi namanya juga bahasa Perancis yang disebut-sebut sebagai bahasa romantis dan seksi didengar, lagu-lagu di album ini tetap akan mengena hati. Apalagi jika kamu memang sudah familiar dengan lagu-lagu klasik tersebut. Selebihnya, kamu tak akan kecewa mendengarnya karena lagu-lagu ini memang tipikal lagu "cinta pada pandangan pertama" ditambah artwork di covernya yang manis.


6. Safitri - Keroncong in Lounge

Ada sejarah panjang dalam genre keroncong. Aliran musik yang awalnya dibawa bangsa Portugis ke Indonesia ini telah menyatu dengan denyut nadi kebudayaan Nusantara, terutama percampurannya dengan musik tradisional seperti gamelan Jawa. Jika kamu pecinta masa lalu, musik keroncong pastilah menjadi salah satu genre yang tak bisa dikesampingkan. Lagu-lagu klasik Indonesia hampir semua beraliran keroncong terutama lagu-lagu ciptaan komponis besar seperti Ismail Marzuki dan Gesang. Tidak bisa dipungkiri jauh sebelum The Beatles masuk Indonesia, kerocong sudah lebih dulu mendarah daging bagi orang Indonesia.


*cover album Keroncong Lounge*

Persoalannya, modernitas masuk dengan mengesempaingkan apa yang sudah ada. Apa yang menjadi harta, kesenian tak ternilai yang menjadi sokoguru musik di tanah air. Musik keroncong tidak populer lagi, malah bagi sebagian orang (yang disebut anak muda) keroncong diasosiasikan dengan musik orang-orang tua. Bisa jadi, karena musik keroncong dikemas secara monoton dengan penyanyi berkebaya dan bersanggul. Saya memimpikan musisi keroncong yang lebih kekinian. 

Nama Safitri melejit setelah ia menjuarai lomba keroncong se-Jawa Tengah. Safitri lantas mulai rekaman dan album-albumnya diterima masyarakat, terutama ia adalah penyanyi muda di generasi ini. Album yang saya miliki ini adalah album Safitri yang bertajuk Keroncong in Lounge dengan nuansa jazz sehingga lebih fresh meskipun unsur keroncongnya tetap terasa. Ada 4 album sebenarnya yang terdapat dalam Keroncong Lounge. Tapi saya memilih dua diantaranya yaitu, Infinite Heritage dan Rindu Lukisan, Karya-Karya Ismail Marzuki. 

Di album Infinite Heritage, Safitri menghadirkan sesuatu yang lebih beragam. Tidak hanya lagu-lagu keroncong klasik seperti Gambang Semarang, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, dan Bunga Anggrek, tetapi juga lagu-lagu pop seperti Di Balas Dengan Dusta (dinyanyikan Audy) serta Madu dan Racun (dinyanyikan Gombloh). Ada juga lagu-lagu daerah seperti Warung Pojok (Jawa Barat) dan Kicir-Kicir (Jakarta). Selain itu, lagu-lagu lawas mancanegara seperti Can't Help Falling in Love-nya Elvis Presley dan I Don't Wanna Talk About It-nya Rod Stewart dinyanyikan juga secara keroncong. Album ini memang ditujukan untuk konsumsi dalam dan luar negeri, sehingga orang asing yang mendengarnya juga ikut merasakan kedekatan dengan lagu-lagu yang familiar dengan mereka. 

Berbeda dengan album sebelumnya, di album Rindu Lukisan, Karya-Karya Ismail Marzuki, Safitri secara khusus menyanyikan lagu-lagu ciptaan Ismail Marzuki. Ia juga mengambil salah satu judul lagu ciptaan Ismail Marzuki, Rindu Lukisan, sebagai judul albumnya. Lagu-lagu dalam album ini dijamin membawa nostalgia dan lagi-lagi perasaan rindu. Harus saya akui, saya datang dari generasi kemudian yang tidak mengalami penderitaan zaman koloni. Saya juga tak mengerti benda-benda seperti selendang sutra, sapu tangan, sampai amplop surat bisa begitu berharga bagi orang-orang dulu sampai dibikin jadi judul lagu. Yang jelas, lagu-lagu ini menghembuskan nafas nasionalisme terutama mengingatkan kita pada zaman-zaman perjuangan. Lagu-lagu tersebut antara lain: Melati di Tapal Batas, Juwita Malam, Bunga Anggerek, Rindu Lukisan, Sampul Surat, Kopral Jono, Aryati, Selendang Sutra, Saputangan dari Bandung Selatan, dan Sabda Alam. Beberapa lagu membuat kita terkenang sejarah perjuangan bangsa dan beberapa lagu membuat hati kita ikut teriris dengan kasih tak sampai dan perpisahan sepasang kekasih. 

Kedua album ini memiliki keistimewaannya masing-masing. Tergantung suasana hati kamu untuk memilih mendengarkan yang mana lebih dulu.


( The End )


Cerita Lagu

Beberapa Album yang Menjadi Moodbuster Akhir-Akhir Ini (part. 1)

Sabtu, Januari 10, 2015


Rasanya sudah lama tidak mereview tentang musik di blog ini. Biasanya lagu-lagu yang lagi senang saya dengarkan itu berbentuk cerita atau penggalan lirik sehingga tampak tidak seperti tulisan di blog-blog lain tentang musik. Tapi kali ini agak berbeda meskipun tidak juga terlalu bombastis. Sejak Natal sampai sekarang ada beberapa album yang lagi happening banget di hati dan pikiran saya. Ada album  yang mungkin temanya sudah lewat seperti album berisi lagu-lagu Natal. Tapi hal itu tidak mengurangi kecintaan saya pada album tersebut. Apalagi jika lagu-lagu dalam album itu membawa kenangan, kebahagiaan, dan mengubah mood dalam keadaan ter-desprete sekalipun. 

1. Various Artists - Motown Christmas 2014

Album ini pertama kali saya dengar di mobilnya Tante Ayon, sepupunya Mami, dalam perjalanan menuju Tangerang. Kebetulan Tante Ayon memiliki referensi musik yang bagus. Dalam perjalanan itu, kami banyak ngobrol seputar lagu-lagu dalam album ini. 


*cover album Motown Christmas 2014*


Ini bukan pertama kalinya Motown sebagai label rekaman besar di Amerika membuat album Natal. Namun sepertinya di tahun 2014, Motown ingin membuat sesuatu yang baru. Yah, paling tidak untuk aransemen lagu dan ide untuk menggabungkan lagu-lagu Natal klasik, lagu-lagu Natal baru (setidaknya setelah tahun 60-an), serta lagu-lagu yang sama sekali baru. 

Lagu-lagu klasik seperti Silent Night, Go Tell It On The Mountain yang di medleykan dengan lagu pop Ain't No Mountain High Enough, O Holy Night, O Come All Ye Faithful, Joy To The World, Angels We Have Heard On High,  dan Little Drummer Boy diaransemen ulang dengan sentuhan R & B, hip-hop, jazz, dan pop, hasilnya sudah pasti grande. Sementara lagu-lagu setelah 60-an seperti Have Yourself A Merry Little Christmas (dinyanyikan dengan apik oleh Tony Braxton), The Christmas Song oleh Ne-Yo, It's Christmas Time yang sebelumnya dinyanyikan Smokey Robinson, juga dinyanyikan kembali disini bersama Kevin Ross telah menjadi sesuatu yang segar dan berbeda.

Hadirnya lagu-lagu baru seperti This Christmas yang dulu dinyanyikan Chris Brown di film This Christmas dinyanyikan kembali oleh Brian Courtney Wilson dengan suaranya yang seksi. Kem bersama Janice Gaines juga menyanyikan lagu baru yang berjudul Bethlehem. Ada juga India Arie ft. Gene Moore yang menyanyikan lagu baru Mary Did You Know. Pamungkasnya adalah instrumen orcherstra Christmas Overture dari The Aaron Lindsey. 

Kekuatan album ini sebetulnya terletak pada aransemennya yang epik sehingga lagu-lagu Natal itu terasa grande, fresh dan crispy. Bahkan meskipun Natal telah berlalu, namun lagu-lagu ini - berkat aransemennya- masih relevan dinikmati sampai Tahun Baru berlalu. Jangan lupakan nama-nama artis Motown seperti Smokey Robinson, The Temptations, India Arie, Tony Braxton, Ne-Yo, Gregory Porter, Tasha Cobbs, sampai Kierra Sheard. Barangkali album ini juga memberi pencerahan bahwa sesuatu yang lama maupun baru dapat bersinergi tergantung bagaimana kita memaknainya.

PS: album ini sold out di Disc Tarra, silahkan cari donlotannya :p


2. Ten 2 Five - Cinta Indonesia

Album ini juga saya dengarkan bareng Tante Ayon saat menuju stasiun Gambir untuk pulang kembali ke Jogja. Saya cukup surprise begitu tahu Ten 2 Five membuat album dengan menyanyikan lagu-lagu daerah di Indonesia secara akustik khas band ini. Maka masuk akal jika album ini diberi judul Cinta Indonesia. Lagu-lagu seperti Cing Cangkeling, Kicir-Kicir, Jali-Jali, sampai Anging Mamiri terasa fresh, nge-pop, dan menembus ruang waktu. Kita tidak akan sadar bahwa lagu-lagu ini adalah lagu-lagu daerah yang menurut sebagian orang yang tidak ngeh dengan budaya menganggapnya ketinggalan zaman. 


*cover album Cinta Indonesia by Ten 2 Five*


Bagi saya Ten 2 Five berhasil mengemas album ini sehingga bisa mengena kalangan anak muda yang cenderung apatis dengan budaya. Musik akustik menjadi kekuatan besar di album ini sekalipun aransemennya cenderung monoton. Namun, meski begitu album ini mampu membuat kita benar-benar sejenak merasakan rasa cinta pada Indonesia meski lewat nada. Betapa nyata sebuah perasaan sebagai seorang manusia yang hidup di atas tanah ini. Mungkin perasaan inilah yang disebut sosiolog Benedict Anderson sebagai dasar dari imagine communities.


PS: album ini juga sudah sold out di Disc Tarra.


3. Elfa Secioria & Elfa's Singer - From Indonesia With Love

*cover album From Indonesia With Love*


Lagi-lagi album ini saya dengarkan juga bareng Tante Ayon (sebenarnya ketiga album inilah yang saya dengarkan dan direkomendasi oleh Tante saya yang keren itu). Sama seperti Ten 2 Five, Elfa Secioria dan anak didiknya Elfa's Singers juga membuat album berisi lagu-lagu daerah dari Indonesia, Sabang sampai Merauke. Bedanya, Elfa sudah lebih dulu membuat album ini dua dekade sebelumnya, tepatnya sekitar akhir tahun 1980-an. Elfa membuat album ini dalam dua bagian. Kelanjutan album ini juga diberi judul From Indonesia With Love 2. Aransemennya juga lebih kaya khas Elfa Secioria. Biasanya lagu-lagu ini dinyanyikan untuk festival di luar negeri. Menurut cerita Tante Ayon, album yang saya dengarkan bareng dia adalah album ketiga yang dibelinya. Album ini paling sering diminta oleh kolega atau kliennya kalau mereka selesai pameran di luar negeri. Saya cuma ketawa. Wajar sih, saya aja kalau jadi orang kedutaan atau kementrian pasti juga ikutan minta album keren ini. Must have item-lah. 

Sayang sekali album ini juga sudah tak ada di Disc Tarra. Link donlotannya juga gak ada (kalau ada yang dapat kabari ya...). Tapi thanks to Youtube yang masih memiliki beberapa lagu dari album ini. Salah satu lagu dari album ini yang paling saya suka adalah lagu Mande Mande. Lagu yang berasal dari Maluku, daerah asal Mami saya. Sewaktu lagu ini diputar, Tante Ayon, Mami, dan Oma Pop langsung pada ikutan nyanyi. Mereka seakan dibawa ke nostalgia akan kampung halaman mereka. Lagu asli Mande Mande biasanya dinyanyikan dengan tifa dan cenderung memiliki tempo agak cepat, padahal lirik lagu maupun iramanya sangat mengiris-iris hati. Lagu ini berkisah tentang dialog sepasang kekasih yang harus berpisah karena salah satu diantara mereka pergi merantau. Keadaan ini membuat sepasang kekasih diliputi kegalauan dan rasa rindu yang hebat.

Berkat Elfa Secioria yang mengaransemen ulang lagu Mande Mande, lagu ini makin menyentuh hati. Ada semacam perasaan yang menekan dada (dasar imagine communities) seperti perasaan rindu (bukan pada manusia) tetapi pada alam, pada tanah, air, dan segala sesuatu yang kita sebut tana putus pusar. Semacam perasaan haru seperti ketika Susi Susanti menjuarai Piala Uber dan bendera Indonesia berkibar.

Atau memang lagu ini tentang kerinduan.




(.... to be continued)

Life Story

Catatan Akhir Tahun

Jumat, Januari 02, 2015

*tumblr*



Untuk menuliskan sesuatu yang disebut "akhir" maka kita harus menoleh ke belakang dan melihat apa yang sudah terjadi. Apakah berat badanmu naik atau turun? Apakah ada perubahan pada jumlah jerawatmu? Apakah model rambutmu sudah berubah? Apakah teman-temanmu bertambah atau malah berkurang? Apakah kau sudah melakukan sesuatu untuk sesama? Apakah kau bahagia?

Pertanyaan bagi kita untuk dijawab bukan berapa lama usia kita atau berapa kali kita menutup tahun yang lama dan memulainya dengan yang baru, melainkan bagaimana kita menjalani hidup. Apakah kita termasuk orang yang disebut Alice Walker dalam novel The Color Purple sebagai orang-orang yang survive atau orang-orang yang fighting. Itu semua tergantung pilihan kita. Untuk bertahan hidup kita memang harus gigih dan untuk menjadi seorang petarung kita harus memiliki keberanian. Sayangnya, banyak diantara kita yang tak percaya dan memilih untuk tidak memiliki harapan. Mereka membiarkan saja apa yang datang dalam hidup mereka layaknya lakon yang harus diperankan tanpa improvisasi. Padahal mereka diberi kemewahan untuk memiliki harapan. Harapan yang membuat kita mempunyai arti dan semangat hidup. 

Memang butuh waktu untuk memahami bahwa Tuhan mendengar doa-doa kita. Butuh banyak peristiwa dan teguran untuk tahu bahwa Tuhan memiliki keputusan dan waktu-Nya sendiri. Kadang-kadang, ketika kita berdoa dan tak menemukan jawaban, kita menjadi kecewa. Tapi tidak. Tuhan menjawab doa-doa kita. Walaupun terkadang jawabannya memang "Tidak" dan butuh waktu untuk memahaminya. Saya percaya bahwa Tuhan juga memiliki jawaban "Ya" dan "Belum" dan semuanya berhubungan dengan waktunya Tuhan, bukan waktu yang kita pakai sekarang. Percayalah, ketika kau mendapat jawaban "Ya" disaat semua hal berkata "Tidak" padamu, kau akan tahu bahwa di dalam Tuhan tak ada yang mustahil. Kau percaya bahwa doamu didengar. Kau akan percaya pada keajaiban, mujizat.

Tapi berkat Tuhan tidak selalu datang dalam hal yang indah-indah. Ia juga turut mendatangkan segala sesuatu, termasuk yang paling buruk sekalipun. Sebagai manusia biasa, kita juga membutuhkan waktu untuk memahami bahwa bencana, penderitaan, sakit-penyakit, dan duka juga adalah berkat Tuhan. Pertanyaannya, mengapa Tuhan memberikan kita penderitaan, bencana, dan hal-hal yang membuat hati sedih? Saya jadi teringat Romo Sindhunata yang berkata bahwa dalam penderitaan-lah sebenarnya  manusia berbagi dan dalam berbagi itulah kita tidak memandang lagi perbedaan. Ketika pesawat Air Asia yang jatuh dan hilang di tengah lautan, banyak orang terketuk empati dan kemanusiaannya. Bahkan untuk merayakan malam Tahun Baru yang sebelumnya semarak sudah tak berselera lagi. Betapa musibah ini justru malah membuat pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Amerika bahu membahu mencari puing-puing pesawat dan jenazah para korban. Padahal kita tahu sendiri bagaimana hubungan rumit ketiga negara-negara ini. Pada titik ini, penderitaan juga membuat kita lupa pada permusuhan.

Di tahun 2014, saya belajar bahwa standar kebahagiaan saya dan standar kebahagiaan Tuhan itu berbeda. Saya belajar  bahwa ukuran baik saya dengan ukuran baik Tuhan juga berbeda. Maka di tahun 2015, saya mau belajar untuk melihat sesuatu seperti perspektif yang dipakai Tuhan (meskipun ini sangat sulit dan tidak mudah). Dibutuhkan keberanian untuk malu dan terasing karena berbeda karena mungkin tak memenuhi standar dalam masyarakat. Saya mau belajar merelakan sesuatu yang saya anggap baik dan indah. 

Saya mau hidup untuk percaya dan tidak khawatir. Saya mau percaya bahwa segala sesuatu itu baik dan indah pada waktu-Nya.



Selamat datang 2015, isilah hidup kami dengan warna-warnimu.