Saya tak menyangka bahwa tulisan saya tentang Gereja Gothik Sayidan mendapat banyak respon dari pembaca blog sekalian. Ternyata, bangunan ini memang banyak menarik minat mereka yang menyukai misteri dan arsitektur. Saya termasuk keduanya. Dan saya senang, ternyata saya tidak sendiri. Saya juga bertemu dengan seseorang yang pernah kuliah di Jogja dan mengetahui kisah tentang Gereja Gothik Sayidan. Katanya, bangunan itu dulunya gereja tetapi karena dianggap sesat, makanya ditutup. Lain kesempatan saya bertemu orang lain lagi yang bercerita bahwa gereja itu ditutup atas permintaan masyarakat setempat. Sesungguhnya hal itu cukup aneh, mengingat tempat di sebelah Gereja Gothik Sayidan, berdiri gereja lain. Andaikata masyarakat melarang, mengapa tidak dua-duanya saja ditutup? atau betulkah bangunan itu memang tempat perkumpulan bagi penganut ajaran sesat?
***
Perkenankan saya memperkenalkan sobat saya Yerinta. Kami memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama anak tunggal dan sama-sama memiliki nama Lucia. Kami sama-sama suka filsafat. Yerinta adalah mahasiswa Filsafat di UGM dan saya sendiri sedang pelan-pelan belajar filsafat. Puncaknya, kami sama-sama tertarik dengan Gereja Gothik Sayidan. Dari Yerinta-lah saya baru ngeh, bahwa gereja Gothik Sayidan pernah menjadi lokasi syuting video klip-nya Ari Lasso dalam lagu Perbedaan. Lagu Perbedaan sendiri hits di awal tahun 2000-an, jadi sudah sekitar 10 tahun lebih. Pada saat video klip itu dibuat, Gereja Gothik Sayidan masih bersih dari tetumbuhan merambat. Bangunannya masih kokoh dan megah. Sekarang, kita bisa liat bangunan itu mulai diselimuti tumbuhan rambat, jendelanya yang rusak disana-sini, dan salah satu menara yang mau tumbang. Mungkin saja, hanya Ari Lasso satu-satunya yang diperkenankan masuk ke dalam rumah itu.
Saya dan Yerinta pun mulai membahas Gereja Gothik Sayidan dan informasi yang kami ketahui masing-masing (informasinya hampir sama dengan yang kalian ketahui juga). Merasa bahwa bangunan ini memang misterius, kami berencana melakukan tapak tilas. Tapi, hal itu tak pernah terwujud karena kesibukan masing-masing. Saya juga sudah bertanya pada Eyang, sebagai warga Jogja sejati. Tapi beliau malah tidak tahu bangunan itu. Saya akhirnya memutuskan bertanya pada sumber yang tak bisa diragukan lagi, yaitu Om N. Om N adalah suami dari keponakan Eyang. Om N mengetahui segala seluk beluk kota Yogyakarta maupun daerah di pulau Jawa. Maka, pada suatu kesempatan saya pun menanyakan perihal Gereja Gothik Sayidan.
Di luar dugaan, Om N tahu mengenai tempat itu bahkan mengenal sang pemilik rumah. Sang Pemilik Rumah dan Om N akrab ketika mereka masih sama-sama jadi anak break dance di tahun 80-an. Om N bercerita rumah itu dibangun pada tahun 1980-an oleh keluarga temannya itu. Teman Om N itu seorang Tionghoa dan kaya raya. Rumah itu sebenarnya rumah biasa bukan gereja seperti yang disebutkan orang. Memang sih arsitekturnya seperti gereja pada umumnya, tapi kata Om N itu rumah biasa. Om N sendiri juga merasa sayang bahwa rumah itu sudah tidak terurus lagi. Ketika saya bertanya apa hubungan antara tulisan ullen sentalu di pintu Gereja Gothik Sayidan dan museum Ullen Sentalu, Om N tidak tahu menahu. Dan misteri itu pun tersibak dengan antiklimaks.
Itulah penyelidikan saya sampai sejauh ini. Saya berspekulasi bahwa bisa saja masyarakat setempat membangun mitos mengenai bangunan itu. Ada banyak hal mengapa suatu tempat layak menjadi mitos. Bisa saja karena ia mengundang decak kagum atau kontroversi. Rumah tinggal dengan banguanan gothik lengkap dengan patung Yesus sebesar gaban itu tentu menimbulkan decak kagum dan rasa heran sekaligus. Apalagi ketika misalnya rumah itu sudah tidak ditinggali lagi. Mungkin, kita bisa menanyakan Ari Lasso yang pernah masuk ke rumah itu dan mungkin juga mengenal pemilik rumahnya. Tapi untuk sementara, misteri itu sudah tersibak....sedikit demi sedikit.
foto: Meike
Saya sudah lupa persisnya kapan saya jatuh cinta pada arsitektur dan interior design meskipun saya juga tidak berniat menjadi arsitek dan designer. Pertama, saya tidak bisa menggambar. Kedua, saya tidak bisa matematika sehingga mengharapkan saya masuk jurusan teknik hampir sama mustahilnya melihat ikan hidup di darat. Ketiga, saya merasa lebih cocok menjadi "penikmat" daripada "pembuat". Keempat, memang tidak minat juga. Dengan demikian, jadilah saya archolic (bukan alkoholik ya!) sebutan dari gabungan kata "architecture" dan "holic" (i invented them hihiii..). Yup, sebutan bagi mereka yang menyukai arsitektur dan interior termasuk suasana dan atmosfir yang diciptakan tanpa berkecipung di dunia per-arsitekturan dan per-design interior-an. Well, menyukai lagu-lagunya Nirvana atau Pearl Jam tidak berarti menjadikan kita semua anak grunge, kan?
Sore itu saya berencana mencari bahan untuk menyusun bab 2. Perpustakaan memang tempat yang menyenangkan, tapi thanks to UGM, kita bisa mengakses jurnal di mana saja dengan syarat punya koneksi internet dan tentunya berstatus mahasiswa UGM. Di Jogja, banyak sekali cafè-cafè dengan arsitektur dan interior yang menarik (di Makassar juga sudah mulai berjamuran). Saya senang dengan bangunan indische atau kolonial dan favorit saya adalah Indische Coffee yang berada di Benteng Vreedeburg (kurang kolonial apa lagi coba?). Beberapa orang yang datang ke Jogja dan ingin bertemu saya biasa saya ajak kesana. Tapi kali ini ingin sesuatu yang berbeda. Hasil blogwalking saya di blognya ruthwijaya yang membuat saya menemukan Epic Coffee & Epilog Furniture. Btw, mbak Ruth ini hampir saja saya jadikan informan penelitian tesis saya, sayangnya kami belum berjodoh (pssstt...).
Jujur saja, ketika melihat arsitektur dan interior-nya Epic Coffe ini saya langsung surprise, masa sih yang beginian sudah ada di Jogja. Tapi, yah...ternyata memang benar adanya. Epic Coffee ini terletak di daerah Palagan, patokannya dari Hyatt, kira-kira 100 meter ke utara. Bangunannya berbentuk warehouse dengan langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela besar. Ketika memasuki bangunan, kita akan bertemu dengan bar di mana para barista akan membuat kopi-kopinya. Makanan yang dijual memang dominan barat tapi ada juga beberapa makanan yang tradisional. Saya sesungguhnya bukan pecinta kopi meski bapak saya punya kebun kopi di Flores sana. Tapi, saya cukup surprise ternyata Epic juga menyediakan kopi Flores sebagai salah satu menu andalannya. Sayang sekali, karena saya tidak doyan minum kopi hitam, saya hanya memesan minuman kopi yang sudah divariasi seperti Cappucino dan Frappucino.
*nice isn't? *foto: meike
*berasa kayak di Filosofi Kopi, foto:meike
cara cerdik dan manis untuk menyimpan majalah *foto: meike
suasana di dalam Cafe *foto: meike
kalau bosan di dalam ruangan, kita bisa memilih tempat di luar ruangan yang cozy dengan taman-taman di sekelilingnya *foto:meike
Sayangnya, sore itu hujan turun deras sekali sehingga saya tidak bisa memotret arsitekturnya dari depan. Suara Peggy Lee yang menyanyikan I'm Confessin' semakin membuat suasana menjadi syahdu. Dinginnya udara (bukan disebabkan AC) membuat perasaan gloomy (entah karena persoalan akademik atau hati) semakin membuat biru perasaan. Sambil mendownload beberapa artikel, saya tidak bisa menafikan bahwa suasana "gudang" kental terasa. Ini menjadi keunikan tersendiri. Bukan tanpa alasan, arsitekturnya bergaya warehouse seperti ini. Epic Coffee harus berbagi ruangan dengan saudaranya Epilog Furniture yang menjual berbagai furniture. Trust me, berada di sana membuatmu ingin memiliki rumah dan memborong perabotan-perabotan ini.
*welcome to the Epilog Furniture, foto: meike
all this furnish makes you crazy, isn't? *foto: meike
meja berwarna biru tosca yang saya taksir ini harganya sekitar Rp. 1.800.000-an loh *foto:meike
classical dining table *foto:meike
*mejanya ini pengen banget kubawa pulang, foto:meike
satu set begini cocok untuk rumah idaman saya deh hihiii..*foto:meike
Memang beberapa perabot kental dengan nuansa western dan minimalis. Mungkin kalau kamu mau punya rumah seperti para Hobbit atau mau buka cafè dengan suasana western-boneka-homey seperti ini, kamu pasti gatal untuk membeli (atau meniru) furnish-furnish yang ada di sini. Saya memotret beberapa, siapa tahu bisa dibuat sendiri dengan harga yang lebih miring. Soalnya, ada beberapa lemari yang harganya sampai mencapai 20 juta rupiah. Dengan menikmati dan keinginan memiliki perabotan seperti itu, hmm...sepertinya memang harus kerja keras.
Cafè ini hanya punya satu kekurangan: ia tidak memiliki operator musik yang cangih. Masa hujan-hujan di sore hari lagunya disko-diskoan, syukurnya bunyinya juga samar-samar karena kalah bersaing dengan suara hujan. Untungnya saya juga selalu punya playlist di laptop. Malam kemudian menyapa dan hujan juga sudah reda. Saya memutuskan pulang. Sebelum meninggalkan tempat ini -masih dengan bau petrichor-, saya memotret bangunan Epic di waktu malam. Not bad. Ketenangan dan atmosfir yang dihadirkan bangunan ini menjadi senjata untuk membunuh rasa jenuh.
Good night, everybody *foto: meike
love, meike
pada hari april mop, sehari menjelang Kamis Putih
pada hari april mop, sehari menjelang Kamis Putih
Gambar 1. Gereja Gothic Sayidan, foto: Meike
Sesuatu yang dianggap misteri, selalu muncul dengan cara yang misterius.
Smartphone memang membuat kita semakin tenggelam dalam pusaran revolusi informasi. Tidak saja karena kita berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda ruang dan waktu (mungkin untuk berkomunikasi dengan arwah kita masih menggunakan cara tradisional: doa dan main jelankung) tapi kita juga dapat mendapatkan informasi apa saja dalam hitungan detik. Termasuk saya, apalagi kalau sedang BAB, saya tak lupa membawa handphone atau buku. Jangan il-feel dulu pada saya. Maksud saya baik sesungguhnya. Kamar mandi kos saya letaknya di luar dan berhadapan langsung dengan taman. Saya hanya ingin memusatkan perhatian pada sesuatu (selain ee' saya) sembari tidak terganggu dengan pikiran yang aneh-aneh (membayangkan kamu diintip lagi boker sama makhluk halus itu tidak menyenangkan, sodara)
Saya sudah lupa apakah saya sekedar iseng atau niat mencari artikel mengenai tempat-tempat angker di Jogja. Dan nyasarlah saya pada sebuah blog. Beberapa tempat disebut-sebut mulai dari Benteng Vreedeburg (ini sebenarnya tempat nongkrong favorit saya, ada kafe bergaya indische di dalam sana), keraton, sampai Ambarukmo Plaza (Amplaz, yang punya singkatan sama dengan Ambon Plaza di Ambon). Nah, entah di urutan ke berapa saya melihat sebuah bangunan gaya gothic yang mengingatkan pada Dom di kota Köln. Bangunan itu disebut Gereja Gothic Sayidan. Letaknya di daerah Gondomanan. Untuk mencapainya harus masuk gang dulu. Kalau mau lihat view bangunannya seperti foto-foto ini masuknya lewat gang Gondomanan sebelah barat. Kalau mau liat view yang kelihatan patung Tuhan Yesus-nya, masuknya lewat gang Gondomanan sebelah timur. Persis di belakang Gereja GKI Gondomanan. Kalau pernah masuk Taman Sari, terutama area Istana Air-nya suasananya hampir mirip-mirip begitu. Bangunan itu berdiri dengan anggun sekaligus dingin. Ia diapit oleh rumah-rumah sederhana yang ada sekelilingnya.
Sebenarnya ada beberapa versi cerita yang menjelaskan bangunan ini. Ada yang bilang itu adalah gereja karena memang arsitekturnya seperti gereja-gereja di Eropa abad pertengahan lengkap dengan salib dan patung Tuhan Yesus yang menunjuk ke arah keraton. Tapi, ada juga yang bilang bahwa itu sebenarnya rumah tinggal dan salah satu bagian rumahnya merupakan pabrik batik yang sudah tak terpakai. Rumah itu milik keluarga Tionghoa yang dibangun tahun 1980-an. Arsitektur pintu masuknya memang sangat kental dengan gaya Cina. Sayang sekali, rumah atau gereja itu sudah lama diabaikan oleh pemiliknya. Bangunan cantik itu tidak terlihat mengerikan. Saya justru melihat kesedihan di sana. Ia bagaikan perawan yang kesepian ataukah seorang janda yang ditinggal suami? Selain banyak bagian yang rusak, juga bangunannya sudah dijalari tumbuhan yang merambat. Saat saya mengambil beberapa foto, ada seorang bapak yang sedang naik motor, memelankan laju motornya dan berkata pada saya, "Angker, Mbak". Lalu ia pergi begitu saja (tidak pakai pesawat tempur seperti Iwan Fals).
Saya pikir kesan angker bisa saja diciptakan. Orang Indonesia senang menikmati dan menjual mitos. Mitos-mitos itu kadang-kadang tidak bisa dibuktikan. Sayang sekali juga, para pengunjung hanya bisa menikmati keindahannya dari luar. Pintu gerbangnya sudah dikunci entah sejak kapan. Kata orang-orang yang nekat manjat ke dalam, bercerita, bahwa di dalamnya ada altar seperti di gereja dan tulisan-tulisan berbahasa Belanda.
Saya pikir kesan angker bisa saja diciptakan. Orang Indonesia senang menikmati dan menjual mitos. Mitos-mitos itu kadang-kadang tidak bisa dibuktikan. Sayang sekali juga, para pengunjung hanya bisa menikmati keindahannya dari luar. Pintu gerbangnya sudah dikunci entah sejak kapan. Kata orang-orang yang nekat manjat ke dalam, bercerita, bahwa di dalamnya ada altar seperti di gereja dan tulisan-tulisan berbahasa Belanda.
Apa hubungannya dengan saya?
Saya ingin sekali kesana. Saya menyenangi arsitektur selain tentu saja nostalgia. Entah mengapa saya selalu merasa terikat dengan indische wonhaus seperti itu. Tapi saya tidak tahu di mana saya akan menemukan gereja gothic Sayidan ini. Apalagi bangunan ini disebut angker oleh penduduk sekitar. Pernah katanya ada anak arsitektur UGM yang ingin meneliti bangunan ini. Di pinggir gang ia berjumpa dengan anak-anak kecil yang mau mengantarnya ke rumah itu. Sang mahasiswa arsitektur itu akhirnya tiba di depan rumah namun begitu ia berbalik, anak-anak kecil sudah tidak ada. Tapi, cerita ini banyak yang meragukan kebenarannya. Rasionalitas mengajak kita berpikir bahwa di dalam gang ada banyak gang-gang kecil lain, jadi wajar saja kalau anak-anak kecil itu sudah lari-lari entah kemana. Lagipula jarak dari gereja gothic Sayidan dengan pintu masuk gang tidak sebegitu jauh.
Karena penasaran itulah saya ingin kesana. Tapi saya tak tahu alamat dan jalan menuju sana (entah mengapa saya melupakan GPS dan Mas Hendri, mungkin saya sebetulnya takut juga kalau sendiri. entahlah). Saya pernah mengajak beberapa teman dan Mbak Truly tapi tak satu pun terealisasi. Pupuslah keinginan saya jalan-jalan ke gereja gothic Sayidan ini.
***
Dua hari yang lalu, untuk menjaga kewarasan, saya memutuskan mengerjakan beberapa halaman tesis saya di cafe. Favorit saya tetap di Indische Cafe di dalam benteng Vreedeburg itu. Saya butuh ketenangan dan kenangan hehe. Lalu, saya menelpon ojek langganan saya yang setia, Mas Hendri. Sebelumnya saya bilang mau mampir dulu ke shopping untuk membeli pesanan buku seorang kawan. Mas Hendri pun mengantar saya. Tanpa saya perhatikan, ia ternyata melalui jalan-jalan tikus yang ternyata tembus dengan jembatan Sayidan (kalau tahu lagunya Shaggy Dog pasti tak asing dengan "Sayidan"). Melewati jembatan Sayidan bukan pertama kalinya bagi saya. Hanya saja saya tak pernah memperhatikan kiri-kanan kalau melewati jalan itu. Dan...disanalah ia..berdiri dengan angkuh di antara rumah-rumah sederhana penuh sesak. Saya memutuskan untuk berkunjung kesana. Mas Hendri apa boleh buat setia mengantar.
Gambar 2. Patung Tuhan Yesus yang menunjuk ke Keraton, foto: Meike
Gambar 3. Masih surprise dengan arsitekturnya, foto: Meike
Gambar 4. Pintu gerbang dengan arsitektur Cina, foto: Meike
Gambar 5. Tulisan "Ullen Sentalu" di plang pintu, foto : Meike
Setelah melihat secara langsung Gereja Gothic Sayidan. Saya jadi kepikiran tentang bangunan itu. Ada memang semacam misteri dalam rumah itu. Bukan persoalan hantu dan sebangsanya. Tapi lebih seperti teka-teki.
1. Jika penduduk sekitar mengatakan itu adalah rumah sebenarnya sangat aneh juga. Karena arsitekturnya jelas-jelas menunjukkan rumah ibadah. Saya pikir orang Kristen yang paling saleh sekalipun tidak pernah berpikir membangun rumahnya dengan pancang salib dimana-mana dan ditambah patung Yesus sebesar itu di atas rumah. Orang Protestan tentu menolak mentah-mentah, wong di gereja sendiri saja tak satu pun patung biar sebiji. Umat Katolik mungkin saja. Tapi orang Katolik jarang menyimpan patung Yesus, mereka lebih banyak menyimpan patung Bunda Maria. Itu pun patung sebesar itu akan dibuatkan goa (seperti penampakan Maria di goa Lourdes kepada gadis cilik Bernadetta). Lalu, kalaupun itu gereja, mengapa patung Yesusnya harus dengan gaya menujuk. Patung Yesus yang paling umum dan paling banyak adalah salib dengan tubuh Yesus di sana, patung hati kudus Yesus (yang menunjuk dadanya), dan Yesus memberkati seperti patung Christo Redentor di Rio de Janeiro. Kenapa Yesus harus menujuk dan arahnya harus ke keraton?
2. Jika dikatakan bekas pabrik batik mungkin saja karena tulisan Ullen Sentalu yang berkorelasi dengan Museum Ullen Sentalu. Ullen Sentalu merupakan akronim dari bahasa Jawa “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Lampu blencong adalah penerang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang. Blencong seperti pelita dalam bahasa kita. Sejujurnya sewaktu saya mengetahui makna Ullen Sentalu itu saya jadi familiar dengan sesuatu. Ya, saya punya tafsir biblical sendiri. Ullen Sentalu hampir sama seperti tertulis dalam kitab Mazmur 119: 105 yaitu "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku". Museum Ullen Sentalu sendiri adalah museum batik dan juga barang-barang milik keraton. Konon, pemilik museum Ullen Sentalu dekat dengan pihak Keraton.
Untuk menemukan jawaban sepertinya harus memulai dengan museum Ullen Sentalu. Petunjuk pertama sepertinya mengarah ke museum Ullen Sentalu. Data-data yang dikumpulkan akan saya dapatkan dari orang-orang Jogja lama, seperti siapa lagi kalau bukan Eyang Pomo. Tapi, Eyang Pomo ternyata sudah lupa dengan tempat ini. Ia malah mengira yang saya maksud adalah gereja Bintaran yang memang letaknya tak jauh dari sana. Saya disarakan menanyakan itu pada Om Nanang, menantunya, yang banyak tahu tentang tempat-tempat di pulau Jawa.
Singkatnya, rasa penasaran saya belum terpenuhi. Saya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin obesis saya pada masa lalu yang membuat keinginan itu begitu kuat dan terkadang sangat impulsif.
Kalau rahasia itu tidak dibukakan untukmu, jangan coba-coba untuk mengintip - Ayu Utami, Simple Miracles)
baca kelanjutan kisahnya disini
1. Jika penduduk sekitar mengatakan itu adalah rumah sebenarnya sangat aneh juga. Karena arsitekturnya jelas-jelas menunjukkan rumah ibadah. Saya pikir orang Kristen yang paling saleh sekalipun tidak pernah berpikir membangun rumahnya dengan pancang salib dimana-mana dan ditambah patung Yesus sebesar itu di atas rumah. Orang Protestan tentu menolak mentah-mentah, wong di gereja sendiri saja tak satu pun patung biar sebiji. Umat Katolik mungkin saja. Tapi orang Katolik jarang menyimpan patung Yesus, mereka lebih banyak menyimpan patung Bunda Maria. Itu pun patung sebesar itu akan dibuatkan goa (seperti penampakan Maria di goa Lourdes kepada gadis cilik Bernadetta). Lalu, kalaupun itu gereja, mengapa patung Yesusnya harus dengan gaya menujuk. Patung Yesus yang paling umum dan paling banyak adalah salib dengan tubuh Yesus di sana, patung hati kudus Yesus (yang menunjuk dadanya), dan Yesus memberkati seperti patung Christo Redentor di Rio de Janeiro. Kenapa Yesus harus menujuk dan arahnya harus ke keraton?
2. Jika dikatakan bekas pabrik batik mungkin saja karena tulisan Ullen Sentalu yang berkorelasi dengan Museum Ullen Sentalu. Ullen Sentalu merupakan akronim dari bahasa Jawa “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Lampu blencong adalah penerang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang. Blencong seperti pelita dalam bahasa kita. Sejujurnya sewaktu saya mengetahui makna Ullen Sentalu itu saya jadi familiar dengan sesuatu. Ya, saya punya tafsir biblical sendiri. Ullen Sentalu hampir sama seperti tertulis dalam kitab Mazmur 119: 105 yaitu "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku". Museum Ullen Sentalu sendiri adalah museum batik dan juga barang-barang milik keraton. Konon, pemilik museum Ullen Sentalu dekat dengan pihak Keraton.
Untuk menemukan jawaban sepertinya harus memulai dengan museum Ullen Sentalu. Petunjuk pertama sepertinya mengarah ke museum Ullen Sentalu. Data-data yang dikumpulkan akan saya dapatkan dari orang-orang Jogja lama, seperti siapa lagi kalau bukan Eyang Pomo. Tapi, Eyang Pomo ternyata sudah lupa dengan tempat ini. Ia malah mengira yang saya maksud adalah gereja Bintaran yang memang letaknya tak jauh dari sana. Saya disarakan menanyakan itu pada Om Nanang, menantunya, yang banyak tahu tentang tempat-tempat di pulau Jawa.
Singkatnya, rasa penasaran saya belum terpenuhi. Saya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin obesis saya pada masa lalu yang membuat keinginan itu begitu kuat dan terkadang sangat impulsif.
Kalau rahasia itu tidak dibukakan untukmu, jangan coba-coba untuk mengintip - Ayu Utami, Simple Miracles)
baca kelanjutan kisahnya disini
![]() |
hhf |
Salah satu hal yang saya sukai dari hidup di Jogja adalah karena kota ini membawamu ke suatu kenangan akan masa lalu. Keadaan ini sangat cocok dengan jiwa saya yang selalu merasa lahir di masa yang salah. Kalau kau mau, kau bisa mengalami kejadian seperti Gil di Midnight in Paris. Tepat pukul 12 Malam, sebuah dokar akan mengangkutmu dan mengajakmu berjalan keliling Malioboro di tahun 1920-an. Tentu saja ini khayalan saya saja. Tapi siapa tahu. Tekadang membayangkan benturan-benturan dimensi sudah cukup membuat bulu kuduk merinding.
Saya berada di dalam sebuah cafe dengan suasana kolonial yang kental. Ada grand piano di salah satu sudutnya, tapi tak ada yang memainkan. Zaman sekarang benda-benda tersebut lebih banyak jadi pajangan daripada difungsikan. Lebih aneh lagi ketika saya ke salah satu rumah sakit mewah di Makassar. Di sana terdapat grand piano yang terletak di tengah-tengah hall-nya. Dari arah piano itu mengalun suara piano yang merdu, tapi kok tak ada orang yang memainkan ya? Rupanya suara itu berasal dari speaker yang ditaruh di bawah kaki grand piano. Tidakkah ini ironis? Saya taruhan kalau piano itu bisa ngomong ia pasti akan mengeluarkan sumpah serapah.
Untungnya cafe ini tidak melakukan hal yang sama pada piano malang itu. Cafe ini hanya memutar lagu-lagu lama tahun 50-60-an yang terdengar dari speaker. Saat saya menuliskan ini mengalun lagu Crazy dari Patsy Cline, tapi saya yakin bukan Patsy Cline yang nyanyi karena aransemennya musik keroncong, setidaknya di telinga saya seperti itu. Terlepas dari apapun itu, lagu yang bagus memang akan tetap bagus, mau bagaimana pun aransemennya. Orang yang memiliki karakter yang baik, tak akan kalah oleh zaman.
Kebetulan cafe ini berada dalam kompleks benteng Vredeburg. Konon kata Mbak Truly, Vredeburg berarti perdamaian. Jadi benteng ini adalah simbol perdamaian antara Keraton dan Belanda. Benteng ini dibangun Belanda supaya jika terjadi "apa-apa" mudah menyerang Keraton. Tapi untungnya hal itu tak pernah kesampaian. Letaknya memang sangat strategis, hanya beberapa meter dari kilo 0 kota Jogja dan berhadapan langsung dengan bangunan besar bekas istana Presiden RI ketika republik ini mendaulat Jogja sebagai ibukota negara. Kini, benteng ini menjadi museum dan salah satu bagian bangunannya dijadikan cafe. Cafe yang sepertinya dikhususkan bagi orang-orang yang senang pada masa lalu, seperti saya ini. Setiap saya kesini, cafe ini selalu terasa lengang, selalu tampak serius. Tak ada abg yang grasak-grusuk pecicilan. Bahkan kalau berbicara pun kita seperti berbisik. Kebanyakan yang datang orang-orang dewasa dan turis.
Saya senang menghabiskan waktu disini. Sekedar menulis atau merenung dengan ditemani lagu-lagu lama. Tempat ini memberikan ketenangan sekaligus suasana angker. Lagi-lagi menurut Mbak Truly, ada sekitar 500 tentara Belanda yang pernah menjaga benteng ini. Kau tahu kan, kadang-kadang jiwa manusia tidak benar-benar meninggalkan bumi. Baiklah saya harus kembali melanjutkan menulis proposal tesis saya. Kegelisahan ini harus segera dituntaskan. Cokelat panas yang saya pesan sudah dingin. Dan sayup-sayup mengalun lagu Hawaiian Wedding Song.
Pssttt.....seorang pengunjung, pria berusia sekitar akhir 30-an memainkan instrumen dari grand piano itu. Akhirnya.