Life Story

Jamur Matsutake

Jumat, Oktober 19, 2018

Apa yang menarik dari jamur? Berbeda dengan bunga, jamur tumbuh tanpa diduga. Ia menggambarkan sebuah keadaan yang tak bisa diprediksi: entah kehancuran atau kebaikan. Di Jepang, jamur Matsutake memiliki bau yang khas, bau melankolis perlambang berakhirnya musim panas dan datangnya musim gugur. Hal itu seperti suatu keadaan yang dulu pernah direnungkan Nietzsche. Masa penantian mengenai suatu ketidakterbatasan akan lahirnya modernitas. Nietzsche menyarankan kita untuk menjadi pengurai enigma di atas bukit. Berdiri berjarak dari realitas dan kebenaran. Tapi, apakah kita bisa bertahan sekarang? 

Keadaan yang tidak terduga juga tak hanya dialami dalam kehidupan alam. Pertemanan pun seringkali tak terduga. Hari ini kita bisa berkawan, tetapi besok kita adalah lawan. Yang saya sesali adalah kita bisa saja dengan mudah menghapus seribu kebaikan dengan satu kesalahan. Kita bisa dengan mudah membuang orang yang mengalami penderitaan yang sama dengan kita ketika kekuasaan dan uang berhasil membeli kita. Sistem kapitalisme tidak hanya memperlakukan alam sebagai obyek yang digarap terus-menerus (jika kita tidak berubah kita akan menunggu kehancurannya), tetapi juga mendehumanisasi orang-orang di sekitar kita. Relasi sosial menjadi transaksional, untung dan rugi. Kita tidak berpihak lagi pada kebenaran. Kita tidak lagi melakukan verifikasi realitas. Apa yang menjadi suara dominan, adalah yang benar. Kita -manusia- adalah makhluk yang paling buas di dunia ini. 

Mami pernah bilang, “Hidup akan lebih mudah jika mengikuti arus. Namun, kita adalah orang-orang yang memilih melawan arus sehingga tidak mengherankan jika kita menemui banyak kesulitan.” 

Saya jadi teringat Juni yang saat ini sedang menjalani masa vikariatnya. Ia tiba di Poso tepat sehari sebelum gempa bumi dan tsunami melanda Palu dan Donggala. Bisa dibayangkan betapa berat sekaligus dahsyatnya karya yang ia perbuat pertama kali disana. 

“Ini tidak mudah dan juga melelahkan, Mei. Tapi selalu ada hal-hal kecil yang menguatkan”. Ia menyambung di chat terakhir kami berbincang-bincang, "Kuatkan ko hatimu untuk hal ini dan hal-hal yang ada di depan". 

Ketika Juni menyatakan hal itu, saya merasa jantung saya berdetak lebih cepat dua kali. Saya merinding. Ia tidak sedang menghibur. Ia sedang memperingatkan.