Kisah Perempuan

Sylvia

Rabu, Oktober 16, 2019

Artikel itu menyapaku begitu saja dari halaman majalah Tempo yang terbit beberapa tahun silam. Namanya tak asing. Saya belum terlalu mendalami karya-karyanya, tapi suatu saat akan kucoba menghabiskan waktu dengan membaca pemikirannya. Beberapa puisinya pernah kubaca, tapi waktu itu saya tak punya cukup kemampuan dan pengalaman untuk memahaminya. Saya masih terlalu muda dan naif. Hari ini, saya juga masih muda, tapi mungkin tak senaif dulu.

Sylvia Plath, nama besar dalam dunia sastra. Ia adalah salah satu novelis, penyair, dan cerpenis Amerika ternama. Puisi-puisinya banyak dipakai untuk mengontekskan narasi perempuan di masa itu. Ia mungkin dianggap feminis juga. Sylvia mati bunuh diri. Ia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup serius. Pernikahan dengan seorang penyair mapan dan memiliki dua anak ternyata tetap membuatnya merasa sendirian. 

Mengapa sesuatu yang bermula begitu indah, bisa berakhir tragis?

"Dying is an art", begitu kata Sylvia dalam puisinya Lady Lazarus

Kisah Perempuan

Komentar Untuk Astrid (Crazy Rich Asian)

Rabu, September 19, 2018

*Astrid Leong Teo (portrayed by Gemma Chan)



Tak ada yang lebih sempurna dari Astrid. Ia adalah produk dua sistem besar di dunia: patriarki dan kapitalisme. Untungnya Astrid adalah tokoh fiktif tentang idealnya perempuan yang harusnya hidup di dunia. Cantik, pintar, kaya raya, dan baik hati pula. Astrid is the Goddess, the best of them all. Gadis kecil yang rumahnya dalam gerobak sampah tak sanggup bermimpi menjadi Astrid di saat dewasa. Tapi kalau sungguh makhluk seperti ini ada di dunia, maka waktu pembagian gen dan nasib, kita kemana aja ya? 

Maka, simaklah pembicaraan empat kelompok manusia mengenai kisah Astrid.

Kaum Pesimis: Alamak. Sudah sesempurna itu masih juga diselingkuhin suami. Gimana dengan kita yang bagaikan remah-remahan rempeyek. 

Kaum Optimis: Nah, itu membuktikan bahwa kecantikan, kepintaran, atau kekayaan bukan segalanya. Kekayaan batin yang sumbadra itu yang dicari.

Kaum Pesimis: Tapi...tapi... Pak Karno dulu rela loh ninggalin Ibu Inggit demi Ibu Fat. Kurang sumbadra apa coba Ibu Inggit itu. Semuanya diserahkan demi perjuangan Pak Karno. Toh, tetap ditinggalkan demi alasan ingin punya anak sendiri. Sekalinya menikah dengan Bu Fat dan punya banyak anak, si Bapak juga tetap cari gadis-gadis lain (4 yang diakui negara, 9 yang diketahui publik, dan tak terungkap entah berapa). Apa sih yang dicari? Apa sih yang butuh untuk mendapat pengakuan?

Kaum Optimis: *kemudian hening*

Kaum Kritis : Plis deh... analisis baik-baik. Kalian senang Astrid bebas dari suaminya yang peselingkuh itu. Kalian senang Astrid bisa membela dirinya. But, Hellooo??? Astrid ini lebih tajir mampus dan powerful dari suaminya (sebaiknya baca bukunya karena lebih jelas kesatirannya daripada filmnya yang merayakan konsumerisme ini). Kalau kamu masih menganggap Astrid menderita, kalian salah. Tidak ada orang yang berkuasa yang menderita.

Kaum Optimis dan Pesimis saling berpandangan, nggak ngerti.

Tiba-tiba muncullah Kaum Religius yang selalu bisa melihat dua sisi sama baiknya.

Kaum Religius: Wahai Kaum Pesimis dan Kaum Optimis, berhentilah menggosip. Astrid hanyalah tokoh fiktif. Mari kita berdoa untuk mengadapi masalah yang lebih realistis. Semoga pemilihan presiden tahun depan lancar jaya. Jangan lupa untuk memilih anggota legislatif yang kompeten juga. Ingat loh, presiden dan para legislator sama pentingnya. Bisa-bisa undang-undang kita kacau balau kalau para legislatornya para preman dan penipu. 

Kaum Pesimis dan Kaum Optimis bengong. 

"Kaum Religius ini kayak Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung go*** !!! 

Kisah Perempuan

Hujan, Bulan Purnama, dan Luka

Selasa, Februari 03, 2015

Untuk Kak Emma yang pasti merindukanku,


Aku teringat dengan kalimatmu yang mengatakan bahwa ilmu sangat dekat dengan kesombongan. Ya kak, pengetahuan memang menggiurkan sampai-sampai Hawa berani memakan buahnya. Pengetahuan memang lezat sampai-sampai kita berlomba-lomba mengejarnya sampai ke negeri seberang. Namun, aku ngeri sesungguhnya melihat kesombongan pengetahuan karena membuat kita lupa pada keadaan asali kita yaitu keadaan dimana kita mengenal segala sesuatu apa adanya, tak kenal baik maupun buruk. Tapi, di lain sisi, aku juga ikut merasakan anugerah pengetahuan. Pengetahuan sesungguhnya membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuannya. Ia sesungguhnya menyibak keadaan asali kita itu. Persoalannya kini mampukah kita melihat keadaan asali itu dengan telanjang? Dengan rendah hati? Tanpa kerendahan hati, pengetahuan menjadikan kita ular di Taman Eden.

Seminggu ini aku mendapat kabar dari Daddy bahwa Makassar dirundung hujan terus-menerus. Hujan sebagaimana kita ketahui selain memberi atmosfir kesedihan juga menghalangi berkah bagi yang bekerja di bawah lindungan matahari. Namun, aku juga tetap merasa bahwa hujan adalah berkah, setidaknya demi menyambut tahun baru Cina yang sebentar lagi tiba. Kupikir hujan punya bahasa dan setiap kita mencari arti dari tiap rintiknya.

Di Jogja juga hujan Kak Ems. Tapi lebih mudah mengatasi hujan di Jogja sebab kami membaca pola. Matahari akan terik-teriknya dari pukul 8 pagi sampai 12 siang. Hujan akan dimulai pada siang hari sekitar jam 2 ke-atas atau sore sekitar jam 4 ke atas. Biasanya berlangsung sampai sekitar pukul 9 malam. Lalu hujan reda dan menyisakan bau hujan dan lembab yang dingin. Sangat nyaman buat tidur. Kadang hujan juga turun menjelang waktu sholat subuh. Jika kami akan keluar kami hanya melihat awan dan menyesuaikan dengan perkiraan waktu hujan akan turun. Itulah sebabnya aku betah berada disini. Aku lebih mengenal alam. 

Sekarang adalah fase bulan purnama. Kita masih melihat bulan yang sama kan kak? Purnamanya sudah sangat terang disini bahkan awan mendung tak mampu menyelubungi cahayanya. Kau tahu kak Ems, bulan purnama bisa kita nikmati selama 14 hari. Aku mengetahuinya bukan dari pelajaran ilmu bumi melainkan dari serial Mahadewa. Dewa Chandra mengalami 14 hari masa terang dan 14 hari masa gelap. Purnama dan Tilam. Umat Hindu akan mengadakan upacara pada kedua momen itu. Aku tahu karena aku memiliki teman-teman kos yang beragama Hindu dan kami senang ngobrol tentang dewa-dewi.

Kak Ems, aku berencana pulang awal bulan Maret. Itupun mungkin tak lama karena aku harus segera kembali ke Jogja. Kuharap kita bisa sleepover dan ngobrol yang sendu-sendu di kos-mu nanti. Sayang, tak sempat melihat purnama di kos lamamu. Mungkin kalau Kak Ems ke Jogja dan menginap di kos-ku kita bisa duduk berlama-lama, karena di depan kamarku ada taman dan di tengah-tengahnya ada semacam pohon “jambu” pengetahuan. Sudah pasti kita bisa melihat bulan purnama dan bintang-bintang di malam hari. Favoritku adalah melihat langit pukul 4-5 subuh. Perpindahan dari gelap menuju terang itu menakjubkanku kak, meski ada yang bilang makhluk halus justru paling banyak muncul di waktu tersebut bukan sebaliknya yaitu tengah malam. Aku jadi teringat Ayu Utami yang menulis “Jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus diperjelas. Sesuatu itu harus dihadapi. Sesuatu itu harus diterangi.”

Berhubungan dengan itu, tadi aku bertemu dengan salah satu informanku yang –dalam proses wawancara itu – tanpa sengaja bercerita mengenai teknik pengobatan luka batin yang ia dapat ketika mengalami masa novisiat. Ia seorang mantan frater yang kemudian memutuskan menjadi orang biasa. Seketika aku merasa seperti Pilar. Hahaha…salah, lebih tepatnya temannya Pilar ataukah orang asing tak bernama yang kebetulan berpapasan dengan Pilar?

Setiap manusia pasti memiliki luka batin. Omong kosong kalau ada yang bilang tak pernah terluka. Umumnya luka batin bermula justru dari lingkungan terdekat kita dan biasanya melalui hal-hal kecil nan sepele juga. Informanku bilang untuk mengobati luka batin pertama-tama adalah masuk ke dalam luka itu. Kita harus menyentuhnya meskipun rasanya sakit. Dan bila rasanya sakit, biarkan sakit itu mengada. Sesuatu itu harus dihadapi, bukan? 

Menurutnya, salah satu bentuk kemelekatan yang paling berbahaya bagi manusia adalah kemelekatan pada luka batin itu. Lihatlah, betapa manusia sesungguhnya senang memelihara luka. Padahal luka batin jika dipiara akan mempengaruhi kita sampai ke masa depan. Terutama relasi kita dengan orang lain.Ia juga mengutip kata-kata St.Ignatius Loyola, “Salah satu ciri manusia yang merdeka adalah yang berani mengambil resiko”. Kupikir kita harus memulainya Kak. Menghadapi apa yang menakutkan kita apapun resikonya.

Menyembuhkan luka batin adalah tugas kita semester ini. Bagaimana menurutmu?



Love,

Mei


Kisah Perempuan

Fredy S dan Mitos Erotisme

Jumat, April 25, 2014

*koleksi "baru" saya*


Sudah sejak lama saya mencari novel-novel Fredy S bahkan ketika masih kuliah di S1. Akhirnya, setelah mencari sekian lama, saya menemukan dua novel Fredy S berjudul Nilai-Nilai Kesetiaan dan Senja Berkabut Sutera beserta bonus novel Nani Rahaju yang ditulis Motinggo Boesje. Ketiga buku ini terkubur di salah satu sudut kota Jogja yang permai. 

Saya lupa tahun berapa persisnya ketika membaca sebuah novel karya Fredy S atau saya kira Fredy S. Yang jelas waktu saya sudah bisa membaca dan mengerti bahwa isi novel itu banyak dibumbui erotisme. Novel itu saya temukan diatas tumpukan buku kuliah kakak Enni, saudara saya. Keadaan novel itu agak menggenaskan. Sampulnya agak koyak disana-sini. Judulnya pun sudah hampir lupa, yang jelas ada kata "gairah"-nya. Awalnya saya hanya iseng baca-baca(ada memang suatu masa dimana anak kecil ingin membaca segala hal) namun lama-kelamaan, kok isinya jadi "sesuatu" sekali? Maka mengertilah saya mengapa sampulnya koyak disana-sini. Mungkin si Kakak takut kedapatan Ibu.

Well, itu sepenggal memori saya tentang novel-novel yang dikatakan terlarang bagi usia di bawah 17 tahun. Toh pada kenyataannya ketika duduk di bangku SMA dan teknologi sudah mulai canggih, saya dan teman-teman SMA sudah tidak mendapatkan buku-buku Fredy S lagi. Zaman kami dikenal dengan suatu web cerita porno yang disandi dengan judul "Cerita 5". Saya penganut paham "Ketidaktahuan membuat kita ingin mencoba" dan rupanya itu pula yang dianut teman-teman saya yang lain. Kami semua perempuan dan sudah paham bahwa seks adalah makanan tubuh. Persoalannya kami diikat dengan norma dan  budaya untuk menjaga keperawanan sampai menikah nanti. Maka tidak seperti teman-teman laki-laki kami yang sampai berani main ke you-know-what, kami lebih memilih menikmati seks dalam bentuk deskripsi cerita yang menghasilkan fantasi. Meski efeknya hanya sesaat. Toh kami puas juga. Dan setelah itu bosan. 

"Cerita 5" kemudian berganti dengan film-film romantis yang dibumbui adegan erotis. Beberapa teman saya mulai yang paling alim sampai yang paling nakal sekalipun punya folder khusus. Kami tidak menyukai film porno yang terlalu vulgar. Rasanya seperti menonton film edukasi bagaimana orang melakukan fertilisasi. Tidak ada estetiknya. Ah iya, disitulah saya paham bahwa film porno memang film yang berfungsi untuk praktikum (khususnya untuk pasutri), tetapi kami tidak mencari praktek kami mencari esensi tentang apa itu seks. Dan walaupun hasilnya semu, seperti semua anak perempuan yang dididik dalam budaya "timur", kami hanya sanggup menunggu sampai waktunya tiba.

Kembali pada novel Fredy S, saya memang baru baca dua judul diatas. Tapi sama sekali tidak ada adegan yang dibilang erotis-erotis itu. Entah kode erotis saya berbeda dengan mereka yang dulu membacanya tapi jika dibandingkan dengan novel metropop zaman sekarang, malah novel yang sekarang jauh lebih erotis. Selain Fredy S, nama Motinggo Boesje lebih klasik lagi dalam penulisan novel erotis. Boesje memulainya pada dekade 60-an. Maka dalam novel Nani Rahaju itu masih kental dengan penulisan ejaan lama yang campur aduk dengan serapan bahasa Belanda. 

Jika kita ingin membaca zaman, maka bacalah novel yang terbit di setiap zaman itu (ini juga berlaku pada lagu). Novel Boesje maupun Fredy S meskipun terpaut 20-30 tahun namun memuat satu pola yang sama: penekanan pada keperawanan perempuan. Perempuan wajar saja terlibat asmara dengan laki-laki. Namun jika laki-lakinya sudah mulai "berani", konflik tokoh perempuannya diperhadapkan dalam dilema untuk menjaga kesuciannya atau melepasnya. Sebagian tetap menjaga namun lebih besar lagi yang terenggut paksa. Usia yang dijangkau dalam novel-novel ini terbilang muda yaitu 17 tahun keatas (muda bagi zaman saya, tapi sudah tua di zaman om-tante-kakak). Bahkan tokoh Nani Rahaju berusia 23 tahun dan kuliah di UGM. Memang corak yang paling terlihat dan bahkan mungkin yang membuat kedua pengarang ini dijuliki penulis novel erotis karena pendeskripsian ceritanya memang mengandung unsur erotis meskipun sama sekali tidak vulgar. Misalnya kata "ujar Nina" yang umum dalam percakapan diganti dengan "desah Nina". Tapi wajar juga sih mengingat film-film 70-80an tokoh-tokohnya kalau ngomong suka mendesah-desah. Adegan yang dibilang erotis itu hanya berpuncak pada ciuman. Bandingkan dengan cerita Antologi Rasa-nya Ika Natassia. Bukan lagi ciuman, tapi gaya seks bebas sudah menjadi barang biasa dalam setting yang dipilih Ika. Maka, jelaslah perbedaan zaman antara kakak-kakak kita dengan kita atau bahkan adek-adek kita nanti. Ada memang degradasi nilai-nilai "ketimuran" yang muncul dalam novel-novel metropop bahkan yang paling mencolok adalah budaya konsumerisme yang dipromosikan di dalamnya (sampai jerit-jerit histeris kalau lihat counter Zara, Jimmy Choo, atau Victoria Secret di Mall namun merunduk seperti putri malu takkala tahu harganya jutaan rupiah). 

Meskipun saya kecewa karena mitos novel erotis Fredy S tidak sesuai ekspektasi saya, paling tidak novel-novel ini sukses membuat saya kembali ke masa ketika saya masih kecil (khusus untuk novel Boesje, saya mendapat gambaran kehidupan sosialita di tahun 60-an). Sebuah nostalgia untuk masa yang tidak akan pernah sama lagi sekalipun gaya fashion tetap berulang.

salam hangat,


Meike

Kisah Perempuan

Are You Original?

Sabtu, Juli 27, 2013

*pic google*


"I'm not that regular of a person, and they really like regular."
(Erica Barry, Something's Gotta Give)


Setelah lama merenung mengenai konstruksi kecantikan, saya jatuh pada kesimpulan bahwa yang salah bukan konstruksinya tapi manusia yang memakai konstruksi itu sebagai standar. Konstruksi kecantikan bisa berubah sesuai perkembangan zaman yang tentu saja dipengaruhi manusianya. Konstruksi itu sendiri setelah melalui fase -yang kalau pake modelnya Berger-Luckmann harus melewati tahap internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi- bisa berubah apabila manusianya menghendaki. Manusia memegang kontrol untuk melanggengkan sebuah konstruksi. Manusia punya kuasa untuk membongkar pasang atau mengganti konstruksi kecantikan itu dengan yang baru. Sayangnya, tidak semua manusia sadar akan hal itu. Lebih menyedihkan lagi sebagian besar manusia menerima konstruksi itu sebagai hal yang wajar. Hasilnya manusia yang "tidak sadar" itu dikuasai oleh manusia yang "sadar" untuk lambat laun mengikuti kemauannya. 

Kita menerima bahwa standar cantik dinilai dari bentuk tubuh yang tinggi, tentu saja dengan tungkai kaki yang panjang sedangkan kita perempuan Indonesia tidak semua terlahir dengan kaki panjang, kita common sebagai makhluk berkaki pendek. Lalu warna kulit yang putih, which is itu tentu saja kontra dengan warna kulit kita sebagai penduduk negara tropis yang membuatnya menjadi sawo matang atau kuning langsat. Lalu masuk ke muka : bentuk hidung yang mancung, bibir merah merekah, atau alis mata yang bagaikan semut hitam berbaris. Tidak sampai disitu, rambut juga menjadi varian penting dalam kecantikan. Sampai sekarang pun rambut masih laku untuk dijual. 

Saya pernah sangat membenci rambut saya dan kemudian meluruskannya karena saya tidak tahan diejek yang lantas membuat saya tidak percaya diri dengan rambut ikal saya (percayalah, di dunia ini bukan cuma saya satu-satunya yang melakukan itu). Zaman itu orang-orang sedang tergila-gila dengan drama asia dimana cewek-ceweknya memiliki rambut hitam lurus panjang. Teman-teman sekolah saya yang mayoritas Tionghoa, memiliki rambut seperti Pai Su Cien, si siluman ular putih yang tentu saja serupa dengan model iklan shampoo masa itu, ah iya iklan shampo-shampo jaman itu mendukung rambut indah Pai Su Cien. Akhir-akhir ini saja iklan shampoo yang sesuai perkembangan zaman berubah lagi menampilkan rambut panjang bergelombang, rambut ikal, rambut saya. Jengkel saya melihat itu. 

Untuk itulah saya tertarik dengan kajian feminisme (bedakan tertarik dan mengagung-agungkan). Feminisme ataupun paham-paham kritis lain jika dengan benar dipahami akan membawa kepada cara berpikir yang lebih -tentu saja kritis, moderat, dan yeah secara tak sadar kita menjadi destruktif terhadap sesuatu yang merupakan hasil konstruksi. Feminisme berusaha menggeledah, membongkar, dan menyadarkan manusia (terdiri dari laki-laki, perempuan, dan LGBT), untuk keluar dari apa yang dikatakan Marx sebagai "kesadaran palsu". Laki-laki dan perempuan diluar kodratnya, merupakan bentukan dari sistem masyarakat kita (ini yang disebut gender atau peran) dan kemudian sistem masyarakat ini (yang notabene lebih banyak tidak adilnya daripada adilnya) juga masuk dalam mengonstruksi tubuh manusia utamanya tubuh perempuan. Seksualitas perempuan adalah hal yang kompleks. Tubuhnya itu memiliki nilai-nilai yang berbeda-beda antara satu bagian dengan bagian yang lain. 

Ketika keperawanan begitu diagung-agungkan, perempuan yang tadinya adalah manusia kemudian mengecil menjadi sebatas selangkangan. Waktu SMP saya pernah mewakili sekolah untuk mengikuti simposium kedokteran yang membahas kesehatan reproduksi. Si Ibu Dokter pemateri memberikan fakta yang membuat kami anak-anak lugu ini bergidik. Banyak kasus perempuan yang tidak perawan (entah karena sudah pernah berhubungan seks atau selaput darahnya sobek saat berolahraga) langsung dikembalikan ke rumah orang tuanya begitu malam pertama berakhir. Diceraikan hanya karena tidak perawan. Salah satu Tante saya pernah berkata begini kepada saya sambil memegang segelas air putih,"Perempuan itu seperti gelas, kalau gelasnya pecah tidak bisa disusun kembali". Ia berbicara lebih kepada peringatan. Sedangkan Mami saya lebih menegaskan kepada pentingnya keperawanan untuk menjaga statusmu dalam rumah tangga,"Kalau perempuan sudah tidak perawan, ya cenderung dipandang enteng sama suaminya". Mami mengajarkan saya tentang self defense. Ia tidak berbicara tentang menjaga keperawanan sebagai barang pusaka tapi menjaganya sebagai pelindung jikalau dalam rumah tangga itu kita secara tak sadar "dilecehkan" dan "dikuasai". Singkatnya dengan menjaga keperawananmu kamu tidak "disiksa" dalam pernikahan. 

Kembali pada kecantikan, lagi-lagi perempuan-lah yang paling berat mengalami cobaan ini. Ada berapa kasus anoreksia dan bulimia remaja putri hanya karena ingin memiliki bentuk tubuh ideal? Ada berapa banyak perempuan yang melakukan operasi plastik demi memiliki standar kecantikan itu? Mereka tidak bisa disalahkan, mereka hanyalah korban ketidakadilan yang mencoba untuk diterima dalam sistem masyarakat kita yang tidak adil ini. Mereka lebih tepatnya ingin diterima oleh lingkungannya dan tentu termasuk lawan jenisnya.

Perasaan ditolak itulah yang menjadi luka. Dan setiap perempuan memiliki lukanya masing-masing. Kini dengan perkembangan teknologi yang semakin maju justru membuat akses keseragaman manusia itu semakin mudah. Media massa lagi-lagi (dan selalu) ikut ambil bagian dalam merayakan sekaligus mempromosikan sebuah konstruksi kepada kita. Kulit luar menjadi lebih penting daripada mengkualitaskan diri di dalam. Sesuatu yang hanya tampak di mata menjadi pusatnya. Lalu kita mulai mengelompokkan orang berdasarkan apa yang nampak itu. Kita tidak melihat sesuatu yang original lagi, sesuatu yang disebut "manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang unik" yang ada hanyalah sekumpulan manusia terutama perempuan yang penampakannya seperti lirik lagunya Superman Is Dead : sama dan seragam. 

Mereka secara tak sadar menjadi regular, menjadi yang biasa. Lalu laki-laki yang tolol yang terjebak dalam kesadaran palsu itu akan seperti buaya lapar yang mengejar mereka. Akhirnya, ketika apa yang dibentuk selalu tak abadi dari apa yang tak nampak yang  ternyata lebih tahan lama, maka kecewalah mereka. Terbentuklah homo homini lupus. Untungnya masih ada perempuan yang sadar bahwa mereka adalah manusia yang dikarunia akal pikiran. Mereka yang masih berpikir dan bersyukur bahwa mereka dinilai atas kerja otaknya ketimbang dandanannya. Mereka yang berharap menemukan seseorang yang mampu melihat ke "dalam" melampaui apa yang terlihat. Karena mereka sadar bahwa 30 tahun dari sekarang, mereka akan kehilangan kemudaannya. Namun, karakter yang dibentuk oleh kerja keras dan konsistensi itulah yang membuat kecantikan setiap perempuan akan abadi.

Bagaimana denganmu, apakah kamu masih original?

Kisah Perempuan

Si Lajang

Minggu, Juli 21, 2013


Sewaktu membaca buku triloginya Ayu Utami (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Ex-Parasit Lajang) saya menemukan istilah baru yaitu parasit lajang. Parasit Lajang atau single parasite adalah istilah yang dikemukakan para feminis Jepang untuk menggambarkan anak gadis yang tak menikah, selalu sibuk bekerja, namun masih tinggal dengan orang tua alias jadi parasit di rumah sendiri. Dulu saya pernah kenalan dengan seorang gadis Jepang, karena saya lupa namanya maka ada baiknya saya memanggilnya Kyoko. Kyoko ini adalah temannya Kak Syifa yang datang ke Indonesia dalam sebuah program khusus. Saya dan Kak Syifa (setahu saya sekarang beliau aktif di komunitas Makassar Berkebun) berkenalan karena sama-sama mengikuti program Sekolah Feminis yang diasuh organisasi Perempuan Mahardika (organisasi yang pada zaman Orde Baru bernama Gerwani) dan gara-gara itu ia memanggil saya dan beberapa teman alumni Sekolah Feminis untuk ikutan belajar bahasa Jepang dengan Kyoko sebagai pengajarnya.

Sebagai feminis, kami sebenarnya lebih tertarik dengan kehidupan perempuan Jepang disana ketimbang belajar bahasa Jepangnya. Kyoko lantas bercerita tentang kehidupan perempuan Jepang disana, terutama fenomena "kemandirian" yang disandang perempuan Jepang. Pada usia tertentu, cewek-cewek Jepang ini bisa meninggalkan rumah orang tuanya untuk berkarir dan haram hukumnya untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya. Biasanya mereka akan membeli rumah (atau apartemen) sendiri dan pulang sesekali untuk mengunjungi orang tuanya. Bertahan di negara macam Jepang membutuhkan mental sekuat baja (as you know Jepang adalah negara dengan tingkat bunuh diri paling tinggi), sometimes membuat perempuan-perempuan disana berpikir bahwa pernikahan adalah jalan keluar. Mungkin pikir mereka daripada capek-capek mending kawin aja deh. 

Tapi tidak semua perempuan Jepang memilih cara itu, misalnya si Kyoko yang sudah keluar dari rumah orang tuanya dan mandiri. Beberapa perempuan Jepang tetap settle down di rumah orang tua. Mereka aktif bekerja, bebas "main" dengan teman-temannya, dan tidak peduli dengan urusan rumah karena ada ibu yang mengurus. Mereka juga tak menikah, entah karena belum ketemu jodoh atau karena keenakan pacaran. Kehidupan itulah yang disandang sebagian perempuan disana dan merekalah yang disebut parasit lajang. Benalu bagi orang tuanya. Sudah benalu, jomblo pula (Jomblo itu adalah mereka yang belum menikah yaaa...).

Lalu apa hubungannya parasit lajang dengan saya?
Di keluarga saya ada dua macam ketakutan, ketakutan pada mati muda dan ketakutan pada tidak kawin-kawin. Saya punya banyak tante yang belum menikah, bukan karena mereka tak cantik jelita, tapi karena mereka terlalu hebat. Setengah dari mereka sudah mapan secara finansial, otak mereka dihargai gaji jutaan, kerjaan mereka suka keluar negeri, bahkan ada satu tante yang seorang diplomat di KBRI Washington dan belum married sedangkan ibunya mengharapkan ia untuk segera menikah diambang umur 50 tahun. Bahkan saya sendiri sudah diperingatkan oleh orang-orang tua di keluarga saya, "Boleh sekolah tinggi-tinggi, tapi ingat-ingat untuk kawin ya...". Seolah-olah bagi mereka cari suami kayak tinggal dibeli di toko. Ini horor, lebih horor daripada filmnya Suzanna.

Pernikahan jadi semacam momok. Tidak menikah kita disakiti secara sosial, tapi menikah juga belum tentu menjadi jaminan kebahagiaan. Saya tidak takut pada pernikahan yang saya takutkan adalah menikah dengan orang yang salah dan akhirnya menyesali pernikahan itu. Bukankah pernikahan adalah lembaga yang tidak serampangan dimasuki orang?sekali menikah sebaiknya anda tidak bercerai, kan. Kalau mau ditarik dalam konteks teologi kristen, pernikahan antara suami dan istri bagaikan pernikahan Kristus dengan Gereja-Nya. Saking kudusnya, gereja Katolik mengakui pernikahan sebagai sebuah sakramen (tanda pengurapan oleh Allah). Bagi saya sendiri, pernikahan adalah ikatan antara saya dengan si partner hidup. Orang yang akan menjadi teman seperjalanan saya mengarungi samudera kehidupan. Jadi jelas menikah bukan karena trend, mentang-mentang teman-teman sekolah dulu pada menikah dan punya anak, sedangkan saya masih jomblo akhirnya serampangan memilih. Kalau ternyata si suami tidak bertanggung jawab atau menderita sakit jiwa, tukang pukul istri atau tukang selingkuh, siapa yang akan menanggung duka saya, kalau bukan saya sendiri?

Ibu saya selalu mengingatkan,"Jangan pernah berpikir bahwa pernikahan adalah penyelesaian dari segala masalah. Justru sebaliknya masalah yang baru akan muncul". Untuk itulah ibu selalu mendidik saya untuk tidak tergantung pada orang lain, bahkan pada suami nanti. Karena sangat berbahaya menggantungkan hidupmu pada manusia. Tapi kalau tidak menikah juga maka kita akan kesepian secara mental-seksual dan akhirnya mati dengan cara dikremasi lalu abunya ditebar di 7 tempat berbeda karena tak ada anak-cucu yang mau menjenguk makan neneknya. 

Ah....perempuan dan masalahnya dengan dirinya sendiri maupun kehidupan sosialnya adalah konflik purba yang rumit. 

Kisah Perempuan

The Wedding

Rabu, Maret 14, 2012



"Karena mereka bukan lagi dua melainkan satu...."

Pernikahan adalah salah satu fase yang menakjubkan dalam hidup manusia. Bagaimana dua orang bertemu, menjalin kasih, dan akhirnya memutuskan hidup bersama. Lembaga perkawinan adalah jalan yang harus ditempuh untuk melegalkan keputusan itu. Untuk melindungi hal-hal yang kiranya dapat terjadi di kemudian hari. Jika untuk disebut pemain timnas harus mengenakan seragam, maka seragam itu adalah lembaga pernikahan dan pemain timnas adalah pasangan yang akan menikah.

Bagi saya, pernikahan bukan hanya sebagai pelegalan atas hubungan fisik semata tapi persatuan dua orang yang tak bisa dipisahkan oleh apapun kecuali maut. Maka untuk sampai ke tahap ini bukan dilalaui dengan cara main-main. Memilih seseorang untuk menjadi pendamping kita selamanya harus melalui proses jatuh bangun dan berdarah-darah yang panjang. Kadang-kadang dalam pertemuan dengan si belahan jiwa ini kita menjalaninya dengan cara-cara yang variatif. Ada yang mesti bertemu dengan orang yang salah dulu, pertemuan romantis ala film, atau bahkan perjodohan. Tuhan selalu punya beragam scene yang dia pilihkan agar ciptaannya bertemu dengan pasangan jiwanya masing-masing.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang kakak yang akan segera menikah. Ia mengemukakan bagaimana ribetnya mengurus pernikahan. Untuk urusan materil seperti persiapan baju pengantin, gedung, undangan, atau bahkan foto pre wedding harus diurus dengan baik-baik. Belum lagi soalan psikologis yang katanya bikin dumba-dumba geleter. "Banyak yang harus disiapin. Mulai dari kesiapan jadi istri orang, menyatukan dua keluarga, sampai apa yang akan terjadi di hari pertama setelah menikah. Ini pengucapan janji sehidup-semati yang tidak main-main," ujar sang kakak.

Lewat penuturannya, saya pun tergelitik untuk bertanya. Sebenarnya ini pertanyaan yang saya simpan sejak masih ABG. Ini mungkin juga terpengaruh bacaan Oh Mama Oh Papa dan sinetron Janjiku yang booming di jamannya. "Apakah setelah menikah nanti orang yang kita nikahi ini akan tetap sama perilakunya seperti sebelum menikah atau malah berubah?". Pertanyaan saya ini lantas dijawab demikian, " Kita manusia yang selalu berubah, namanya juga inovasi dan kreasi, jadi saya tidak takut sama perubahan. Kalau arahnya positif bagus berarti. Tapi kalau kebalikannya, mungkin ada yang salah dengan cara kita. "

Jawaban dari sang kakak yang akan menikah ini memberi perspektif baru bagi saya terhadap pernikahan. Yang tadinya dipenuhi ketakutan-ketakutan dramatis menjadi hal lain yang lebih realistis. Jika kita siap untuk menikah maka kita harus siap dengan perubahan. Hidup manusia adalah perjalanan menemukan Sang Pencipta. Dan ada fase dimana kita membutuhkan penolong untuk bersama-sama berjalan menuju Dia. Tuhan tahu itu dan dia menyiapkan masing-masing penolong bagi kita. Sebab Dia sendiri yang bilang," Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja....aku akan memberi penolong baginya yang sepadan dengan dia."






To Kak Mamar yang akan menikah,
"karena cinta kuat seperti maut....nyalanya seperti nyala api Tuhan"

Kisah Perempuan

Baju di Etalase Toko

Senin, Juni 06, 2011


Pada suatu hari di suatu masa...

Ada sebuah Baju yang selalu dipajang di etalase toko dan belum ada yang membelinya. Baju itu bukan baju biasa. Ia adalah baju keluaran terbaru dengan model yang unik. Sang Desainer sangat serius dalam membuatnya. Ia merancang sendiri polanya, mengukur kainnya, mengguntingnya dengan teliti, dan menjahitnya dengan kedua tangannya sendiri hingga voila..jadilah sebuah baju yang menawan. Modelnya tidak mengenal zaman. Dalam era apapun ia cocok dikenakan.

Dengan bangga, sang Desainer meneruskan baju itu untuk dijual di Toko Pakaian ternama di kota itu. Sang Pemilik toko langsung terkesima dan langsung mengenakannya pada salah satu manekin terbaiknya. Dilabelinya harga yang tinggi dan langsung dipajangnya baju yang hanya satu berada di toko pakainnya. Cuma satu.

Setiap orang yang melewati toko pakaian itu pasti berhenti dan memandang baju itu dengan kagum. Mereka lalu memasuki toko itu dan melihat label harganya. Mahal. Mereka tidak punya cukup uang untuk membeli. Saking takutnya, untuk mencoba memakainya pun mereka tak berani. Takut rusak jikalau dicoba dan tak sanggup membayar gantinya.

Di lain sisi, banyak pula baju-baju cantik yang dijual di toko pakaian itu. Tapi mereka memiliki kembaran dengan berbagai ukuran. Sebagian dari mereka juga sudah laku terbeli. Baju-baju yang belum laku kemudian dilepaskan dari manekin dan dijual dengan harga murah. Namun tidak demikian dengan Baju ini. Ia tetap dipajang di etalase toko itu. Ia terlalu sayang jika didiskon atau diobral. Ia tidak serendah itu.

Waktu demi waktu berlalu, Baju itu masih terus terpajang disana. Diam-diam sang Baju bertanya-tanya, kapan ia terbeli? Kapan ia termiliki ?
Sudah lama ia menanti pembeli. Setiap dilihatnya calon pembeli yang memandangnya kagum, ia berharap calon pembeli itu segera memilikinya. Tapi pembeli-pembeli itu hanya datang melihat dibalik kaca tanpa ada niat untuk membeli. Memilikinya. Ia selalu iri ketika ada baju-baju lain yang dibawa ke kasir untuk dibeli, tapi belum ada yang berani untuk melakukan itu padanya. Sang Baju kecewa. Ia patah hati.

Lama...
Sang Baju terus menunggu. Ia menantikan pembeli yang akan membawanya pulang.

Pada suatu hari yang cerah, ada seorang calon pembeli melintas di depan toko pakaian itu. Seperti calon pembeli yang lain, ia jatuh cinta kepada Baju itu. Ingin sekali dimiliki dan dikenakannya. Ia masuk ke dalam toko dan melihat angka yang tertera di label. Seketika itupula wajahnya terlihat sedih. Harganya terlalu mahal dan ia tidak bisa membelinya. Ia menyentuh Baju itu. Bahannya begitu bagus dan ia pasti akan terlihat menawan jika memakainya. Dengan penuh keberanian, ia mencoba Baju itu. Biarlah ia tak membelinya paling tidak ia pernah memakainya walaupun cuma sekali. Dan yah....betapa menawannya ia dengan Baju itu.

Calon pembeli itu bahagia dan menikmati saat-saat mencoba Baju itu. Sang Baju juga senang luar biasa. Setelah sekian lama akhirnya ada juga yang mencobanya. Namun, raut wajah calon pembeli itu menjadi muram. Ia melepaskan Baju itu kembali. Calon pembeli itu tidak bisa memilikinya walaupun ia terlihat menawan dengan Baju itu. Ia melihat baju lain yang diobral di toko pakaian itu. Lalu, dibelinya satu yang cocok untuknya. Sang baju kembali dikenakan pada manekinnya. Calon pembeli itu keluar dari toko dengan menenteng baju yang dibelinya tanpa menoleh kepada sang Baju. Air mata sang Baju mulai menetes.

Hati sang Baju hancur. Sungguh tega para pembeli itu. Apakah mereka tidak tahu rasanya diterbangkan ke langit dan dihempaskan begitu saja ke tanah di saat yang sama? Untuk sebuah baju yang telah lama dipajang, ia terluka.

Pemilik toko melihat kesedihan sang Baju. Ia membelai sang Baju dengan penuh kasih.
" Sebenarnya bisa saja aku menurunkan hargamu dan kuobral agar kau laku. Pasti akan banyak sekali yang berebutan untuk memilikimu,"kata Pemilik Toko. "Tapi itu tidak kulakukan karena kamu bukanlah baju biasa. Kau harus berada di tangan yang tepat. Kau harus dikenakan pada pembeli yang berani membelimu. Berani memilikimu."

Sang baju mengangkat wajahnya yang sedih," Kapankah itu, Tuan," tanyanya sambil terisak-isak.

Pemilik Toko lalu menjawab," Sabarlah, waktunya akan tepat untukmu."




*finally, setelah stuck tanpa ide menulis.

Kisah Perempuan

Kartini, Tukang Curhat Yang Jadi Pahlawan

Kamis, April 21, 2011



Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

( salah satu bait dalam Lagu "Ibu Kita Kartini" ciptaan W.R Supratman )


Apa persamaan antara Kartini dengan kita yang hidup di zaman sekarang ?

Selain karena kelaminnya sama ( tentu saja ), Kartini dan kita juga sama-sama menderita hal populer yang disebut Galau. Kalau sedang mengalami kegalauan, kita bisa langsung curhat di status FB atau berkicau di twitter. Nah, hal yang sama juga menimpa Kartini. Karena Internet belum ada pada zaman itu, maka Kartini yang galau langsung menulis surat kepada para sahabatnya: Stella Zeehandelaar, Nyonya Abendanon, dan Ny. Van Kool. Curhat Kartini dalam surat-surat itu kemudian dikumpulkan oleh Tuan Abendanon dan dijadikan buku yang kita kenal dengan judul "Habis Gelap, Terbitlah Terang". Lewat tulisannya, Kartini langsung dinobatkan sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Ia dijadikan Pahlawan dan dibuatkan hari besar untuk memperingati jasa-jasanya. Semuanya itu berawal dari rasa galau dan keinginan untuk curhat.

Lalu kenapa seorang tukang curhat seperti Kartini bisa menjadi Pahlawan Nasional ?

Mengenai kepahlawanan Kartini memang mengundang pro dan kontra di kalangan perempuan Tautansendiri. Pantaskah Kartini disebut pahlawan ? Pahlawan macam apa yang berkoar-koar lalu menyerah pada sistem? ( * lirik kak Dwi Ananta Sari ).

Kartini memang berbeda. Ia melawan dalam diam. Ia tidak berjuang dengan senjata atau bermandi darah. Ia hanya mampu melawan dengan ujung penanya. Usaha kongkrit yang dilakukannya adalah membuat sekolah kecil agar perempuan-perempuan yang tinggal di sekitarnya dapat mengecap pendidikan walaupun hanya untuk sekedar baca-tulis.

Banyak pahlawan perempuan yang mati dalam medan pertempuran demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun yang berjuang untuk nasib perempuan sendiri hanya sedikit. Sejarah mencatat, bahwa Kartini-lah yang pertama kali memikirkan nasib kaum perempuan pada zaman itu. Ingat! pada masa Kartini hidup belum ada organisasi yang mampu mewadahi bumiputera untuk melawan penjajah dalam ranah intelektualitas. Budi Utomo sebagai organisasi pertama bumiputera lahir empat tahun setelah Kartini wafat. Maka Kartini sudah tentu tidak punya wadah untuk melawan sistem yang ada. Ia hanya mampu menuliskan kegelisahannya, menuliskan pemikirannya, dan tentu saja curhat yang melahirkan gagasan-gagasan hebat bahwa pendidikan adalah kunci bagi majunya sebuah bangsa.

Dalam hidupnya, Kartini juga banyak mendapat kekecewaan. Ia tidak mendapatkan restu Ayahnya untuk sekolah ke Belanda hanya karena ia perempuan. Budaya Jawa bagi Kartini adalah penjara untuk maju dan berkembang. Kartini juga hanya bisa pasrah ketika akhirnya dinikahkan dengan Raden Mas Ario Joyodiningrat. Ia juga hanya bisa diam ketika suaminya berpoligami ( mengenai budaya Jawa tentang gundik dapat dibaca dalam novel "Gadis Pantai" karangan Pramoedya Ananta Toer ). Kartini mengajarkan kita melawan dengan cara lain. Bukankah lewat tulisan kita bisa melawan? Bukankah hanya dengan status dan kicauan twit pun kita bisa melawan ?

Lalu apa yang dilawan ?

Hanya Perempuan sendiri yang tahu apa musuh terbesarnya.


"...Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula."

( Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902 )


Selamat Hari Kartini, 21 April 2011
Saya lebih suka menyebutnya Hari Perempuan Nasional. ^^






PS : Marilah menggunakan kata "Perempuan" yang berarti empu, pemilik. Ketimbang "Wanita" yang berarti betina, pelayan, binatang.

Kisah Perempuan

Kipka Kecil Penakut

Rabu, April 20, 2011

avatar by Alstrojo


Istilah Kipka saya dapatkan setelah membaca novel "Istana Negara Selalu Menghadap Ke Timur" karangan Anak S-e-N . Dalam novel itu, Kipka berarti perempuan yang takut menjalankan kewajibannya. Ia perempuan pecundang. Ia tidak berani. Ia penakut. Kalau mau search di Google, Kipka adalah kepanjangan dari Komunikasi dan Konseling dalam Praktek Kebidanan *ngekk *_*

Akhir-akhir ini keberanian saya mengendur untuk memasuki dunia baru. Tiba-tiba saya menjadi kipka kecil yang penakut. Ketakutan saya telah membuat semangat untuk berkarya disana menjadi redup. Motivasi saya hilang entah kemana. Mendadak tempat tidur dan rumah menjadi sarang empuk untuk beraktivitas. Tidur.

Lalu semua masalah muncul. Ada beberapa dijadikan pelajaran dan ujian tahan mental. Kemudian ada juga kejutan kecil yang menyenangkan. Namun lebih daripada itu semua, saya takut. Pertanyaan penting yang selalu saya tanyakan kepada diri saya adalah : kemana perginya Superwomen ini?
Saya tidak melihat Perempuan Pemberani itu lagi. Dari dalam cermin terefleksi gadis penakut yang terlalu pengecut untuk memasuki dunia baru. Si Kipka telah menguasai raganya.


Kisah Perempuan

Prostitusi Terselubung

Sabtu, April 02, 2011

Tidak ada yang dapat menggantikan bau khas sehabis hujan di sore hari. Bau yang mampu meremangkan bulu roma dan menghadirkan sensasi yang membuat berahi. Ahh..suasana sehabis hujan yang kusukai. Apalagi di tiap kisahnya selalu ada yang berbeda. Seperti sore ini, saat saya selesai hunting foto untuk keperluan tugas mata kuliah fotografi.

Saya dan Ela, teman saya, berboncengan setelah hunting di SCR alias Sentral Cakar Ratulangi. Suhu udara yang mendingin akibat guyuran hujan membuat kami berdua lapar. Saya pun mengusulkan untuk makan sate. Ela sepakat. Ia menyarankan penjual sate langganannya. Namun sayang seribu sayang. Si Mas Penjual Sate rupanya belum jualan. Masih terlalu dini memang saat itu.

Ela kemudian memutar laju motornya. Kami memutar lewat jalan yang disingkat Ablam. Ela lalu bercerita tentang masa-masa saat ia pernah tinggal disitu. Sepeda motor Ela terus melaju menghasilkan cipratan becek dari jalanan yang tak teraspal. Kanal besar menjadi perantara antara dua jalan yang saling bersisian. Anak-anak kecil berlarian tak beraturan sambil mengangkat tinggi-tinggi layang-layangnya. Saya berteriak. Benang gelas layang-layang itu cukup dekat dengan jarak pandang mata Ela. Saya agak trauma dengan benang gelas karena pernah teriris sewaktu kecil untung jari saya tidak putus. Waktu itu saya sedang mengayuh sepeda dan merasa ada yang tidak wajar dengan sepeda saya. Kontan saya berhenti dan menyelidiki apa yang terjadi. Ada benang yang nyangkut di rodanya. Saya pikir itu adalah benang biasa. Saya lalu menariknya dan mengalirlah darah segar dari buku-buku jari saya. Saya melongo. 5 menit kemudian saya menangis.

Ela masih lanjut bercerita bahkan setelah saya berhenti menjerit melihat benang gelas yang sudah berlalu. Tiba-tiba Ela berkata pada saya,

Ela : Liat ko rumah besar yang pagarnya tinggi dan berkawat..
Saya : Mana?
Ela : Itu yang sebelah kanan.
Saya : Oh iya. Kenapa dengan rumah itu?
Ela : tempat prostitusi itu disitu.
Saya : APAA...masa???
Ela : dehh..kalau malam banyak mobil kesitu nah..
Saya : kayak Nusantara?
Ela : iyo. Tapi terselubung ki...

Saya termenung.
Sebuah tempat prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang di bawah garis kemiskinan? Ini suatu kewajaran. Kewajaran yang disengaja.

Kisah Perempuan

Mahasiswi 3 B

Rabu, Maret 30, 2011

Kita pasti sudah sering mendengar istilah 3 B yang selalu didengung-dengungkan ketika musim kontes kecantikan telah tiba. 3 B merupakan kepanjangan dari beauty ( kecantikan ), brain ( kecerdasan), dan behavior ( kepribadian ). 3 B adalah kriteria penting yang harus dimiliki oleh peserta sebelum dinobatkan sebagai Ratu Sejagat. Di kampus kita juga ada mahasiswa tipikal seperti itu. Mereka juga memiliki 3 B. Tapi jangan salah 3 B yang dimaksud bukan 3 B milik kontes Miss-Miss itu tetapi 3 B yang dimaksud adalah behel, blackberry, dan belah tengah. Wujud mahasiswa yang menempel pada hedonisme.

Sebenarnya tidak ada yang salah ketika teman-teman kita ini menjadikan 3 B sebagai identitasnya. Masalahnya adalah karakter mereka yang apatis membuat kita sering ketiban sial. Ayo mengakulah! Berapa banyak di antara kamu yang sering dimintai absen oleh mereka? Berapa banyak di antara kalian kena marah senior atas ulah mereka yang sering bolos pengkaderan? Berapa banyak dari kalian yang patah hati karena cinta ditolak atau karena gebetan kalian naksir pada mereka? Seberapa besar usahamu belajar pasti nilaimu tidak lebih tinggi dibanding mereka. Tidak aktif dalam perkuliahan namun IP-nya selangit. Ya, kalian sadar pemberian nilai juga bisa melihat fisik seseorang. Tanpa sadar kalian menjadi jengkel dengan orang-orang seperti mereka, para mahasiswa 3 B.

Ilustrasi, model : Uya dan Gina ( photo : Meike)


Di samping urusan akademik yang mengganggu, urusan pergaulan juga sering membuat kita melirik sinis ke arah mereka. Jarang di antara mereka yang mau bergaul dengan mahasiswa lain yang tidak teridentifikasi sebagai 3 B. Kalaupun kamu diajak ngobrol ya itu karena ada U dibalik B. Kalau bukan titip absen ya titip tugas. Entah mengapa kalian juga susah menolak mereka. Apalagi buat yang cowok-cowok, ayo ngaku….hehee…

Tanpa ada maksud mendiskreditkan teman-teman kita yang mahasiswa 3 B, kenyataannya sebagian besar memang seperti itu. Bahkan tanpa sadar kita sering meremehkan mereka. Di lain sisi, mereka juga tidak menyukai mahasiswa di luar kelompok elitnya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak semua dari mahasiswa 3 B ini se-negatif yang kita pikir. Ada yang baik, cerdas, mau bergaul dengan siapa saja, dan memiliki simpati yang besar. Sekarang bagaimana pintar-pintarnya kita bergaul dengan mereka. Jangan hanya duduk dan mencemooh penampilan mereka. Mereka tetap sama seperti kita hanya saja pemikirannya berbeda. Ada yang seluas langit biru dan ada yang sedangkal selokan.