Are You Original?

Sabtu, Juli 27, 2013

*pic google*


"I'm not that regular of a person, and they really like regular."
(Erica Barry, Something's Gotta Give)


Setelah lama merenung mengenai konstruksi kecantikan, saya jatuh pada kesimpulan bahwa yang salah bukan konstruksinya tapi manusia yang memakai konstruksi itu sebagai standar. Konstruksi kecantikan bisa berubah sesuai perkembangan zaman yang tentu saja dipengaruhi manusianya. Konstruksi itu sendiri setelah melalui fase -yang kalau pake modelnya Berger-Luckmann harus melewati tahap internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi- bisa berubah apabila manusianya menghendaki. Manusia memegang kontrol untuk melanggengkan sebuah konstruksi. Manusia punya kuasa untuk membongkar pasang atau mengganti konstruksi kecantikan itu dengan yang baru. Sayangnya, tidak semua manusia sadar akan hal itu. Lebih menyedihkan lagi sebagian besar manusia menerima konstruksi itu sebagai hal yang wajar. Hasilnya manusia yang "tidak sadar" itu dikuasai oleh manusia yang "sadar" untuk lambat laun mengikuti kemauannya. 

Kita menerima bahwa standar cantik dinilai dari bentuk tubuh yang tinggi, tentu saja dengan tungkai kaki yang panjang sedangkan kita perempuan Indonesia tidak semua terlahir dengan kaki panjang, kita common sebagai makhluk berkaki pendek. Lalu warna kulit yang putih, which is itu tentu saja kontra dengan warna kulit kita sebagai penduduk negara tropis yang membuatnya menjadi sawo matang atau kuning langsat. Lalu masuk ke muka : bentuk hidung yang mancung, bibir merah merekah, atau alis mata yang bagaikan semut hitam berbaris. Tidak sampai disitu, rambut juga menjadi varian penting dalam kecantikan. Sampai sekarang pun rambut masih laku untuk dijual. 

Saya pernah sangat membenci rambut saya dan kemudian meluruskannya karena saya tidak tahan diejek yang lantas membuat saya tidak percaya diri dengan rambut ikal saya (percayalah, di dunia ini bukan cuma saya satu-satunya yang melakukan itu). Zaman itu orang-orang sedang tergila-gila dengan drama asia dimana cewek-ceweknya memiliki rambut hitam lurus panjang. Teman-teman sekolah saya yang mayoritas Tionghoa, memiliki rambut seperti Pai Su Cien, si siluman ular putih yang tentu saja serupa dengan model iklan shampoo masa itu, ah iya iklan shampo-shampo jaman itu mendukung rambut indah Pai Su Cien. Akhir-akhir ini saja iklan shampoo yang sesuai perkembangan zaman berubah lagi menampilkan rambut panjang bergelombang, rambut ikal, rambut saya. Jengkel saya melihat itu. 

Untuk itulah saya tertarik dengan kajian feminisme (bedakan tertarik dan mengagung-agungkan). Feminisme ataupun paham-paham kritis lain jika dengan benar dipahami akan membawa kepada cara berpikir yang lebih -tentu saja kritis, moderat, dan yeah secara tak sadar kita menjadi destruktif terhadap sesuatu yang merupakan hasil konstruksi. Feminisme berusaha menggeledah, membongkar, dan menyadarkan manusia (terdiri dari laki-laki, perempuan, dan LGBT), untuk keluar dari apa yang dikatakan Marx sebagai "kesadaran palsu". Laki-laki dan perempuan diluar kodratnya, merupakan bentukan dari sistem masyarakat kita (ini yang disebut gender atau peran) dan kemudian sistem masyarakat ini (yang notabene lebih banyak tidak adilnya daripada adilnya) juga masuk dalam mengonstruksi tubuh manusia utamanya tubuh perempuan. Seksualitas perempuan adalah hal yang kompleks. Tubuhnya itu memiliki nilai-nilai yang berbeda-beda antara satu bagian dengan bagian yang lain. 

Ketika keperawanan begitu diagung-agungkan, perempuan yang tadinya adalah manusia kemudian mengecil menjadi sebatas selangkangan. Waktu SMP saya pernah mewakili sekolah untuk mengikuti simposium kedokteran yang membahas kesehatan reproduksi. Si Ibu Dokter pemateri memberikan fakta yang membuat kami anak-anak lugu ini bergidik. Banyak kasus perempuan yang tidak perawan (entah karena sudah pernah berhubungan seks atau selaput darahnya sobek saat berolahraga) langsung dikembalikan ke rumah orang tuanya begitu malam pertama berakhir. Diceraikan hanya karena tidak perawan. Salah satu Tante saya pernah berkata begini kepada saya sambil memegang segelas air putih,"Perempuan itu seperti gelas, kalau gelasnya pecah tidak bisa disusun kembali". Ia berbicara lebih kepada peringatan. Sedangkan Mami saya lebih menegaskan kepada pentingnya keperawanan untuk menjaga statusmu dalam rumah tangga,"Kalau perempuan sudah tidak perawan, ya cenderung dipandang enteng sama suaminya". Mami mengajarkan saya tentang self defense. Ia tidak berbicara tentang menjaga keperawanan sebagai barang pusaka tapi menjaganya sebagai pelindung jikalau dalam rumah tangga itu kita secara tak sadar "dilecehkan" dan "dikuasai". Singkatnya dengan menjaga keperawananmu kamu tidak "disiksa" dalam pernikahan. 

Kembali pada kecantikan, lagi-lagi perempuan-lah yang paling berat mengalami cobaan ini. Ada berapa kasus anoreksia dan bulimia remaja putri hanya karena ingin memiliki bentuk tubuh ideal? Ada berapa banyak perempuan yang melakukan operasi plastik demi memiliki standar kecantikan itu? Mereka tidak bisa disalahkan, mereka hanyalah korban ketidakadilan yang mencoba untuk diterima dalam sistem masyarakat kita yang tidak adil ini. Mereka lebih tepatnya ingin diterima oleh lingkungannya dan tentu termasuk lawan jenisnya.

Perasaan ditolak itulah yang menjadi luka. Dan setiap perempuan memiliki lukanya masing-masing. Kini dengan perkembangan teknologi yang semakin maju justru membuat akses keseragaman manusia itu semakin mudah. Media massa lagi-lagi (dan selalu) ikut ambil bagian dalam merayakan sekaligus mempromosikan sebuah konstruksi kepada kita. Kulit luar menjadi lebih penting daripada mengkualitaskan diri di dalam. Sesuatu yang hanya tampak di mata menjadi pusatnya. Lalu kita mulai mengelompokkan orang berdasarkan apa yang nampak itu. Kita tidak melihat sesuatu yang original lagi, sesuatu yang disebut "manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang unik" yang ada hanyalah sekumpulan manusia terutama perempuan yang penampakannya seperti lirik lagunya Superman Is Dead : sama dan seragam. 

Mereka secara tak sadar menjadi regular, menjadi yang biasa. Lalu laki-laki yang tolol yang terjebak dalam kesadaran palsu itu akan seperti buaya lapar yang mengejar mereka. Akhirnya, ketika apa yang dibentuk selalu tak abadi dari apa yang tak nampak yang  ternyata lebih tahan lama, maka kecewalah mereka. Terbentuklah homo homini lupus. Untungnya masih ada perempuan yang sadar bahwa mereka adalah manusia yang dikarunia akal pikiran. Mereka yang masih berpikir dan bersyukur bahwa mereka dinilai atas kerja otaknya ketimbang dandanannya. Mereka yang berharap menemukan seseorang yang mampu melihat ke "dalam" melampaui apa yang terlihat. Karena mereka sadar bahwa 30 tahun dari sekarang, mereka akan kehilangan kemudaannya. Namun, karakter yang dibentuk oleh kerja keras dan konsistensi itulah yang membuat kecantikan setiap perempuan akan abadi.

Bagaimana denganmu, apakah kamu masih original?

You Might Also Like

0 comments