Mantra Kalimat

The Truth is....

Rabu, November 20, 2013

*tumblr*



sambil dengar Manhattan-nya Rod Stewart & Bette Midler. Di luar hujan turun rintih-rintih.

Special Moment

Like Mothers Like Daughters

Jumat, November 15, 2013

ulhjg


When two young lady become bestfriend, their mother could be too.





PS: Congratulation to my best friend, Tirta for her graduation, be success and happy :* 

Review Film

Upik Abu dalam Drama Korea

Rabu, November 06, 2013




Dongeng Cinderella tidak pernah mati. 

Kisah si Upik Abu yang akhirnya menikah dengan Pangeran tidak pernah menjadi kuno, setidaknya bagi saya. Cinderella terus bertransformasi lebih modern. Dia tidak harus mengenakan baju jaman dahulu kala atau memiliki saudara tiri yang jahat. Cinderella bisa saja sebagai anak bungsu atau anak tunggal yang mencari ayahnya. Kita tidak butuh ibu peri yang menghadiahi Cinderella kereta kencana atau gaun yang bagus. Cinderella modern bisa kerja part time atau memiliki sahabat kaya yang bersimpati padanya. 

Bagaimana dengan Pangeran? Dongeng- dongeng terdahulu tidak pernah menceritakan tentang riwayat hidup si Pangeran. Ia tahu-tahu muncul mencari si pemilik sepatu kaca. Pangeran selalu muncul belakangan seperti superhero, mungkin Batman atau Iron Man. Dengan kegagahannya, ia menjemput Cinderella ke istana dan hidup bahagia selamanya. Tamat. 

Pangeran jaman sekarang memiliki kompleksitas kehidupan. Keluarga yang tidak harmonis, persaingan antar saudara, ancaman dari pihak-pihak yang ingin mengambil alih kerajaan kecilnya atau menghadapi pernikahan politik demi bersatunya korporasi. Pangeran tidak harus menaiki kuda berwarna putih, jaman telah berubah, saat ini kita mengenal kuda putih itu dalam bentuk Ferrari atau Porsche. Pangeran menjadi pribadi yang kritis sekaligus romantis. Ia membenci ketidakadilan namun tidak rela melepaskan kemewahan yang dibangun diatas ketidakadilan itu. 

Begitulah gambaran kehidupan Cinderella dalam drama korea. Beberapa judul film drama korea bisa kita telusuri sambil mengingat-ingat kisahnya. Mayoritas cerita tersebut berkisah tentang gadis miskin yang dijatuhi cinta oleh pemuda kaya raya pewaris kerajaan bisnis. Intrik muncul dengan berbagai variasi. Saudara tiri yang jahat menjelma sebagai tunangan Pangeran. Cinderella memiliki ibu yang cacat. Rival Pangeran juga jatuh hati pada Cinderella. Kerajaan kecil tersebut juga mengalami konflik, Presiden Direktur yang hampir mangkat serta penggantinya, kakak sang Pangeran yang diliputi dilema sebagai bayang-bayang ayahnya. 

Itulah gambaran kisah Cinderella versi The Heirs yang dibintangi Lee Min Ho dan Park Shin Hye. Tentu saja seperti drama korea lainnya yang piawai mengemas cerita (meskipun sebenarnya standar) namun tetap mampu mengaduk-aduk emosi penonton lewat perkawinan scene dan backsound yang pas. Airmata siap meleleh dan impian memiliki kisah cinta dan kekasih seperti di film pun kian membabi buta. Maka, hanyutlah saya dalam perangkap pop culture dari Korean wave. Ironisnya, saya memuja sekaligus mencibir. 



PS: sebagai pencibir dan pemuja (gabungan yang sangat kontradiktif) sepertinya masih lama bagi saya untuk menamatkan serial ini. 

Review Film

When Harry Met Sally

Rabu, November 06, 2013



"...when you realize you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible." 
Harry

Sepanjang minggu ini saya menonton film-film lawas mulai dari era 60-an sampai akhir 90-an. Salah satu film lama yang memorable bagi saya adalah film "When Harry Met Sally" yang dibintangi Meg Ryan dan Billy Cyrstal. Film yang dirilis di tahun 1989 ini merupakan salah satu dari sekian film romantis legendaris Hollywood. Sejujurnya, film ini agak mengingatkan saya pada trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight karena kekuatan film ini terletak pada dialognya. Jika trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight termasuk "serius" dengan dialog-dialognya, berbeda dengan When Harry Met Sally yang cenderung ringan tapi mengena. Kita akan terbawa pada serunya perdebatan Harry dan Sally tentang relationship antara laki-laki dan perempuan.

Di tahun 1977, Sally Albright (Meg Ryan) berkenalan dengan Harry Burns (Billy Crystal) yang saat itu berpacaran dengan Amanda, roomate-nya saat kuliah di University of Chicago. Sally memberikan tumpangan pada Harry yang kebetulan memiliki tujuan yang sama ke New York. Sally ingin melanjutkan sekolah di bidang Jurnalisme sedangkan Harry ingin meniti karir di kota Big Apple itu. Dalam perjalanan menuju New York inilah mereka berdua selalu terlibat perdebatan sebelum akhirnya kemudian berpisah. Dalam dialog-dialog itu kita dapat melihat perbedaan sudut pandang laki-laki dan perempuan dalam melihat sebuah hubungan men-women friendship

Harry: Men and women can't be friends because the sex part always gets in the way. 
Sally: That's not true. I have a number of men friends and there is no sex involved. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: You only think you do. 


Lima tahun kemudian, Sally dan Harry bertemu lagi. Kali ini Sally sudah menjadi jurnalis dan sedang berkencan dengan Joe yang ternyata teman lama Harry. Harry sendiri akan menikah, sesuatu yang membuat Sally takjub. Mereka pun tetap kembali berdebat tentang men-women friendship sampai akhirnya berpisah lagi.

Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Kali ini Sally sudah putus dengan Joe sedangkan Harry bercerai dengan Helen, istrinya. Sikon mereka yang pas itu membuat keduanya berteman. Harry mulai mengenal pribadi Sally, demikian juga sebaliknya. Tanpa disadari, Harry dan Sally pun mulai saling bergantung.

Harry: There are two kinds of women: high maintenance and low maintenance. 
Sally: Which one am I? 
Harry: You're the worst kind; you're high maintenance but you think you're low maintenance.

Persahabatan Harry dan Sally kemudian teruji ketika "sex involve into friendship" seperti yang pernah dikatakan Harry. Hubungan mereka pun merenggang. Namun, khas film Hollywood, hubungan Harry dan Sally tentu saja tidak berakhir sad ending macam film Asia. Menonton film ini membuat saya berpikir tentang konsep jodoh. Meskipun terpisah bertahun-tahun, namun entah mengapa kita akan kembali dipertemukan dengan orang itu. Bukan hanya itu saja, kita juga terkoneksi dengan orang-orang yang dekat dengan orang itu. Film ini cocok ditonton di malam minggu dalam keadaan sendiri maupun dengan orang terkasih. Soundtracknya juga pas membingkai jalinan peristiwa dalam film, seperti lagu Let's Call The Whole Thing Off-nya Ella Fitzgerald dan Louis Armstrong atau It Had To Be You-nya Frank Sinatra yang dibawakan Harry Connick, Jr. 

Menonton film ini membawa saya kembali ke masa kanak-kanak dan tentu saja kembali optimis seperti yang dinyanyikan dalam lagu It Had To Be You:
"It must have been that something lovers call fate, kept me saying," I Had To Wait". I saw them all, just couldn't fall 'till we met."


PS: menyempatkan menonton film di sela-sela hiruk-pikuk  Mid-Term :p

Cerita Lagu

Better Man

Selasa, November 05, 2013

Kita hanyalah individu yang bersosial. Bagaimanapun individualisnya seseorang, ia tetap membutuhkan orang lain. Orang yang mendukungnya untuk mengejar mimpi dan cita-cita. Orang yang berada di sisinya saat ia sedih. Orang yang memegang tangannya saat ia hampir jatuh. Orang yang turut berbahagia disaat ia juga berbahagia.

Bilamana situasi dan keadaan yang pas terjadi disaat bersamaan, saya pun akan menyanyi se-desperate Robbie Williams.




send someone to love me 
I need to rest in arms 
keep me safe from harm in pouring rain 

give me endless summer 
Lord I fear the cold 
feel I'm getting old before my time 

as my soul heals the shame 
I will grow through this pain 
Lord I'm doing all I can to be a better man