Life Story

Flo

Minggu, Agustus 31, 2014

Saya ada disana. 

Bukan...bukan pada saat Flo sedang berada di pom bensin, berusaha membeli pertamax, dan kemudian berbuntut umpatan kepada Jogja di akun media jejaring sosialnya (path, twitter, atau facebook). Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pagi itu jalan-jalan di Jogja menjadi sepi. Kemana perginya kendaraan-kendaraan itu? Pagi itu saya memang ingin ke Sigma untuk men-copy buku maka kutelpon abdiku yang saya, Mas Hendri, untuk ngojek ke daerah Sagan. Alangkah kagetnya saya ketika melewati pom bensin di Sagan. Belum pernah saya melihat antrian panjang berpuluh-puluh meter di Jogja ataupun di Makassar (kelak saya tahu hal ini disebabkan kenaikan bbm dan antrian panjang itu tidak hanya terjadi di Jogja). Dan bukan saja hanya dalam waktu beberapa jam, yang mana kadangkala kita beranggapan nanti sore juga pasti sepi.

Antrian itu tetap bertahan sampai pukul 9 malam, jam malam di Jogja. Saat itu saya dan Mbak Truly dalam perjalanan pulang ke rumah dari daerah Condong Catur. Kami habis dinner di rumah makan Bali milik Mbak Atiek, seorang teman yang saya kenal ketika ke Papua tempo hari. Dalam perjalanan pulang itulah, kami melewati pom bensin di jalan Kaliurang. Sama seperti kejadian tadi pagi, pom bensin tersebut juga masih padat. Kebetulan bensin motornya Mbak Truly juga tinggal sedikit. Akan tetapi karena panjangnya antrian, hal itu urung dilakukan. "Besok saja," ujar Mbak Truly.

Namun, kejadian yang sama terjadi lagi keesokan harinya. Pom bensin tetap ramai sejak pagi. Malamnya, Mbak Truly menyerah, motornya sudah seperti vampir yang butuh darah. Saya kemudian menemaninya. Sekitar jam setegah 9 kami keluar menuju pom bensin di jalan Kaliurang. Tapi sayang, baik premium dan pertamax sudah habis. Kami mencari lagi di sepanjang jalan, berharap ada penjual bensin eceran yang biasanya kami tak acuhkan. Namun, lagi-lagi pedagang bensin eceran juga kehabisan stock. Kami malah disarankan ke area Tugu. Itu terlalu jauh, si motor sudah di titik nadir. Mbak Truly sudah mulai menyusun langkah alternatif kalau-kalau ia tak mendapatkan bensin malam itu. Ia sudah ancang-ancang untuk naik taksi saja besok ke kampus.

Yesus berkata," Carilah maka engkau akan mendapatkan", maka kami lantas menuju pom bensin Sagan yang jaraknya masih dekat dari kampus UGM. Dan...masih lumayan juga motor yang mengantri meski tidak sebanyak kemarin. Kami langsung mengambil antrian. Kira-kira hampir satu jam lebih kami menunggu sampai akhirnya giliran si Scoopy milik Mbak Truly mendapat jatah makan. Di belakang kami, masih banyak dan bertambah lagi motor yang mengantri untuk mendapatkan bensin, bahkan ada yang membawa jirigen sementara di bagian mobil tidak sepadat itu. Saya tak tahu lagi apakah keadaan itu masih berlanjut sampai malam ini. Entahlah, saya malas keluar rumah.

***

Ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan selama di Jogja yaitu belajar bersabar. Segala sesuatu di kota ini memang menuntut kesabaran. Sebagai pendatang, mau tidak mau kita beradaptasi dengan lingkungan termasuk aturan di dalamnya. Di mana pun kau berada, di rumah sendiri atau di kampung orang, selalu saja ada aturan yang mengikat. Flo memang jelas-jelas salah karena ia tidak antri. Ia mungkin tak sabaran oleh karena suatu dan lain hal sehingga memilih shortcut dan tidak melalui proses yang seharusnya. Namun, ia juga tak sepenuhnya salah ketika mengekspresikan kekesalannya. Salahnya ialah, ia menggunakan media jejaring sosial yang bisa diakses orang lain. Dan tidak semua orang mengerti konsekuensi dari suatu tindakan. Sama seperti di dunia nyata, tidak semua orang juga menyukai kita di dunia maya, meski kita terkoneksi dengannya.

Saya teringat konsep panopticon society dari Foucault, ketika kita sebagai masyarakat jaringan saling memata-matai. Kita memata-matai Si A, dan begitu juga sebaliknya. Mendadak kita menjadi mata-mata. Dan tak ada yang lebih berbahaya dari para pengintai, karena mereka dapat memicu perang. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.

Jika di dunia nyata, kita bebas saja memaki dan sulit dibuktikan karena tidak memiliki bukti kecuali ada yang merekam, maka di dunia maya, bukti itu beredar dimana-mana. Percuma kau hapus, begitu ada yang merekamnya, tamatlah riwayatmu. Poor Flo. Tapi, kita harus berterima kasih padanya, ia telah mengajari kita bagaimana menggunakan mulut dan media dengan bijak. 

Life Story

Ekalaya

Senin, Agustus 18, 2014

*Ekalaya, Guru Drona, dan Arjuna (sumber pic: www.wayang.wordpress.com)*



Dari sekian fragmen dalam Mahabharata, kisah mengenai Ekalaya adalah salah satu yang membuat saya berurai air mata sekaligus berpikir lebih dalam mengenai keadilan. Singkat cerita, Ekalaya adalah anak hutan yang begitu mengagumi Guru Drona. Ia ingin menjadi pemanah terhebat dan Drona adalah satu-satunya orang yang dapat menjadikannya demikian. Sayangnya, Ekalaya tidak diterima sebagai murid Drona. Di saat yang bersamaan, Drona harus mendidik pangeran-pangeran dinasti Kuru, siapa lagi kalau bukan keseratus Kurawa dan kelima Pandawa. 

Namun, Ekalaya tidak berkecil hati. Di sebuah gua yang tersembunyi tak jauh dari tempat Drona melatih murid-muridnya, Ekalaya membangun patung Drona dan berlatih seorang diri. Di bawah patung Drona yang seolah mengajarinya, Ekalaya bahkan berhasil melebihi murid-murid Drona. Namun, Drona sudah berjanji akan menjadikan Arjuna pemanah terbaik di dunia dan Ekalaya adalah ancaman bagi cita-cita itu. Maka, dengan tega Drona meminta balas jasa dari Ekalaya yang mengklaim diri sebagai muridnya. Ia meminta ibu jari Ekalaya. Ekalaya yang begitu mencintai Drona, meluluskan keinginan "guru"-nya. Dengan demikian, Ekalaya tidak bisa lagi memanah dan Arjuna akan menjadi yang terbaik. 

Ada banyak orang seperti Ekalaya di luar sana. Hidup di dunia ini, tidak cukup hanya dengan kecerdasan dan ketekunan. Kau juga memerlukan sedikit keberuntungan. Ekalaya tidak seberuntung Arjuna yang lahir dalam keluarga Kuru dan putra Dewa Indra, meskipun kecerdasan dan ketekunan mereka setara (harap dicatat Arjuna pun berlatih keras demi bisa mengusai ilmu memanah). Kenyataannya, Arjuna yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari hanya sedikit yang memiliki kecerdasan dan ketekunan. Mereka memiliki keberuntungan lebih banyak dari Ekalaya-Ekalaya itu. Sebagian dari mereka adalah orang kaya, sebagian lagi adalah keturunan raja atau pembesar, sebagian lagi karena tabungan koneksi dengan orang-orang penting. Sementara, mereka - para Ekalaya- yang berperang tanpa senjata-senjata itu kemudian terbuang dan tersisihkan. Dengan terpaksa, akhirnya mereka mengorbankan "ibu jari" untuk bertahan hidup, namun bukan demi bakti seperti Ekalaya pada Drona. 

Dalam hidup ini, kita semua pernah menjadi Ekalaya, Drona, bahkan Arjuna berdasarkan konteks cerita tadi. Saya pernah menjadi Ekalaya yang sakit hati karena pilih kasih seorang guru atau teman, tetapi saya pernah pula menjadi seperti Arjuna yang mengundang kecemburuan orang-orang. Dan saya diam-diam menulis di dalam hati tidak ingin seperti Drona jika kelak menjadi seorang guru. Saya harus bersikap adil pada semua murid saya. Tapi, saya pun meragu, apakah kelak keputusan menjadi adil pun tidak akan melukai hati murid-murid saya ? 

Apakah bersikap adil itu bisa menyenangkan semua pihak?

"Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan," begitulah kata Pramoedya Ananta Toer. Ketika seseorang tidak bisa berbuat adil sejak dalam pikirannya, maka perbuatan apapun yang dilakukan orang lain yang dipilih kasihnya, akan selalu buruk dimatanya. Apapun yang dilakukannya, akan selalu dianggap lebih rendah. Kita tidak pernah tahu, setiap perbuatan kita akan menggoreskan luka di hati orang atau tidak. Dan kita pun tidak pernah tahu, siapa-siapa saja yang memiliki hati mengampuni atau yang setia mendendam. 

Life Story

Berkorban

Minggu, Agustus 17, 2014

Seharusnya saya sudah ada di Jogja sekarang. Berbaring-guling kesana-kemari di atas tempat tidur yang ukurannya tidak sebesar tempat tidur saya di rumah. Saya bahkan punya rencana nonton konser Gending Djaduk Ferianto di Taman Budaya malam ini. Tiket konser sudah direservasi dan saya berhasil membujuk Mbak Truly untuk menemani padahal biasanya ia sudah di Solo setiap weekend. Tapi, sepandai-pandainya manusia menyusun rencana, Tuhan tetaplah sebagai penentu. Selalu saja ada sesuatu yang menghalangi saya untuk mentransfer uang tiket konser tersebut. Tiket pesawat juga lagi mahal-mahalnya namun sialnya tetap laku sampai saya tidak kebagian. Saya kemudian dihadapkan pada pilihan-pilihan yang diharapkan sebagai keputusan yang bijaksana. Saya mengartikannya sebagai tindakan mengorbankan kesenangan pribadi diatas pertimbangan-pertimbangan logis.

Tapi kemudian saya menyadari sesuatu bahwa berkorban ternyata bukan perkara mudah. Bukan persoalan, aku akan berkorban bagimu dan bummm.... pengorbanan terlaksana dengan hati gembira. Berkorban adalah upaya penyangkalan diri. Penyangkalan diri berhubungan dengan eksistensi kemanusiaan kita, keinginan, atau kebutuhan. Luka manusia adalah ketika eksistensinya diabaikan. Ketika ia bukanlah menjadi "somebody" dalam lingkungannya. Ketika ia adalah tokoh utama tanpa spotlight dalam pentas drama. Penyangkalan diri adalah usaha membunuh "aku" demi "dia" atau "mereka". Kita memberikan secara sukarela apa yang kita miliki pada orang lain. Dan ini bukan saja termasuk memberikan hal-hal yang bersifat materi tapi juga kesenangan dan keinginan. Itu tidak mudah, percayalah. Manusia selalu ingin menjadi pusat perhatian: aku, aku, aku. Maka, menyangkal diri adalah menjadi tiada. Dari ada menjadi tiada, kotak menjadi bundar. Proses menuju ketiadaan itu yang menyiksa.

Namun, pada akhirnya saya berhasil memilih keputusan yang bijaksana. Mom dan Dad melihatnya seperti pembina Pramuka yang melihat kesuksesan anak didiknya mendirikan tenda perkemahan. Selama kita hidup, kita tidak lepas dari yang namanya ujian. Kita tidak tahu kapan kita akan diuji dengan hal-hal yang kadang tidak kita mengerti. Maka, sebaiknya kita bersiap-siap. Setidaknya untuk menyiapkan hati untuk peka. Ayub bilang kita adalah emas yang diuji oleh tangan Tuhan. Tidak terbayangkan bagaimana proses pemurnian emas dilakukan. Mungkin si Emas sudah berteriak-teriak minta ampun. Tapi, manusia memang harus dimurnikan dengan api pencobaan. Dengan demikian ia menjadi berharga di mata Tuhan. 

Ah, saya mungkin terlalu lebay. Ini bukanlah ujian berat. Ini hanyalah satu soal yang berhasil saya kerjakan. 



sambil dengar Blue Moon-nya Rod Stewart di hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69, meski pun blue moon yang sebenarnya sudah lewat beberapa hari yang lalu. 





Love Story

Shakti

Minggu, Agustus 10, 2014

Sambil berjalan menuruni tangga, tanpa sadar mata saya tertumbuk pada sepasang kekasih yang dibingkai keramaian dan jendela besar sebagai latarnya. Ketampanan dan kecantikan mereka telah dimakan waktu. Tapi itu bukanlah hal yang penting, karena apa yang tak dijangkau mata jauh lebih seksi. Jika kau ada disana saat itu, kau bisa diserang perasaan tersentuh sekaligus iri setengah mati pada mereka.

Dari jauh mereka tampak asyik berbincang, mungkin tentang ekonomi barangkali sastra sambil ditemani suara hujan di luar. Sesekali perempuan itu menyeruput teh sambil melirik lelakinya yang mencicipi kue lumpur. Dengan tatapan matanya yang tajam sekaligus lembut, si lelaki memperhatikan perempuannya yang sedang berbicara. Tak dipedulikannya perempuan-perempuan muda yang lalu-lalang di belakang perempuannya yang keriput. Seperti ada magnet pada mereka, saya mengabaikan pengunjung lain yang ada di cafe. Pasangan itu juga merasakan kehadiran saya yang semakin mendekat ke arah mereka. 

Saya mengenal mereka sebagai pasangan suami-istri dan keduanya sama-sama profesor di bidangnya masing-masing. Saya lantas menghampiri mereka. Istrinya berdiri, mencium pipi saya seperti cucu yang lama tak ia temui sambil menanyakan kabar. Saya pun menyalami suaminya dengan erat. Ubannya telah menutupi secara sempurna kepalanya tapi tak menghilangkan sedikit pun garis ketampanan dan sorot matanya yang cerdas. Si istri dengan penampilannya yang bersahaja, blus terusan bunga-bunga warna biru dengan belt kecil di pinggangnya tampak anggun dan memikat. Kemesraan seperti sore itu hanya dapat dinikmati di novel-novel tua, mungkin zaman dimana Atiek dan Teto merajut kasih di novel karangan Romo Mangun. Dan saya baru saja melihatnya dalam realita masa kini. Beruntungnya saya! 

*** 

Dalam hati saya membuat permohonan pada Tuhan. Pada suatu hari nanti, saya akan menghabiskan sore yang gerimis dengan seseorang yang membuat saya percaya bahwa eross bisa menjadi agape. Inginnya saya dipertemukan dengan yang disebut shakti - sang energi kreatif- yang lebih daripada sekedar suami, yang dengannya semesta saya akan seimbang. Kami bisa ngobrol tentang apa saja sembari membesarkan anak-anak dan melakukan pekerjaan masing-masing. Kami bisa bertukar pikiran dan bercinta. 

Saya hanya perlu menguatkan diri, seperti Dewa Shiva yang tabah menantikan kelahiran dan menunggu bertahun-tahun untuk bisa bersatu dengan shakti-Nya. Semuanya itu dilakukan agar kehidupan di dunia menjadi seimbang. Maka jadilah shakti itu disebut Sati, Parvati, Uma, atau Durga. Saya harus memantapkan diri sembari tidak memaksakan kehendak. Persis seperti Dewa Shiva yang tak egois sekalipun ia memiliki kekuatan menjungkirbalikkan dunia. Saya hanya perlu bersabar sampai saya dipertemukan dengan seseorang yang memang dilahirkan di dunia sebagai shakti saya. 


Cafe Mama 
Sabtu, 9 Agustus 2014