Traveling

Sangiran dan Masa Lalu yang Samar-Samar

Rabu, Juni 03, 2015

foto: meike


Foto Eugene Dubois muda dengan senyum tipis membuat saya tertarik. Ia tampan. Wajahnya mengingatkanmu pada Joaquin Poenix tanpa kumis. Ia juga sehidup gambaran karakter laki-laki dalam novel-novel Jane Austin. Kecerdasan dan rasa ingin tahu terpancar pada tatapan matanya. Kemudaannya telah menghisapmu. Sungguh. Seseorang yang tak mungkin kau gapai selalu terasa seksi. Ketika kemudian saya mencari gambar lain Dubois di google, saya menemukan fotonya yang jauh berbeda. Foto itu diambil ketika ia sudah mulai menua dengan badan yang tak lagi tegap seperti perwira. Ada kumis khas pria Eropa yang sudah tumbuh di atas bibirnya. Seketika saja foto Dubois muda di museum tampak sia-sia. Betapa menyedihkan sebenarnya bahwa manusia akan menjadi tua. Tak heran Sidharta Gautama menjadi shock karenanya (selain tentu saja kematian dan rasa sakit). Dalam eksistensi manusia, Kala adalah sang Penguasa. Diam-diam saya mencurigai pengelola museum memasang foto muda Dubois sebagai penglaris. 

***

Dubois datang ke Jawa lebih dari seratus tahun lalu untuk mencari the missing link dari teori evolusi. Darwin dan teori Evolusi-nya percaya bahwa manusia merupakan penyempurnaan dari kera. Homo erectus (manusia kera) mulanya berkembang di berbagai daerah di belahan dunia. Namun, karena lingkungan, banyak yang punah. Homo erectus yang menjadi cikal-bakal manusia kini dan satu-satunya yang bertahan adalah yang berasal dari Afrika. Mereka-lah Adam dan Hawa homo sapiens secara scientific. Homo erectus Afrika inilah yang berimigrasi dari menempati kepulauan-kepulauan termasuk Indonesia. Dari segi bahasa, perpindahan tersebut menyebabkan persamaan struktur pada bangsa-bangsa berbahasa Austronesia lainnya. 

Sudah bukan berita baru bila teori evolusi mengundang banyak perdebatan. Fakta lain mengatakan bahwa manusia dan simpanse berbagi 97% gen yang sama. Manusia dan simpanse juga sama-sama dominan menganut patriarkhi. Namun di sisi lain, para neurologist dan linguist tidak sependapat dengan itu. Paling tidak menurut mereka ukuran otak manusia dan kera jelas berbeda. Keadaan ini menyebabkan manusia mampu menciptakan bahasa sementara kera tidak. Selain itu, fungsi rahang manusia dan kera juga berbeda. Rahang manusia digunakan untuk berbicara sementara rahang kera digunakan untuk memecah biji-bijian. Namun, hal yang menarik kemudian terjadi dalam pemetaan penguasa di jagat raya ini. Pada mulanya adalah kawanan dinausaurus (reptil), lalu primata, dan akhirnya manusia. Pertanyaannya, apakah manusia akan berkuasa lagi? Lalu, apabila manusia punah, siapakah yang akan menggantikan manusia?

homo erectus dan aktivitas *foto: meike


Dalam film Lucy, secara ekplisit dijabarkan konsep survival is the fittest dari teori Darwin. Entah sengaja entah kebetulan, Lucy -nama pemeran utama di film itu- adalah nama yang diberikan pada australopithecus afarensis atau dikenal sebagai manusia perempuan pertama. Nama itu juga menjadi nama tengah saya. Dalam teori itu terkandung pemaknaan bahwa apabila lingkungan suatu makhluk hidup tidak mendukung maka ia akan mati, namun apabila lingkungannya mendukung maka ia akan bereproduksi. Dengan kata lain, makhluk hidup yang kuat adalah makluk hidup yang mampu beradaptasi. Proses adaptasi membuat manusia mampu bertahan hidup. Karena ia bertahan hidup maka ia memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Dalam proses reproduksi, manusia tidak hanya sekedar beranak, tetapi juga mewariskan memori dan pengetahuan ke dalam generasi berikutnya. Tidak hanya memori dan pengetahuan saja yang diwariskan, St. Agustinus menambahkan sesuatu yang kemudian sangat menakutkan manusia beragama selama berabad-abad: dosa. Konsep dosa asal lahir dari sebuah proses bertahan hidup. Hal ini berlawanan dengan apa yang dinyanyikan grup band Padi. Ya, manusia rupanya tidak lahir sebagai selembar kertas putih. 

Di pojokan sana berdiri tiruan homo floresiensis atau manusia Flores. Homo floresiensis ditemukan di Liang Bua, Flores. Konon, merekalah nenek moyang manusia kerdil atau hobbit. Apabila ditemukan di Flores, maka bisa jadi, mereka adalah nenek moyang saya juga. Perempuan homo floresiensis itu dibuat oleh Elizabeth Daynès. Manusia dan segala pengetahuannya telah merekonstruksi homo floresiensis sedemikian rupa. Mendekati kemiripannya yang sesungguhnya. Dan disanalah ia berdiri dengan gamang, perempuan homo floresiensis memegang sebatang kayu dan menatap kosong kepada setiap pengunjung. Ada yang melihatnya dengan seksama dan ada yang tak peduli sama sekali. Perasaan sedih itu menyeruak lagi. Betapa dulu ia adalah ibu dari seseorang, kekasih dari seseorang, atau anak dari seseorang. Mungkin ia adalah seorang matriak yang karena kondisi alam ataukah insiden kemudian menjadi punah dan hilang dari sejarah. Tengkoraknya yang ditemukan di Liang Bua tidak banyak bercerita. Jika para geologist percaya sebongkah batu bisa menceritakan sejarah manusia, maka tengkorak itu hanya memberi misteri yang sampai kini masih diterka. Paling tidak, tiruan yang dibuat Elizabeth ini menyatakan banyak hal. Meskipun itu hanyalah masa lalu yang samar-samar.




Mengingat Kak Nunu dengan idenya yang luar biasa untuk berkunjung ke Sangiran dan Kak Ipa yang setia menemani.

Mantra Kalimat

Kutipan Hari Ini (dan Mungkin Sampai Beberapa Bulan Ke Depan)

Rabu, Juni 03, 2015

When there's something you really want, fight for it. Don't ever give up no matter how hopeless it seems. Anda when you've lost hope, ask yourself if in 10 years from now, you're gonna wish you gave it just one more shot. Because the best things in life, they don't come free.

- Grey's Anatomy-