Life Story

My Grown-Up Christmas List

Rabu, Desember 17, 2014

*pic from tumblr*




Lieber Santa Claus, Sinterklas, atau apapun namamu.

Namaku Meike. Mungkin kau sudah lupa padaku. Sudah 18 tahun berlalu sejak kita pertama kali bertemu. Dulu aku anak kecil berambut ikal berwarna coklat, berkulit putih, bermata sipit, dengan setitik tahi lalat yang terletak di garis senyum. Sekarang, ketika waktu perlahan memakan manusia, rambutku sudah berubah lebih hitam, kulitku tak seputih dulu lagi, mataku masih tetap sipit, dan tahi lalatku sudah besar, kadang-kadang ada sehelai rambut di ujungnya yang akan cepat-cepat kusingkirkan. Nah, mudah-mudahkan kau sudah ingat padaku.

Sesungguhnya aku sudah lupa apa sebenarnya yang aku minta padamu waktu itu. Tapi dalam samar-samar ingatanku, aku membuat banyak daftar, a list. Daftar yang sangat panjang, mungkin saja tentang inginnya aku punya boneka, tas baru, buku gambar, crayon warna-warni (aku tidak suka pakai pensil warna), baju baru, sepatu baru, buku dongeng, dan entah apa lagi. Aku menulis keinginanku di kertas memo milik Daddy. Ada lebih dari 3 lembar sepertiya karena kerta memo itu ukurannya lebih kecil dari kertas HVS. Lalu daftar itu kumasukkan dalam kaos kaki warna putih milikku. Aku tidak punya kaos kaki merah seperti yang muncul di film-film Hollywood. Lalu, kaos kaki itu aku letakkan di kaki pohon terang sambil berharap sebentar malam kau akan datang mengambilnya dan mengabulkan keinginanku. 

Namun, kado natal darimu yang aku terima agak berbeda dari yang kutulis. Seingatku aku menerima sebuah buku dengan Sailoor Moon sebagai covernya, sebuah crayon, dan mungkin sebuah tas. Aku berpikir kau tak mengabulkan semua keinginanku. Mungkin aku tak jadi anak baik selama setahun. Padahal aku telah menukar kesukaanku menghisap jempol demi hadiah-hadiah itu. Kau tahu sendiri betapa sukanya aku menghisap jempol sejak konon dari kandungan. Berpisah dengannya adalah patah hati pertamaku. Tapi, kata Mami aku sudah besar hampir 5 tahun usiaku katanya. Aku tidak boleh isap jari lagi. Saat itu aku berpikir, ketika kita dikatakan "besar" maka kita akan dituntut untuk berkorban.

Kini aku datang lagi padamu. Menulis keinginanku dalam blog yang akan dibaca sejuta umat. Hey, ini zaman digital, sudah semakin canggih. Manusia zaman sekarang bahkan sudah punya pohon terang digital. Mengapa aku tak bisa menulis daftar digital juga?

Keinginanku kali ini bukan tentang yang aku tulis 18 tahun lalu ketika aku masih polos memandang dunia. Saat masih anak-anak kita tahu kesedihan akan sirna dengan membuka kado-kado berisi sesuatu yang diinginkan. Namun, ketika dewasa kita tahu kado-kado yang dibungkus cantik dan ditaruh di bawah pohon Natal tidak mampu menyembuhkan jiwa manusia yang tersakiti. Kita mulai melihat warna dunia: putih, hitam, dan abu-abu. Kadang merah, kadang biru, lebih sering merah muda. Warna-warni itu tergantung dari mana perspektifmu melihat. Maka, aku ingin membuat daftar yang melampui hal-hal yang bersifat materi. Yang tidak bisa dibungkus kertas kado dan dihiasi pita warna-warni. 

Aku ingin setiap peperangan yang terjadi di dunia berhenti. Dari peperangan fisik sampai ekonomi. Jangan lagi ada perpecahan di antara manusia. Terlebih lagi pembunuhan dan penganiayaan yang mengatasnamakan agama, ras, dan etnis.

Aku ingin tidak ada lagi penindasan terhadap negara-negara dunia ketiga yang sumber daya alamnya dieksploitasi gila-gilaan oleh negara-negara maju. Yang warganya menumpang di tanah mereka sendiri, yang pemerintahnya tidak sadar kalau mereka menjual diri pada korporasi.

Aku ingin setiap orang mendapatkan hak-nya. Termasuk hak untuk menikah dan tidak menikah. 

Aku ingin keadilan ditegakkan. Mereka yang memimpikan keadilan datang ke bumi dalam bentuk hukum yang tidak tunduk pada uang dan kekuasaan.

Aku ingin setiap orang mendapatkan teman. Teman yang mau berjalan di samping mereka di jalan yang tinggi dan rendah, dalam hujan badai dan panas terik. Teman yang memiliki hati yang memahami yang seperti kata Rabindranath Tagore, adalah rumah.

Aku ingin waktu menyembuhkan setiap hati yang luka. Setiap orang berhak mendapatkan kesembuhan meskipun kadang mereka menikmati luka yang tertoreh di hatinya. Biarkanlah hati itu kuat untuk menerima dan memaafkan.

Aku ingin cinta tetap abadi. Kasih sayang tak akan punah meskipun kebencian juga hidup dan merajai hati manusia.

Ini keingianku yang tidak lagi aku tulis di kertas dan kumasukkan dalam kaos kaki. Aku tahu permintaanku tidak dengan segera dikabulkan, this is only life long wish. Mungkin dalam kepercayaan buta kita akan menemukan kebenaran. Percayalah, aku meminta bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk orang lain sekalipun mereka tak percaya pada Santa Claus atau pada keajaiban sekalipun. 

Life Story

Gili Trawangan-Gili Meno - Gili Air: Sebuah Marathon

Senin, Desember 08, 2014

Pulaunya masih terlihat kecil. Jauh lebih tepatnya. Rasanya seperti mimpi. Dari dalam bis kupotret pulau Gili Trawangan yang masih sekitar 20 menit sampai dengan speed boat kesana. 

*Gili Trawangan dari jauh*



Laut biru dan pasir putih adalah pemandangan yang menyambut saya ketika untuk pertama kali menginjakkan kaki ke pulau kecil (Gili) Trawangan. Ada 3 Gili yang berdekatan dengan pulau Lombok yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Saya dan teman-teman memilih singgah di pulau pertama, Gili Trawangan. Kami akan stay 2 hari sebelum menuju ke Gili Meno dan Gili Air. Jika kau berasal dari daerah yang banyak pantai, maka pemandangan seperti di Gili Trawangan bukan hal yang baru. Bahkan mungkin karang-karang yang ada di ketiga Gili ini tak seindah yang ada di Bunaken, Lovina, Derawan, atau bahkan Samalona. Tapi ada sesuatu yang menarik dari Gili-gili ini. Begitu hening, begitu tenang. Tentu saja sudah terlihat bagaimana investor masuk dan membangun hotel-hotel mewah sehingga kau akan takjub dengan sulapan mereka yang fantastis. Sepintas kau merasa seperti berpindah negara. Ini masih di Indonesia, kan?



*fasilitas yang disediakan hotel untuk berjemur, foto: Dwi Pela atau Herlina*



Tentu saja ini masih di Indonesia. Pulau kecil ini telah disulap sedemikian cantiknya. Kau hanya akan menemukan sedikit wajah Indonesia (di luar penduduk setempat) berwisata disini. Begitu banyaknya wisatawan asing sehingga kau merasa berada di suatu negara yang bukan Indonesia. Kau menjelma hobbit-hobbit karena mereka begitu tinggi dan besar-besar. Ada rasa rendah diri, bahwa mengapa Tuhan menciptakan orang Indonesia tak segagah orang bule. Begitu pula ketika akhirnya saya dan teman-teman lebih memilih penginapan murah meriah yang dibuka oleh penduduk lokal. Di sisi lain, bule-bule itu menginap di hotel-hotel mewah. Tentu juga ada orang Indonesia yang menginap di sana. Tapi kau sudah bisa menebak dari kelas sosial mana mereka.

Sementara para bule menikmati hotel berbintang yang menyediakan kursi-kursi untuk berjemur, kami  menikmati penginapan murah yang masih jauh masuk ke gang-gang. Penginapan atau nama kerennya homestay itu seperti rumah penduduk pada umumnya yang dengan segala upaya disulap agar layak disebut penginapan. Cukup untuk melepas lelah tapi tak cukup untuk mandi karena airnya seasin air laut dan tak ada air panas. Maklum saja harganya juga Rp.150.000/malam yang bisa ditempati oleh 3 orang. Kamar itu terdiri dari satu tempat tidur ukuran king size, 1 kamar mandi dalam, 1 kipas angin, dan 1 handuk. 

Setelah menyimpan barang, saya dan teman-teman memustuskan jalan-jalan. Betapa inginnya saya berjemur sambil membaca buku di kursi-kursi berjemur itu. Tetapi konon, katanya kursi-kursi itu disediakan untuk tamu yang menginap di hotel/resort di sana. Akan tetapi, jika kau bukan tamu hotel dan ingin berjemur, kau cukup membayar Rp.100.000.

Pantai-pantai disini jarang digunakan untuk mandi-mandi sebagaimana kalau kita ingin mandi-mandi di Tanjung Bayang atau Pantai Parangtritis. Pantai-pantai disini memiliki banyak karang-karang kecil yang jika mengenai telapak kakimu lumayan bikin nyeri, kalau sial bisa berdarah. Lagipula permukaan pantai tidak rata. Bisa-bisa kau jatuh karena landasan yang tadinya dangkal tiba-tiba menjelma jurang atau palung. Miriplah dengan situasi pantai di Maluku. Kebanyakan orang lebih senang snorkling atau diving. Sebagian juga ingin berseluncur. Bisa dihitung juga orang Indonesia yang berseluncur. Kita lebih senang memancing ikan. 

Menjelang sunset saya memutuskan ingin membaca di tepi pantai. Ada satu spot yang dilegitimasi untuk melihat matahari terbenam. Saya membawa karya terbaru Paulo Coelho yang berjudul Adultery dengan niat menyelesaikan beberapa chapter buku itu selama liburan. Tentu saja kemudian buku itu menjelma properti untuk foto-foto ketimbang dibaca. Ada memang saat kita membutuhkan untuk diisi, namun ada saat ketika kita ingin mengeluarkan sesuatu. Namun, jika kau bersinggungan dengan alam, kau hanya ingin menikmatinya secara total. 

Mungkin disaat seperti ini kau dapat memikirkan kemungkinan tak terbatas yang terbentang di seberang lautan sana. Suatu kesadaran yang membuat orang-orang Eropa kemudian memutuskan menjelajahi dunia untuk menemukan dunia baru. Masa depan baru. Kekasih baru.



akjh
*best moment for me*


Ada satu adegan dalam epik Mahabharata, ketika Karna yang merupakan putra Dewa Surya meminta restu ayahnya sebelum perang Bharatayudha. Di momen inilah, Karna bersikukuh untuk menjalankan dharmanya. Ia membuat keputusan laksana Ksatria bahwa ia akan memberikan apa saja yang ada pada dirinya selama ia mampu kepada siapa yang meminta. Dewa Surya datang menampakkan diri pada putranya dan memperingatkan Karna bahwa Dewa Indra akan datang meminta perisai dan anting-anting miliknya. Padahal, perisai dan anting-anting milik Karna inilah yang membuatnya tak terkalahkan dari apapun. Sikap Karna ini membuat saya terharu bagaimana ia mampu melepaskan kemelekatannya pada apapun. Ia percaya pada kemampuannya sendiri bahwa seorang ksatria tidak hanya dilahirkan tetapi menjadi karena kemampuannya. Tetapi tetap saja, manusia tidak bisa mengontrol di luar dirinya. 

Selalu ada kekuatan yang lebih besar dari kita yang tak bisa ditembus oleh akal. Sesuatu itu oleh orang beragama disebut Tuhan.


ugjk
*Menunggu Sunset*



Garis terakhir matahari sudah hilang. Malam kini sebagai raja dari semesta. Kami memiliki agenda untuk berkeliling pulau naik sepeda malam-malam. Saya sejujurnya sudah lupa bagaimana cara mengendarai sepeda. Mau tak mau saya harus menyewa sepeda, mengumpulkan keberanian dan voila...saya bisa juga ternyata meskpun teman-teman saya cukup khawatir dengan gaya saya naik sepeda yang seperti ingin menabrak apapun yang ada di depannya. Saya memang menabrak sepeda orang lain namun bukan karena kebodohan saya naik sepeda tetapi karena sepeda itu memiliki rem yang blong. Pada akhirnya, saya naik sepeda untuk dua orang yang dikemudikan teman saya Gilang. Keliling pulau, malam-malam, liat galaksi bimasakti yang tak bisa diabadikan oleh kamera handphone (pada akhirnya kami sepakat bahwa kamera terbaik adalah mata manusia), liat mercu suar, dan hadiah berupa pegal linu di sekujur tubuh plus pantat yang sakit karena sadel sepeda yang tak bersahabat. Saya butuh olahraga banyak sepertinya.

Saya dan tiga teman yang lain juga ikutan party yang memainkan lagu-lagu reggae. Bisa ditebak, cuma kami yang masih sadar di ruangan itu dan tentu saja pribumi.


restaurant seafood yang ada di sepanjang jalan di Gili Trawangan


cafe-cafe yang ada di sepajang jalan


*sekitar jam 8 ke atas, cafe dan bar disini akan menyuguhkan live music. 



Pagi itu saya dan teman-teman sudah standby di dermaga untuk aktivitas snorkling di tiga gili. Kami juga akan sekalian pulang hari itu. Maka, kami sudah siap meninggalkan Gili Trawangan dengan tas backpack dan koper (yang jenisnya koper salah satunya milik saya). Kami akan langsung ke Lombok setibanya di Gili Air. Kapal mesin itu tiba sekitar pukul 11. Rombongan kami yang pribumi dan ditambah seorang gadis dari Kalimantan, serta seorang lelaki keturunan Tionghoa yang bekerja di Malaysia, selain itu semuanya bule. Saya dan teman-teman yang berjalan duluan memasuki kapal karena barang-barang kami banyaknya minta ampun. Sambil menunggu barang-barang kami diangkut yang tentu juga diwarnai dengan suara-suara berisik kami. Kami orang Indonesia, kami sangat ramah dan suka ngobrol, right? Iseng-iseng saya menoleh ke belakang. Saya cukup terpana melihat rapinya antrian di belakang kami. Tak ada yang amburadul. Para bule itu setia menanti rombongan kurcaci di depan mereka masuk duluan. Melihat budaya antri orang asing, kawan, saya jadi sedih. Mengapa kita tak bisa antri untuk hal-hal yang bahkan sederhana?


eehkll
*buddy travel sekaligus buddy thesis*



Kapal berhenti di perairan Gili Meno. Saya tak singgah di pulau ini. Jadi saya tak bisa cerita banyak mengenai Gili Meno selain kabar bahwa pulau ini masih sepi dibanding dengan Gili Trawangan dan banyak diisi pasangan yang lagi honey moon. Keadaan Gili Meno hampir sama dengan Gili Air. 

Saya cukup menemani teman-teman saya lagi snorkling. Betapa sejuknya berendam di air laut yang asin dan biru. Betapa akrabnya mereka dengan dunia bawah. Sementara saya terjebak dengan barang-barang dan trauma yang tak kunjung sembuh. Saya cemburu karena saya tak bisa berenang dan tidak berani, maka saya menerima kepecundangan saya untuk tinggal di atas perahu. Selalu ada yang menjadi penjaga. 


aaskgg
*The young lady and the sea :p*


*para wisatawan yang snorkling yang di Gili Meno*



*salah seorang teman saya, Yue, yang juga ikut snorkling*



Gili Air suatu siang. Ini perhentian terakhir kami yang akan dilanjutkan dengan naik speed boat lagi ke pulau Lombok. Waktu liburan semakin menipis. Tetapi pemandangan laut yang biru, pasir pantai, dan masyarakat Gili Meno yang beramai-ramai menonton sinetron Rhoma Irama membawa sebuah nostalgia sekaligus fatamorgana. Bagaimana bisa? di pulau terpencil seperti ini dengan makanan yang mahal-mahal, dengan bule-bule dari berbagai macam negara, dengan wisatawan domestik yang masih bisa dihitung jari, masyarakat lokal yang seperti parasit di tanahnya sendiri tetap bahagia menikmati drama tak berkesudahan antara Rhoma-Ani-Rika. Lalu ada juga pedagang obat-obat herbal untuk menguatkan penis yang sibuk menawari teman-teman saya. Siang itu ditutup dengan makan mie ayam yang tidak bisa dibilang enak plus bakso yang lebih cocok disebut gumpalan kanji. 

Ah iya, perahu yang akan membawa kami ke Lombok datang tepat pukul 3 sore. Kali ini didominasi orang-orang lokal (plus ternak mereka) yang ingin menyebrang. Tak antri, orang-orang berdesak-desakan. Tak ada keteraturan sebagaimana ketika kami naik perahu pertama kali mengelilingi Gili-Gili ini.

Entah bagaimana definisi adab kali ini.




Perjalanan ini memang cukup singkat dan inilah yang membuat saya ingin kembali lagi kesana. Mungkin datang dengan pasangan (seperti kebanyakan orang yang kesana), mungkin dengan keluarga atau teman. Atau kalaupun sendiri (seperti tidak lazimnya), saya ingin betul-betul menikmati suasana membaca buku di tepi pantai. Itu sudah saya tekadkan. 




Selamat Berlibur,


M


Love Story

Senggigi Menggigil

Jumat, November 28, 2014

*Pantai Senggigi*



Sudah hampir pukul 6 sore, tapi aku masih betah duduk di tepi pantai. Seperti ditusuk paku-paku kenangan, pantatku tak bergeser dari pasir-pasir putih, erat menyatu, membuatku makin khusyuk memandangi sepotong senja dibalik awan kelabu. Langit masih bermuram durja tanda hujan lebat usai melaksanakan tugasnya. Bajuku masih setengah kering. Agak lengket memang tapi siapa yang peduli. Di sana tak ada orang-orang yang mengaku pacar dan cerewet menyuruh ganti baju. Lagipula tak ada baju ganti yang kubawa. Aku hanya membawa sepotong ingatan.

Suasana pantai mulai sepi. Hanya segelintir orang yang bertahan. Ada pedagang mutiara yang menjajakan mutiara-mutiaranya pada pengunjung pantai. Dan meski sudah diusir beberapa kali oleh pengunjung yang itu-itu juga, mereka setia kembali. Ada beberapa pasangan yang asyik bercumbu. Mungkin awalnya mereka ingin melihat matahari terbenam, tetapi justru matahari-lah yang menonton mereka, malu-malu dari balik awan kelabu. Dan, ada sekelompok manusia yang tampak sedang merenung. Mereka umumnya sendirian. Mereka mengambil jarak dari keramaian. Kelompok itu sudah akrab dengan laut.

Tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan berambut pirang juga duduk menatap lurus ke arah pantai. Jujur saja, aku tak rela berbagi matahari terbenam dengan orang lain. Sudah cukup persaingan dengan manusia-manusia yang resah dan galau di tepi pantai. Pasangan yang sedang bercumbu bukanlah saingan berat. Mereka tak peduli dengan matahari karena mereka punya dunia sendiri yang terselip dalam pelukan pasangannya. Tapi aku dan perempuan bule itu sedang bersaing. Siapa yang paling menarik perhatian dari sang Surya. Awan kelabu keparat itu masih menutup setengah lingkaran dari matahariku yang mulai tenggelam. Sekilas aku melihat perempuan bule itu menangis.

Matahari sudah total terbenam. Pacarku si Matahari sudah berlabuh ke belahan bumi yang lain. Tinggal menanti sebentar lagi sebelum cerminannya muncul mengukir senyum di angkasa. Dengan susah payah aku berdiri, mengebaskan pasir dari celana pendek jeans-ku. Bajuku hampir kering. Sial, kakiku kram. Perempuan bule itu juga berdiri. Ia tersenyum padaku dan meminta untuk difotokan dengan latar pantai dan langit yang mulai gelap. Setelah kuambil fotonya, ia mengucapkan terima kasih. Bahasa Indonesianya cukup lancar. Ia bercerita bahwa ia berasal dari Belgia dan sudah keliling Asia Tenggara. Ia pernah beberapa bulan di Jawa. Ia seorang volunteer.

Kami bercakap-cakap sebelum akhirnya ia menanyakan arah menuju pantai Kuta. Aku tak tahu. Tapi  sebagai orang Indonesia yang ramah pada orang asing, aku menjawab juga dengan menyuruhnya naik angkot sampai terminal. Perempuan bule itu malah menawariku untuk join. Padahal sudah kukatakan keberadaanku di Lombok bukan untuk jalan-jalan ke Pantai Kuta. Tapi ia masih memaksa. Aku mulai meragukan kemampuan bahasa Inggrisku. Atau bisa saja bahasa Inggris perempuan bule itu juga sama kacaunya. Anehnya, ia berkali-kali mengatakan, " I don't wanna be alone..."

Percakapan itu tidak bermuara pada kesepakatan. Ia berkali-kali mengatakan kalau ia tak mau pergi sendiri kesana. Aku memanggil seorang penjual mutiara yang tak jauh berdiri dari sana. Wajah penjual mutiara yang letih itu kembali bersinar. Ia datang dengan harapan satu-dua cincin atau kalungnya laku. Betapa, kecewanya ia ketika tahu bahwa aku memanggilnya hanya untuk menanyakan alur transportasi guna menolong perempuan bule itu.

Perempuan bule itu dengan gigih tetap mengatakan bahwa ia tak mau ke pantai kuta sendiri. Aku meninggalkan percakapan antara si perempuan bule dan penjual mutiara yang mulai memanas. Penjual mutiara berkata, "Carilah travelmate. Kalian join saja supaya ongkosnya murah". Sementara si perempuan bule itu tetap bersikukuh, "I don't wanna be alone". Sebelum aku memasuki resto bar yang terletak tak jauh dari tepi pantai, aku masih mendengar dengan suara lelah si penjual mutiara berkata, "Belilah mutiara ini, cuma 20.000". 

***

Angin malam mulai berhembus. Aku mulai menggigil di pantai Senggigi. Rasa dingin itu tidak hanya menerpa tubuh tetapi juga sesuatu di dalam sana yang mulai meragu namun tetap berharap. Sayup-sayup suara band akustik menyanyikan lagu lama:
...
I need to know that you will always be
The same old someone that I knew
Ah, what will it take till you believe in me
The way that I believe in you?



mungkin dia sudah lelah.



Ps: Lirik lagu "Just The Way You Are-Billy Joel

Life Story

Lombok dan Drama Malam Pertama

Senin, November 17, 2014

Nusa Tenggara baik yang ada di sebelah Barat maupun Timur adalah pulau-pulau yang tak pernah terpikirkan akan saya kunjungi. Ironisnya, di dalam darah saya mengalir darah Nusa Tenggara Timur, tepatnya tanah Flores, daerah asal ayah saya. Akan tetapi, kali ini takdir membawa saya ke Nusa Tenggara, bukan di sebelah Timur memang, tetapi di sebelah Barat. Saat ini saya hanya beberapa meter saja jauhnya dari Pantai Senggigi, Lombok. 

***

Waktu saya ke Papua untuk mengikuti konferensi Jaringan Antariman, saya berkenalan dengan Syamsul. Secara kebetulan, saya dan Syamsul menaiki feri yang sama ketika kami berkunjung di dua kampung di daerah Sentani. Dia tinggal di Lombok. Ia juga sempat mengutarakan ajakan untuk berkunjung ke Lombok. Saya cuma senyum-senyum saja. Tanda tak yakin tapi siapa yang tahu? masa depan selalu jadi misteri.

Lalu, apa hubungan antara Syamsul dalam cerita perjalanan ini? 
Beberapa bulan kemudian, ISKI atau Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia akan mengadakan konferensi nasional komunikasi. Tentunya sebagai pembelajar komunikasi, saya dan beberapa teman-teman angkatan yang tertarik dengan kajian akademik tak ketinggalan untuk terlibat. Kami mengirimkan paper dan akhirnya diterima untuk dipresentasikan. Coba tebak, ISKI memilih Lombok sebagai tempat pertemuan itu. Maka, di sinilah saya, di Lombok. Masih antara percaya dan tidak percaya.

Perjalanan saya dari Jogja menuju Lombok cukup melelahkan, meskipun saya memilih rute darat dan udara. Saya naik kereta ke Surabaya dan dari Surabaya melanjutkan perjalanan ke Lombok dengan pesawat. Dalam perjalanan kali ini saya bersama Mbak Eka, teman angkatan saya yang menjadi partner in crime. Tentu, setelah konferensi kami akan melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan sebelum berkutat kembali dengan proposal tesis masing-masing. 

Saya dan Mbak Eka tiba pas magrib waktu Lombok. Untuk menghemat dana, kami memutuskan naik damri dengan memabayar seharga Rp.30.000 perak. Kalau naik taksi sekitar Rp.150.000 - Rp. 200.000. Tujuan kami akan ke Senggigi karena itu daerah wisata. Karena baik saya dan Mbak Eka belum pernah sekalipun ke Lombok, kami hanya mengandalkan pertolongan Tuhan dan Google. Secara kebetulan kami memiliki teman yang tinggal di Lombok. Siapa lagi kalau bukan Syamsul dan Pak Indra, temannya Mbak Eka. Kami juga memberi tahu mereka bahwa kami akan Lombok.

Namun, dasar perempuan-perempuan tangguh, kami juga tak ingin merepotkan orang. Kami berencana menghubungi mereka setibanya di kota Mataram. Akan tetapi, sebuah peristiwa tak mengenakkan terjadi. Malam itu rupanya kami berdua saja penumpang yang turun di Senggigi. Ketika bus sudah sampai di terminal, saya merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Ketika saya bertanya kepada Pak Supir untuk meyakinkan perhentian selanjutnya adalah Senggigi, si Pak Supir yang duduk di muka mulai menjawab dengan tak pasti, "Ah ya, nanti dilihat ya, Mbak". Ia kemudian menelpon seseorang dengan menggunakan bahasa setempat. Yeah, meskipun tak mengerti bahasa Lombok, entah mengapa saya mengerti maksud si Pak Supir: Ia berencana mengoper kami kepada rekannya yang entah di mana. Bayangkan! Sudah hampir jam 9 Malam, dua anak perawan di sarang bus Damri. Hati macam apa yang tak risau?

Saya dan Mbak Eka mulai menangkap gelagat mencurigakan. Kami sepakat menghubungi rekan kami masing-masing. Saya menghubungi Syamsul. Syamsul merespon dengan cepat. Ia mengira saya baru turun dari pesawat, sehingga ia menyarankan saya turun di Labuapi, nanti dia akan jemput. Tetapi, saya sudah berada jauh dari Labuapi. Saya dan Mbak Eka berada di bandara lama yang terletak di daerah kota. Mbak Eka juga menghubungi Pak Indra. Bedanya, Pak Indra menghadapinya dengan cukup serius, ia malah ingin berbicara dengan Pak Supir. 

Bus Damri yang disiapkan Pemerintah itu berhenti di bandara lama. Penumpang sudah pada turun semua, kecuali kami. Saya dan Mbak Eka tentu saja mulai panik dan makin gelisah. Apalagi si Pak Supir sudah mulai banyak tidak kosisten ngomongnya. Ia bilang kami akan diturunkan di terminal kembali tetapi damri tak kunjung jalan. Feeling saya dan Mbak Eka sudah tak enak, tanpa koordinasi kami sepakat turun dari damri sekarang. Saya dan Mbak Eka mulai mengangkat koper kami dari bagasi di dalam mobil dengan panik (mana berat lagi!). Mobil tak kunjung dibukakan juga pintunya. Saya dan Mbak Eka sudah meminta dengan nada keras. Mobil itu malah jalan. Kami panik. 

Tiba-tiba saja, ada suara pintu diketuk-ketuk dengan keras. Ada bapak-bapak yang mengejar damri tersebut. Pak Supir terpaksa menghentikan mobil itu. Ternyata bapak itu ingin mengambil tasnya yang tertinggal. Saya dan Mbak Eka langsung tanpa ba-bi-bu langsung turun. Kami bersyukur ada bapak yang tertinggal tasnya itu mengejar damri kami. Tentu ini bukan kebetulan biasa. Si Pak Supir tetap mengejar kami yang berjalan dengan tergesa-gesa. Ia kemudian memohon maaf. Seperti takut untuk dilaporkan. Secara ajaib juga, baik Syamsul dan Pak Indra dalam perjalanan untuk menjemput kami.

***

Rupanya keadaan meningkatkan pariwisata Indonesia, khususnya Lombok dan menciptakan keadaan yang menyenangkan bagi wisatawan menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Menurut cerita Pak Indra dan Syamsul, kadang-kadang kalau malam (and only kalau malam) supir damri di Lombok itu suka "nakal". Mereka kadang menambah uang angkutan atau tidak menurunkan penumpang di tujuan yang semestinya. Padahal aturan mengenai itu sangat jelas. Banyak turis asing sering mendapat perlakuan seperti ini dan melakukan komplain besar-besaran. Apa yang menimpa kami memang tidak menyenangkan. Tetapi kami bersyukur, kami masih baik-baik saja, tidak dirampok atau diperkosa seperti ketakutan kami. Setelah itu, Pak Indra mengantarkan saya dan Mbak Eka di hotel yang berada di pusat kota untuk beristirahat. Saya pun sudah menepati janji saya pada Syamsul untuk menghubunginya kalau berada di Lombok. 

***

Begitulah dunia ini berputar pada sebuah lingkaran. Kita tidak pernah tahu alasan apa di belakang seseorang yang kita kenal, meskipun bisa saja orang tersebut menjadi perpanjangan tangan Ilahi untuk menolongmu dari kesulitan. Drama malam pertama kami di kota Lombok memang memberikan cerita tersendiri dan tidak mempengaruhi kesan saya pada Lombok yang seperti pulau-pulau di Indonesia, luar biasa indahnya. Untungnya saya tidak seperti kebanyakan orang yang suka menggeneralisir hal-hal apa saja yang ditonton di televisi. Saya tetap percaya, sebuah kota memiliki warna-warni, termasuk gelap dan kelabu sekalipun. 

Udah ah...saya mau menikmati matahari terbenam di pantai Senggigi dulu.



Cheers,


Meike





PS: Foto-foto dan cerita selanjutnya menyusul ya...

Cerita Lagu

Suatu Pagi Bersama Billy Joel

Rabu, November 12, 2014



Kemewahan bangun pagi patut dirayakan. Apalagi jika kau terlalu banyak tidur menjelang matahari terbit dan bangun menjelang matahari terbenam. Yep, setelah menyelesaikan revisi proposal tesis akhirnya saya bisa tidur dengan tenang. Hari ini, saya bangun jam 6 pagi, berdoa, dan menelpon Mom dan Dad. Keluar kamar dan mengucapkan "Good Morning" pada Eyang yang lagi sarapan. Eyang surprise saya bangun pagi mengingat reputasi saya sebagai Sleeping Beauty di rumah ini. 

Mungkin sudah berbulan-bulan saya tidak merasakan hangatnya matahari pagi, mendengar suara burung-burung, melihat mbok-mbok yang menjajakan jamu (kadang saya tergiur juga, tapi kemudian urung), dan pemandangan mahasiswa-mahasiswa yang berangkat pagi ke kampus. Saya ke burjo yang bersebelahan dengan rumah. Meskipun namanya burjo alias warung bubur kacang ijo tapi sama sekali tidak menjual bubur kacang ijo. Jadi saya memesan semangkuk mie instan dengan telur setengah matang plus teh manis. Tidak mandi, tidak dandan, pake bando sisir dan rambut dijepit ala kadarnya. Sekilas saya mirip batur-batur but still in a good way. 

Belum ada pengunjung di burjo jadi tak ada yang melihat juga. Tapi, 15 menit kemudian datang dua orang laki-laki untuk sarapan disana. Cowok yang pertama tampangnya lumayan ganteng. Cowok kedua meskipun tidak seganteng yang pertama tapi kelihatan lebih maskulin dari yang pertama. Seketika saya menyesal tidak dandan. Sekedar flashback, saya jarang dalam penampilan baik kalau ketemu orang yang menarik atau yang menyukakan hati saya. Mostly, benar-benar awut-awutan. Kalaupun sudah mandi dan pake baju bagus, kadang rambut saya jadi dua kali lebih keriting. Ini beneran loh. Kadang saya pikir keadaan ini seperti disengaja supaya dapat menyaring orang-orang untuk dekat dengan saya. Pada titik ini saya merasa beruntung karena sebenarnya menyedihkan bila orang mencintaimu hanya karena penampilanmu saja dan ketika mengenalmu lebih jauh, mereka kecewa. Tapi begitulah, kadang kebaikan hati tidak datang satu paket dengan tampang yang rupawan. 

Untuk merayakan pagi yang saya sudah lama saya rindukan, saya duduk-duduk di depan teras menemani Eyang sambil dengar lagu She's Always a Woman-nya Billy Joel. Eyang lagi membaca buku tentang bahasa Jerman, sementara saya hanyut dalam kisah lagu Paman Billy. Kebanyakan karya seni diilhami seorang perempuan (ini kalau senimannya laki-laki), saya pikir perempuan-perempuan itu tidak hanya cantik, tapi juga memiliki karakter. Setidaknya lirik lagu She's Always a Woman menceritakan perempuan dengan kepribadian yang berwarna dan betapa si lelaki memujanya karena itu. Tak ada dari lirik lagu ini menceritakan tentang keindahan fisik, melainkan bagaimana perempuan ini memperlakukan dirinya dan orang lain. Penggambarannya pun bukan dalam hal yang baik-baik saja, tapi juga hal-hal yang buruk (ataukah sebuah metafora?). 

Namun yang paling saya sukai karena perempuan yang digambarkan tidak pasrah. Perempuan dalam lagu itu adalah perempuan yang independent dan memiliki kontrol penuh pada keputusan-keputusan yang diambilnya. Kebanyakan perempuan hidup dengan keputusan yang diberikan padanya atau ingin aman sebagai common people. Ia tidak menjadi individu yang bebas, ia selalu menjadi milik yang lain. Well, saya tidak ingin menjadi perempuan seperti itu. Karena saya tahu, selama saya sebagai perempuan hidup berdasarkan apa yang terberi maka selama itu pula saya menjadi objek. Saya tak mau jadi objek, itu sudah lama saya putuskan jauh-jauh hari. 



Note: Lagu She's Always a Woman ada dalam album The Stranger (1977) bersamaan dengan lagu Just The Way You Are. 


After discussing with Mbak Truly, we concluded that this song does not talk about the beauty of a woman, nor a woman of perfection. Rather I saw a description of a broken woman covered in toughness. And he loves her not because of her beauty nor her being broken, but because she is she. And I hope that a man will uncover me from that perspective. 

Love Story

Sepasang Mata Yang Sedih

Jumat, November 07, 2014

Ada luka di mata itu.

Sepasang mata yang bersedih dan berwarna cokelat bagai telaga yang rasanya ingin kuceburkan diriku dalam-dalam disana. Sepasang mata itu seperti meminta untuk dikenali, dimengerti, dan dikasihi. Maka aku dengan sukacita mendatangi pemilik sepasang mata itu, merentangkan tangan lebar-lebar, dan menawarkan sebuah peluk. Tentu saja ia bingung sekaligus heran. Perempuan ini aneh, pikirnya. Tapi, aku tak peduli. Aku terlanjur simpati pada sepasang mata yang menyimpan luka. Dan aku pun tahu jika semakin lama kupertahankan simpatiku, aku resmi jatuh cinta padanya. 

Pernah suatu hari ia mendatangiku lalu menawarkan apakah aku mau dibelikan kopi. Ia mau ke coffee shop dan karena tak enak minum sendiri ia terpaksa menawari. Aku sebenarnya tidak suka kopi murni. Aku lebih suka cappuccino. Jadi aku pesan satu. Ia tersenyum dan menawarkan sepasang mata sedih yang butuh usaha keras untuk melihatnya lekat-lekat. 30 menit kemudian ia datang, meletakkan begitu saja cappuccino yang kupesan dan kembali ke mejanya. Ia tidak memesan kopi tapi minuman berwarna hijau yang kucurigai racikan buah alpokat yang tersedia juga di coffee shop. Aku mengamati punggungnya. Rambutnya yang baru dicukur, cuping telinganya, sampai kemeja warna hijau limau yang dikenakannya. Aku bertanya-tanya,"Sampai kapan ia bertahan membohongi dirinya?".

Hari itu adalah hari terakhirku di sana. Aku harus pulang. Sepasang mata yang sedih itu kembali hadir. Warnanya masih tetap cokelat dan bila si pemilik tersenyum butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat. Ia tak berkata apa-apa. Namun, aku melihat seorang bocah di sana, berdiri kaku dan kesepian. Sebentar lagi ia akan kehilangan teman. Teman yang tak biasa. Bukan jenis teman yang diajak bersenang-senang dan berbagi cerita palsu. Ia membutuhkan teman yang memahami lukanya, kesepiannya, dan kesedihannya. Teman yang tak perlu banyak-banyak memberi nasehat. Teman yang tak perlu sering-sering bersua. Tapi ia tahu teman itu memperhatikannya sekalipun dari jauh. Teman yang tak perlu utuh hadir tapi ia rasakan adanya. 

Ada luka di mata itu. 

Aku kembali untuk bertemu dengannya namun sepasang mata yang sedih itu sudah tak ada lagi. Tak ada bocah yang berdiri kaku dan tampak kesepian. Tak ada sepasang mata yang sedih serta butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat saat pemiliknya tersenyum padaku. 

Jika aku rindu pada sepasang mata berwarna cokelat yang dulu ingin kutercebur ke telaganya dalam-dalam, aku hanya perlu mengambil cermin dan menatap di sana.



PS 1: balasan buat Kak Emma :)
PS 2: based on true event. 

Life Story

Hantu Perawan Tua (bagian 2)

Jumat, November 07, 2014

"Laku" dan "Tidak Laku" adalah dikotomi yang kita temukan dalam perdagangan. Barang yang laku akan mendatangkan keuntungan bagi penjualnya sedangkan barang yang tidak laku -karena pengaruh waktu- akan dicampakkan ke tempat sampah. Namun, tidak selalu karena banyak pula barang tak laku yang diturunkan harganya dan diobral. "Laku" dan "Tidak Laku" adalah pengalaman tak enak di masa remaja saya.

***

Waktu saya masih SMP, ada seorang anak laki-laki di kelas saya bernama R. Wajahnya tampan setidaknya demikian menurut konstruksi zaman itu. Banyak pula anak gadis yang naksir padanya. Pada masa itu, legitimasi siapa yang cantik dan ganteng diukur dari kuantitas para pemujanya. Jika banyak anak laki-laki naksir si A, maka A dikatakan cantik begitu pula sebaliknya. R termasuk ganteng. Saya juga diam-diam senang melihatnya. Sayangnya, R memiliki mulut yang tidak sopan. Ia senang mengatai anak lain secara fisik.

Suatu hari saat pelajaran olahraga, saya lupa apa persisnya yang mendasari, ia begitu saja mengatai saya monyet. Saya tidak terima. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Ia terlihat begitu sempurna (sekali lagi menurut konstruksi) lalu apa yang bisa saya hina dari sebuah kesempurnaan? Saya mengadukan hal itu pada Mami. Dan Mami saya menjawab, "Kenapa kau tidak balas? Kalau dihina orang lawan, jangan diam!". Kali berikutnya ia mengatai saya monyet, saya juga membalas dengan kambing karena nama belakangnya kalau diplesetkan dekat dengan kata "kambing". Tapi kambing kebagusan untuk R. Siapapun yang pernah dikatain monyet (bukan dalam konteks bercanda) pasti sepakat.

Tapi yang paling mendukakan hati adalah ketika kami bertengkar entah karena apa (saya juga tidak tahu kenapa saya dan si R ini suka bertengkar kami bahkan pernah masuk ruang BP sama-sama) ia mengatakan kalau saya tidak laku. Saya tidak tahu alasan pasti kenapa kata itu keluar dari bibirnya tetapi besar kemungkinan adalah karena pada masa itu, di antara teman se-geng, sayalah yang belum punya pacar. Kau tahu, jika ada anak laki-laki mau mukanya ganteng atau buruk rupa mengataimu "cewek tidak laku" bagaimana perasaanmu? Untuk sekejap saya terpaku. Shock. Jika saya adalah barang yang dijual di supermarket maka akan ada label menempel di dahi saya "tidak laku". Sampai saya SMA (anyway, saya juga satu SMA dengan si R) kata "tidak laku" itu juga  setia mengikuti. Kata itu seperti hantu, tidak kelihatan tapi menakutkan.


***

Setelah duduk di bangku kuliah, saya mulai menganalisis apa persisnya yang membuat saya begitu ketakutan dengan kata "tidak laku" yang sering diucapkan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Jawabannya sederhana yaitu ketakutan kolektif menjadi perawan tua. Mengapa kita takut menjadi perawan tua? Ada banyak faktor, antara lain:

1. Ketakutan tidak menikah.

2. Karena tidak menikah itu berarti kita akan hidup sendiri. Hidup sendiri selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang tidak lengkap. Bagai sebuah inisiasi lanjutan, kau bukan manusia kalau belum menikah. Takut hidup sendiri juga muncul karena sejak kecil kita dininabobokan dengan dongeng-dongeng akan datangnya Pangeran yang menyelamatkan. Ketika beranjak dewasa, kita senang membaca metropop atau novel-novel picisan dan mengharapkan kisah-kisah cinta bak di novel-novel itu terjadi juga di hidup kita. Kita tidak rela mengakui kalau novel atau film-film romantis itu terlalu menyederhanakan hidup manusia yang sebenarnya kompleks artinya banyak kebohongan yang dibangun oleh industri media yang termediasi dalam novel dan film.

3. Menjadi beban bagi orang lain. Tidak menikah berarti menjadi beban bagi orang lain: orang tua atau saudara yang menampung. Tapi faktor ini sudah ketinggalan zaman karena banyak perempuan sudah mandiri secara finansial bahkan jadi tulang punggung keluarga.

4. Tak berhubungan seks. Kebutuhan seks adalah kebutuhan alami manusia. Seks adalah makanan tubuh kata seorang professor bahasa dari UPI. Masalahnya, oleh agama kita dilarang berzinah sehinga untuk melegitimasi hubungan seks kita membutuhkan pernikahan. Sayangnya, dalam pernikahan juga terdapat banyak masalah. Realitas lebih banyak daripada romantisme jadi jangan sombong bilang "I'm the happiest wife in the world" kalau baru menikah 6 bulan. Tunggu 30 tahun baru berani bilang begitu di media jejaring sosial.

5. Tak ada yang mencintai. Kita punya keluarga, kita punya sahabat, kita punya kolega, tapi entah mengapa kita tetap saja tidak pmerasa komplit. Memang sudah sifat manusia untuk tak puas sehingga wajar saja ketika segala cinta filia, agape, dan storge kita miliki, kita mau juga cinta eross. Mau heteroseks atau homoseks, diam-diam kita membutuhkan objek cinta yang selalu membuat kita merasa gemilang bahkan ketika mengingatnya. Kita tak hanya butuh objek cinta tapi kita mau objek cinta itu mencintai kita juga. Ini yang biasanya mendatangkan kegalauan. Perasaan tidak lengkap karena tak ada yang mencintai seperti yang kita imajinasikan ini yang kadang-kadang menyiksa.

6. Mau punya anak. Sebenarnya tak butuh pasangan jika ingin punya anak. Kita bisa mengadopsi, kita bisa melakukan suntik sperma, dan berbagai solusi medis supaya punya anak tanpa menikah. Namun, seperti yang sudah saya bilang, manusia tak pernah puas. Mereka maunya punya anak dengan orang yang mereka cintai. Yang jadi persoalan ketika sudah bersama orang yang mereka cintai belum tentu juga mereka bisa punya anak.

Konsep perawan tua sesungguhnya terbentuk karena persoalan waktu. Secara biologis, perempuan dan laki-laki memiliki masa reproduksi yang berbeda. Perempuan mengalami menopause yang berarti ia pensiun dari tugas reproduksi lebih dulu daripada laki-laki yang masanya masih sangat panjang. Oleh sebab itu, perempuan sebaiknya menikah secepatnya sebelum masa menopause itu datang. Bahkan di usia akhir 30 atau awal 40 tahun, perempuan yang melahirkan memiliki resiko yang lebih besar ketimbang ketika mereka masih di usia 20-an. Karena persoalan waktu inilah, jika perempuan belum menikah di ambang usia menopause-nya maka ia menyandang predikat perawan tua.

Sebaliknya, bagi laki-laki karena usia reproduksinya lebih panjang dan biasanya didukung dengan kekuatan finansial, mereka bisa saja menikahi perempuan-perempuan muda yang mereka mau. Jadi, predikat bujang lapuk tak menganggu mereka kecuali bagi laki-laki yang tidak memiliki kekuatan finansial. Nah, perawan tua di jaman nenek dan ibu kita hidupnya memang jauh lebih menderita karena selain tidak bereproduksi lagi, masih sangat sedikit dari kaum mereka yang memiliki kekuatan finansial. Biasanya perawan tua seperti ini menumpang di rumah saudara dan umumnya semakin getirlah hidup mereka. Tapi ini kasuistik, tidak menggeneralisir. 

Menurut saya, istilah perawan tua sudah tidak relevan lagi di era Posmo ini. Pertama, perempuan yang bekerja - dan karena itu membuat mereka mandiri- tidak bergantung lagi dengan laki-laki. Mereka mencari yang lebih dalam dari sekedar teman tidur dan kenyamanan finansial. Mereka mencari lelaki yang dalem yang bisa menjalin intimate relationship: mereka bisa berbagi pikiran, memiliki visi-misi yang serupa tapi mungkin tak sama, memiliki komitmen, dan bersedia memasuki gelombang kehidupan bersama. Tapi kenapa perempuan-perempuan ini tetap tahan melajang? ada beberapa jawaban: 1. rutinitas pekerjaan yang membuat mereka tak punya waktu pacaran, 2. belum menemukan yang diinginkan, 3. memang tak mau menikah, 4. karena stock laki-lakinya di pasar tidak seperti keinginan. Di zaman ini, istilah "laku" dan "tidak laku" tidak cocok lagi digunakan, bagaimana bisa kita mencap suatu barang laku atau tidak laku kalau tak ada pasar yang meminta. Yang sebenarnya adalah kita masih berada pada level produksi yang artinya mengkualitaskan diri dulu sebelum siap dilepas dalam pasar.

Sayang sekali, sampai sekarang, masyarakat senang mencibir perempuan-perempuan yang belum menikah. Mau sekolahnya tinggi, mau kaya, mau miskin, perempuan tetap tak akan sempurna kalau ia belum menikah. Mungkin hantu perawan tua masih bergentayangan, tetapi kita semestinya tidak perlu takut lagi. 



PS: tulisan ini didedikasikan untuk perempuan-perempuan tangguh di luar sana yang sadar akan pilihan-pilihan yang diambil dalam hidupnya. 

Life Story

Hantu Perawan Tua (bagian 1)

Selasa, November 04, 2014

Apa itu luka?

Trauma adalah kata dari bahasa Yunani yang diartikan sebagai luka. Luka merupakan akibat dari sebuah peristiwa yang menimbulkan rasa sakit. Luka terjadi karena dikenai atau disebabkan sesuatu bukan terjadi dengan sendirinya atau dari dalam. Apapun yang bersinggungan dengan luka akan menimbulkan perih. Ada luka yang cepat sembuh tapi ada banyak luka yang tak kunjung sembuh sehingga bisa saja seseorang tak mau merasakannya lagi. Di sini kita akan bertemu dengan dua jenis orang: mereka yang menghindari trauma dan mereka yang masuk ke dalam trauma untuk membalikkan atau membuktikan kesalahannya.

Setiap orang memiliki luka. Luka itu biasanya disimpan rapat-rapat. Di sini kita jadi tahu ada luka yang disimpan secara pribadi ada luka yang dibagi secara kolektif karena deritanya juga dirasakan secara kolektif. Salah satu luka itu bisa saja dialami tapi bisa saja dilekatkan seenaknya begitu saja. Salah satu luka perempuan, berarti luka saya juga adalah menjadi perawan tua. 

***

Di setiap keluarga, pasti ada satu-dua paman atau bibi yang tidak menikah. Ini tidak merujuk paman atau bibi yang memutuskan selibat karena alasan spiritual. Biasanya paman atau bibi tidak menikah karena  sesuatu dan lain hal. Mereka tidak pernah membicarakannya. Tapi mungkin mereka diam-diam menginginkannya. Sayangnya, mereka tak mau mengatakannya kepada kita karena dengan membicarakannya berarti mereka mengorek lukanya sendiri. Entah apapun itu. Namun, rupanya ada pembedaan antara paman atau bibi yang tidak menikah itu. Paman umumnya yang tak menikah itu tidak begitu bergantung pada keluarganya. Saya mengenal paman orang lain yang bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin diam-diam keluarganya mendoakan dia tak usah menikah saja, karena jika ia menikah -kalau istrinya jahat bisa mengunci pengeluaran si paman kepada keluarganya. Nah, bibi umumnya bergantung pada keluarga, biasanya orang tua atau keluarga saudaranya. Dan biasanya ketergantungan ini membuat mereka semakin dalam lukanya. Tidak punya kekuatan ekonomi membuat mereka terpaksa menjadi kepala babu di rumah. 

Namun, zaman berganti. Bibi-bibi yang tak menikah juga punya power secara ekonomi. Mereka tak punya kesulitan secara materi namun sayangnya mengantarkan mereka jatuh cinta pada pada materi. Seorang bibi yang saya kenal seperti terkena sindrom ketakutan pada kami - keluarganya yang biasa-biasa ini- karena takut kami meminta uangnya atau apapun miliknya sehingga awalnya ia yang begitu ramah pada masa kanak-kanak saya berubah jadi nenek sihir karena ia begitu menutup diri. Anehnya, sikapnya juga berubah, yang ramah dan manis menjadi begitu nyinyir dan memaksa kehendak. Di satu sisi, saya jadi kasihan padanya tapi di sisi lain saya kesal karena perilakunya. Tapi semoga saja tak ada hubungannya dengan urusan pernikahan.

***

Gambaran perawan tua sudah begitu menakutkan perempuan. Di sekolah, guru perempuan yang tak menikah yang paling kejam. Ini nyata, saya paling takut dengan guru prakarya saya waktu SD sehingga saya selalu berdoa semoga sakit di hari senin. Ibu guru itu tak cuma ringan tangan tapi juga sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Wajahnya jarang tersenyum. Dan ketika beberapa orang tua murid datang mengadu pada wali kelas, ibu wali kelas yang baik hati dan sudah menikah mengatakan, "Makhlum Bu, Pak...perawan tua". Rupanya ada asosiasi antara perawan tua dengan sikap-sikap yang berasal dari dengki semacam itu. Anehnya, pada bujang lapuk- sebutan untuk pria yang tak menikah- hampir-hampir jarang saya dengar ada bapak B yang kasar pada murid atau orang lain karena ia tak menikah. Tak ada asosiasi, "Maaf Bu, Pak...Pak B begitu karena tak kawin". Di sini ketidakadilannya, sifat jahat tidak dilekatkan pada bujang lapuk tapi pada perawan tua. Mungkin kita hanya ingin menyederhanakan persoalan dengan memberi asosiasi seperti itu. Tetapi asosiasi itu begitu tak adil. Tak ada orang yang bercita-cita menjadi sesuatu yang memiliki sifat jahat. Maka jangan salahkan banyak perempuan yang tak sudi menjadi perawan tua. 


....bersambung di Hantu Perawan Tua (Bagian 2)

Life Story

Selamat Halloween

Jumat, Oktober 31, 2014

Tulisan ini saya buat setelah beberapa menit terjadinya kejadian ini. 

Ada memang peristiwa-peristiwa yang tidak bisa kita jabarkan dengan rasio. Ada memang sesuatu yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang tetapi sesungguhnya kita tahu pasti melalui perasaan. Lalu tiba-tiba saja kita bergidik ngeri, takut, tetapi juga bersemangat ( beberapa orang malah senang). 

Semua orang pasti memiliki sisi sembrono. Kata sembrono saya pakai untuk suatu kekhilafan kalau sembarangan menaruh barang tidak pada tempatnya. Kesembronoan itu anehnya terjadi pada satu kebiasaan buruk yaitu melemparkan kantong-kantong plastik entah yang dibeli sendiri (biasanya buat buang sampah) atau bekas belanjaan. Saya masih menganalisis apakah ini karena faktor malas atau memang masalah kejiwaan. Mengingat dulu sewaktu kecil saya paling suka membuang kertas-kertas di bawah tempat tidur. Kebiasaan ini berhenti ketika Mami membelikan saya tempat sampah bergambar Mickey Mouse karena dia capek membersihkan bawah kolong tempat tidur saya bertahun-tahun.  Tempat sampah ini masih ada ( mungkin kalau dia manusia sudah kuliah semester 1) sampai Desember tahun lalu. Terakhir pas pulang kemarin, tempat sampah itu sudah tak ada. Dibuang mami mungkin. 

Selama setahun saya tinggal di kamar kos ini, selama itu pula kantong-kantong plastik itu tersimpan dan menggunung. Kebetulan lagi lemari saya bwesar bwanget, maka kesembronoan itu tersimpan rapat bagai pakaian-pakaian di lemari yang ada di film Narnia. 

Tapi malam ini...

Saya tertidur pukul 10 malam (waktu itu masih tanggal 30 Oktober). Ini sebuah keajaiban mengingat saya umumnya tertidur di pukul 2 subuh atau 4 subuh ( tergantung lagi mengerjakan tugas atau nonton film/baca buku). Saya pikir saya sudah tidur pulas karena sampai mimpi dan rasanya memang lama sekali, sampai kemudian terdengar suara gemerisik dari bawah kaki saya. 

Saya terkaget bangun. Bunyinya seperti kepakan sayap bereng-bereng atau bangsa capung. Tapi yang membuat saya khawatir kalau suara itu milik clurut alias tikus kecil yang berkeliaran di rumah ini. Saudara-saudara tahu kan bagaimana jahatnya tikus kecil? Selain merusak barang, ia juga meninggalkan tahinya dimana-mana. Suara itu kemudian terdengar lagi. Sumbernya seperti terdengar dari dalam dus. Kebetulan di bawah tempat tidur memang ada dus sterikaan yang terbuka dan goodie bag milik Sari yang ketinggalan. 

Awalnya saya mengacuhkan. Namun, bunyi itu semakin intens. Dasar orang yang baru bangun tidur, saya tidak terlalu berpikir panjang. Saya bangun dengan malas-malasan dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar ( saya suka tidur dalam kegelapan karena menurut Eross S07 gelap melindungi kita dari kelelahan), dan memeriksa dus setrikaan. Tak lupa saya membawa sapu lidi, siapa tahu itu binatang ganas. Saat melongok ke dalamnya, saya tak melihat binatang apapun, jadi saya masukkan setrika yang kalau habis dipakai saya taruh dengan di lantai. Tujuannya lebih logis sih yaitu sebagai penanda kalau ada bunyi-bunyi lagi, dus setrikaan tidak perlu dicek. Kecuali binatangnya memang gaib. Saya lalu memeriksa goodie bag Sari. Sebelum masuk asrama, Sari sempat bersemayam di kamar saya beberapa hari, maka barang-barang ini adalah tanda kelupaannya yang isinya memang sehelai baju yang nyungsep di bawah kolong tempat tidur dan ditemukan ketika menyapu kamar, serta sebuah tempat kue. Goodie bag itu juga termasuk yang dilupakan. Pikiran saya mulai ngaco. Saya takut clurut atau bereng-bereng dan bangsanya ada disitu karena bunyinya memang dari dalam goodie bag. Tapi ternyata nihil saudara-saudara. Saya juga memeriksa di bawah kolong tempat tidur, meja, sampai dalam terpal. Karena tak ada hasil. Saya matikan lampu dan naik ke tempat tidur. 

Tapi bunyi itu kembali terdengar. Beneran sangat mengganggu. Saya acuhkan sambil tetap pasang telinga, mengira-ngira dari mana asal suara terkutuk itu. Dan... ternyata asalnya dari dalam lemari Narnia yang menyimpang plastik-plastik itu. Saya pun bangun dari tempat tidur, menyalakan lampu, dan tak lupa sapu lidi untuk menggeplak binatang usil itu. Di saat itulah, saya mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Percayalah, telinga tidak hanya bisa mendengar tapi juga mengenali. Waktu itu saya baru awal-awal tinggal disini. Eyang-lah yang pertama memberi tahu saya tentang hal ini. Bahwa ia bisa membedakan mana langkah kaki setiap anak kos-nya meskipun ia tak melihat wujudnya. Pendapat ini diverifikasi Mbak Indri yang mengatakan hal yang sama. Dan kini, setelah setahun, kemampuan itu saya warisi juga. Saya bisa membedakan langkah kaki Mbak Truly, Mbak Indri, Eyang, Mbak Par, Bu Mery, Sena, bahkan Bu Nur yang jarang tinggal disini. Tapi langkah ini aneh. Ia tergesa-gesa tetapi juga seperti mengendap-endap. Seperti sedang mengintai. 

Kalau mau pake logika dan mengatakan itu adalah satu dari anak kos. Hmm...sepertinya mustahil. Pertama, di bagian dalam rumah ini, khusunya lantai bawah hanya saya dan Bu Nur yang ada. Eyang tidak dihitung karena ia memiliki paviliunnya sendiri dan ia tak pernah keluar dari sana setelah jam setengah 9 malam. Anak-anak kos di lantai atas yaitu Mbak Truly, Sena, dan Mbak Indri akan sangat ketahuan kalau mau ke bawah. Selain bunyi pintu yang ditutup maka akan disusul suara langkah dari arah tangga. Tapi tadi tak ada suara langkah apapun dari tangga maupun pintu yang ditutup. Maka, tersangka selanjutnya adalah Bu Nur. Tapi langkah Bu Nur paling kentara, ia selalu jalan seperti malas-malasan atau alon-alon wae ala orang Jawa. Maka siapakah yang ada di luar itu? Suara burung hantu dari arah jendela mulai bersahut-sahutan. 

***

Akhirnya saya mengecek lemari Narnia. Diam-diam saya berharap ada binatang di dalam sana karena ganjil juga tak menemukan apa-apa setelah lebih dari sekali mencari. Logikanya, jika memang ada binatang di dalam sana, begitu pintu lemari dibuka, binatang itu akan keluar, ya minimal menampakkan wujudnya. Suaranya makhluk itu memang seperti terperangkap. Maka, jika saya mengorek-ngorek lemari itu tentunya membawa pembebasan baginya. 

Saya juga mengecek lemari yang berisi pakaian, memeriksa dus-dus yang ada di dalam sana ( sekali lagi lemari saya bwesar bwanget sampai bisa dijadikan tempat sembunyi kalau main petak umpet (Saya perkirakan bisa memuat 4 orang dewasa dan dua anak kecil untuk sembunyi di dalam lemari itu). Hasilnya tetap nihil. Tak ada tanda-tanda makhluk hidup disana. Saya kembali naik ke tempat tidur. 

Dan... damn! Suara itu terdengar lagi. Suara -kepakan sayap yang terjebak dalam dus- muncul lagi sumbernya kali ini jelas. Dari dalam lemari Narnia yang banyak kantong plastiknya. Saya memeriksa sekali lagi. Tapi tak ada binatang yang muncul. Karena kesal atau lelah diganggu, saya mengeluarkan semua gunungan kantong plastik itu. Saya juga mengeluarkan koper-koper, dus-dus barang elektronik, dan hanger-hanger sampai lemari itu memperlihatkan kepolosan isinya yang sudah muntah di luar.

Lalu saya mulai merapikan lemari itu. Satu-satu, mulai yang paling besar sampai yang paling kecil. Kantong-kantong plastik yang beraneka macam model dan ukurannya juga ditata serapi mungkin. Kini isi lemari itu yang semula acak kadut terlihat enak dipandang. Anehnya, setelah acara bersih-bersih mendadak itu. Suara kepakan sayap dalam dus tak terdengar lagi sampai saat saya menuliskan ini. 

***

Ada suatu kepercayaan yang disebut Panteisme dimana Yang Mahakuasa dapat mewujud pada segala benda, entah benda hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan atau pada benda mati seperti patung, cermin, senjata, atau   bahkan kendaraan seperti motor atau mobil sekalipun. Maka jangan heran agama-agama yang bersifat panteisme seperti Hindu Bali atau Kejawen memberikan sesajen sebagai tanda hormat. 

Tapi saya merasa aneh juga kalau Yang Mahakuasa sampai begitu lebay masuk ke lemari hanya untuk mengingatkan saya menjaga kebersihan. Momennya pas di Hallowen lagi. Kenapa bukan kemarin-kemarin atau besok-besok? Jika urusan kebersihan saja sampai segitunya bagaimana dengan urusan hati? Seandainya ada lelaki yang mematahkan hati saya, sudah pasti namanya masuk daftar penguni Neraka. Nah, maka saya menyebutnya The Other, Yang Lain. Yah, mungkin bukan saya saja seorang penghuni kamar ini. Bukankah orang-orang Jawa kejawen memiliki kebiasaan membersihkan atau meruwat jika orang-orang atau benda-benda itu sudah tak "bersih" lagi? 

Siapapun dia, yang memaksa saya membersihkan kantong-kantong plastik  jam 2 subuh ( sekarang peristiwa itu tampak konyol) pastilah memiliki niat yang baik. Mungkin dia ingin saya aware dengan kebersihan terutama yang menyangkut bagian dalam, yang sengaja disembunyikan. Selama ini saya menjaga kebersihan dan kerapihan kamar di permukaan saja alias level pragmatis. Nah, dia ini ingin saya belajar membersihkan yang lebih dalam, yang esensi barangkali. Kalau dipikir-pikir lagi kok jadi lebay ya? Ah, barangkali ini hanyalah selera humor atau sekedar mengucapkan "Selamat Halloween, Meike..." 

Life Story

Keajaiban Kecil

Kamis, Oktober 30, 2014

Keajaiban kadang-kadang datang secara diam-diam. Tak ada pesta pemyambutan. Langkahnya pelan tapi pasti. Mungkin akan ada tanda-tanda, tapi mungkin juga tidak. Keajaiban berkomunikasi dengan caranya sendiri. Ia berbicara langsung pada mereka yang berharap. Ia kadang membutuhkan waktu. Tapi ia pasti. Meskipun dalam kepastian itu ada ragu-ragu. 

Adapun suatu keajaiban yang hanya sangat berarti bagi seseorang. Keajaiban itu kecil dan sederhana. Tetapi perannya begitu penting. Keajaiban jenis ini terjadi untuk memenuhi keajaiban-keajaiban lain yang lebih besar. Jika keajaiban bekerja dalam sistem perangkat elektronik, maka keajaiban kecil itu adalah mur yang menguatkan baut-baut agar kuat menopang kerangka yang lebih besar, suatu karya yang luar biasa. Keajaiban itu bekerja dari dalam, keajaiban itu mengubah hati dan pikiran seseorang.

Saya melihat dan merasakannya. Keajaiban yang tak semarak dan orang-orang lain akan menganggapnya sepele dan tidak penting. Tapi, itu tetaplah keajaiban. Karena kau - manusia- meskipun kau bisa mempengaruhi pikiran seseorang, tetapi tak bisa mengubah hatinya. Kau harus menyerahkannya pada sesuatu yang tak terjangkau oleh akal. Biarkan Ia mengambil alih. Karena keajaiban bukanlah keajaiban kalau ia bekerja secara rasional. 

Dalam ketidakmasukalannya itu, keajaiban menunjukkan misterinya. Lalu kau akan terkagum-kagum. Bagaimana bisa? mungkin kau bertanya-tanya. Namun, memang benar adanya. Sesuatu di luar sana memikirkan hal-hal terkecil dalam hidupmu. Sesuatu itu hidup dan senantiasa menyertai. 

Life Story

Paradoks

Minggu, Oktober 12, 2014

Hubungan saya dengan Alam seperti cinta anak lelaki di kelas sebelah yang malu-malu menyatakan rasa. Ia hanya memandangi saja keindahannya tanpa pernah bersentuhan langsung. Sejenak kesedihan itu seperti keberadaan Matahari dan Bulan, bersama tapi tak boleh bersatu, bahkan kalau terlalu dekat menimbulkan gerhana Matahari yang bisa merusak mata. Saya ingin sekali naik gunung. Tetapi baru saja naik di atas bukit, saya sudah tak tahan dingin. Langsung sakit dengan demam 39 derajat. Saya juga ingin bersatu dengan laut, tetapi saya tidak bisa berenang. Hal ini sungguh menyesakkan. Percayalah.

Golongan darah saya AB, termasuk golongan darah langka di dunia, di Indonesia saja cuma 7 % dari 200 juta penduduk. Saya tidak pernah terlalu memikirkan pengaruh golongan darah dengan seseorang, sampai hari ini. Dulu, Kak Abe pernah menyebut saya paradoks. Sejujurnya itu agak mengganggu saya. Paradoks dekat dengan terma "tidak konsisten" dan betapa saya sangat tidak menyukai hal-hal bahkan orang-orang yang tidak konsisten dengan apa yang dilakukan atau diucapkannya. Masalahnya saya hidup dalam paradoks itu.

Barulah saya ketahui bahwa golongan darah AB bukan saja langka tetapi juga unik kalau mau tidak dibilang aneh. Karakter orang-orangnya sulit dideskripsikan, sulit pula dimengerti. Mereka adalah gabungan orang-orang yang bergolongan darah A dengan dan orang-orang yang bergolongan darah B. Mereka adalah perpaduan ekstrovert dan introvert. Mereka adalah Hitam sekaligus Putih, kamu bisa menyebutnya orang Abu-Abu meskipun perspektif mereka tidak abu-abu. Lihatlah Batman! Bruce Wayne bergolongan darah AB, ia tentu saja pahlawan bagi Gotham tetapi tujuannya menjadi pahlawan adalah untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya. Dengan kata lain, orang-orang golongan darah AB kalau dalam paradigma ilmu adalah postmodernisme. Dalam penelitian, mereka adalah golongan mix-method. Dalam psikologi, mereka termasuk bipolar. Mereka adalah kontradiksi yang memikat.

Saya seorang feminis tapi saya tidak bisa meghilangkan paradigma kalau harusnya laki-laki yang berinisiatif mendekati perempuan duluan atau yang melamar nanti. Saya juga tak bisa terima -meskipun menentang habis-habisan sistem yang menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga - tetapi saya tetap ingin suami saya punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Saya menentang konstruksi cantik masa kini: putih, tinggi, langsing. Tetapi saya juga kepengen langsing seperti dulu dan diam-diam ingin punya tinggi di atas rata-rata. Saya membaca teori-teori Marxist tetapi sangat konsumtif yang artinya secara tak langsung saya adalah sekian ratus juta orang yang memanjangkan umur kapitalisme di dunia. Saya sudah memutuskan berpihak pada yang lemah dan tertindas, tetapi saya tidak mau hidup susah dan ingin dalam zona nyaman. Teman kuliah saya, Andi mengeluarkan istilah "bohemian borjuis" alias BoBo untuk menyebut orang-orang macam saya ini. Gayanya sih bohemian (kalau saya cenderung style-nya ke-gypsy-gypsy-an) tetapi gadget-nya keluaran merk ternama yang harganya jut-jut. Tak mau naik pesawat karena mahal, tetapi naik kereta api kelas eksekutif. Kemana-mana naik taksi atau ojek karena tak sanggup jalan kaki. Padahal begitu excited bilang ke orang-orang, "jalan kaki itu sehat, loh..." 

Lagi-lagi, seperti mau naik gunung tapi tak tahan dingin dan tak lincah mendaki atau senang dengan pantai tapi tak bisa berenang jadi tak bisa snorkeling apalagi diving, saya hidup dalam paradoks yang menyedihkan itu. Saya berusaha keras menyukai seseorang karena karakternya, karena kepribadiannya tetapi tetap saja saya menyukai seseorang, tergila-gila pada seseorang karena tampangnya. Lalu, saya suka membuat pembenaran dan kadang-kadang "takdir Tuhan" dibawa-bawa untuk membenarkan ke-paradoksian saya, hawa nafsu saya. Lalu,teringatlah saya pada kata-katanya Pramoedya Ananta Toer, "Bersikaplah adil sejak dalam pikiran", pikiran saya memang (mencoba) adil, tetapi tindakan atau selera saya tidak adil. Ini belum termasuk membebani orang lain mendengarkan cerita saya tentang orang itu berulang-ulang.

Setiap orang bergolongan darah AB pasti memiliki suatu keanehan yang berbeda-beda. Cobalah perhatikan mereka yang ada di sekitarmu.



PS: akibat perbincangan tiga perempuan langka bergolongan darah AB

Life Story

Nyamuk Itu Terbang Rendah

Minggu, Oktober 12, 2014

Kak Wulan pernah mengajari saya satu tips untuk membunuh nyamuk. Tips tersebut diajarkan di beranda rumah pelukis Affandi yang terkenal seantero jagat itu, keren kan? Cara jitu membunuh nyamuk adalah ketika nyamuk itu hinggap di kulitmu, biarkan saja ia menusukmu dengan rahang bawahnya yang mirip rahang Buto Cakil itu. Biarkan ia menghisap dengan nikmat darahmu. Kau amat-amati saja dia, tahan sampai kira-kira 7 detik, dan plak.....matilah nyamuk brengsek itu. Seekor nyamuk yang terlalu asyik minum darahmu akan susah bergerak, ia terlalu rakus, sampai-sampai ia lupa kalau manusia itu punya akal budi, yang meski jarang digunakan toh tetap juga mengambil alih peran di saat ia tak sadar. Refleks!

Dengan tips dari Kak Wulan itu saya perlahan-lahan terampil membunuh nyamuk. Jika dulu saya mengejar nyamuk seperti anak kecil mengejar kupu-kupu maka kini saya sudah sejago sniper di film-film action. Bila beruntung, saat nyamuk-nyamuk itu terbang rendah, maka dengan gaya bertepuk tangan, saya membunuh mereka. Benar apa kata pepatah, "Sekali tepuk, dua-tiga nyamuk terlampaui..."

Saya pikir, ilmu apapun bisa dipelajari termasuk membunuh nyamuk. Yang membuat kita tidak mampu adalah kemauan dan keberanian. Kadang keduanya bahkan harus dirangsang dengan keadaan. 

Love Story

Nembak Itu...

Sabtu, Oktober 04, 2014

"Kamu itu kalau suka sama orang keliatan banget ya..."

Itu kata sebagian besar teman-teman saya. Mereka-lah teman curhat sekaligus saksi mata ketika cinta itu merekah dan kemudian layu sebelum berkembang. Sebagian menganalisis bahwa kelayuan cinta itu datang karena sikap saya yang open body position alias ekspresif. Contohnya, kalau si doi cuma jaraknya 5 meter, oh betapa suara saya sengaja dibesar-besarkan, ketawa paling keras supaya dia memperhatikan. Saya melakukan itu bukan tanpa maksud, saya ingin dia tahu kalau saya ada. Sayangnya, bagi dia itu dianggap sebagai gangguan, sikap yang annoying

Itu jaman belum ada media jejaring sosial. Ketika media jejaring sosial menjadi primadona seperti saat ini, maka bentuk ekspresi saya juga mengikuti medan. Kalau bukan saya chat duluan, komen duluan, posting lagu yang ada kisahnya tentang kami, atau posting-posting centil lainnya. Oiya, saya juga berteman dengan semua media sosialnya. Ah, sayangnya doski tak pernah merespon balik setiap postingan itu, bukan karena saya tak setinggi Heidi Klum, tapi karena memang doski gak kenal sama saya *gubrakkk...

Teman-teman saya selalu menyerang saya dengan argumennya (tentu setelah mendengar curhatan saya yang itu-itu saja: doski kabur karena takut saya terlalu agresif. Garis bawahi, agresif disamakan ekspresif padahal makna dari kedua kata ini berbeda, mungkin salah saya juga sih jatuh cinta sama cowok yang kurang baca kamus dan tesaurus) bahwa saya haruslah kalem bagai lelembut, hanya boleh mengirim sinyal tidak boleh mengungkapkan secara tegas dan lugas. Amdya, salah seorang karib saya berkata, "Kau harus memikirkan cara bagaimana dia bisa melihatmu dari antara banyak orang. Kau memberinya perhatian dengan cara tidak memberinya perhatian". Amboi, betapa susahnya nasehat-nasehat itu dipraktekkan. Masalahnya, orang yang menjadi object of affection itu begitu jauh dari jangkauan. Satu-satunya untuk mendekatinya adalah dengan membuatnya tahu. Nah loh!

Tapi saya selalu punya pembelaan bagi semua nasehat-nasehat bijak teman-teman saya itu. Kukatakan pada mereka bahwa I'm not every woman, yang puas sebagai objek kasih sayang cowok-cowok, yang terbiasa dipuja, yang terbiasa dikejar-kejar. Saya-lah yang memilih dia, maka sayalah yang memujanya, dan mengejarnya. Meskipun saya tahu resiko selalu lebih besar bagi orang yang mencintai lebih dulu. Lagipula, kan tidak setiap hari kita jatuh cinta. Maka, saya akan merayakannya dengan penuh sukacita. Dan jika cinta itu tidak berbalas atau berakhir sendu, mengutip sahabat saya Tirta," Ah, itu masalah nanti..." yang penting momen bahagia itu (alias keracunan dopamine) dinikmati dulu. 

***

Suatu ketika saya membaca salah satu buku yang membahas tentang psikoanalisa Jung. Jung adalah salah satu pacar intelektual saya (saya jadi playgirl memang kalau soal ilmu, Jung ini salah satu korbannya :p) dan saya tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki aspek feminim dan maskulin dalam dirinya. Jadi, laki-laki memiliki aspek feminim dalam dirinya sementara perempuan juga memiliki aspek maksulin dalam dirinya. Jung menyebut aspek feminim dengan sebutan anima dan aspek maskulin dengan sebutan animus.

Anima bagi pria nampak dalam sifat-sifat seperti membimbing, melindungi (see, itu bukan sifat animus pemirsa), atau tahan derita. Hai kaum lelaki, jika kau tahan dalam rasa sakit dan penderitaan sesungguhnya aspek anima-mu yang sedang mengambil peran. Sementara animus pada perempuan salah satunya muncul melalui inisiatif. Nah, disinilah letak kesalahan masyarakat kita. Mereka menganggap bahwa perempuan seharusnya tidak memiliki inisiatif karena inisiatif seharusnya hanya milik lelaki. Inisiatif bisa muncul dalam banyak hal: hubungan dengan sesama, pekerjaan, belajar, dan tentu saja dalam persoalan cinta. 

Namun anehnya, inisiatif yang dimiliki perempuan pada hal-hal lain tidak diganggu-gugat seperti dalam persoalan cinta. Perempuan sah-sah saja berinisiatif membantu pekerjaan temannya di kantor atau memiliki inisiatif sebagai pelajar yang aktif dan kreatif di kelas. Tapi, inisiatif itu jangan sekali-kali digunakan kalau menyangkut soal cinta. Jika kau seorang perempuan yang sedang jatuh cinta, kau sebaiknya mengubur inisiatif-mu untuk menghubungi cowok itu. Tahanlah sakit rindumu. Tunggu saja dia yang menghubungimu lebih dulu. Kemudian, dalam penantianmu kau mendengar cowok itu sudah jadian dengan cewek lain. Lalu, meranalah engkau. Inisiatif pada perempuan selalu coba dihilangkan dengan nilai-nilai sehingga tanpa sadar kita dibuat bergantung dengan keputusan yang dibuat laki-laki. 

Ini yang tidak bisa saya terima. Jika saya mencintai orang itu maka orang itu berhak tahu kalau saya mencintainya. Terserahlah dia mau membalas atau menolak perasaan itu. Saya menyebutnya dengan istilah "memperjuangkan perasaan". Kebahagiaan saya bukan bergantung pada penerimaan dia, tapi ketika dia tahu. Memang sih, kalau ditolak juga jadi sedih. Tapi, cukuplah itu membuktikan bahwa dia sebatas obyek kasih sayang, bukan untuk menjadi pasangan hidup. It takes two people to play tanggo, right? 

***

Suatu ketika, saya pernah naksir berat pada seseorang. Karena tak dapat menahan perasaan lagi, saya ingin mengutarakan maksud hati saya padanya. Akan tetapi, niat itu tampaknya sangat tergesa-gesa.  Saya mengutuk diri karena kadang sangat impulsif. Meski dimabuk asmara, tapi logika saya menolak larut di dalamnya. Saya kemudian meminta pendapat orang-orang yang punya banyak pengalaman dan logikanya lurus untuk meminta second opinion. Bertanyalah saya pada Eyang. Saya menceritakan isi kepala dan hati saya pada Eyang. Bagaimanapun Eyang adalah orang yang sudah kenyang makan asam manis kehidupan. Dan inilah kata-kata beliau pada saya:

"Tidak apa-apa kalau kamu mau bilang sama dia. Tapi kamu yakin sudah kenal orangnya?"

Saya menelan ludah, menggeleng.

"Kalau dia orangnya dalam, dia akan menghargai perasaanmu. Tapi kalau tidak, dia akan mengolok-olok perasaanmu itu, diceritakanlah pada banyak orang seolah itu adalah lelucon. Resiko memang lebih besar jika kau mengatakannya, nduk. Tidak semua orang, laki-laki atau perempuan siap menerima kejujuran seperti itu".


Sayangnya, saya hidup dalam masyarakat yang tidak mendukung inisiatif pada perempuan yang sedang jatuh cinta. Kami memang dibuat menunggu. Singkat cerita, saya urung menyampaikan maksud hati saya padanya. Biarlah, suatu saat nanti dia tahu sendiri. Kalaupun dia tahu tapi tak berbuat apa-apa...biarlah. Cinta seharusnya memang membebaskan.

Jika kau masih penasaran, apakah saya pernah menembak seseorang? saya akan tersenyum dan berkata, " Tidak pernah. Tapi....saya pernah menyampaikan perasaan saya padanya."



Sesungguhnya meminta seseorang menjadi pacar kita dengan hanya ingin membuatnya tahu bahwa ada orang yang menyayanginya itu beda, saudara.


Life Story

OPTIMISME

Jumat, Oktober 03, 2014


*Das ist Brandenburger Tor. pic from tumblr*


Hallo, Wie geht es dir?

Sudah sebulan ini saya mengikuti kursus bahasa Jerman di Pusat Studi Jerman UGM. Keinginan itu sudah terbersit sejak awal kuliah dan baru terealisasi di semester ini. Belajar bahasa Jerman kali ini seperti nostalgia saat mempelajarinya dulu di SMA. Dan sungguh mati, saya menyesal tidak belajar baik-baik waktu itu. Beberapa materi banyak yang sudah terlupakan dan saya harus memulai segalanya dari awal lagi. 

Kembali mempelajari bahasa seperti membalikkan kaset side A ke side B. Memori itu terputar kembali ketika saya mengikuti kursus bahasa Inggris demi bisa speak fluently dan test TOEFL untuk lanjut sekolah. Momen di mana saya pulang balik kampus-Briton setiap hari dan mengorbankan kesenangan-kesenangan masa muda, pacaran misalnya. Yang paling tak terlupa adalah momen dimana saya pernah menangis di atas pete-pete --benar-benar air mata yang mengucur di pipi-- karena tiba-tiba saja saya merasa takut sekaligus kesepian berjalan sendiri di jalan yang saya pilih. 

Tapi, airmata saya diseka oleh harapan-harapan bahwa apa yang saya lakukan ini tidak akan sia-sia.  Dan kini semuanya berulang, perjalanan belum berakhir. Perjalanan itu baru saja dimulai.

Hal yang paling kusukai dari Herr I, guru bahasa Jerman kami yaitu sikap optimis yang dimilikinya. Herr I, pria Jawa bertinggi sedang, agak kurus, namun berkulit putih itu selalu optimis bahwa kelak kami - 18 orang muridnya - suatu saat nanti akan menginjakkan kaki di Deutschland. Ia percaya bahwa hal itu sudah dimulai dari hal kecil: belajar bahasa sebagai alat komunikasi untuk survive disana. Rasa percayanya dan optimisme yang ditanamkannya pada kami itulah yang membuat semangat itu terus menyala. Kita membutuhkan sikap optimis untuk melengkapi harapan-harapan itu dan rasa itu bukan saja datang dari diri sendiri tetapi diberikan pula oleh orang lain. 

Inilah harapan yang semoga sesuai dengan kehendak Tuhan. Saya memilih Jerman untuk melanjutkan pendidikan doktoral bukan karena gengsi atau gaya-gayaan. Bukan pula karena saya mental bangsa terjajah dan masih di bawah pengaruh post-kolonial sehingga selalu memandang takjub hal-hal di luar Indonesia. Pertama, pendidikan doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia masih sedikit, bahkan setahuku masih Unpad yang memiliki program murni itu. Kedua, sejak semula saya tertarik dengan kajian kritis, mazhab Frankfurt, atau minat studi dan penelitian-penelitian yang saya lakukan selalu mengarah ke sana (Saya baru sadar, skripsiku bahkan tentang dongeng Jerman!). Ibaratnya mencari kitab suci ke barat ala biksu Tong. Ketiga, setidaknya saya punya sedikit sisa-sisa kemampuan berbahasa Jerman ketimbang harus betul-betul belajar bahasa dengan huruf yang beda pula dari nol. Keempat, carilah negara yang berprospek ketemu jodoh lebih besar. Maksudnya, Jerman itu kan di tengah-tengah, kita bisa keliling Eropa dengan trem dan otomatis bisa ketemu "Ethan Hawke ala Before Sunrise" disana. Kelima, saya harus dan merasa wajib mengunjungi kuburan Beethoven dan Niklas Luhmann. 

Tentu saja belajar adalah proses begitu pula dengan menggapai cita-cita. Kita harus tahu bersusah-susah dahulu supaya tahu bersenang-senang ke tepian. Saya selalu teringat kata-kata Mbak Truly, "Kalau kamu galau keluarlah dan pandangilah langit pada malam hari, lihatlah bintang-bintang...lihatlah kemungkinan tak terbatas yang terhampar disana. The infinite possibilities". Kita memang tidak tahu kemana angin akan membawa kita, tetapi sebaiknya kita melakukan apa yang bisa kita kerjakan, apa yang bisa kita usahakan. Lalu, biarkanlah Yang Mahakuasa melakukan apa yang menjadi bagianNya.



Ditulis tepat tanggal 3 Oktober, hari  Reunifikasi Jerman yang berawal dari runtuhnya tembok Berlin yang kemudian mempersatukan Jerman Barat dan Jerman Timur. Bukankah ini suatu sinkronisitas yang manis? Suatu saat nanti saya akan berada di depan Brandenburger Tor (yang kedengaran seseksi vibrator di telinga saya) untuk melakukan perjalanan lain sebagai pengembara kehidupan. 



PS: To Kak Emma, above all don't lose hope :)