Love Story

Senggigi Menggigil

Jumat, November 28, 2014

*Pantai Senggigi*



Sudah hampir pukul 6 sore, tapi aku masih betah duduk di tepi pantai. Seperti ditusuk paku-paku kenangan, pantatku tak bergeser dari pasir-pasir putih, erat menyatu, membuatku makin khusyuk memandangi sepotong senja dibalik awan kelabu. Langit masih bermuram durja tanda hujan lebat usai melaksanakan tugasnya. Bajuku masih setengah kering. Agak lengket memang tapi siapa yang peduli. Di sana tak ada orang-orang yang mengaku pacar dan cerewet menyuruh ganti baju. Lagipula tak ada baju ganti yang kubawa. Aku hanya membawa sepotong ingatan.

Suasana pantai mulai sepi. Hanya segelintir orang yang bertahan. Ada pedagang mutiara yang menjajakan mutiara-mutiaranya pada pengunjung pantai. Dan meski sudah diusir beberapa kali oleh pengunjung yang itu-itu juga, mereka setia kembali. Ada beberapa pasangan yang asyik bercumbu. Mungkin awalnya mereka ingin melihat matahari terbenam, tetapi justru matahari-lah yang menonton mereka, malu-malu dari balik awan kelabu. Dan, ada sekelompok manusia yang tampak sedang merenung. Mereka umumnya sendirian. Mereka mengambil jarak dari keramaian. Kelompok itu sudah akrab dengan laut.

Tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan berambut pirang juga duduk menatap lurus ke arah pantai. Jujur saja, aku tak rela berbagi matahari terbenam dengan orang lain. Sudah cukup persaingan dengan manusia-manusia yang resah dan galau di tepi pantai. Pasangan yang sedang bercumbu bukanlah saingan berat. Mereka tak peduli dengan matahari karena mereka punya dunia sendiri yang terselip dalam pelukan pasangannya. Tapi aku dan perempuan bule itu sedang bersaing. Siapa yang paling menarik perhatian dari sang Surya. Awan kelabu keparat itu masih menutup setengah lingkaran dari matahariku yang mulai tenggelam. Sekilas aku melihat perempuan bule itu menangis.

Matahari sudah total terbenam. Pacarku si Matahari sudah berlabuh ke belahan bumi yang lain. Tinggal menanti sebentar lagi sebelum cerminannya muncul mengukir senyum di angkasa. Dengan susah payah aku berdiri, mengebaskan pasir dari celana pendek jeans-ku. Bajuku hampir kering. Sial, kakiku kram. Perempuan bule itu juga berdiri. Ia tersenyum padaku dan meminta untuk difotokan dengan latar pantai dan langit yang mulai gelap. Setelah kuambil fotonya, ia mengucapkan terima kasih. Bahasa Indonesianya cukup lancar. Ia bercerita bahwa ia berasal dari Belgia dan sudah keliling Asia Tenggara. Ia pernah beberapa bulan di Jawa. Ia seorang volunteer.

Kami bercakap-cakap sebelum akhirnya ia menanyakan arah menuju pantai Kuta. Aku tak tahu. Tapi  sebagai orang Indonesia yang ramah pada orang asing, aku menjawab juga dengan menyuruhnya naik angkot sampai terminal. Perempuan bule itu malah menawariku untuk join. Padahal sudah kukatakan keberadaanku di Lombok bukan untuk jalan-jalan ke Pantai Kuta. Tapi ia masih memaksa. Aku mulai meragukan kemampuan bahasa Inggrisku. Atau bisa saja bahasa Inggris perempuan bule itu juga sama kacaunya. Anehnya, ia berkali-kali mengatakan, " I don't wanna be alone..."

Percakapan itu tidak bermuara pada kesepakatan. Ia berkali-kali mengatakan kalau ia tak mau pergi sendiri kesana. Aku memanggil seorang penjual mutiara yang tak jauh berdiri dari sana. Wajah penjual mutiara yang letih itu kembali bersinar. Ia datang dengan harapan satu-dua cincin atau kalungnya laku. Betapa, kecewanya ia ketika tahu bahwa aku memanggilnya hanya untuk menanyakan alur transportasi guna menolong perempuan bule itu.

Perempuan bule itu dengan gigih tetap mengatakan bahwa ia tak mau ke pantai kuta sendiri. Aku meninggalkan percakapan antara si perempuan bule dan penjual mutiara yang mulai memanas. Penjual mutiara berkata, "Carilah travelmate. Kalian join saja supaya ongkosnya murah". Sementara si perempuan bule itu tetap bersikukuh, "I don't wanna be alone". Sebelum aku memasuki resto bar yang terletak tak jauh dari tepi pantai, aku masih mendengar dengan suara lelah si penjual mutiara berkata, "Belilah mutiara ini, cuma 20.000". 

***

Angin malam mulai berhembus. Aku mulai menggigil di pantai Senggigi. Rasa dingin itu tidak hanya menerpa tubuh tetapi juga sesuatu di dalam sana yang mulai meragu namun tetap berharap. Sayup-sayup suara band akustik menyanyikan lagu lama:
...
I need to know that you will always be
The same old someone that I knew
Ah, what will it take till you believe in me
The way that I believe in you?



mungkin dia sudah lelah.



Ps: Lirik lagu "Just The Way You Are-Billy Joel

Life Story

Lombok dan Drama Malam Pertama

Senin, November 17, 2014

Nusa Tenggara baik yang ada di sebelah Barat maupun Timur adalah pulau-pulau yang tak pernah terpikirkan akan saya kunjungi. Ironisnya, di dalam darah saya mengalir darah Nusa Tenggara Timur, tepatnya tanah Flores, daerah asal ayah saya. Akan tetapi, kali ini takdir membawa saya ke Nusa Tenggara, bukan di sebelah Timur memang, tetapi di sebelah Barat. Saat ini saya hanya beberapa meter saja jauhnya dari Pantai Senggigi, Lombok. 

***

Waktu saya ke Papua untuk mengikuti konferensi Jaringan Antariman, saya berkenalan dengan Syamsul. Secara kebetulan, saya dan Syamsul menaiki feri yang sama ketika kami berkunjung di dua kampung di daerah Sentani. Dia tinggal di Lombok. Ia juga sempat mengutarakan ajakan untuk berkunjung ke Lombok. Saya cuma senyum-senyum saja. Tanda tak yakin tapi siapa yang tahu? masa depan selalu jadi misteri.

Lalu, apa hubungan antara Syamsul dalam cerita perjalanan ini? 
Beberapa bulan kemudian, ISKI atau Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia akan mengadakan konferensi nasional komunikasi. Tentunya sebagai pembelajar komunikasi, saya dan beberapa teman-teman angkatan yang tertarik dengan kajian akademik tak ketinggalan untuk terlibat. Kami mengirimkan paper dan akhirnya diterima untuk dipresentasikan. Coba tebak, ISKI memilih Lombok sebagai tempat pertemuan itu. Maka, di sinilah saya, di Lombok. Masih antara percaya dan tidak percaya.

Perjalanan saya dari Jogja menuju Lombok cukup melelahkan, meskipun saya memilih rute darat dan udara. Saya naik kereta ke Surabaya dan dari Surabaya melanjutkan perjalanan ke Lombok dengan pesawat. Dalam perjalanan kali ini saya bersama Mbak Eka, teman angkatan saya yang menjadi partner in crime. Tentu, setelah konferensi kami akan melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan sebelum berkutat kembali dengan proposal tesis masing-masing. 

Saya dan Mbak Eka tiba pas magrib waktu Lombok. Untuk menghemat dana, kami memutuskan naik damri dengan memabayar seharga Rp.30.000 perak. Kalau naik taksi sekitar Rp.150.000 - Rp. 200.000. Tujuan kami akan ke Senggigi karena itu daerah wisata. Karena baik saya dan Mbak Eka belum pernah sekalipun ke Lombok, kami hanya mengandalkan pertolongan Tuhan dan Google. Secara kebetulan kami memiliki teman yang tinggal di Lombok. Siapa lagi kalau bukan Syamsul dan Pak Indra, temannya Mbak Eka. Kami juga memberi tahu mereka bahwa kami akan Lombok.

Namun, dasar perempuan-perempuan tangguh, kami juga tak ingin merepotkan orang. Kami berencana menghubungi mereka setibanya di kota Mataram. Akan tetapi, sebuah peristiwa tak mengenakkan terjadi. Malam itu rupanya kami berdua saja penumpang yang turun di Senggigi. Ketika bus sudah sampai di terminal, saya merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Ketika saya bertanya kepada Pak Supir untuk meyakinkan perhentian selanjutnya adalah Senggigi, si Pak Supir yang duduk di muka mulai menjawab dengan tak pasti, "Ah ya, nanti dilihat ya, Mbak". Ia kemudian menelpon seseorang dengan menggunakan bahasa setempat. Yeah, meskipun tak mengerti bahasa Lombok, entah mengapa saya mengerti maksud si Pak Supir: Ia berencana mengoper kami kepada rekannya yang entah di mana. Bayangkan! Sudah hampir jam 9 Malam, dua anak perawan di sarang bus Damri. Hati macam apa yang tak risau?

Saya dan Mbak Eka mulai menangkap gelagat mencurigakan. Kami sepakat menghubungi rekan kami masing-masing. Saya menghubungi Syamsul. Syamsul merespon dengan cepat. Ia mengira saya baru turun dari pesawat, sehingga ia menyarankan saya turun di Labuapi, nanti dia akan jemput. Tetapi, saya sudah berada jauh dari Labuapi. Saya dan Mbak Eka berada di bandara lama yang terletak di daerah kota. Mbak Eka juga menghubungi Pak Indra. Bedanya, Pak Indra menghadapinya dengan cukup serius, ia malah ingin berbicara dengan Pak Supir. 

Bus Damri yang disiapkan Pemerintah itu berhenti di bandara lama. Penumpang sudah pada turun semua, kecuali kami. Saya dan Mbak Eka tentu saja mulai panik dan makin gelisah. Apalagi si Pak Supir sudah mulai banyak tidak kosisten ngomongnya. Ia bilang kami akan diturunkan di terminal kembali tetapi damri tak kunjung jalan. Feeling saya dan Mbak Eka sudah tak enak, tanpa koordinasi kami sepakat turun dari damri sekarang. Saya dan Mbak Eka mulai mengangkat koper kami dari bagasi di dalam mobil dengan panik (mana berat lagi!). Mobil tak kunjung dibukakan juga pintunya. Saya dan Mbak Eka sudah meminta dengan nada keras. Mobil itu malah jalan. Kami panik. 

Tiba-tiba saja, ada suara pintu diketuk-ketuk dengan keras. Ada bapak-bapak yang mengejar damri tersebut. Pak Supir terpaksa menghentikan mobil itu. Ternyata bapak itu ingin mengambil tasnya yang tertinggal. Saya dan Mbak Eka langsung tanpa ba-bi-bu langsung turun. Kami bersyukur ada bapak yang tertinggal tasnya itu mengejar damri kami. Tentu ini bukan kebetulan biasa. Si Pak Supir tetap mengejar kami yang berjalan dengan tergesa-gesa. Ia kemudian memohon maaf. Seperti takut untuk dilaporkan. Secara ajaib juga, baik Syamsul dan Pak Indra dalam perjalanan untuk menjemput kami.

***

Rupanya keadaan meningkatkan pariwisata Indonesia, khususnya Lombok dan menciptakan keadaan yang menyenangkan bagi wisatawan menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Menurut cerita Pak Indra dan Syamsul, kadang-kadang kalau malam (and only kalau malam) supir damri di Lombok itu suka "nakal". Mereka kadang menambah uang angkutan atau tidak menurunkan penumpang di tujuan yang semestinya. Padahal aturan mengenai itu sangat jelas. Banyak turis asing sering mendapat perlakuan seperti ini dan melakukan komplain besar-besaran. Apa yang menimpa kami memang tidak menyenangkan. Tetapi kami bersyukur, kami masih baik-baik saja, tidak dirampok atau diperkosa seperti ketakutan kami. Setelah itu, Pak Indra mengantarkan saya dan Mbak Eka di hotel yang berada di pusat kota untuk beristirahat. Saya pun sudah menepati janji saya pada Syamsul untuk menghubunginya kalau berada di Lombok. 

***

Begitulah dunia ini berputar pada sebuah lingkaran. Kita tidak pernah tahu alasan apa di belakang seseorang yang kita kenal, meskipun bisa saja orang tersebut menjadi perpanjangan tangan Ilahi untuk menolongmu dari kesulitan. Drama malam pertama kami di kota Lombok memang memberikan cerita tersendiri dan tidak mempengaruhi kesan saya pada Lombok yang seperti pulau-pulau di Indonesia, luar biasa indahnya. Untungnya saya tidak seperti kebanyakan orang yang suka menggeneralisir hal-hal apa saja yang ditonton di televisi. Saya tetap percaya, sebuah kota memiliki warna-warni, termasuk gelap dan kelabu sekalipun. 

Udah ah...saya mau menikmati matahari terbenam di pantai Senggigi dulu.



Cheers,


Meike





PS: Foto-foto dan cerita selanjutnya menyusul ya...

Cerita Lagu

Suatu Pagi Bersama Billy Joel

Rabu, November 12, 2014



Kemewahan bangun pagi patut dirayakan. Apalagi jika kau terlalu banyak tidur menjelang matahari terbit dan bangun menjelang matahari terbenam. Yep, setelah menyelesaikan revisi proposal tesis akhirnya saya bisa tidur dengan tenang. Hari ini, saya bangun jam 6 pagi, berdoa, dan menelpon Mom dan Dad. Keluar kamar dan mengucapkan "Good Morning" pada Eyang yang lagi sarapan. Eyang surprise saya bangun pagi mengingat reputasi saya sebagai Sleeping Beauty di rumah ini. 

Mungkin sudah berbulan-bulan saya tidak merasakan hangatnya matahari pagi, mendengar suara burung-burung, melihat mbok-mbok yang menjajakan jamu (kadang saya tergiur juga, tapi kemudian urung), dan pemandangan mahasiswa-mahasiswa yang berangkat pagi ke kampus. Saya ke burjo yang bersebelahan dengan rumah. Meskipun namanya burjo alias warung bubur kacang ijo tapi sama sekali tidak menjual bubur kacang ijo. Jadi saya memesan semangkuk mie instan dengan telur setengah matang plus teh manis. Tidak mandi, tidak dandan, pake bando sisir dan rambut dijepit ala kadarnya. Sekilas saya mirip batur-batur but still in a good way. 

Belum ada pengunjung di burjo jadi tak ada yang melihat juga. Tapi, 15 menit kemudian datang dua orang laki-laki untuk sarapan disana. Cowok yang pertama tampangnya lumayan ganteng. Cowok kedua meskipun tidak seganteng yang pertama tapi kelihatan lebih maskulin dari yang pertama. Seketika saya menyesal tidak dandan. Sekedar flashback, saya jarang dalam penampilan baik kalau ketemu orang yang menarik atau yang menyukakan hati saya. Mostly, benar-benar awut-awutan. Kalaupun sudah mandi dan pake baju bagus, kadang rambut saya jadi dua kali lebih keriting. Ini beneran loh. Kadang saya pikir keadaan ini seperti disengaja supaya dapat menyaring orang-orang untuk dekat dengan saya. Pada titik ini saya merasa beruntung karena sebenarnya menyedihkan bila orang mencintaimu hanya karena penampilanmu saja dan ketika mengenalmu lebih jauh, mereka kecewa. Tapi begitulah, kadang kebaikan hati tidak datang satu paket dengan tampang yang rupawan. 

Untuk merayakan pagi yang saya sudah lama saya rindukan, saya duduk-duduk di depan teras menemani Eyang sambil dengar lagu She's Always a Woman-nya Billy Joel. Eyang lagi membaca buku tentang bahasa Jerman, sementara saya hanyut dalam kisah lagu Paman Billy. Kebanyakan karya seni diilhami seorang perempuan (ini kalau senimannya laki-laki), saya pikir perempuan-perempuan itu tidak hanya cantik, tapi juga memiliki karakter. Setidaknya lirik lagu She's Always a Woman menceritakan perempuan dengan kepribadian yang berwarna dan betapa si lelaki memujanya karena itu. Tak ada dari lirik lagu ini menceritakan tentang keindahan fisik, melainkan bagaimana perempuan ini memperlakukan dirinya dan orang lain. Penggambarannya pun bukan dalam hal yang baik-baik saja, tapi juga hal-hal yang buruk (ataukah sebuah metafora?). 

Namun yang paling saya sukai karena perempuan yang digambarkan tidak pasrah. Perempuan dalam lagu itu adalah perempuan yang independent dan memiliki kontrol penuh pada keputusan-keputusan yang diambilnya. Kebanyakan perempuan hidup dengan keputusan yang diberikan padanya atau ingin aman sebagai common people. Ia tidak menjadi individu yang bebas, ia selalu menjadi milik yang lain. Well, saya tidak ingin menjadi perempuan seperti itu. Karena saya tahu, selama saya sebagai perempuan hidup berdasarkan apa yang terberi maka selama itu pula saya menjadi objek. Saya tak mau jadi objek, itu sudah lama saya putuskan jauh-jauh hari. 



Note: Lagu She's Always a Woman ada dalam album The Stranger (1977) bersamaan dengan lagu Just The Way You Are. 


After discussing with Mbak Truly, we concluded that this song does not talk about the beauty of a woman, nor a woman of perfection. Rather I saw a description of a broken woman covered in toughness. And he loves her not because of her beauty nor her being broken, but because she is she. And I hope that a man will uncover me from that perspective. 

Love Story

Sepasang Mata Yang Sedih

Jumat, November 07, 2014

Ada luka di mata itu.

Sepasang mata yang bersedih dan berwarna cokelat bagai telaga yang rasanya ingin kuceburkan diriku dalam-dalam disana. Sepasang mata itu seperti meminta untuk dikenali, dimengerti, dan dikasihi. Maka aku dengan sukacita mendatangi pemilik sepasang mata itu, merentangkan tangan lebar-lebar, dan menawarkan sebuah peluk. Tentu saja ia bingung sekaligus heran. Perempuan ini aneh, pikirnya. Tapi, aku tak peduli. Aku terlanjur simpati pada sepasang mata yang menyimpan luka. Dan aku pun tahu jika semakin lama kupertahankan simpatiku, aku resmi jatuh cinta padanya. 

Pernah suatu hari ia mendatangiku lalu menawarkan apakah aku mau dibelikan kopi. Ia mau ke coffee shop dan karena tak enak minum sendiri ia terpaksa menawari. Aku sebenarnya tidak suka kopi murni. Aku lebih suka cappuccino. Jadi aku pesan satu. Ia tersenyum dan menawarkan sepasang mata sedih yang butuh usaha keras untuk melihatnya lekat-lekat. 30 menit kemudian ia datang, meletakkan begitu saja cappuccino yang kupesan dan kembali ke mejanya. Ia tidak memesan kopi tapi minuman berwarna hijau yang kucurigai racikan buah alpokat yang tersedia juga di coffee shop. Aku mengamati punggungnya. Rambutnya yang baru dicukur, cuping telinganya, sampai kemeja warna hijau limau yang dikenakannya. Aku bertanya-tanya,"Sampai kapan ia bertahan membohongi dirinya?".

Hari itu adalah hari terakhirku di sana. Aku harus pulang. Sepasang mata yang sedih itu kembali hadir. Warnanya masih tetap cokelat dan bila si pemilik tersenyum butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat. Ia tak berkata apa-apa. Namun, aku melihat seorang bocah di sana, berdiri kaku dan kesepian. Sebentar lagi ia akan kehilangan teman. Teman yang tak biasa. Bukan jenis teman yang diajak bersenang-senang dan berbagi cerita palsu. Ia membutuhkan teman yang memahami lukanya, kesepiannya, dan kesedihannya. Teman yang tak perlu banyak-banyak memberi nasehat. Teman yang tak perlu sering-sering bersua. Tapi ia tahu teman itu memperhatikannya sekalipun dari jauh. Teman yang tak perlu utuh hadir tapi ia rasakan adanya. 

Ada luka di mata itu. 

Aku kembali untuk bertemu dengannya namun sepasang mata yang sedih itu sudah tak ada lagi. Tak ada bocah yang berdiri kaku dan tampak kesepian. Tak ada sepasang mata yang sedih serta butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat saat pemiliknya tersenyum padaku. 

Jika aku rindu pada sepasang mata berwarna cokelat yang dulu ingin kutercebur ke telaganya dalam-dalam, aku hanya perlu mengambil cermin dan menatap di sana.



PS 1: balasan buat Kak Emma :)
PS 2: based on true event. 

Life Story

Hantu Perawan Tua (bagian 2)

Jumat, November 07, 2014

"Laku" dan "Tidak Laku" adalah dikotomi yang kita temukan dalam perdagangan. Barang yang laku akan mendatangkan keuntungan bagi penjualnya sedangkan barang yang tidak laku -karena pengaruh waktu- akan dicampakkan ke tempat sampah. Namun, tidak selalu karena banyak pula barang tak laku yang diturunkan harganya dan diobral. "Laku" dan "Tidak Laku" adalah pengalaman tak enak di masa remaja saya.

***

Waktu saya masih SMP, ada seorang anak laki-laki di kelas saya bernama R. Wajahnya tampan setidaknya demikian menurut konstruksi zaman itu. Banyak pula anak gadis yang naksir padanya. Pada masa itu, legitimasi siapa yang cantik dan ganteng diukur dari kuantitas para pemujanya. Jika banyak anak laki-laki naksir si A, maka A dikatakan cantik begitu pula sebaliknya. R termasuk ganteng. Saya juga diam-diam senang melihatnya. Sayangnya, R memiliki mulut yang tidak sopan. Ia senang mengatai anak lain secara fisik.

Suatu hari saat pelajaran olahraga, saya lupa apa persisnya yang mendasari, ia begitu saja mengatai saya monyet. Saya tidak terima. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Ia terlihat begitu sempurna (sekali lagi menurut konstruksi) lalu apa yang bisa saya hina dari sebuah kesempurnaan? Saya mengadukan hal itu pada Mami. Dan Mami saya menjawab, "Kenapa kau tidak balas? Kalau dihina orang lawan, jangan diam!". Kali berikutnya ia mengatai saya monyet, saya juga membalas dengan kambing karena nama belakangnya kalau diplesetkan dekat dengan kata "kambing". Tapi kambing kebagusan untuk R. Siapapun yang pernah dikatain monyet (bukan dalam konteks bercanda) pasti sepakat.

Tapi yang paling mendukakan hati adalah ketika kami bertengkar entah karena apa (saya juga tidak tahu kenapa saya dan si R ini suka bertengkar kami bahkan pernah masuk ruang BP sama-sama) ia mengatakan kalau saya tidak laku. Saya tidak tahu alasan pasti kenapa kata itu keluar dari bibirnya tetapi besar kemungkinan adalah karena pada masa itu, di antara teman se-geng, sayalah yang belum punya pacar. Kau tahu, jika ada anak laki-laki mau mukanya ganteng atau buruk rupa mengataimu "cewek tidak laku" bagaimana perasaanmu? Untuk sekejap saya terpaku. Shock. Jika saya adalah barang yang dijual di supermarket maka akan ada label menempel di dahi saya "tidak laku". Sampai saya SMA (anyway, saya juga satu SMA dengan si R) kata "tidak laku" itu juga  setia mengikuti. Kata itu seperti hantu, tidak kelihatan tapi menakutkan.


***

Setelah duduk di bangku kuliah, saya mulai menganalisis apa persisnya yang membuat saya begitu ketakutan dengan kata "tidak laku" yang sering diucapkan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Jawabannya sederhana yaitu ketakutan kolektif menjadi perawan tua. Mengapa kita takut menjadi perawan tua? Ada banyak faktor, antara lain:

1. Ketakutan tidak menikah.

2. Karena tidak menikah itu berarti kita akan hidup sendiri. Hidup sendiri selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang tidak lengkap. Bagai sebuah inisiasi lanjutan, kau bukan manusia kalau belum menikah. Takut hidup sendiri juga muncul karena sejak kecil kita dininabobokan dengan dongeng-dongeng akan datangnya Pangeran yang menyelamatkan. Ketika beranjak dewasa, kita senang membaca metropop atau novel-novel picisan dan mengharapkan kisah-kisah cinta bak di novel-novel itu terjadi juga di hidup kita. Kita tidak rela mengakui kalau novel atau film-film romantis itu terlalu menyederhanakan hidup manusia yang sebenarnya kompleks artinya banyak kebohongan yang dibangun oleh industri media yang termediasi dalam novel dan film.

3. Menjadi beban bagi orang lain. Tidak menikah berarti menjadi beban bagi orang lain: orang tua atau saudara yang menampung. Tapi faktor ini sudah ketinggalan zaman karena banyak perempuan sudah mandiri secara finansial bahkan jadi tulang punggung keluarga.

4. Tak berhubungan seks. Kebutuhan seks adalah kebutuhan alami manusia. Seks adalah makanan tubuh kata seorang professor bahasa dari UPI. Masalahnya, oleh agama kita dilarang berzinah sehinga untuk melegitimasi hubungan seks kita membutuhkan pernikahan. Sayangnya, dalam pernikahan juga terdapat banyak masalah. Realitas lebih banyak daripada romantisme jadi jangan sombong bilang "I'm the happiest wife in the world" kalau baru menikah 6 bulan. Tunggu 30 tahun baru berani bilang begitu di media jejaring sosial.

5. Tak ada yang mencintai. Kita punya keluarga, kita punya sahabat, kita punya kolega, tapi entah mengapa kita tetap saja tidak pmerasa komplit. Memang sudah sifat manusia untuk tak puas sehingga wajar saja ketika segala cinta filia, agape, dan storge kita miliki, kita mau juga cinta eross. Mau heteroseks atau homoseks, diam-diam kita membutuhkan objek cinta yang selalu membuat kita merasa gemilang bahkan ketika mengingatnya. Kita tak hanya butuh objek cinta tapi kita mau objek cinta itu mencintai kita juga. Ini yang biasanya mendatangkan kegalauan. Perasaan tidak lengkap karena tak ada yang mencintai seperti yang kita imajinasikan ini yang kadang-kadang menyiksa.

6. Mau punya anak. Sebenarnya tak butuh pasangan jika ingin punya anak. Kita bisa mengadopsi, kita bisa melakukan suntik sperma, dan berbagai solusi medis supaya punya anak tanpa menikah. Namun, seperti yang sudah saya bilang, manusia tak pernah puas. Mereka maunya punya anak dengan orang yang mereka cintai. Yang jadi persoalan ketika sudah bersama orang yang mereka cintai belum tentu juga mereka bisa punya anak.

Konsep perawan tua sesungguhnya terbentuk karena persoalan waktu. Secara biologis, perempuan dan laki-laki memiliki masa reproduksi yang berbeda. Perempuan mengalami menopause yang berarti ia pensiun dari tugas reproduksi lebih dulu daripada laki-laki yang masanya masih sangat panjang. Oleh sebab itu, perempuan sebaiknya menikah secepatnya sebelum masa menopause itu datang. Bahkan di usia akhir 30 atau awal 40 tahun, perempuan yang melahirkan memiliki resiko yang lebih besar ketimbang ketika mereka masih di usia 20-an. Karena persoalan waktu inilah, jika perempuan belum menikah di ambang usia menopause-nya maka ia menyandang predikat perawan tua.

Sebaliknya, bagi laki-laki karena usia reproduksinya lebih panjang dan biasanya didukung dengan kekuatan finansial, mereka bisa saja menikahi perempuan-perempuan muda yang mereka mau. Jadi, predikat bujang lapuk tak menganggu mereka kecuali bagi laki-laki yang tidak memiliki kekuatan finansial. Nah, perawan tua di jaman nenek dan ibu kita hidupnya memang jauh lebih menderita karena selain tidak bereproduksi lagi, masih sangat sedikit dari kaum mereka yang memiliki kekuatan finansial. Biasanya perawan tua seperti ini menumpang di rumah saudara dan umumnya semakin getirlah hidup mereka. Tapi ini kasuistik, tidak menggeneralisir. 

Menurut saya, istilah perawan tua sudah tidak relevan lagi di era Posmo ini. Pertama, perempuan yang bekerja - dan karena itu membuat mereka mandiri- tidak bergantung lagi dengan laki-laki. Mereka mencari yang lebih dalam dari sekedar teman tidur dan kenyamanan finansial. Mereka mencari lelaki yang dalem yang bisa menjalin intimate relationship: mereka bisa berbagi pikiran, memiliki visi-misi yang serupa tapi mungkin tak sama, memiliki komitmen, dan bersedia memasuki gelombang kehidupan bersama. Tapi kenapa perempuan-perempuan ini tetap tahan melajang? ada beberapa jawaban: 1. rutinitas pekerjaan yang membuat mereka tak punya waktu pacaran, 2. belum menemukan yang diinginkan, 3. memang tak mau menikah, 4. karena stock laki-lakinya di pasar tidak seperti keinginan. Di zaman ini, istilah "laku" dan "tidak laku" tidak cocok lagi digunakan, bagaimana bisa kita mencap suatu barang laku atau tidak laku kalau tak ada pasar yang meminta. Yang sebenarnya adalah kita masih berada pada level produksi yang artinya mengkualitaskan diri dulu sebelum siap dilepas dalam pasar.

Sayang sekali, sampai sekarang, masyarakat senang mencibir perempuan-perempuan yang belum menikah. Mau sekolahnya tinggi, mau kaya, mau miskin, perempuan tetap tak akan sempurna kalau ia belum menikah. Mungkin hantu perawan tua masih bergentayangan, tetapi kita semestinya tidak perlu takut lagi. 



PS: tulisan ini didedikasikan untuk perempuan-perempuan tangguh di luar sana yang sadar akan pilihan-pilihan yang diambil dalam hidupnya. 

Life Story

Hantu Perawan Tua (bagian 1)

Selasa, November 04, 2014

Apa itu luka?

Trauma adalah kata dari bahasa Yunani yang diartikan sebagai luka. Luka merupakan akibat dari sebuah peristiwa yang menimbulkan rasa sakit. Luka terjadi karena dikenai atau disebabkan sesuatu bukan terjadi dengan sendirinya atau dari dalam. Apapun yang bersinggungan dengan luka akan menimbulkan perih. Ada luka yang cepat sembuh tapi ada banyak luka yang tak kunjung sembuh sehingga bisa saja seseorang tak mau merasakannya lagi. Di sini kita akan bertemu dengan dua jenis orang: mereka yang menghindari trauma dan mereka yang masuk ke dalam trauma untuk membalikkan atau membuktikan kesalahannya.

Setiap orang memiliki luka. Luka itu biasanya disimpan rapat-rapat. Di sini kita jadi tahu ada luka yang disimpan secara pribadi ada luka yang dibagi secara kolektif karena deritanya juga dirasakan secara kolektif. Salah satu luka itu bisa saja dialami tapi bisa saja dilekatkan seenaknya begitu saja. Salah satu luka perempuan, berarti luka saya juga adalah menjadi perawan tua. 

***

Di setiap keluarga, pasti ada satu-dua paman atau bibi yang tidak menikah. Ini tidak merujuk paman atau bibi yang memutuskan selibat karena alasan spiritual. Biasanya paman atau bibi tidak menikah karena  sesuatu dan lain hal. Mereka tidak pernah membicarakannya. Tapi mungkin mereka diam-diam menginginkannya. Sayangnya, mereka tak mau mengatakannya kepada kita karena dengan membicarakannya berarti mereka mengorek lukanya sendiri. Entah apapun itu. Namun, rupanya ada pembedaan antara paman atau bibi yang tidak menikah itu. Paman umumnya yang tak menikah itu tidak begitu bergantung pada keluarganya. Saya mengenal paman orang lain yang bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin diam-diam keluarganya mendoakan dia tak usah menikah saja, karena jika ia menikah -kalau istrinya jahat bisa mengunci pengeluaran si paman kepada keluarganya. Nah, bibi umumnya bergantung pada keluarga, biasanya orang tua atau keluarga saudaranya. Dan biasanya ketergantungan ini membuat mereka semakin dalam lukanya. Tidak punya kekuatan ekonomi membuat mereka terpaksa menjadi kepala babu di rumah. 

Namun, zaman berganti. Bibi-bibi yang tak menikah juga punya power secara ekonomi. Mereka tak punya kesulitan secara materi namun sayangnya mengantarkan mereka jatuh cinta pada pada materi. Seorang bibi yang saya kenal seperti terkena sindrom ketakutan pada kami - keluarganya yang biasa-biasa ini- karena takut kami meminta uangnya atau apapun miliknya sehingga awalnya ia yang begitu ramah pada masa kanak-kanak saya berubah jadi nenek sihir karena ia begitu menutup diri. Anehnya, sikapnya juga berubah, yang ramah dan manis menjadi begitu nyinyir dan memaksa kehendak. Di satu sisi, saya jadi kasihan padanya tapi di sisi lain saya kesal karena perilakunya. Tapi semoga saja tak ada hubungannya dengan urusan pernikahan.

***

Gambaran perawan tua sudah begitu menakutkan perempuan. Di sekolah, guru perempuan yang tak menikah yang paling kejam. Ini nyata, saya paling takut dengan guru prakarya saya waktu SD sehingga saya selalu berdoa semoga sakit di hari senin. Ibu guru itu tak cuma ringan tangan tapi juga sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Wajahnya jarang tersenyum. Dan ketika beberapa orang tua murid datang mengadu pada wali kelas, ibu wali kelas yang baik hati dan sudah menikah mengatakan, "Makhlum Bu, Pak...perawan tua". Rupanya ada asosiasi antara perawan tua dengan sikap-sikap yang berasal dari dengki semacam itu. Anehnya, pada bujang lapuk- sebutan untuk pria yang tak menikah- hampir-hampir jarang saya dengar ada bapak B yang kasar pada murid atau orang lain karena ia tak menikah. Tak ada asosiasi, "Maaf Bu, Pak...Pak B begitu karena tak kawin". Di sini ketidakadilannya, sifat jahat tidak dilekatkan pada bujang lapuk tapi pada perawan tua. Mungkin kita hanya ingin menyederhanakan persoalan dengan memberi asosiasi seperti itu. Tetapi asosiasi itu begitu tak adil. Tak ada orang yang bercita-cita menjadi sesuatu yang memiliki sifat jahat. Maka jangan salahkan banyak perempuan yang tak sudi menjadi perawan tua. 


....bersambung di Hantu Perawan Tua (Bagian 2)