Review Film

Reply 1988

Sabtu, Juni 20, 2020



Bagi yang ingin bernostalgia kembali di tahun 1980-an, yang menyukai percakapan mendalam tentang keluarga, persahabatan, dan cinta, yang suka musik-musik tahun 80-an, yang suka fashion tahun 80-an, yang ingin nonton drakor yang "beda" gak kayak modelan telenovela seperti biasanya, dan yang ingin dapat insight dengan quote-quote yang gak cheesy dan menggurui, maka serial Reply 1988 sangat direkomendasikan. 

Peringatan: beberapa cerita sangat riil dengan kehidupan nyata, mengembalikan memori di zaman kita masih kecil, memicu jatuhnya airmata dan memancing tawa, serta memberi candu untuk nonton terus meskipun ada 20 episode dan masing-masing episode berdurasi 1 jam-an. 

Love Story

Queer Romance

Jumat, Juni 19, 2020

Halo sahabat,

Enam bulan terakhir ini saya belajar menghadapi ketidakjelasan, ketidakstabilan, ketidakterbatasan, ketidakmungkinan, ketidaknyamanan, dan ketidaktahuan yang sungguh melelahkan. Saya seperti berhadapan dengan udara dan air bersamaan. Air mengikuti bentuk, tetapi tidak bisa digenggam. Udara menempati ruang, tetapi tidak bentuk ruang. Bayangin dong, saya yang lahir dibawah naungan elemen tanah yang stabil, solid, teguh, dan jelas ini harus menghadapi sesuatu yang berkebalikannya. 

Tapi saya selalu punya pilihan. Ketimbang lari dari kenyataan, saya memilih belajar dan berdamai dengan sisi-sisi kehidupan yang membuat kita tidak nyaman. Saya belajar berdamai dengan keadaan yang ngambang kayak tai di kali. Saya belajar hidup di dalam keadaan "antara". Tidak ada hitam putih, ya dan tidak. Saya sedang berada dalam situasi yang queer, situasi yang sedang berproses untuk "menjadi". Sesuatu yang cair dan tak sederhana. Saya tidak bisa langsung memilih menjadi optimis atau pesimis. Saya kini berada di antara keduanya. Nggak enak banget kan perasaannya? hehee. Selamat datang di dunia baru saya. Dunia yang saya sebut queer romance dalam ruang heteronormatif. Queer romance adalah hubungan romantis dengan partner anda dalam situasi yang tidak fixed, tidak stabil, cair, dan ke-ngambang-an. Tenang, relasi ini juga berlaku di hubungan pertemanan, pekerjaan, bahkan keluarga. 

Orang awam akan melihat ini sebagai usaha yang sia-sia dan tidak pasti. Buang-buang waktu saja, mending cari yang pasti-pasti. Namun, sebagai seorang ilmuwan sosial dan passionate lover, bagi saya ini seperti sebuah dunia yang baru. Seperti Alice yang memasuki dunia ajaib penuh hal-hal gaib yang mencengangkan. Perspektif saya jadi diperluas untuk mengeksplorasi hidup yang penuh warna-warni. Saya bersyukur bahwa saya diperkenankan menghadapi hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Manusia itu memang unik, maka cara berkomunikasi dan bertindaknya bisa beda-beda. Ya, tentu ada yang termasuk reaksi "umum", "normal", "kebanyakan", atau "biasanya". Tetapi, kita tidak bisa menafikan bahwa ada hal-hal primer yang khas yang tidak bisa digeneralkan. Dengan mempertimbangkan betapa unik dan kompleksnya manusia, maka tentu ada banyak model dan bentuk jenis-jenis relasi antar manusia.

Berikut, ada dua lagu dari Sheila Majid yang diiringi permainan akustik Tohpati. Kedua lagu ini ceritanya kurang lebih sama yaitu tentang menunggu kembalinya sang kekasih yang tiba-tiba menghilang. 

Lagu yang pertama berjudul "Haruskah Ku Pergi" ini musiknya lebih sendu dan terkesan pesimis. 


...
katakan padaku
apakah salahku?
kau terdiam tak berkata
menjauh dan menghilang

haruskah ku pergi
sendiri menyepi
meninggalkan cinta kita untuk selamanya
mengapa terjadi?
kau pergi dariku
Tuhan, tolong bimbing aku
akankah dia bisa kembali?


Lagu yang kedua berjudul "Kunanti" musik dan liriknya lebih optimis. Seperti ada harapan untuk bertemu kembali.


...
walau kau tak disini
tak lelah ku menunggu senyummu
membelaiku, memelukku
rajut kisah kasih kita berdua 
indah selamanya

dengar hai kasih
aku menunggumu
apakah jua terasa getaran itu
walau kau pergi tinggalkan diriku
Oh Tuhan, kumohon bawa dia kepadaku
disini kehadiranmu kunanti



Saya suka mendengarkan kedua lagu ini bergantian. Tapi, kalau kamu tanya perasaan saya condong kemana? Hmmm... hehehe...

Life Story

Kita Memiliki Kekuatan, Juni

Jumat, Juni 12, 2020

Meine Liebe Juni, 

Kata-kata memiliki energi. Kata-kata memiliki nyawa. Setiap kata yang kita ucapkan bisa menghidupkan, namun juga bisa mematikan. Kata-kata itu adalah senjata, seperti pedang yang tajam. Pedang itu bersama kita, si “anak panah yang runcing” yang disembunyikan Tuhan di dalam tabungNya. 

Aku takjub melihat bagaimana kata-kata bekerja. Ada percobaan ilmiah yang dilakukan ilmuwan Jepang bernama Masaru Emoto. Ia menguji apakah air dapat bereaksi dengan pikiran-pikiran yang positif dan negatif. Emoto menyiapkan dua gelas air. Setiap hari, air di Gelas A dicurahkan dengan kata-kata positif seperti: cinta, kebahagiaan, harapan, dll. Air di Gelas B setiap hari diberikan dengan kata-kata negatif: seperti benci, buruk, jahat, dll. Hasilnya, ketika dipotret, molekul-molekul air di Gelas A membentuk struktur yang sangat indah sedangkan molekul-molekul air di Gelas B membentuk struktur yang sangat buruk. Kita mungkin bisa meragukan reliabilitas percobaan tersebut, tapi kita juga bisa memikirkannya lebih jauh. Faktanya, 60 % tubuh manusia dewasa berisi air. Setiap kata yang kita ucapkan ternyata memberi efek bagi emosi dan perasaan kita. Jika kita mengawali hari kita dengan kata-kata penuh cinta dan positif, yakinlah kita akan lebih semangat menjalani hari itu meskipun banyak tantangan. Namun, kalau hari kita diawali dengan marah-marah, cibiran, atau hinaan, kerjaan apapun yang kita kerjakan, meskipun tidak ada tantangan, tetap terasa sangat berat. 

Liebe Juni, kamu adalah orang yang memiliki pedang itu. Kamu adalah salah satu anak panah yang disimpan dalam tabungNya. Satu kata dari bibirmu akan sangat berpengaruh dalam menuntun dan menerangi jalan orang-orang yang kamu temui. Pendapatmu akan sangat penting bagi mereka yang mencintaimu. Mereka yang awalnya tidak sanggup lagi berjalan, dapat berlari setelah mendengar kata-katamu. Bagi yang tidak menyukaimu, kata-katamu akan terasa seperti pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka. Mereka akan merasa terkoyak-koyak dengan sayatan kata-katamu. Kamu telah menelanjangi mereka dengan kata-kata. 

“Bangkitlah”, “Bangunlah”, “Majulah”, “Jalanlah,” “Pergilah”, “Marilah”, adalah beberapa kata yang sering aku baca di kitab suci. Kata-kata yang mendorong orang-orang bergerak melakukan sesuatu. Sesuatu itu kadang tidak bisa diterima akal sehat dan bertentangan dengan realitas. Ingat kan, bagaimana Tuhan menyuruh Nuh membuat perahu dan dia ditertawakan orang-orang. Tetapi, Nuh tetap meneruskan pekerjaannya sampai selesai. Ya, sesuatu itu kadang membuat kita kesepian. Sesuatu itu kadang membuat kita dibenci dan dijauhi. Hal yang membuat hati sedih adalah kadang-kadang orang-orang yang tidak menerima kita adalah orang-orang yang justru paling kita harapkan menerima kita. Orang-orang yang melarang atau memarahi kita itu justru adalah orang-orang yang paling kita butuhkan pengertian dan dukungannya. 

Setelah Mami pergi dan banyak peristiwa-peristiwa di luar nalar yang terjadi, aku mulai mengasah kemampuan-kemampuan yang celestial, Juni. Aku percaya bahwa iman dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan, sebaliknya mereka saling beriringan. Aku menyiapkan waktu khusus memandangi benda-benda langit. Aku tahu kamu juga melakukan itu, kan. Tahukah kamu? saat bulan purnama tiba, air di permukaan laut naik. Begitu juga dengan air di dalam  tubuh kita. Oleh sebab itu, kata temanku yang belajar yoga, mereka tidak boleh melakukan yoga saat bulan purnama. Efeknya nanti bisa buruk pada kesehatan. Yoga dipraktekkan bukan untuk membuat badan langsing. Yoga dipraktekkan untuk membangkitkan energi yang tertidur. Siklus haid kita beriringan dengan siklus bulan purnama, 14 hari kurang lebih. Konon, para perempuan bijak dari abad lampau melakukan pemujaan pada Tuhan dengan cara mensikronkan tubuh mereka dengan alam. Dengan demikian, mereka bisa berdialog dengan alam semesta. Pengetahuan itu didapatkan melalui melihat dengan mata batin, memahami apa yang didengarkan, mendengar apa yang dibaca, dan membaca apa yang tidak terlihat. Hampir semuanya bersandar pada intuisi, atau kalau kata Mami: feeling. Ilmu pengetahuan modern dengan metodologinya kugunakan untuk berani menyangsikan “sesuatu” yang kutemukan itu. Seperti semacam safety belt supaya aku tidak jatuh pada kepercayaan buta. 

Sekalipun beriringan, iman dan ilmu pengetahuan berada dalam ranah yang berbeda. Ilmu pengetahuan berada di ranah akal atau rasio. Semuanya bisa diukur dan dibuktikan secara indrawi. Tetapi, iman berada dalam ranah rasa. Sesuatu yang sulit dibuktikan secara indrawi. Ilmu pengetahuan punya batasan. Iman tidak terbatas. Allah tidak bisa dijangkau dengan ilmu pengetahuan, akal kita tidak sampai. Namun, ilmu pengetahuan membantu kita mengenal Allah. Allah dijangkau dengan iman. Dengan iman, kita bisa merasakan “cara kerja” Allah.

Kita diberikan tugas itu. Peran untuk membangun dan meruntuhkan, menanam dan menuai. Menguatkan yang lemah, melembutkan yang keras. Menghibur yang sedih, membalut yang luka. Kita akan melakukan itu semua dengan kekuatan yang terletak pada kata-kata. Energi yang bisa menghidupkan dan mematikan. Oya, satu hal lagi. Kadang-kadang kita juga harus fleksibel untuk sesuatu yang tidak pernah kita duga terjadi. Kita harus selalu siap siaga seperti prajurit di medan perang. Aku teringat kata-kata Lieutenant Mattias di film Frozen 2, “ Be prepared. Just when you think you found your way, life will throw you onto a new path….”. 

Selamat ulang tahun, Juni. Selamat merayakan hari kelahiranmu. Aku bersyukur pada Allah karena menjadikanmu teman seperjalananku. Selamat menantikan kejutan dari si dia (atau sudahkah? Hehehe. Nanti cerita ya). Selamat melayani domba-dombamu. Selamat menjalani masa-masa sebelum pengurapanmu. Selamat menantikannya dengan tekun. 

Aku mencintaimu. 

deine, 
Meike

Aku dan Tuhan

Tuhan Menolong Orang Yang Ingin Berhenti Menyakiti Dirinya Sendiri

Senin, Juni 01, 2020

Lukisan Daud dan Mefiboset



Semua orang punya blackhole. (Makrus)

Tetapi, pilihan mereka untuk tetap di dalam blackhole atau keluar dari blackhole yang membuat perbedaan. (Meike)



Saya merupakan salah satu orang-orang yang disebut Harold S Kushner, seorang Rabbi Yahudi dan teolog, sebagai “orang-orang yang masih ingin tetap percaya pada Tuhan meskipun telah disakiti oleh kehidupan”. Ia menulis sebuah buku spiritualitas berjudul Why Bad Things Happen to Good People yang ditujukan untuk orang-orang seperti kami ini. Buku itu mempertanyakan mengapa hal-hal buruk menimpa orang-orang yang “baik”. 

Ya, tidak bisa dipungkiri kita hidup dalam dunia yang kejam dan tidak adil. Namun, ada konflik disini. Kami adalah golongan orang-orang yang dibesarkan dengan mengimani ajaran agama untuk berbuat baik. Jika kita baik pada orang, orang akan baik pada kita. Jika kita melakukan sesuatu dengan tulus, hal itu juga akan sampai ke hati orang itu. Hidup sesederhana apa yang kamu tabur, itu yang akan kamu tuai. Entah cepat atau lambat. 

Hal ini ternyata membentuk kami seperti anak baik dan Tuhan sebagai orang tua yang memberi hadiah atau hukuman. Bila kamu jadi anak baik, maka Tuhan akan memberikan ganjaran yang baik pula. Bila kamu melanggar dan melawan Tuhan, kamu akan menerima hukuman. Maka, bila terjadi sesuatu yang menyakiti kita padahal kita merasa tidak berbuat salah atau jahat, Tuhan seharusnya bisa dong mencegah hal itu. Namun, kenyataannya penderitaan tetap terjadi. Dan kita pun seperti Ayub (dalam tradisi Yahudi-Kristen) menggugat Tuhan dengan pertanyaan abadi: Mengapa? 

*** 

Pada dasarnya kita percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta. Ialah yang menciptakan alam semesta dengan hukum-hukumnya, segala makhluk ciptaan, termasuk manusia, dan bahkan bagaimana dunia ini bekerja. Saya tidak akan banyak menjelaskan tentang persoalan ini yang bisa dikaji dari berbagai sudut pandang teologi, filsafat, kosmologi, ilmu-ilmu alam, dan ilmu sosial-humaniora. Saya mau bercerita tentang penderitaan dan rasa sakit yang ditimbulkannya dan peran Tuhan ketika hal ini terjadi. 

*** 

Saya lahir dan dibesarkan dalam tradisi Kristen. Ayah saya Katolik dan ibu saya Protestan. Dua jenis aliran yang memiliki sejarah pertikaian yang panjang. Konflik internal pertama saya dengan Tuhan adalah karena melihat orang tua saya bertengkar hebat tentang di gereja mana saya akan dibaptis. Saya termasuk dibaptis di usia yang cukup besar, kelas 2 SD. Usia yang katakanlah telat untuk ukuran anak yang dibesarkan Kristen karena biasanya mereka dibaptis di usia balita. Lalu, pertanyaan itu muncul dari Ibu saya,“Meike, mau dibaptis di gereja mana?”. Saya diharuskan memilih (suatu kebebasan yang saya syukuri di kemudian hari bahwa orang tua saya demokratis). Tapi persoalannya, saya tidak ingin memilih. Tidak bisakah saya menjadi keduanya? Ibu saya menggeleng. Negara tidak mengizinkan itu. Maka, akhirnya saya memilih dibaptis di gereja Protestan, ikut tradisi Ibu saya. Alasannya, karena Ibulah yang lebih getol mengajari saya tentang Kekristenan. Dialah Imam yang sesungguhnya di dalam rumah. Ayah saya waktu itu tidak pernah dan tidak tahu cara memimpin hal-hal yang bersifat keagamaan di rumah. Sebagai kompensasi, saya akhirnya disekolahkan dari SD-SMA di sekolah Katolik. Keputusan yang membuat saya mendapatkan pengetahuan mengenai dua tradisi ini dengan imbang. Hal ini yang kusyukuri sekaligus membuatku banyak berkonflik dengan Tuhan.

 *** 

Saya terlahir sebagai anak tunggal. Pada awalnya, saya tidak tahu bagaimana caranya berbagi. Anak tunggal selalu merasa bahwa the world revolves around me. Ibu saya berusaha keras mengajari saya untuk berbagi dan punya empati pada orang lain. Ia mendidik saya untuk mengurangi keegoisan saya. Waktu kecil saya ingin sekali punya saudara: kakak atau adik. Mereka lahir dalam kumpulan saudara-saudara dari extended family. Saya juga punya banyak teman-teman sehingga saya tidak menjadi anak yang penyendiri dan kesepian. Tapi, diam-diam saya membangun kepercayaan bahwa saya memang sendirian. Diam-diam saya membentuk satu ruang kosong yang terletak di lubuk hati saya yang terdalam. Ruang kosong untuk diisi Tuhan sebagai sahabat paling setia saya. Tuhan adalah segalanya bagi saya. Sahabat tempat curhat. Pribadi tempat saya meminta apapun. Penjaga dan pelindung nomor satu. Bahkan sebagai Kekasih yang didamba. Dengan latar belakang ini, tampaknya jika terjadi turbulensi yang menyebabkan penderitaan dalam hidup saya, maka Tuhan adalah sosok pertama yang akan saya persalahkan. Sosok kedua? tentu diri saya sendiri. 

Rabbi Kushner mengatakan bahwa orang-orang yang menderita memang cenderung menyalahkan dirinya. Penyebabnya, pertama, karena orang-orang ini selalu berpikir sebab-akibat. Jika A memperlakukan saya dengan kejam, itu pasti akibat dari apa yang saya perbuat. Lalu, saya akan menyalahkan diri atas apa yang saya perbuat sebagai akibat dari perbuatan A kepada saya. Kedua, orang-orang seperti ini tidak bisa mengontrol pikirannya sendiri. Harap diingat bahwa nama tengah saya “overthinking” dan saya punya gangguan kepribadian yang disebut "obsessive compulsive disorder" yang meskipun tidak parah tetapi melahirkan sifat perfeksionis. Kasarnya, aku ingin sempurna (sesuai kehendakku) di dalam dunia yang tidak sempurna. Mati kan gue, hehehe. Saya akan terus-menerus memikirkan dan mencari penjelasan masuk akal tentang semua hal. Disinilah godaan untuk menyalahkan orang lain muncul. Tapi anehnya, saya cukup jarang menyalahkah orang yang membuat saya terluka. Saya jarang sekali memikirkan bahwa persoalannya bukan pada diri saya atau perbuatan saya, tetapi pada orang tersebut yang tidak mampu mempersepsi dan merespon interaksi dengan baik dan tepat. Subjek orang lain yang saya salahkan disini tak lain dan tak bukan adalah Tuhan. Rabbi Kushner bilang orang-orang seperti saya ini lupa atau mungkin tidak tahu bahwa ada fenomena-fenomena yang tidak ada hubungan sebab-akibat. Sometimes there is no reason. 

*** 

Lalu bagaimana ketika penderitaan itu terjadi? Bagaimana dengan rasa sakit yang ditanggung? Orang yang menyalahkan dirinya cenderung untuk menyakiti dirinya. Kadang-kadang saya bingung mengapa dengan segala peristiwa sedih yang saya alami saya belum juga melakukan upaya bunuh diri. Lalu, saya teringat bahwa saya selalu punya “si setan” yaitu sisi pikiran negatif saya yang terus-menerus menyakiti saya dengan pikiran-pikiran jahat. Jahat karena ia mendukakan hati. Ia merampok semua sukacita saya. “Si Setan” inilah yang menyalahkan saya terus-menerus dan membunuh jiwa saya secara psikologis. Saya memang tidak melakukan bunuh diri secara fisik, tetapi secara psikis, saya sudah mati berkali-kali. Psikolog yang membantu saya dulu pernah bilang bahwa tampaknya berbagai peristiwa yang saya alami membuat saya menskip beberapa fase berkabung. Jadi, harusnya saya ada di fase “marah”, tetapi oleh keadaan, saya dipaksa ke fase “menerima”. Tampaknya, luka-luka yang terendap itu bisa muncul begitu saja ke permukaan begitu suatu peristiwa memicunya. Disinilah, pembantaian terhadap diri sendiri dimulai dan terjadi berulang-ulang. Inilah blackhole saya. 

*** 

Orang yang menyakiti diri sendiri cenderung akan mengisolasi dirinya. Ia tidak mau ditolong oleh orang lain. Salah satu residu yang tercipta adalah timbulnya rasa iri pada orang lain yang ia anggap hidupnya lebih beruntung dari hidupnya sendiri. Padahal, ia tidak tahu bahwa orang tersebut juga memiliki blackhole-nya sendiri. Di saat seperti ini, manakala dunia terasa kejam dan tidak adil. Tuhan hadir dan mau menolong orang-orang seperti kami ini. 

Tuhan menjelma seperti dalam kisah Daud dan Mefiboset. Melalui Daud, Tuhan menunjukkan cintanya dengan tidak melupakan Mefiboset yang hidupnya penuh dengan penderitaan: priviledge-nya diambil, kakek dan orang tuanya meninggal, kedua kakinya pincang, miskin sampai harus tinggal di rumah orang lain, dan dilupakan. Tuhan mengangkat Mefiboset yang seperti anjing yang mati untuk hidup sederajat dengan Raja Daud. 

Bagaimana caranya? 

Hal pertama yang dilakukan adalah doa. Doa bukan untuk meminta Tuhan menghentikan atau mengubah penderitaan ini. Doa disini adalah sebuah pengakuan bahwa kita lemah dan tak berdaya dengan keadaan yang kita alami. Doa meminta Tuhan memberi kekuatan untuk membuat kita berani menjalani hidup setelah ini. Doa untuk mengampuni diri sendiri, orang yang menyakiti kita atau keadaan yang membuat kita tidak berdaya, serta terutama Tuhan yang menciptakan dunia yang tidak sempurna ini. Dunia yang di dalamnya ada kebaikan dan kejahatan. Doa untuk menerima dan mengampuni. Orang yang beriman kadang menantikan jawaban Tuhan untuk penderitannya. 

Menurut Rabbi Kushner, “jawaban” bisa berarti dua hal: penjelasan dan respon. Penjelasan bisa diperoleh dengan kepandaian kita. Kita bisa menemukan penjelasan mengenai mengapa semua ini bisa terjadi, tetapi itu ternyata tidak meringankan rasa sakit dan rasa ketidakadilan yang kita rasakan. Maka, kita perlu melihat cara yang kedua yaitu respon kita terhadap penderitaan. Respon ini berarti kita mengampuni dunia yang tidak sempurna, kita mengampuni Tuhan atas segala yang terjadi, kita menggapai orang-orang lain: keluarga, teman, dan orang-orang yang menawarkan bantuan untuk menemani kita menghadapi penderitaan ini, dan terakhir respon kita untuk melanjutkan hidup meskipun semuanya terjadi. 

*** 

Ada penjelasan menarik bahwa Tuhan tidak bisa mencegah penderitaan terjadi karena ia meninggalkan “ruang” untuk manusia menjadi manusia. Dalam kitab Kejadian 1:26, Tuhan bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…”. Menurut Rabbi Kushner, “Kita” disini adalah Tuhan dan binatang. Manusia punya insting yang sama seperti binatang. Manusia dan hewan bisa makan, tidur, mati, berhubungan seks, dan menemukan pasangan. Manusia dan hewan bisa bereaksi terhadap sesuatu di dalam maupun di luar dirinya. Tetapi, ada yang membedakan manusia dengan hewan. Misalnya, manusia dan hewan bisa berhubungan seks, namun seks bisa menjadi problem buat manusia. Dalam penciptaan, Tuhan menyediakan ruang bagi manusia yang bahkan Tuhan sendiri mengatur agar Dia tidak ikut campur yaitu ruang untuk memilih (freewill).

Tuhan adalah sang Pencipta. Tetapi, Dia menciptakan pula aturan main untuk diriNya dan ciptaanNya. Tuhan tidak bisa mengendalikan hukum-hukum alam, evolusi, dan kebebasan moral manusia. Segala penderitaan di bumi ini terjadi karena residu dari mekanisme hukum-hukum tersebut. Residu yang harus dihadapi semua ciptaan. Penderitaan yang disebabkan oleh seseorang terhadap orang lain dipahami sebagai bagian dari pilihan yang dipilih orang tersebut. Penderitaan bisa karena nasib buruk, konsekuensi atau resiko dari pilihan, atau bahkan hukum alam yang tidak fleksibel. Rabbi Kushner menolak Tuhan sebagai pribadi yang mahakuasa yang tega melihat anaknya menderita untuk suatu alasan yang hanya Dia sendiri yang tahu meskipun itu konon untuk hal yang baik. Rabbi Kushner memilih melihat Tuhan sebagai sosok yang baik dan penuh kasih. Tuhan yang tidak menghukum atau memberi ganjaran. Tuhan sebagai sosok yang sedih dan ikut menangis ketika melihat kita terluka. Konsep Tuhan seperti ini sejalan dengan konsep Tuhan yang terproyeksikan dalam diri Yesus. 

Lalu bagaimana kita bisa melanjutkan hidup?

Semua tergantung pada pilihan hidup kita akhirnya. Disinilah agama, moral, dan etika membantu kita menemukan panduan untuk bisa membedakan mana yang baik dan jahat. Kamu bisa memilih untuk tetap berkubang dengan deritamu dan menjadi sosok pemarah, pendendam, dan menjahati orang lain karena kamu memang punya hak untuk jahat sebab kamu telah menjadi korban dari ketidakadilan dunia. Namun, kamu juga bisa memilih menjadi sosok yang meskipun telah menderita tetapi kamu memilih menerima ketidaksempurnaan hidup ini dan berusaha mencari ke dalam diri apakah masih ada cinta disana? Kamu bisa memilih untuk mengasihi. Ini dapat membantumu meredakan rasa sakit dan lebih berani menjalani hidup.

Cinta adalah anugerah Tuhan. Anugerah yang membutuhkan respon manusia. Cinta inilah yang akan meniup arang yang menyelimuti hatimu sehingga tampaklah cahaya. Cinta yang membuatmu tidak melakukan upaya bunuh diri dan justru sebaliknya menjadi kreatif dalam kegelapan. Penciptaan lahir bukan dari kekosongan tetapi dari kehancuran. Kamu akan menjadi lebih peka dan lebih efektif menolong orang lain karena kamu tahu rasanya menjadi orang yang menderita. Kamu memutuskan menjadi orang yang menginspirasi dengan mengasihi dan menolong orang lain. Kita bisa memilih menjadi "language of God", orang-orang yang membantu Tuhan eksis dan aktif di dunia, sehingga Tuhan tidak sekedar menjadi Pencipta. Hidup tidak mungkin tanpa penderitaan. Tetapi, kamu selalu bisa memilih.

Respon saya? 

Ya Tuhan, susah amat jadi homo sapiens ya. Tapi, ini akan menjadi jalan ninjaku… hehehe.