Life Story

Kemelekatan

Kamis, April 30, 2015

Saya senang membayangkan terbangun dan berada di masa depan. Mungkin dua atau tiga tahun ke depan. Saya ingin apa yang saya alami dan rasakan sekarang berlalu. Saya ingin mendapatkan apa yang saya inginkan tanpa perlu menangis dan berputus asa dahulu.  Kalaupun dua atau tiga tahun itu ketinggian, baiklah lima bulan ke depan saja. Biarkanlah saya menutup mata, menghirup udara, menghembuskannya, dan merasa telah tiba lima bulan kemudian. Meski diam-diam saya sedih, bahwa saya tidak kemana-mana dan U2 mengejek dalam pikiran, "...you've got stuck in a moment and now you can't get out of it." 

Menjengkelkan memang mengetahui bahwa manusia itu historis, senantiasa menyejarah. Bahwa keberadaan mereka terjadi karena proses-proses yang tidak instan. Kita dikurung oleh ruang dan waktu. Kita tidak bisa mengubah masa lalu dan tidak bisa mengintip masa depan. Kita hanya berjalan maju dan tidak bisa berjalan mundur. Yang kau miliki adalah apa yang kau miliki saat ini. Karena sesuatu yang kau miliki saat ini belum tentu kau miliki di masa depan. Orang yang berada di sampingmu sekarang, belum tentu ada di hari esok. Ngeri bukan? Bahwa sesungguhnya kita sendirian. Tapi kita tidak mau mengakui bahwa kita sendiri apalagi sendirian. Mungkin karena sendiri itu identik dengan kesepian dan terkadang kita benci merasa sepi. 

Orang bijak berkata bahwa semua akhir adalah indah, jika itu tidak berakhir indah maka itu bukanlah akhir. Tetapi apa definisi "happy ending" itu jika setiap orang memiliki takarannya masing-masing tentang akhir yang bahagia. Dan akhir yang bahagia juga berhubungan dengan kematian yang menyenangkan, bukan yang tragis atau menyedihkan. Saya jadi teringat judul buku yang dikarang Ajahn Brahm berjudul Hidup Senang Mati Tenang dengan gambar cover smiley dengan warna kuning sunshine. Mungkin saya skeptis terhadap judulnya, meskipun saya juga membaca karya Ajahn yang lain. Sepertinya saya memiliki buku itu tapi belum membacanya atau saya memang belum pernah membelinya. 

Kau harus bertemu Ajahn Brahm secara langsung. Dia adalah satu-satunya penulis yang pernah saya jumpai dengan wajah yang selalu tersenyum. Ia sungguh terlihat dua puluh tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Bertemu dengannya seperti membuatmu tidak memikirkan kata "sepi" dalam kamus kehidupan. Dia selibat, dia tidak makan daging, dia juga bekerja, dia tidak memiliki harta duniawi, dia tidak terikat, dan dia bahagia. Dia bukan lulusan dari universitas bergengsi dunia tetapi wajahnya lebih berseri-seri daripada ilmuwan-ilmuwan yang fotonya muncul di wikipedia. Disitulah saya menemukan titik terang. Saya melihat salah satu ajaran Buddhisme mengenai ketidakterikatan. Ya, tidak melekatkan diri pada sesuatu adalah kunci kebahagiaan. 

Teologi Kristen mengenalnya dengan dua dikotomi yaitu keinginan roh dan keinginan daging. Seorang Yesuit bernama Anthony De Mello menulis buku berjudul The Way To Love yang berinti pada melepaskan kemelekatan. Melepaskan diri pada hal-hal yang materil maupun imateril membuat manusia menjadi merdeka. Kita tidak perlu lagi menghadapi penderitaan hanya karena tidak memiliki sesuatu. Kedua agama ini memang sama masochist-nya, bagaimana bisa manusia tidak mengikatkan diri sementara dirinya memang terikat. Aristoteles dan zoon politicon-nya sudah jelas menjustifikasi. Kalau mau hidup tanpa kemelekatan maka kau harus rela hidup di luar masyarakat. Siapa orang waras yang sanggup hidup di luar masyarakat? Bukankah jadinya melepaskan diri dari kemelekatan sama menderitanya dengan melekatkan diri pada sesuatu? 

Saya ingin belajar hidup tanpa melekatkan diri pada sesuatu. Saya ingin belajar hidup dalam kesadaran saya sendiri. Saya ingin belajar tidak melihat rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Saya ingin belajar menerima bahwa masing-masing ada bagiannya dan membedakan apa yang bisa diubah dan apa yang tidak. Pada akhirnya, harapan membuat kita tetap waras sekaligus tetap hidup. Klise sih. Tapi mujarab. Kata seorang Romo, orang yang tidak memiliki harapan sama seperti orang yang mati selagi hidup. Tapi harapan harus hidup selaras dengan kerendahan hati. Rendah hati menguatkan kita menerima apa yang tidak bisa kita ubah dan berani menjalani kehidupan meskipun tidak sesuai seperti yang kita inginkan. Lagi-lagi klise. Tapi inilah kehidupan dan manusia. Lagipula, saya sudah mengantuk dan semakin ngawur.

Selamat Pagi. 

Life Story

Brad and Jen

Selasa, April 14, 2015

Brad Pitt dan Jennifer Aniston ketika menikah *foto:google




Apa yang menyedihkan dari kenangan? Bahwa ada yang berubah dan semuanya tidak seperti dulu lagi. 

Saya surprise ketika menonton salah satu episode Friends yang menampilkan Brad Pitt sebagai bintang tamunya. Ketika episode itu dibuat, Brad dan Jen masih bersama, mereka mungkin sudah menikah (ataukah masih pacaran?). Di episode itu, Brad berperan sebagai Will, teman SMA Rachel (Jen), Ross, dan Monica yang dulu di-bully Rachel-yang waktu itu cewek populer di sekolah- karena tubuhnya yang overweight. Will jadi dendam dan benci pada Rachel sampai ketika mereka dewasa. Dalam cerita itu, ditampilkan Will yang sudah langsing karena diet dan sangat tampan berhasil membuat Rachel kepincut, sayang Will tetap masih kesal pada Rachel. Kalian tahu, sewaktu Monica membuka pintu apartemennya dan Will alias Brad muncul, seketika itu juga suara-suara backsound penonton berteriak girang menjadi dua kali lebih riuh dari biasanya (selain Brad, backsound penonton  yang riuh seperti itu juga muncul ketika menyambut Bruce Wills). 



adegan di serial Friends *foto:google


Jujur saja, saya jadi sedih ketika menonton episode ini. Mereka dulu sangat saling mencintai. Dan kini, mereka sudah dengan pasangan masing-masing. Tapi, saya juga tidak mengharapkan Brad dan Jen- the golden couple- ini kembali bersama lagi. Jen sudah berbahagia dengan tunangannya, Justin. Sementara Brad dan Angie juga berbahagia dengan anak-anak mereka. Lagipula, kalau mereka kembali, semuanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mereka sudah menjadi puzzle-puzzle yang tidak saling merangkai gambar yang sama lagi.

Yah, saya memang tidak mengenal Brad dan Jen secara pribadi. Saya juga tidak tahu pasti alasan mereka bercerai. Saya malah senang-senang saja waktu Brad pacaran dengan Angie. Sewaktu mereka berpisah, saya tidak terlalu peduli dengan perasaan Jen. Waktu itu saya lagi suka-sukanya sama Angelina Jolie dan terpancing gosip tabloid milik Mami yang menulis bahwa Brad suka anak-anak sementara Jen tidak. Itulah sebabnya Brad memilih Angelina. Konon di Amerika, sampai ada team Jen dan team Angie yang sama-sama gilanya membela dua aktris cantik ini. Angelina memang terkesan lebih strong, seksi, cerdas, dan suka anak-anak daripada Jen. Sementara Jen, meskipun sangat mencintai Brad, tetapi sepertinya ia belum siap menjadi ibu. Bukan salahnya kalau ia belum siap dan bukan pula menjadi pembenaran untuk ditinggalkan oleh suaminya. Ada ketidakadilan disini. 

Namun setelah lebih besar dan mengalami pengalaman-pengalaman, saya jadi lebih bersimpati pada Jen. Bayangkan saja, kalau rumah tanggamu dirusak oleh perempuan yang kata orang lebih kece dari kamu. Padahal dahulu Brad dan Jen adalah pasangan yang serasi. Mereka pacaran lalu menikah dalam waktu yang cukup lama untuk ukuran pasangan selebriti. Brad kemudian meninggalkan Jen untuk bersama Angie yang waktu itu memang memiliki reputasi buruk: pernah incest, perebut suami orang, dan liar. Kini, orang mengenal dia sebagai aktris keren dengan bibir seksinya yang ikonik dan tentu saja sebagai duta PBB dengan misi suci. Belum lagi ia memiliki anak-anak angkat dari berbagai negara yang menunjukkan betapa pedulinya ia akan kemanusiaan. Tapi keadaan ini juga yang membuat saya sedikit tidak bersimpati pada PBB dan badan-badannya lagi. Terlalu politis dan memanfaatkan selebritis.

Percayalah, kalau kau menonton episode ini kau pun akan ikut menyayangkan berpisahnya Brad dan Jen. Lalu kau akan mulai sadar bahwa hal yang begitu indah sekalipun bisa hancur sama sekali. Bahwa tak ada yang tak retak, sekalipun itu terbuat dari gading gajah atau pasangan paling serasi di Hollywood. Tak ada yang abadi, termasuk cinta sepasang kekasih. 

Archolic

Archolic: Cinta, Pembunuh Jenuh, dan Hujan Sore-Sore

Kamis, April 02, 2015

foto: Meike


Saya sudah lupa persisnya kapan saya jatuh cinta pada arsitektur dan interior design meskipun saya juga tidak berniat menjadi arsitek dan designer. Pertama, saya tidak bisa menggambar. Kedua, saya tidak bisa matematika sehingga mengharapkan saya masuk jurusan teknik hampir sama mustahilnya melihat ikan hidup di darat. Ketiga, saya merasa lebih cocok menjadi "penikmat" daripada "pembuat". Keempat, memang tidak minat juga. Dengan demikian, jadilah saya archolic (bukan alkoholik ya!) sebutan dari gabungan kata "architecture" dan "holic" (i invented them hihiii..). Yup, sebutan bagi mereka yang menyukai arsitektur dan interior termasuk suasana dan atmosfir yang diciptakan tanpa berkecipung di dunia per-arsitekturan dan per-design interior-an. Well, menyukai lagu-lagunya Nirvana atau Pearl Jam tidak berarti menjadikan kita semua anak grunge, kan?

Sore itu saya berencana mencari bahan untuk menyusun bab 2. Perpustakaan memang tempat yang menyenangkan, tapi thanks to UGM, kita bisa mengakses jurnal di mana saja dengan syarat punya koneksi internet dan tentunya berstatus mahasiswa UGM. Di Jogja, banyak sekali cafè-cafè dengan arsitektur dan interior yang menarik (di Makassar juga sudah mulai berjamuran). Saya senang dengan bangunan indische atau kolonial dan favorit saya adalah Indische Coffee yang berada di Benteng Vreedeburg (kurang kolonial apa lagi coba?). Beberapa orang yang datang ke Jogja dan ingin bertemu saya biasa saya ajak kesana. Tapi kali ini ingin sesuatu yang berbeda. Hasil blogwalking saya di blognya ruthwijaya yang membuat saya menemukan Epic Coffee & Epilog Furniture. Btw, mbak Ruth ini hampir saja saya jadikan informan penelitian tesis saya, sayangnya kami belum berjodoh (pssstt...). 

Jujur saja, ketika melihat arsitektur dan interior-nya Epic Coffe ini saya langsung surprise, masa sih yang beginian sudah ada di Jogja. Tapi, yah...ternyata memang benar adanya. Epic Coffee ini terletak di daerah Palagan, patokannya dari Hyatt, kira-kira 100 meter ke utara. Bangunannya berbentuk warehouse dengan langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela besar. Ketika memasuki bangunan, kita akan bertemu dengan bar di mana para barista akan membuat kopi-kopinya. Makanan yang dijual memang dominan barat tapi ada juga beberapa makanan yang tradisional. Saya sesungguhnya bukan pecinta kopi meski bapak saya punya kebun kopi di Flores sana. Tapi, saya cukup surprise ternyata Epic juga menyediakan kopi Flores sebagai salah satu menu andalannya. Sayang sekali, karena saya tidak doyan minum kopi hitam, saya hanya memesan minuman kopi yang sudah divariasi seperti Cappucino dan Frappucino. 


*nice isn't? *foto: meike


*berasa kayak di Filosofi Kopi, foto:meike


 cara cerdik dan manis untuk menyimpan majalah *foto: meike


suasana di dalam Cafe *foto: meike


kalau bosan di dalam ruangan, kita bisa memilih tempat di luar ruangan yang cozy dengan taman-taman di sekelilingnya *foto:meike


Sayangnya, sore itu hujan turun deras sekali sehingga saya tidak bisa memotret arsitekturnya dari depan. Suara Peggy Lee yang menyanyikan I'm Confessin' semakin membuat suasana menjadi syahdu. Dinginnya udara (bukan disebabkan AC) membuat perasaan gloomy (entah karena persoalan akademik atau hati) semakin membuat biru perasaan. Sambil mendownload beberapa artikel, saya tidak bisa menafikan bahwa suasana "gudang" kental terasa. Ini menjadi keunikan tersendiri. Bukan tanpa alasan, arsitekturnya bergaya warehouse seperti ini. Epic Coffee harus berbagi ruangan dengan saudaranya Epilog Furniture yang menjual berbagai furniture. Trust me, berada di sana membuatmu ingin memiliki rumah dan memborong perabotan-perabotan ini. 


*welcome to the Epilog Furniture, foto: meike



all this furnish makes you crazy, isn't? *foto: meike


meja berwarna biru tosca yang saya taksir ini harganya sekitar Rp. 1.800.000-an loh *foto:meike



classical dining table *foto:meike


*mejanya ini pengen banget kubawa pulang, foto:meike


satu set begini cocok untuk rumah idaman saya deh hihiii..*foto:meike


Memang beberapa perabot kental dengan nuansa western dan minimalis. Mungkin kalau kamu mau punya rumah seperti para Hobbit atau mau buka cafè dengan suasana western-boneka-homey seperti ini, kamu pasti gatal untuk membeli (atau meniru) furnish-furnish yang ada di sini. Saya memotret beberapa, siapa tahu bisa dibuat sendiri dengan harga yang lebih miring. Soalnya, ada beberapa lemari yang harganya sampai mencapai 20 juta rupiah. Dengan menikmati dan keinginan memiliki perabotan seperti itu, hmm...sepertinya memang harus kerja keras.

Cafè ini hanya punya satu kekurangan: ia tidak memiliki operator musik yang cangih. Masa hujan-hujan di sore hari lagunya disko-diskoan, syukurnya bunyinya juga samar-samar karena kalah bersaing dengan suara hujan. Untungnya saya juga selalu punya playlist di laptop. Malam kemudian menyapa dan hujan juga sudah reda. Saya memutuskan pulang. Sebelum meninggalkan tempat ini -masih dengan bau petrichor-,  saya memotret bangunan Epic di waktu malam. Not bad. Ketenangan dan atmosfir yang dihadirkan bangunan ini menjadi senjata untuk membunuh rasa jenuh. 


Good night, everybody *foto: meike




love, meike
pada hari april mop, sehari menjelang Kamis Putih