Special Moment

Konser Guns N' Roses

Senin, November 19, 2018

Guns N' Roses di Jakarta (photo : Meike)


Bayangkan, kamu punya band idola yang lagu-lagunya kamu dengarkan sejak masih balita. Lagu-lagu itu juga mengiringi masa remaja kamu sebagai teman melewati masa pencarian identitas diri, bullying, dan cinta monyet meskipun pada waktu itu kamu belum mengerti makna lagu-lagunya. Cita-cita pertamamu adalah menjadi groupies mereka. Lalu waktu berlalu, alat musik yang dimainkan oleh manusia perlahan digantikan teknologi. Band ini juga mengalami gejolak. Lalu, mereka tinggal sebuah kenangan. Kamu (dan jutaan fans-nya di dunia) menginginkan mereka reuni. Di masa itu, konflik antar anggota band dalam formasi hebat mereka seperti tak mungkin terdamaikan bahkan sampai ketika mereka diakui dalam Rock & Roll Hall of Fame di tahun 2012.

Kita tidak tahu kapan keajaiban terjadi, tetapi bila itu terjadi rasanya seperti mimpi. Tak mudah untuk dipercaya. Guns N' Roses dengan formasi reuni dan ditambah anggota terkini, bergabung dan menggelar konser besar mereka keliling dunia. Indonesia menjadi tuan rumah pertama untuk pembukaan tur mereka di Asia Pasifik. Memang, formasi reuni ini tidak komplit seperti yang kita harapkan pada formasi Appetite for Destruction atau formasi Use Your Illusion. Tapi, apa yang bisa diharapkan lagi dari para fans sejati? Bergabungnya kembali Axl Rose, Slash, dan Duff McKagan saja sudah seperti sebuah doa yang terjawab.

Ketika mengetahui bahwa GNR akan konser pada tanggal 8 November 2018, saya langsung memberi tahu Mami dan kak Emma. Mereka sangat excited dan mendukung ide ini. Mami bahkan ingin menemani saya nonton di Jakarta. Kak Emma sudah menonton konser GNR reunion saat masih di Sydney. Kami berdua tergila-gila dengan Duff McKagan, sang bassis yang tidak hanya jadi rockstar tetapi juga pembaca dan penulis buku. Duff adalah role model bagi mereka yang ingin menjadi penetral dalam sebuah relasi. Ia tidak perlu rebutan panggung dengan dua kawannya, Axl dan Slash, yang memiliki pesona dan bakat yang luar biasa. Duff menemukan caranya sendiri untuk bersinar tanpa perlu lampu sorot mengarah kepadanya. Dan itu yang membuat Kak Emma dan saya tergila-gila (P.S: waktu SMP saya tergila-gilanya sama Axl, tapi waktu nonton video klip Paradise City, saya kepincut Duff disitu hihii..)

Bagi saya menonton konser GNR seperti ziarah batin. Awalnya, saya dan Mami berencana akan menonton konser itu bersama-sama. Tetapi, Mami pergi lebih dulu tanpa bisa dicegah. Dalam keadaan duka, saya ragu untuk menonton konser ini. Tetapi, hati kecil saya seperti terus mendesak, kamu harus nonton Meike, apapun yang terjadi. Ini janji kamu sama Mami. Di luar dugaan, Daddy ternyata mendukung niat saya untuk nonton konser. Sayangnya, Daddy pencinta Meggy Z, Doel Sumbang, dan Rama Aiphama. Jika tidak mungkin kami berdua yang akan nonton konser bersama.

Selain Daddy, Kak Emma juga adalah salah satu orang yang mendukung hal itu. Karena saya terlambat membeli tiket, tiket yang ingin saya beli sesuai budget sudah habis. Di luar dugaan, Mami ternyata sudah menyiapkan segalanya. Ia dan Kak Emma bersatu menambah uang saya untuk membeli tiket di bagian Rockstand Festival A (pas di bawah panggung). Lagi-lagi saya ragu, takut nonton GNR sendiri. Pikiran saya nanti kalau ada apa-apa gimana. Ini pertama kalinya saya menonton konser sendiri. Biasanya dengan Mami atau teman. Tapi, kemudian saya ingat bahwa pasti pengunjung konser ini adalah generasi kelahiran akhir 60-awal 90an jadi tidak mungkin rusuh. Mengingat harga tiketnya juga mahal untuk golongan kelas menengah, maka pasti juga bukan kelompok jenis yang suka bikin rusuh yang bisa masuk di venue. Maka, saya memantapkan hati. Baiklah, let's do it. Kak Emma membantu saya menguruskan urusan tiket. Sementara saya meminta bantuan Cubo untuk mengurus tempat penginapan yang dekat dari stadion Gelora Bung Karno (GBK), tempat konser akan berlangsung.

***

Saya sudah di Jakarta sehari sebelum konser. Cubo menjemput saya di stasiun Gambir.  Tak disangka saat menunggu Grab, saya bertemu dengan suster kepala sekolah sewaktu di SMP. Terakhir bertemu beliau ketika saya lulus SMP. Di masa SMP inilah saya tergila-gila dengan GNR sebagai remaja tanggung. Tirta, sahabat saya, juga tergila-gila dengan Queen. Pertemuan dengan Suster Vinsensia sungguh terasa seperti ketidakterdugaan yang aneh. Dari stasiun, kami lalu menuju hotel, menaruh barang dan jalan-jalan di Grand Indonesia. Malam itu saya ada janji untuk bertemu dengan Kak Ruth Wijaya, seorang blogger yang blognya saya gemari. Saya dan Cubo masih sempat ngobrol sebelum dia pamit untuk kerja. Sementara saya dan Kak Ruth akan melanjutkan kopi darat kami. Lagi-lagi tak dianya, saya bertemu dengan Wiwi, teman SMP-SMA yang sekarang tinggal dan bekerja di Jepang. Saya dan Wiwi terakhir kali bertemu sekitar tahun 2012 atau 2013 (lupa). Wiwi berkali-kali speechless karena tidak menyangka bertemu saya di GI. Saya pun demikian kaget dan herannya. This is weird, berkali-kali Wiwi berkata demikian. Setelah ngobrol sebentar dengan Wiwi, saya dan Kak Ruth menghabiskan sisa malam dengan mengobrol tentang cinta dan harapan (ini akan kita bahas nanti).

***

Hari H konser tiba. Saya sudah mulai mellow karena saking terharunya. Saya tiba di venue pukul 4 sore. Saya bertemu dengan dua orang Mas-Mas baik hati yang kemudian menjadi teman jalan saya sampai di depan pintu masuk. Salah satu dari mereka bertanya, "Kok kamu nonton GNR, kelihatannya kamu bukan dari generasi ini," tanyanya. Saya tersenyum dan menjawab, "I'm an old soul" (eaaa). Kami bercerita tentang baju kaos band yang kami pakai. Mereka berdua mengenakan kaos band bergambar pistol dan mawar, logo GNR yang terkenal itu, sementara saya mengenakan baju kaos bergambar Duff di masa muda yang saya buat tahun lalu bersama Kak Emma tanpa pernah tahu kalau GNR bakalan konser reuni di Indonesia.

Tiba di pintu masuk, kami berpisah karena ternyata saya harus menukarkan tiket di pintu parkir timur. Bapak penjaganya menyuruh saya mengikuti dua orang cewek yang juga ternyata mau menukarkan tiketnya. Mereka adalah Irish dan Tore dari Solo. Bersama mereka, kami berhasil menukarkan tiket. Sejauh mata memandang, para penonton konser mengenakan baju kaos GNR dengan logo khas mereka, gambar album-album GNR, gaya ala Slash dan Axl, dan baju merchandise konser hari itu. Jika ada 50.000 tiket habis terjual dan mungkin jika dikurangi dengan yang tidak hadir, maka ada sekitar 40.000 penonton konser malam itu. Menariknya, cuma saya (sejauh mata memandang), yang memakai kaos gambar Duff (bolehlah pamer hehehe). Saya dan kelompok Irish berpisah, karena mereka ternyata punya teman-teman lain. Untungnya daku ini anaknya independen dan fleksibel, bisa sendiri maupun bergerombol. Ada semacam kekuatan yang terus menggerakkan saya. Tidak apa-apa Meike, jalan terus. All is well. Saya melanjutkan perjalanan nonton konser itu sendiri lagi. Seorang Mas Baik Hati lainnya bersedia memotokan saya dengan kaos Duff di depan penukaran tiket.

Tiba di dalam area konser, sudah banyak penonton yang duduk menjaga tempat. Saya duduk tidak terlalu jauh dari bagian kanan panggung dan mengirimkan foto ke Kak Emma. Kak Emma langsung menelpon saya dan memberi tahu kalau Duff biasanya posisinya di sebelah kiri panggung. Saya langsung ingat di video-video konser mereka, Duff dan Izzy memang selalu di kiri, Axl di tengah, dan Slash di sebelah kanan. Keraguan merambati hati saya lagi. Di satu sisi mau liat Duff langsung lebih dekat, di sisi lain saya ragu apakah saya bisa mendapatkan tempat yang lebih baik dari tempat saya sekarang. Sambil menitip pesan ke Mas-Mas di sebelah saya untuk menjagakan tempat dan bilang kalau dalam 10 menit saya tidak kembali berarti saya sudah mendapatkankan tempat yang baru, saya pun memberanikan diri ke area sebelah kiri panggung.

Di area sebelah kiri sudah banyak manusia, tetapi masih ada sedikit celah. Saya berusaha menembus celah-celah tersebut dan berhasil mendapatkan tempat yang malah lebih baik dari tempat saya tadi. Saya bisa melihat semua personil dengan puas. Ternyata, di tempat ini pula saya berkenalan dengan sepasang suami istri pencinta GNR. Mbak Asti dan suaminya bertemu gara-gara lagu November Rain. Mbak Asti bercerita dulu waktu masih ngekos, dia suka memainkan gitar. Pada suatu ketika, ia memainkan lagu November Rain. Saat ia memainkan lagu itu, tiba-tiba ada suara piano mengikuti irama gitar Mbak Asti. Dari situlah Mbak Asti bertemu suaminya. Selama konser berlangsung, Mbak Asty dan suaminya yang menjaga saya. Kalau saya haus, mereka dan seorang perempuan berwajah khas Indonesia Timur yang berdiri di sebelah saya yang memberi minum. Selalu ada kebaikan-kebaikan yang mengiringi. Waktu itu sudah pukul 6 sore. Konser baru dimulai jam 8 malam. Awan hitam menggantung menyelubungi GBK. Kami berdoa supaya tidak hujan. Kami sudah tidak sabar untuk menonton band idola kami.

***

Pukul 20.00 WIB, Kikan datang dari belakang panggung dan memimpin audiens menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semuanya menyanyi dengan khidmat. Saya melirik kiri-kanan, ternyata benar, para penonton banyak dari kalangan kelahiran 60-90an awal. Yang mengejutkan ada yang berasal dari generasi 90-an akhir. Para penonton ada yang datang sendiri, ada yang bersama pasangan, ada yang bersama ayah atau ibunya, dan ada yang bersama teman-temannya. Jika Mami masih ada, kami berdua pasti sudah asyik disini seperti ketika kami dulu menonton konser Mr.Big dan Kahitna. I miss Mami so much that night

Sekitar pukul 20.15 WIB, satu-satu personil GNR mulai masuk dan menghentak dengan lagu pembuka, It's So Easy dari album Appetite for Destruction. Penonton histeris. Semua ikut bergoyang. Benar kata Kak Emma, menonton idolamu langsung adalah sebuah pengalaman magis. Saya menangis dong. Masing tidak percaya dengan yang saya alami. Duff, Axl, dan Slash muncul secara nyata di depan saya. Personil GNR yang lama masih ada Dizzy Reed pada keyboard. Sisa anggota lain pasca kejayaan Use Your Illusions juga tampil maksimal, seperti Richard Fortus (gitar) , Melissa Reed (penyintesis), dan Frank Ferrer (drum). Axl tampil maksimal meskipun ia mudah ngos-ngosan tapi tak mudah menyanyikan lagu-lagu GNR yang nada-nadanya beraneka ragam dalam waktu tiga jam. Axl Rose memang kece badai. Untungnya ada Duff, Mellisa, dan Richard yang menutupi kekosongan kalau Axl kelepasan nada.

Selama tiga jam tampil, GNR secara adil membawakan lagu-lagu hits dari enam album mereka: Appetite For Destruction, Lies, The Spaghetti Incident?, Use Your Illusion 1 dan 2, dan Chinese Democracy. Berturut-turut lagu-lagu hits dinyanyikan seperti Rocket Queen, Sweet Child O' Mine, Welcome To The Jungle, November Rain, Mr. Brownstone, You Could Be Mine, Live and Let Die, Civil War, Nightrain, Estranged, Yerterdays, Used To Loved Her, This I Love, dan Better. Duff muncul menyanyikan medley You Can't Put Your Arms Around A Memory dan Attitude dari album The Spaghetti Incident?. Ada juga beberapa lagu yang diambil dari penyanyi lain, salah satunya band-nya Slash dan Duff, Velvet Revolver dengan hits mereka Slither. Sayang So Fine tidak dinyanyikan malam itu.

Malam itu saya sangat menikmati penampilan mereka. Saya mengambil beberapa foto dan merekam saat Duff menyanyi dengan iphone 5s saya (penonton tidak boleh membawa kamera pro). Tapi, untuk beberapa lagu hits yang memorable dan penting bagi saya, saya diam. Saya ingin menikmati kehadiran mereka langsung menyanyikan lagu-lagu yang dulunya hanya bisa saya dengar dari tape dan CD player. Keinginan saya menyaksikan mereka langsung dengan segala panca indra saya terwujud. Kelak, akan saya ceritakan pada anak cucu hehee. 

***

Lalu momen magis pun terjadi.
Sewaktu Axl mulai menyanyikan lagu Knockin' On Heaven's Door, saya menengadah ke atas langit. Angin dingin menyentuh wajah saya. Saya seperti merasakan kehadiran Mami. Seperti dia juga ikut nonton bersama saya. Saya menangis. 

Mama take this badge from me 
I can't use it anymore 
It's getting dark too dark to see 
Feels like I'm knockin' on heaven's door

Lagu ini seperti lagu GNR yang lain, punya beberapa part yang cukup panjang untuk instrumen musik. Di saat itulah, di antara bagian bridge lagu,  saya melihat Duff berdiri di sana di antara celah kepala orang-orang. Dia seperti menatap ke arah saya. Secara rasional, ini mungkin efek Barnum atau mungkin saya sedang berhalusinasi. Tapi, saya benar-benar merasa terkoneksi dengan Duff. Duff menulis di bukunya bahwa kadang ia tidak bisa melihat penonton karena gelap (efek cahaya panggung) meskipun ia mengaku sangat senang jika menemukan wajah para fans yang bahagia dengan permainan musik mereka. Well, peduli setan. Malam itu untuk sekitar 15 detik saya merasa terkoneksi dengan Duff. Tatapannya seolah berkomunikasi dengan tatapan saya. Ekspresi wajah saya menyambut dan nyambung dengan ekspresi wajah dia. Ketika Duff mengangkat tangannya dan mengarahkan telunjuknya ke langit, saya mengikutinya. Saya merinding. Ini magis. Jika kita terlalu sibuk mengambil foto dan video di setiap lagu, kita tidak akan mengalami pengalaman terkoneksi dengan Sang Musisi seperti ini. Saya seperti bisa merasakan apa yang dirasakan penonton konser GNR di Jepang pada tahun 1992. It was a breathtaking experience.

Lalu momen yang lebih religius pun terjadi.
Dengan segala kegagalan, penundaan, luka, dan kemarahan yang saya alami, Axl menyambung dengan lagu Don't Cry.

And please remember 
That I never lied 
And please remember 
How I felt inside now, honey 
You got to make it your own way 
But you'll be alright now, sugar 
You'll feel better tomorrow 
Come the morning light now, babe

Don't you cry tonight 
I still love you, baby 
Don't you cry tonight 
Don't you cry tonight 
There's a heaven above you baby 
And don't you cry tonight

Okay. Saya menangis lagi. Saya merasa malam itu Yesus ngomong ke saya melalui suara Axl. Setelah menyanyikan Don't Cry, GNR menyambung dengan akustik lagu Patience. Damn! Enough Jesus, Enough!. Saya ikut menyanyikan Patience dengan gaya seperti para umat Karismatik menyanyi. Yes, I sang religiously to this song with tears on my cheeks. 

Said sugar make it slow and we'll come together fine 
All we need is just a little patience

Konser malam itu ditutup dengan lagu Paradise City. GNR tampil solo tanpa band pembuka dan penonton tetap setia selama tiga jam. Mereka tampil prima dan terlihat solid untuk memberikan penampilan terbaik. Penonton malam itu terlihat puas sekali dan berdecak kagum berkali-kali. Saya pun demikian. Malam itu saya sangat bahagia. Sampai hari ini saya belum bisa move on dari pengalaman ini.

Seperti sudah saya katakan sebelumnya, konser GNR adalah ziarah batin bagi saya yang penuh drama dan airmata. Sejak awal rencana untuk datang ke konser ini, saya berhadapan dengan keraguan, ketakutan, dan rasa malu saya. Biasanya selalu ada Mami yang menemani dan memastikan saya baik-baik saja. Namun, sekarang tidak ada Mami yang secara fisik bisa saya andalkan. Dan keajaiban sungguh terjadi.  Saya selalu mendapat teman. Saya tidak dibiarkan sendiri atau merasa sendirian. Jika bukan karena telpon Kak Emma, saya tak mungkin melihat Duff dari sisi kiri panggung dan bertemu dengan Mbak Asty dan suaminya. Firasat saya malam itu kuat sekali. Mami sudah menyiapkan semuanya. Ia menjaga saya. Ia memastikan saya baik-baik saja.

Jika Tuhan bekerja begitu detil dalam hal-hal kecil di hidup kita, kenapa kita selalu takut untuk hal-hal yang besar yang kita harapkan? Pertanyaan ini masih menggantung di langit malam bersama gerimis yang mulai turun. Saya kembali ke hotel. Dan tidak bisa tidur. Tiba-tiba ada lalat hitam di dalam kamar. Saya tersenyum. Mari Mami, kita berdoa.

***

Enjoy the photos...


Duff, Axl, dan Slash (photo : Meike)


Duff, my hero (photo: Meike)


Amazing stage. Richard Fortus (gitar) dan Duff (bass) (photo: Meike)


 Formasi Appetite, minus Steven dan Izzy. Axl was supercool (photo: Meike)


The one and only, Slash (photo : Meike)

GNR's babe (difotoin mas-mas baik hati)

Special Moment

26

Senin, Mei 22, 2017

Ada sebuah cerita dari Injil yang mengguncang iman saya sejak kecil. 

Suatu ketika Isa menyuruh para murid duluan naik ke perahu sementara Ia sendiri pergi ke gunung untuk berdoa. Di tengah perjalanan, angin ribut datang dan perahu para murid pun oleng diterjang ombak. Di saat itu, datanglah Isa berjalan di atas air menghampiri murid-muridnya. Murid-murid yang matanya rada rabun karena air hujan histeris karena berpikir Ia adalah hantu. Tetapi sosok itu semakin mendekat, dan Isa berteriak, “Tenanglah. Jangan takut, ini Aku”. Maka, Petrus, salah seorang murid-Nya itu balas berteriak, “Jika kau benar-benar Tuhan, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air”. Isa membalas,”Datanglah”. Petrus pun turun dari perahu dan berjalan di atas air mendekati Isa. Tetapi, ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam. Ia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!”. Segera Isa mengulurkan tangannya dan memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”. 

Ada kebutuhan manusia untuk percaya. Dengan percaya, kita menemukan rasa stabil, suatu rasa aman bahwa “semuanya baik-baik saja”. Percaya membuka ruang untuk mengantungkan diri pada “sesuatu”. "Sesuatu" itu membuat kita aman menghadapi masa depan, suatu ketidakpastian. Konsep “percaya” ini tricky karena bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan kita. Inilah yang menjengkelkan Nietzsche yang mengagung-agungkan manusia yang kuat dan bebas. Konsep "kuat" dan "bebas" memang multitafsir sekaligus menggoda. Tetapi kita juga punya rasa takut yang alamiah. Adakalanya kita membutuhkan rasa percaya agar kita tidak takut lagi, agar aman lagi. Kita membutuhkan tangan yang digenggam, bahu untuk bersandar, kutipan ayat-ayat suci yang menguatkan, bahkan jimat dari para leluhur. Apapun yang membuatmu stabil dari ketegangan. Para Ignasian (pengikut spiritualitas St.Ignatius Loyola) percaya bahwa manusia harus mengatasi rasa takutnya. "Jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus dihadapi, gelap harus diterangi". Dan untuk menerangi kegelapan kita membutuhkan "pelita". Sesuatu yang menjadi "pegangan".  

Seberapa hebatnya kita sebagai manusia, pada akhirnya kita akan menghadapi situasi seperti Petrus. Awalnya, kita selalu “yakin” pada apapun yang kita perbuat, tetapi bila “angin” cobaan dan kesulitan datang, mampukah kita tegar berjalan atau justru takut dan tenggelam? Ketika saya membaca kisah ini saat masih anak-anak, saya meragu apakah saya mampu berjalan di atas air. Seiring bertambahnya usia, saya justru semakin mengikuti jejak Petrus. Saya percaya kuat-kuat dan pasti namun ketika ada badai datang, saya mulai bimbang. Saya takut cita-cita saya tidak terwujud. Saya ragu apakah saya akan menemukan seseorang untuk menjadi teman seperjalanan dalam hidup. 

Di hari ulang tahun saya yang ke-26, saya takut jika saya mati hari itu, tak ada yang peduli atau merasa kehilangan (well, keluarga dan para sahabat tentu bersedih) tetapi dunia akan terus berjalan seperti biasa. Ada dan tidak adanya dirimu tak ada bedanya. Setelah hari ke-40, kuburmu mulai jarang dikunjungi. Lalu waktu menghapus kenangan tentang dirimu. Ini mengerikan. Itulah sebabnya saya tak suka kuburan seberapa cantik, berseni, dan beradabnya kuburan itu. Tempat itu mengingatkan saya pada pelupaan. 

Saya merindukan rasa percaya itu. Rasa pasti bahwa ada Pribadi yang selalu menyediakan dan melakukan apapun untuk kebaikan saya. Rasa percaya seperti anak-anak pada orang tuanya. Seorang anak yang menangis di tengah orang asing akan langsung reda tangisannya ketika ia melihat ayah dan ibunya. Rasa percaya yang pelan-pelan dirampas oleh ironi, waktu, dan pengetahuan.

Karena semakin bertambahnya usia, saya menyadari saya tidak tahu apa-apa.
Selamat ulang tahun.



Note:

Saya menuliskan ini sambil mendengarkan salah satu album favorit saya dari dekade 1970-an. Homeless Brother (1974) adalah album filosofis dan hobo-nya Don McLean yang dikenal dunia lewat lagu American Pie dan Vincent (Stary-Stary Night). Lagu-lagu favorit saya antara lain Did You Know, The Legend of Andrew McCrew, Winter Has Me In Its Grip, dan Wonderful Baby. 

Special Moment

Kado Ulang Tahun Ter-Rock 'n Roll

Jumat, Mei 05, 2017

*dok.pribadi

Paket itu akhirnya tiba setelah penantian berbulan-bulan. Sebuah kado ulang tahun yang datang lebih dini. Kado itu adalah barang-barang langka yang susah didapatkan di negara ini. Barang-barang yang kubutuhkan dan sekaligus kuinginkan. Ia melewati dua benua, dua negara, dan tiga kota. Ia beralih dari tangan-tangan yang satu ke tangan-tangan yang lain. Ia melalui banyak memori dan peristiwa. Ia bersama perasaan yang sedih dan gelisah, gembira dan bersemangat. Setelah mendiskusikan dan terhanyut dalam romantisasi dan dramatisasi, akhirnya saya bisa memegangnya secara langsung. Rasanya seperti memeluk idola itu sendiri. Membaca kisah-kisahnya membuat saya seperti mendengarkan sang Idola bercerita. Saya hanyut ke sebuah masa dimana manusia benar-benar bermain musik dan bukan mesin. Sebuah masa dimana gender tidak dipertanyakan. Sebuah masa dimana rock 'n roll menjadi gaya hidup dan ideologi. 

Terima kasih Kak Emma. 

Special Moment

24

Sabtu, Mei 16, 2015

Jika kau harus memilih di antara 12 bulan dalam kalender Masehi, manakah yang menjadi favoritmu? 

Bila pertanyaan itu ditujukan pada saya, maka dengan jujur saya menjawab bulan Mei. Orang yang mengenal saya tentu akan berpikir bahwa saya memilih Mei karena pada bulan itulah saya lahir ke dunia. Atau, bagi yang tidak terlalu mengenal saya akan berpikir bahwa tiga huruf dari nama depan saya membentuk kata yang sama dengan bulan kelima itu. Jawaban mereka tidak salah. Kalaupun saya ditanyakan mengapa, sejujurnya saya pun tak tahu.

Pada suatu masa, ketika saya dianggap sudah cukup mengerti, saya diberitahu oleh Mami bahwa saya lahir prematur, delapan bulan lebih beberapa hari. Konon, saya sudah membiru di dalam kandungan karena terlilit tali pusar. Kalau tidak segera di C-section saya bisa mati. Anak itu harus segera dikeluarkan. Keputusan telah dibuat. Saya lahir prematur dan dimasukkan ke dalam inkubator. Dengan demikian, saya yang sesungguhnya lahir di bulan Juni justru lahir di bulan Mei. Saya memilih (ataukah dipilihkan) untuk lahir di bulan Mei. Sampai sekarang, kenyataan itu masih menjadi misteri untuk saya sendiri.


Beberapa hari sebelum ulang tahun saya yang ke-24, 

Ini akan menjadi tahun kedua bagi saya dalam keadaan jauh dari orang tua untuk merayakan ulang tahun. Biasanya dulu akan digelar ibadah syukur. Itu sudah menjadi kebiasaan dan ketika tahun-tahun terakhir tidak terjadi demikian, rasanya ada yang kurang. Saya diliputi perasaan sepi. Saya begitu yakin bahwa pada ulang tahun saya nanti, saya akan sendirian melaluinya. "Sendirian" ini bukan berarti betul-betul sendiri. "Sendirian" mengacu pada keadaan tanpa letupan dan debar-debar, datar saja. Tentu akan ada acara makan-makan bersama Eyang dan anak-anak kos yang lain. Tapi manusia senang membanding-bandingkan. Tahun lalu ulang tahun saya meriah. Bu Anra masih ada, lalu ada kejutan dari teman-teman kuliah, juga tentu saja yang tak pernah absen ada Eyang, Bu Mery, Mbak Truly, dan anak-anak kos yang lain. Akan tetapi, tahun ini Bu Anra sudah di Papua, Bu Mery sedang berduka dan masih berada di Sorowako/Makassar, dan teman-teman kuliah saya masing-masing bergumul dengan tesisnya. Saya yakin 9 Mei nanti saya benar-benar akan di kos, tidur sampai siang dan setelah makan malam bersama, saya masuk ke kamar, nonton dvd sampai subuh sambil meratapi tesis dan nasib. 

Tapi hidup senang memberi kejutan.

Dua hari sebelum ulang tahun 

Saya mendapat kabar bahwa Kak Nunu dan Kak Tira, senior saya di Kosmik datang berlibur di Jogja. Saya tidak pernah mengira sebelumnya. Sungguh. Kak Tira juga berulang tahun pada tanggal 8 Mei. Maka, selama dua hari berturut-turut dua perempuan Taurus yang jelita ini melalui hari istimewanya bersama-sama. Saya juga mendapat kenalan baru, namanya Kak Adith, teman Kak Nunu yang diluar dugaan menjadi teman ngobrol dan bertukar pikiran yang menyenangkan.    

Sehari sebelum ulang tahun...

Siang itu saya mendapat kabar tak terkira dari Mbak Truly. Ayu Utami akan datang ke Sanata Dharma. Saya sudah lama ingin bertemu dengan Mbak Ayu lagi. Apalagi karena tesis saya mengambil novelnya sebagai obyek penelitian. Kabar itu terasa mendadak. Saya malah berpikir untuk tidak pergi. Tapi sesuatu di dalam diri saya menguatkan. Saya harus pergi. Setelah bertemu Kak Tira, mengucapkan selamat ulang tahun padanya, saya pamit untuk ke Sanata Dharma.

Diskusi itu mengangkat tema Spiritualitas sebagai Pembawa Kehidupan. Diskusi itu dilaksanakan di pendopo PBI. Selain Ayu Utami yang akan menjadi pembicara, ada juga Romo Andalas, WR III Universitas Sanata Dharma, yang menjadi tandemnya. Saya dan Mbak Truly mengambil posisi duduk di depan. Acara dimulai pukul 7 malam. Romo Andalas, Ayu Utami, dan Mbak Wedo sebagai moderator duduk di kursi. Ini kali kedua saya bertemu Mbak Ayu secara langsung. Yang pertama tahun lalu ketika saya menghadiri bedah buku Maya. Waktu itu saya hanya bilang mau menulis tesis tentang perlawanan perempuan dalam novel. Beliau menyambut dengan antusias bahkan kalau saya ingin bertemu dengannya nanti, saya bisa datang ke Salihara. Kini setahun kemudian, saya sudah tahu apa yang akan saya teliti. Saya ingin Mbak Ayu tahu, novelnya akan menjadi obyek tesis saya. Saya ingin membuktikan konsistensi saya.

Mbak Ayu mengenakan tank top hitam, celana jeans hitam, boot (model yang untuk naik gunung), dan syal. Ia tak banyak berubah. Gayanya tetap sama seperti setahun lalu saya berjumpa dengannya. Ia juga terlihat muda untuk ukuran perempuan kelahiran 1968. Perawakan Mbak Ayu cenderung kecil. Tapi badannya kencang tanda rajin olahraga dan mungkin naik gunung. Hal yang berbeda ketimbang setahun lalu adalah ia mengenakan kacamata minus. Ia memang perempuan yang berkarakter. Kecantikannya unik, seperti ada misteri yang melekat padanya dan membuat orang tertarik menelisiknya lebih jauh. Saya senang dengan kecantikan jenis ini. Tidak biasa. Mahal. Sebagai perempuan cerdas, ia memiliki aura yang membuat orang segan padanya.


Pertemuan kedua dengan Ayu Utami. Foto ini mau dimasukkan nanti di appendix tesis :p


*kenang-kenangan



Pandangannya menyapu kami semua yang hadir. Lalu, mata kami bertubrukan. Ia tersenyum. Saya juga. Dalam hati saya kaget. Mbak Ayu mengingat saya. Ia bahkan tahu nama saya. Diskusi berjalan menarik. Saya bahkan memberikan beberapa pertanyaan terkait diskusi dan novel yang sedang saya teliti. Saat tiba sesi tanda tangan. Saya menghampiri beliau, kami bertukar cium pipi kiri dan kanan. Ia bertanya kok bisa sampai saya bertemu Kak Dicky di Kupang. Lalu saya menjelaskan bahwa saya menulis tesis mengenai pembaca novelnya. Ia terlihat surprise. Mbak Ayu bilang ia ingin membacanya kelak ketika tesis itu selesai. Ia memberikan emailnya. Malam itu ditutup dengan perasaan yang luar biasa. Seperti mimpi, seperti mujizat. Rasanya seperti kado ulang tahun yang terlalu dini. Setelah dari acara diskusi di Sanata Dharma, saya kembali bergabung dengan Kak Nunu, Kak Tira, dan Kak Adit yang sudah menunggu di Honje.

Awesome People (Ki-Ka): Kak Nunu, saya, Kak Adith, dan Kak Tira


*Perempuan Taurus nan jelita 


*foto ucapan ulang tahun kak Adith




Pada hari ulang tahun...

Akhirnya saya yakin bahwa Tuhan memang tidak pernah membiarkan kita sendiri. Ia selalu punya cara dan siapa untuk membuatmu tidak sendiri. Bahkan bila itu terjadi bersama orang-orang yang tak terduga. Kak Nunu mengajak kami untuk nongkrong di angkringan sambil menunggu pergantian hari menuju tanggal 9. Merekalah yang membuat saya tidak merasa sepi hari itu. Padahal sebelumnya saya berpikir akan melewati hari ulang tahun saya dengan menonton film yang sedih-sedih. Kedua orang tua saya menelpon dan mengucapkan selamat ulang tahun. Para sahabat (Mbak Pipi yang membuatkan tulisan di blognya dan birthday present dari Yerinta) yang mengucapkan selamat baik via media jejaring sosial, sms, telepon, line, dan yang secara langsung. Selalu menyenangkan ketika ada suatu momen spesial di mana akhirnya mata kamera tertuju padamu. Itu adalah hari istimewamu dan kau bersyukur bahwa kau telah terlahir ke dunia. 

Pada suatu ketika, saya memiliki impian sederhana untuk merayakan ulang tahun di tempat yang bermakna, entah itu di bangunan bersejarah atau keagamaan. Secara bersamaan, Kak Nunu mengajak kami ke Candi Borobudur yang secara kebetulan juga tepat pada hari ulang tahun saya. Saya tak pernah menduga merayakan ulang tahun dan menyambut matahari tanggal 9 Mei di atas mandala terbesar di dunia. Lagi-lagi doa saya terkabul.

Sunrise at Borobudur (foto: kak nunu)


*meditasi..meditasi.. (foto: antara kak adith atau kak tira)


Malamnya di kos, saya mengadakan syukuran dengan teman-teman kos. Mbak Truly membelikan kue ulang tahun. Lucunya, hampir semua anak kos mengira itu adalah syukuran ujian tesis. Saya bilang belum, tetapi tolong didoakan agar bisa selesai indah pada waktunya. Kebetulan anak kedua Eyang, Om Sigit, juga datang dari Jakarta. Jadinya malam itu juga sekalian ramah tamah dan memperkenalkan anak kos yang baru. Untuk pertama kalinya saya didoakan menurut agama Hindu. Farah, salah satu anak kos yang juga seorang Ida Ayu, membacakan mantra untuk memohon berkat bagi makanan yang akan kami santap nanti. Malam itu tidak hujan. Bulan purnama meski hampir menuju tilam tetap bersinar.


5 Hari setelah ulang tahun...

Pertengahan April. Saya ingat persis ketika melihat baliho Dewa 19 reuni akan konser di Jogja. Saya langsung mengajak Bu Mery dan Mbak Truly untuk nonton bersama nanti. Tiga hari kemudian saya langsung ke Legend Cafe untuk membeli tiketnya disana. Saya masih belum ngeh bahwa hari mereka konser ternyata hanya selang beberapa hari dengan ulang tahun saya. Saya hanya tahu bahwa konser Dewa itu bertepatan dengan hari Kenaikan Tuhan Yesus. Sayangnya, terjadi peristiwa-peristiwa dalam rentang waktu itu yang membuat hanya saya dan Mbak Truly yang akhirnya menonton konser tersebut.

Mungkin terasa lebay. Tetapi, saya sudah lama ingin menonton konser Dewa 19, mungkin sejak masih kecil. Dewa 19 adalah band favorit saya nomor satu. Saya bahkan membeli album Bintang Lima dengan uang jajan sendiri waktu masih SD. Bagi saya hanya ada dua konser penting: konsernya Kahitna dan Dewa 19. Dan keduanya sudah terpenuhi. Dulu, ketika Dewa 19 manggung di Makassar dan saya sudah di Jogja, saya benar-benar sedih kehilangan kesempatan itu. Dibutuhkan waktu hampir 2 tahun untuk bisa menonton konser Dewa dengan formasi Ari Lasso. Ajaibnya, waktunya juga bertepatan setelah ulang tahun saya. Bolehlah saya merasa bahwa konser ini merupakan kado ulang tahun saya juga. 

konser Dewa 19 reuni


Pada akhirnya, saya tahu bahwa rencana saya, pikiran saya tak terbukti. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan arah langkahnya. Langkah itu bahkan lebih indah dari rencana dan pikiran-pikiran saya. Satu yang pasti, lagi-lagi, kita tidak pernah dibiarkan berjalan sendiri. 




Meike
5 hari sesudah ulang tahunnya yang ke-24,
pada hari kenaikan Tuhan Yesus ke Surga
pada hari ke-15 di bulan Maria

Life Story

Solitude 23

Senin, Mei 12, 2014

*tumblr*




Apa yang sudah kau perbuat untuk sesamamu?


Akhirnya saya punya waktu juga untuk menulis. Lebih tepatnya menyempatkan diri untuk menulis. Ulang tahun saya memang telah lewat tiga hari yang lalu. Tapi seperti kata pepatah: meski nasi sudah jadi bubur, ada baiknya bubur itu ditambahkan ayam suir supaya jadi bubur ayam...nikmat. Saya harus dan mendesak untuk menuliskan refleksi ulang tahun saya yang ke-23. Ulang tahun bukan hanya sekedar hari sambil lalu, tapi hari dimulainya seorang manusia menjadi penduduk di muka bumi. Hari dimana ia menjalani kehidupan, lengkap dengan segala macam problemanya. Sebuah sejarah, titik awal. Jadi jika jadi orang hebat dan terkenal suatu hari nanti, maka para biograf akan menulis,"...Ia lahir dalam suasana perang di musim panas pada tanggal......". 

Tiga hari ini saya banyak memikirkan tentang makna hari ulang tahun itu sendiri. Bagi saya, satu hari istimewa di tiap tahun itu selalu memberi debaran tersendiri. Bayangkan dari 365 hari, ada satu hari dimana kaulah menjadi pusat dari tata surya. Perasaan saya selalu deg-degan setiap beralihnya tanggal 8 ke tanggal 9 di bulan Mei. Saya harap-harap cemas, apakah saya akan melewati ulang tahun saya dengan lancar atau sebaliknya. Apakah umur saya akan sampai ke anak tangga berikutnya atau...

Kelahiran memang selalu berpasangan dengan kematian. Keduanya sama-sama sebuah peralihan. Ada satu lintasan yang harus dilalui semua manusia. Mereka yang berasal dari-Nya, masuk ke dunia, dan kembali lagi kepada-Nya. Tapi saya tidak mau berbicara tentang kematian. Kematian selalu penuh misteri, selalu terasa ganjil, dan jujur saja bikin ngeri untuk dibicarakan. Di hari yang berbahagia ini, saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan. Sebuah refleksi standar orang yang berulang tahun.

Semua orang senang jika ada yang mengingat ulang tahunnya. Itu artiya ia menjadi bagian dari ingatan orang lain, menjadi sesuatu yang disayangi orang lain. Saya tidak mengerti jika ada orang yang membenci hari ulang tahunnya. Kita toh tidak tahu akan hidup sampai umur berapa. Jadi, selagi masih hidup, setiap hari, setiap jam, menit, sampai detik harus kita nikmati dengan penuh syukur. Saya pernah mengucapkan selamat ulang tahun pada seseorang dan ia hanya membalas, "Terima kasih, tapi saya tidak merayakan ulang tahun". Baginya hari ulang tahunnya sama seperti hari-hari yang lain, tanpa rasa, hambar. Betapa sedih hati saya takkala ucapan saya dibalas dengan kata-kata demikian. Saya kasihan pada orang itu, betapa tidak bersyukurnya ia akan hidup yang diberikan padanya. Lalu saya memikirkan kembali. Mustahil ada orang yang tidak menyukai hari kelahirannya (kecuali kalau ia menderita penyakit kejiwaan), tapi kalau ia sehat walafiat dan waras, ia akan senang jika orang mengingat dan mengucapkan selamat padanya. Maka saya terpikir, bukan dia yang membenci hari ulang tahunnya, tapi ia membenci orang yang mengucapkan selamat padanya. 

***

Selama 23 tahun, saya menghabiskan setengah umur saya dengan menggugat Tuhan. Umur 13 tahun saya sudah berani menggugat Tuhan. Mengatakan bahwa Ia tak adil dan sebagainya. Saya menyimpan banyak kemarahan yang disebabkan hal-hal yang tidak saya mengerti. Mengapa si A tidak suka pada saya? Mengapa Si B bisa punya mobil sedangkan saya tidak? Mengapa Si C bisa memiliki handphone model terbaru padahal otaknya pas-pasan sedangkan saya yang merasa diri lebih pintar dari si C tidak bisa memilikinya, mengapa si D, Si E, dan mungkin Si F begitu sempurna cantik, pintar, kaya, idola para remaja pria di sekolah, sedangkan Si G, Si H, atau Si I adalah kebalikannya. Tidak hanya dibenci tapi juga ditindas, mengapa begini dan begitu, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Saya ngambek pada Tuhan. Saya marah padanya. Bagi saya dia seperti orang tua yang suka pilih kasih. Saya memutuskan tidak mau masuk gereja. Tidak mau pergi sekolah minggu lagi. Saya lebih suka nonton TV di rumah daripada pergi pelayanan. Padahal waktu itu ibu saya menjabat sebagai ketua BPK Persatuan Wanita (sekarang namanya Persatuan Kaum Perempuan), jenis jabatan yang seharusnya membuat anaknya rajin-rajin di gereja. Tapi saya bersikap apatis. Menjelang naik kelas 3 SMP (berarti sekitar 1 tahun lebih saya ngambek sama Tuhan), saya mulai merasa ada yang kurang. Saya membutuhkan suatu kebutuhan spiritual yang tidak bisa diberikan program acara TV manapun. Suatu ketika, seorang teman datang pada saya. Ia mengajak untuk ikut paduan suara di gereja. Tentu saja saya menolak. Berkali-kali ia mengajak, berkali-kali pula saya tolak. Hingga pada suatu ketika karena terperangkap tak bisa kemana-mana, saya akhirnya ikut juga latihan paduan suara di Gereja bersama teman saya itu. Singkat cerita, dunia saya jungkir balik. Kebutuhan spiritual saya terpenuhi sedikit demi sedikit. Saya yang tadinya malas ke gereja, mendadak rajin. Setiap saat pelayanan ke mana-mana. Ibu saya bilang, itu adalah doanya yang dijawab Tuhan.

Tapi, saya tetap kritis. Tetap menggugat Tuhan. Sampai SMA saya merasa ibadah saya kosong. Iya, nyanyi-nyanyi dan doa tiap saat tapi saya tidak merasakan Tuhan di dekat saya. Tuhan itu terasa jauh diatas sana. Mungkin Ia sedang duduk-duduk di sofa besar dengan malaikat-malaikat-Nya. Ibadah kemudian hanya sebatas rutinitas. Apalagi kalau dalam liturgi tiba bagian khotbah dan doa syafaat. Oh, itu terasa sangat menjemukan. Saya lebih suka nyanyi-nyanyi saja. Bagian yang ngobrol-ngobrol antara Pendeta dengan Jemaat atau Jemaat dengan Tuhan di-skip saja. Jangankan ibadah, doa malam yang selalu saya ucapkan sepenuh hati kini nampak seperti hafalan. Bahkan mungkin Tuhan sudah bosan mendengarnya. 

Setelah di-sidi, barulah saya mengerti bahwa ibadah dalam rangkaian liturgi merupakan satu kesatuan utuh. Mungkin kedewasaan mengiringi iman, atau sebaliknya. Entahlah. Tapi kemudian, saya mulai menikmati ibadah. Saya memahami bahwa baik lagu-lagu yang dinyanyikan, ayat-ayat kitab suci yang dibacakan, sampai khotbah Pendeta itu semua saling berhubungan. Bacaan firman dan khotbah tidak hanya soal pengajaran tapi adalah perkataan Tuhan sendiri yang menjawab kegelisahan-kegelisahan hati. Doa-doa juga menjadi penting. Tanpa Doa, ibadah menjadi sesuatu yang bersifat satu arah. Doa membuat kita ngobrol dengan Tuhan sekaligus mendengarkan Tuhan ngomong. Ibadah menjadi makanan jiwa. Jiwa yang kelaparan membutuhkan ibadah. 

Perlahan-lahan, bertambahnya umur, bertambahnya pengalaman spiritual, gugatan-gugatan pada Tuhan yang semakin berkurang tapi juga kadang-kadang bertambah membuat saya memahami bahwa Tuhan bukan Pria Tua berjanggut yang duduk di sofa besar dengan malaikat-malaikat yang melayani Dia. Ia tidak berada dalam negeri awan-awan. Tuhan ada dimana-mana. Ia berbicara melalui apa saja. Tukang bentor yang kebetulan mengantar pulang dari kampus, senyum pengamen di lampu merah, orang tua yang menegur, teman yang marah, iklan di TV, petikan lirik dalam sebuah lagu, sampai dialog dalam sebuah film. Tuhan adalah pribadi. Jika kita peka saja, Ia sebenarnya ada di dekat kita. Tidak hanya itu saja, Ia ada di dalam diri kita. Kita bisa dipakai sebagai pembawa pesan pada seseorang atau sebagai penolong bagi yang sedang bersusah hati.

Ini adalah ulang tahun pertama yang saya rayakan di perantauan. Orang tua jauh di rumah, tapi bersyukurlah bahwa teknologi komunikasi semakin canggih sehingga memudahkan komunikasi lintas pulau. Doa dari mereka juga adalah perisai untuk menghadapi situasi apapun. Sejauh apapun rumah, orang tua tetap tidak pernah jauh dari kita. Menjelang tanggal 9, saya bertekad merayakan ulang tahun dalam kesunyian saja. Kita membutuhkan kesunyian untuk merenung. 

Akan tetapi, 

Orang-orang yang menyayangi kita tidak akan tinggal diam. Malam itu saya merayakan ulang tahun bersama Mbak Truly, Bu Mery, Pendeta Anra, dan teman-teman pemuda dari GMII Tiranus. Tidak banyak memang, tapi jika kau seorang diri di perantauan, maka persaudaraan dan pertemanan secuil apapun menjadi berarti. Rasanya kesunyian yang direncanakan itu gagal total. Kami merayakan ulang tahun saya tanpa kue maupun lilin yang ditiup. Tapi tak mengapa. Kado yang paling utama adalah doa. Doa orang-orang yang mengingat kita juga adalah perisai dalam hidup. Di angkringan salah satu jalan di Jogja, kami menyantap makanan yang tersedia sebagai ungkapan syukur. Musisi jalanan yang biasanya mahasiswa yang mencari dana kegiatan berganti-gantian menyanyi. Sampai...."Happy Birthday, Meike.....". Para mahasiswa itu menyanyikan lagu "Happy Birthday" dengan nama Meike jelas-jelas di tengah keramaian angkringan itu. Lagu berikutnya mungkin merupakan lagu ciptaan mereka. Saya tidak hapal liriknya tapi lagunya sangat bagus, lagu sederhana dengan kasih yang luar biasa.

Maka di usia yang disebut-sebut ilmu psikologi sebagai titik awal kedewasaan manusia, saya ingin belajar satu hal: belajar menerima. Saya ingin mengurangi gugatan-gugatan saya pada Tuhan. Karena siapa lagi yang paling memahamimu selain Dia yang menciptakanmu. Di penghujung tanggal 9 Mei, saya diperhadapkan pada satu pertanyaan besar," Apa yang sudah kau perbuat bagi sesamamu?". Dengan lagu terakhir yang dibawakan para mahasiswa itu, mata saya berkaca-kaca. Tak pernah diduga akan mendapat surprise seperti itu. Ah, betapa romantisnya. 

Terima kasih Tuhan karena Kau mengerti kalau aku tidak mengerti hal-hal yang Kau izinkan hadir dalam hidupku yang kuanggap sebagai kesedihan-kesedihan. Terima kasih Tuhan, untuk kepercayaan pada tugas yang masih harus aku selesaikan. Terima kasih untuk orang tua yang dipilihkan bagiku, yang kasihnya seperti sungai yang mengalir tanpa henti. Terima kasih untuk para sahabat, teman, dan saudara-saudara yang jauh dan dekat yang mengirimkan doa dan mengajari banyak hal tentang hidup. Terima kasih. 



Yogyakarta, 12 Mei 2014

Aku dan Tuhan

Cerita Paskah Tahun Ini

Minggu, April 20, 2014

Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu, Yesus menangisinya, kata-Nya: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau” (Lukas 19:41-44).


***

Ini adalah Paskah pertama bagi saya di perantauan. Tanpa orang tua atau ambil bagian dalam kegiatan Paskah di Gereja. Entah mengapa saya diselimuti rasa ganjil, disebut kesepian juga tidak. Biasanya saya akan ikut ambil bagian dalam perayaan Paskah, entah menyanyi di paduan suara atau memainkan fragmen Paskah: menjadi antagonis atau protagonis. Tahun ini saya cukup merayakan Paskah dengan tindakan reflektif. Mengoreksi diri, apakah saya sudah cukup layak menjadi pengikut-Nya. Apakah saya sudah bisa menyangkal diri dan memikul salib dengan teguh?

Hidup terus berjalan dan pengertian akan sesuatu akan berubah seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman.Banyak teman-teman saya yang berbeda keyakinan menanyakan apa sih itu hari Paskah. Saya sendiri cukup sulit menjelaskannya. Persoalannya Paskah itu tidak sesederhana Natal. Paskah menyangkut iman percaya. Dan jika orang tidak percaya, sampai kapanpun mereka tidak akan mengerti. Maka, biarkanlah mereka cukup mengenalnya sebagai hari yang identik dengan telur. 

Kemarin ada seorang teman yang bertanya tentang makna telur dalam perayaan Paskah. Lalu saya menjawab,"Telur itu adalah simbol sebuah keadaan yang tampak mati, tetapi di dalamnya ada sesuatu yang hidup. Telur adalah simbol Tuhan Yesus yang "nampak"nya mati namun sesungguhnya tengah mempersiapkan kehidupan baru". Teman saya itu manggut-manggut, saya juga ikut manggut. Karena keadaan, maka tahun ini saya memutuskan merayakan Paskah dengan bertapa di dalam kamar. Keluar rumah hanya untuk ke Gereja dan cari makan. Maka semua ajakan untuk bersenang-senang saya tolak dengan halus. Namun, ternyata tidak semua hal dapat berjalan seperti yang kita inginkan. 

Di Sabtu Suci yang harusnya dinikmati dengan kesunyian, Bu Mery mengajak saya untuk menemaninya jalan-jalan ke Malioboro. Beliau butuh refreshing setelah sebelumnya proposalnya "ditolak" pembimbingnya. Dimana-mana rasa penolakan itu sama: tidak enak. Sedih, frustasi, putus asa, kesal, dan lain sebagainya. Maka saya berpikir, hanya dengan menemani Bu Mery saja atau dengan kata lain kehadiran saya saja sudah cukup menjadi berkat baginya. Hanya menemani, hanya menjadi teman itu sudah cukup. Tak perlu muluk-muluk untuk menolong sesama. Cukup katakan "iya" ketika ia sangat membutuhkanmu. Karena "tidak" yang diterima disaat kita lagi berbeban berat adalah duri yang beracun. 

Maka berangkatlah kami pagi-pagi. Jalan kaki dari rumah sampai di tempat pemberhentian bus. Di tengah perjalanan saya melihat seorang nenek tua renta yang sudah bungkuk tengah memikul beberapa potong kayu di atas punggungnya. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang kecil dan tongkat yang terbuat dari kayu, ia berjalan kaki diantara kendaraan yang lalu lalang di belakangnya. Melihat nenek tua berjalan kaki memikul kayu-kayu di punggungnya bukanlah pemandangan lazim di keramaian kota. Pertanyaannya kemudian,"Darimanakah ia mendapat kayu-kayu itu?", "Kemanakah ia hendak pergi?", "Jauhkah rumahnya dari sini?", "Apakah ia akan berjalan kaki sampai ke lereng Merapi dimana terdapat banyak desa-desa dengan penduduk yang masih setia pada alam?". Hati saya langsung jatuh. Saya tidak tahu bagaimana cara menolongnya. Belum tentu pula ia mau menerima uang yang tak seberapa ini. Saya jadi sedih karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak mampu. 

 *** 

Sesampainya di Malioboro Mall, saya dan Bu Mery mampir ke Solaria untuk makan siang disana. Solaria sedang ramai siang itu. Untungnya kami masih mendapatkan satu meja yang tersisa. Meja itu berdampingan dengan meja lain yang ditempati satu pasangan muda yang tampaknya sedang bermesraan. Cowoknya mengenakan baju kalos hitam ( wajah dan gayanya mengingatkan saya pada teman saya Kemas) sedangkan si cewek mengenakan terusan lutut tanpa lengan berbahan ketat dengan leher V rendah. Baju itu sangat menonjolkan bagian dadanya. Wajah cewek itu tampak cantik dengan make up tebal yang dikenakannya. Saya jadi bertanya-tanya apakah bila make up-nya dihapus, wajahnya masih akan tetap cantik? 

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan mereka. Sampai saat makanan yang saya pesan sudah tiba dan mata saya menangkap gerakan pasangan itu. Sejujurnya saya tidak terlalu suka memperhatikan orang asing. Hanya saja posisi duduk saya memungkinkan mata saya untuk memperhatikan pasangan itu. Si cowok- seperti kebanyakan cowok-cowok zaman sekarang- yang memiliki selera cewek mirip girlband korea, memandang cewek yang memang nampak seperti anggota SNSD itu dengan penuh nafsu. Dari gerak-geriknya cowok itu tengah berusaha merayu si cewek sambil sesekali melirik ke arah dadanya yang membusung. Piring di depan si cowok sudah licin tandas. Dan demi Tuhan, cowok itu mirip sekali Kemas! 

Si cewek nampak sedang asyik bermain handphone. Lalu mereka berdua foto-foto selfie. Si cewek memesan nasi goreng spesial dan dengan keadaan siang hari yang bikin lapar, ia nyaris tidak menyentuh makanannya. Mungkin lagi diet pikir saya. Tapi kemudian ada yang nampak aneh. Meskipun si cowok menggombal dan banyak gerakan tambahan, si cewek tetap tenang, tidak terlalu menanggapi, singkatnya biasa-biasa saja. Saya biasanya senang melihat pasangan yang sedang kasmaran. Ada letupan dan gelombang tidak biasa di antara mereka. Meski tak berkata-kata sekalipun, bahasa tubuh mereka sudah menyiratkan bahwa ada daya magnet diantara mereka. Dengan hanya melihatnya saja sudah cukup membahagiakan (bagaimana kalau merasakan?). 

Karena kebahagiaan itu menular, biasanya saya juga ikutan senang. Tapi tidak kali ini. Saya merasa ada yang ganjil. Pertama, si cowok memakai pakaian yang terkesan biasa untuk ukuran kencan dengan pacar. Hellooo, sudah naluri manusia untuk selalu nampak sempurna di depan orang yang mereka suka. Kedua, si cewek memakai pakaian yang tidak umum dipakai perempuan Indonesia di siang hari bolong apalagi di tengah kencan dengan pacar, kecuali kalau kamu memang berniat ngajak pacarmu "bobo-bobo ciang" setelah makan. Baju seksi yang dikenakan si cewek pantasnya dikenakan untuk malam hari. Dan kalau mau jujur, baju dengan model seperti yang dikenakannya itu memang mengundang birahi. Tak berapa lama kemudian, mereka pun pergi dari Solaria. Kepergian mereka membuat saya lebih leluasa membicarakan mereka dengan Bu Mery. Dari analisa kami, semua clue mengarah bahwa pasangan tadi mungkin pasangan one night stand. Alasannya:
1. Si cewek memakai baju terlalu seksi. Ada dua jenis seksi, seksi yang elegan dan seksi yang ganjil. Seksi elegan itu akan membuat yang memandang berdecak kagum dan hanya sampai tahap menikmati keseksian itu. Yang memakainya biasanya akan tetap dipandang masih dalam lingkaran perempuan baik-baik. Seksi yang ganjil adalah jenis seksi yang memang mengundang birahi dan membuat orang ingin segera melepaskan nafsu gara-gara melihatnya. Si pemakai membawa aura perempuan nakal, admit it suka tidak suka. Jadi bila bukan si cewek memiliki selera fashion yang buruk, ya kemungkinan besar dia masuk kategori cewek nakal. 
2. Biasanya memang pasangan one night stand begitu. Cowoknya yang blingsatan sementara ceweknya nampak tidak terlalu tertarik!
3. Di area Malioboro ini banyak sekali hotel-hotel dari yang harganya paling murah sampai yang mahal. Mengingat cerita the other side of Jogja yang sempat ramai diberitakan beberapa waktu lalu, semuanya menjadi mungkin.  Sampai disini mengerti kan? 
4. Logikanya, jika ada pasangan yang terlalu "lebay" di depan umum, maka apa jadinya jika tak ada orang?
5. Tidak ada daya magnet di antara  mereka, lebih ke seperti anak bayi dan baby sitter-nya.

Pemandangan itu membuat saya berpikir kembali mengenai bisnis pelacuran yang setua umur peradaban manusia. Ini bukan persoalan gender semata mengingat pelacur perempuan dan laki-laki 11-12 banyaknya. Namun, sampai kapan seks dihargai seperti itu? Memang benar seks adalah kebutuhan dasar manusia. Memang benar seks adalah makanan tubuh yang muncul secara alami dan merupakan anugerah seperti anggota tubuh lainnya bagi manusia. Tapi seperti halnya semua hal di muka bumi ini, ada yang bersifat estetika dan fungsionalis. Seks kemudian dominan jatuh pada tataran fungsional daripada estetikanya. Saya lantas teringat satu kalimat yang tak bisa saya lupakan dalam kitab Assikalaibineng (kitab persetubuhan Bugis kuno, sejenis Kamasutra atau Serat Centini-nya orang Bugis). Disitu tertulis secara singkat," manakala sepasang manusia bersatu (orgasme) maka mereka telah mengintip pintu surga". Lalu saya berpikir, bersatunya dua manusia saja sudah dikatakan "mengintip pintu surga" maka bagaimana dahsyatnya jika manusia yang bersatu dengan Tuhan? Maka bolehkah kita mengatakan bahwa kematian itu sebenarnya nikmat? 

*** 

Sore itu, saya dan Bu Mery menunggu taksi untuk pulang. Tak lama kemudian hujan turun. Dan apesnya, taksi menjadi susah didapat takkala hujan turun di Jogja. Banyak orang berebutan. Taksinya juga aneh, nyala lampu dan mati lampu podo wae, selalu supirnya bilang,"lagi isi". Sore itu ditengah hujan yang cukup deras, kesabaran kami diuji. Taksi yang muncul datangnya dari seberang jalan. Kami pun pindah ke seberang jalan tersebut. Eh, saat posisi sudah sisi jalan yang memungkinkan taksi datang, malah sisi jalan yang kami tinggalkan tadi yang ramai dengan taksi. Saya dan Bu Mery lantas memutuskan jalan kaki ke titik O Km Jogja yang berada di perempatan jalan besar. Harapannya kami lebih mudah menemukan taksi. Nyatanya hasilnya nihil. Hujan semakin lebat. Taksi-taksi yang muncul memiliki jawaban yang sama: sudah punya penumpang. 

Saya dan Bu Mery bergumam, meminta Tuhan mengirimkan taksi dan meredakan hujan. Tak lama kemudian, seorang bapak penjual jajanan sate jeroan dan ronde yang mangkal di km 0 memberi kantong plastik hitam untuk dipakai menutup kepala kami. Mungkin dia kasihan, mungkin masih ada kasih. Hujan memang belum berhenti dan taksi tak kunjung datang. Banyak mas becak datang silih berganti menawari kami jasanya. Namun, semua mundur teratur saat kami bilang rumahnya terletak di jalan Kaliurang ( yang notabene jauh dari Malioboro, jauh kalau kamu jalan kaki atau mengayuh becak. Saya jadi ingat nenek tua yang memikul kayu bakar lagi). Hujan semakin deras, terima kasih untuk bapak penjual sate jeroan dan ronde yang memberi kantong plastik penutup kepala.

Saya dan Bu Mery menimbang-nimbang lagi. Mau naik bus kota, jauh karena bus-nya mampir di terminal dulu, kami akan tiba lama di rumah. Mau naik trans Jogja, yang antri juga bejibun. Akhirnya kami pindah ke arah jalan menuju Taman Pintar. Karena tak kunjung mendapat taksi setelah sebelumnya berebutan dengan seorang bapak dan seorang ayah dan anak lelakinya, kami memutuskan naik becak sampai ke Mall Malioboro lagi dengan pertimbangan banyak taksi disana. 
Tahukah kau bahwa naik becak di Jogja itu mahal? Karena selain jadi transportasi juga sebagai objek wisata? Akhirnya kami naik becak setelah sebelumnya berpesan pada Mas becak untuk menghentikan taksi yang kebetulan lewat di jalan.

Belum satu meter becak itu jalan, kami akhirnya menemukan taksi. Hujan juga reda. Saya dan Bu Mery langsung pindah ke taksi tersebut. Di dalam perjalanan menuju rumah, saya merenungi lagi. Coba seandainya kami lebih bersabar lagi. Kami tidak perlu kerja dua kali seperti tadi. Tapi pikiran lain juga tiba-tiba berkelebat. Mungkinkah kami lulus ujian kesabaran hari ini? Sehingga Tuhan berbaik hati mengabulkan permintaan kami: taksi dan hujan reda. Sesampai di rumah, saya kembali merenung. Untuk merayakan Paskah tidak perlu larut dalam kesunyian seperti cita-cita semula saya. Tuhan dengan cara-caraNya yang tak terselami akal manusia telah menunjukkan pada saya bahwa Paskah yang sebenarnya ada di luar sana. Bahwa masih banyak manusia yang menderita dan tak berdaya. Bahwa setiap hari kita harus berjuang untuk hidup. Bahwa setiap hari, ada proses yang harus kita lalui. Dan setiap proses itu memiliki lukanya masing-masing. Bahwa kita harus sadar kita tidak boleh sombong karena kita tidak abadi. Dan pada akhirnya, kita memang hanya memerlukan Penebus.Karena kita memang tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri. 

Kejadian hari ini membuat saya teringat akan cerita di kitab suci tentang Yesus yang menangisi kota Yerusalem, menangisi manusia. Apakah saat ini Ia juga masih menangisi kita? 


Selamat merenungi Paskah.

Life Story

Rindu Rambo

Kamis, April 10, 2014

*Rambo*



Mereka yang tidak pernah memiliki binatang peliharaan tidak akan pernah mengerti rasanya kehilangan binatang peliharaan. Dalam konteks ini saya akan bercerita tentang anjing. 

***

Redbeard (Janggut Merah) adalah anjing peliharaan Sherlock Holmes yang pernah dibaca Magnussen sebagai (mungkin) adalah kelemahannya. Rambo adalah Redbeard bagi saya. Dan saat ini entah mengapa saya tiba-tiba merindukannya. 

Rambo hilang hampir dua tahun lalu. Tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Apakah ia telah beranak-pinak, dipelihara oleh tuan baru yang lebih baik, ataukah telah bertemu dengan Bapa di Surga. 

Ketika saya kehilangan Rambo, saya hampir-hampir tak mendapatkan simpati. Kebanyakan dari mereka tertawa terbahak-bahak atau menganggapnya lelucon ( anjing kok ditangisi...?). Tapi kehilangan tetap saja mendatangkan kesedihan entah pada apa atau siapa. 

Kita pernah dengar dan tahu kisah-kisah persahabatan antara anjing dan manusia. Bahwa anjing ditahbiskan sebagai binatang yang paling setia. Bagi saya, anjing dan tuannya memiliki konektivitas yang tidak pernah dibayangkan mereka yang tak pernah memiliki anjing atau hewan lain. Justru binatanglah yang menstimulus rasa kemanusiaan kita. Se-apatis-apatisnya seseorang, ia tak akan tega membiarkan anjingnya kelaparan. Sekesal-kesalnya seseorang karena kenakalan anjingnya ( misalnya pipis sembarangan), ia juga tak akan tega menunggu sampai matahari terbenam untuk berbaikan. 

Anjing pun demikian, senantiasa mengikuti tuannya. Biar kukatakan sekali lagi, seekor anjing mengenal siapa pemiliknya, siapa tuannya. Kemanapun anjing pergi, ia tahu jalan untuk pulang ke rumahnya ( emangnya domba yang sekali keluar kandang tidak tahu jalan pulang). Anjing yang tak kembali adalah anjing yang dibunuh, diikat, atau dibawa pergi jauh dari sekitar lingkungannya.

Keajaiban lainnya adalah anjing peliharaan memantrai si tuan dengan aromanya. Aroma anjing peliharaan itu sebagai penanda bahwa kita adalah sahabat anjing. Oleh sebab itu, takkan ada anjing manapun yang menyalak galak padamu. Sampai saat ini aroma itu masih melekat pada saya. Setidaknya sampai sekarang anjing-anjing masih ramah pada saya. Aroma itulah seperti azimat yang diberikan Rambo sebelum kepergiannya.

Tahukah kamu? Gonggongan anjing juga adalah identitasnya. Sama seperti sidik jari pada manusia, suara gonggongan anjing tidak ada yang persis sama. Tuan yang baik mengenali gonggongan anjingnya. Anjing pun hanya mengenali identitas yang pertama kali diberikan. Kalau sekali ia dipanggil dengan satu nama takkan gunanya kau memanggilnya dengan nama lain. Anjing nampaknya adalah binatang yang konsisten. 

Di samping kos saya, ada sebuah rumah yang dihuni keluarga yang memelihara anjing. Suara gonggongannya yang kadang terdengar itu membuat saya teringat pada Rambo. Ingat bahwa saya sering lalai mengurusnya. Tahu bahwa waktu tak bisa diputar kembali agar saya bisa kembali mengurusnya dengan baik dan menampar saya bahwa seharusnya kita harus menjalani waktu sebaik-baiknya dengan yang dikasihi sebelum waktu kita telah habis dengannya. Sakit rasanya menyadari bahwa meskipun suatu hari nanti saya akan memiliki binatang peliharaan yang baru, Rambo tetap Rambo dan takkan ada yang bisa menggantikannya. 

Takkan ada anjing lain yang memiliki karakter yang sama seperti Rambo. Rambo hanya ada satu. Takkan ada Rambo II, Rambo III, atau bahkan Rambo IV.

Life Story

Kalau Tidak Ada Kejadian Seru, Lucu, Seram, dan Aneh, Maka Apa Yang Bisa Dikenang dan Diceritakan Dari Sebuah Perjalanan?

Jumat, April 04, 2014

dhdk


Ini saya dan Tirta. Kami lagi dinner di Ta Wan, salah satu restaurant masakan China di Ciputra World, Surabaya. Saya dan Tirta sudah membuat kesepakatan, siapapun di antara kami (termasuk Erwin juga) berkunjung ke kota masing-masing, wajib bertanggung jawab atas kelangsungan hidup tamunya tersebut. So, pengeluaran saya tidak terlalu mencekik pas di Surabaya, soalnya ada ibu auditor yang menalangi. Perhatikan baik-baik foto diatas, wajah kami happy-happy saja. Kami puas cerita ngalor-ngidul, curhat tipis-tipis, gosip, dan sebagainya. 

Kami juga membeli kasur lipat, bantal guling, dan sarung bantal guling untuk bekal tidur sebentar malam mengingat tempat tidur Tirta hanya untuk satu orang. Malam pertama kami sudah tidur berdempet-dempetan dan malam kedua Tirta yang sudah tidak tahan memutuskan tidur di lantai beralaskan seprai karena belum punya kasur. Malam ini, kami sepakat tukaran dengan catatan Tirta harus beli kasur. Persoalannya, kami tidak tahu apa yang terjadi 10 menit kemudian.

Adegan 1: Parkiran Basement

Saya dan Tirta berboncengan naik motor pinjaman milik teman kantor Tirta. Jangan salah, kantornya Tirta cuma berjarak beberapa meter dari kos-nya. Jadi dia tidak mendesak membutuhkan kendaraan. Saat pemeriksaan STNK di parkiran, Tirta ternyata lupa membawa STNK motor dan Ciputra World punya peraturan tegas tentang motor yang tidak ber-STNK: tidak bisa keluar sampai STNK-nya diperlihatkan pada petugas. Tirta melancarkan aksinya: wajah memelas dengan manja-manja andalannya. Tapi tidak mempan. Ia lantas mengeluarkan KTP-nya. Sayangnya, KTP-nya KTP Makassar alias tidak kuat dijadikan jaminan. "Wah, dulu banyak yang pakai KTP luar kota dan sampai sekarang tidak diambil-ambil. Seandainya KTP mbak KTP Surabaya, kami masih bisa menolerir," begitu kata petugas parkiran.

Lalu, saya kemudian turun tangan. Pertama, mencoba negosiasi. Sayangnya tetap tidak berhasil, karena pada dasarnya kami memang mau tidak mau mengakui jelas-jelas salah. Akhirnya, saya mengeluarkan kartu mahasiswa saya sebagai jaminan. Setidaknya nama besar UGM bisa dipakai disini. Dan yap, kami diijinkan keluar dengan KTP Tirta dan kartu mahasiswa saya dijadikan jaminan. Besok pagi baru bisa diambil dengan catatan: STNK dibawa serta.

Adegan 2: Jalan-Jalan Raya Menuju Kos Tirta

Keluar dari Ciputra World, kami pun langsung pulang. Tentunya Surabaya sebagai kota besar dengan mall-mall dan bangunan pencakar langit dimana-mana tidak sekecil Jogja yang kalau ke mall palingan cuma 10 menit sampai. Surabaya itu luasnya ampun-ampun, sampai sakit pantat saya saking terlalu lama duduk di atas motor. Harap dicatat, saya sedang memangku kasus lipat yang akan saya pakai tidur dan ada sebuah guling yang ditaruh di bagian depan motor. Agak bikin gengsi sih tapi mau bagaimana lagi: pilih gengsi atau salah urat?

Tak berapa lama kemudian, hujan turun. Hujannya turun deras sekali. Kami tidak memiliki dan memakai mantel hujan. Saya dan Tirta memutuskan berteduh di toko roti yang tidak jauh dari salah satu restaurant yang namanya saya lupa apakah diambil dari kisah Mahabharata, nama kerajaan Jawa kuno, atau nama salah satu raja Jawa. Cukup lama juga kami berteduh di toko roti itu sampai toko roti itu tutup. Di depan toko roti itu ada Mesjid besar yang rupanya sedang ada acara ibadah, karena banyak sekali bapak-bapak yang memakai baju koko, bersarung, dan berpeci serta bus-bus pariwisata yang parkir disana. Jalanan itu mengingatkan saya pada jalan A.P Pettarani yang mengarah ke kampus UNM di Makassar. Bapak-bapak berbaju koko, bersarung, dan berpeci dalam jumlah banyak juga sedang berteduh disana, serta ada juga beberapa remaja tanggung yang lagi kasmaran. Begitu hujan tidak terlalu deras, saya dan Tirta memutuskan melanjutkan perjalanan dengan menembus hujan. Kasur lipat yang saya pangku meski tertutup tas plastik namun tetap saja bagian tas yang dilapisi kain mulai menujukkan tanda-tanda air hujannya merembes ke dalam.

Adegan 3: Masih di Jalan Raya

Tirta melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Maklum jalan raya terbilang licin meskipun hujan sudah tinggal rintik-rintik. Tiba-tiba terdengar suara Tirta, dari nadanya sepertinya ia sedang tidak yakin.
"Kayaknya saya lupa jalannya weee..."
Saya mendelik, meski Tirta tidak bisa melihat sekalipun dari kaca spion.
"Maksudmu??? Coba ingat-ingat dulu. Pelan-pelan saja jalannya". Pantat saya sudah mulai cenat-cenut. Sudah pukul 10 malam lebih sedikit.

Saya lantas mengedarkan pandangan saya ke kiri-kanan jalan dan tetap memangku kasur lipat itu. Lalu mata saya tertumbuk ke papan nama restaurant yang saya lupa namanya apakah diambil dari kisah Mahabharata, nama kerajaan Jawa kuno, atau nama salah satu raja Jawa. Saya masih berpikir mungkin itu adalah salah satu cabang restaurant itu. Tapi kok toko roti yang menjadi tempat berteduh kami juga ada disitu yang memang berhadapan dengan Mesjid besar dengan bus-bus pariwisata yang masih belum beranjak darisana. 
"Tir, kok kita kembali ke tempat yang tadi?"
"Iya ya. Kita berputar dong tadi ya?"
Lalu kami berdua tertawa ngakak. Bisa dikatakan kami mulai tersesat.

Perjalanan yang ditempuh tidak mudah pemirsa. Entah berapa kali kami melewati jalan yang sama atau sekedar berputar-putar disitu. Sampai akhirnya kami berhasil memasuki kawasan jalan Raya Darmo yang artinya daerah Ngagel dimana kos Tirta berada sudah dekat. Alhasil kami tiba di rumah pukul 11 malam lewat. Pantat sudah nyut-nyutan dan baju yang setengah kuyup. Kami rasanya ingin sekali tidur.

Adegan 4: Kamar Tirta

Memang hari itu bukan tanggal 13, namun rasanya kekonyolan atau kelucuan (kalau tidak mau menyebutnya kesialan) tetap mengiringi kami sampai di rumah. Pertama, kasur yang susah payah dibawa meski harus menembus hujan badai ternyata basah di beberapa tempat yang vital yaitu bagian tengah dan pingirannya. Apesnya, saya yang akan tidur dengan kasur itu malam ini. 

Kedua, Tirta berinisiatif mengeringkan kasur lipat yang kebetulan tipis itu dengan hair dryer. Lagi asyik-asyiknya si Tirta mengeringkan kasur, tiba-tiba hair dryer itu mati. Hair dryer mati adalah pertanda kekacauan akan penampilan hari esok. "Saya tidak bisa hidup tanpa hair dryer", diantara kesal, lelah, dan merasa lucu Tirta mulai ngomel. 

Wajar saja sih, Surabaya itu udaranya bikin gerah, jadi kita harus cuci rambut biar rasa enakan. Dan hair dryer adalah alat untuk mempercepat rambut itu kering, apalagi kalau rambutmu sepanjang rambutnya Tirta yang juga memiliki kebiasaan main game dulu sebelum ke kantor (waktu SMP-SMA, sebelum ke sekolah Tirta dan Erwin selalu menyempatkan diri untuk nonton Spongebob dulu). Tirta mulai merajuk,"Bagaiman mi ini Meike?," ia mulai terlihat frustasi. Besok pagi kami harus ke Gereja, dan kami tidak siap menghadapi dunia dengan rambut basah. Tinggal di Jogja ternyata memberikan efek positif: tetap tenang dalam segala situasi-kondisi. Saya menenangkan Tirta sambil melapisi kasur itu dengan seprai supaya tidak terlalu terasa basahnya.

Ketiga, sarung bantal yang dibeli ternyata bukan sarung bantal untuk guling tapi untuk bantal kepala. Padahal di sampulnya tertulis masing-masing 2 untuk bantal kepada dan guling. Namun, faktanya malah hanya ada 2 sarung untuk bantal kepala (pantas saja bungkusnya tidak terlihat gemuk dan agak besar). Tirta kembali ngomel-ngomel dan kemudian tertawa, dia sendiri yang memilih sarung bantal itu, jadi tidak ada yang bisa ia persalahkan. Karena masih jengkel ia menyalahkan keadaan. "Kacaunya wee....kenapa dengan hari ini?"

Apakah sudah berakhir? 
Keempat, untungnya Tirta sudah mengambil laundry-nya dan di dalam kantong laundry-nya ada sarung bantal untuk guling. Apa yang terjadi? sarung bantal itu ternyata tidak memiliki tali pengikat. Tirta kembali merajuk. Saya tetap tenang (sudah mulai jadi orang Jogja sejati). Saya meminta Tirta mencari 2 buah karet gelang untuk mengikat sarung bantal itu. Untung ada. Dengan sigap saya mengikat masing-masing ujung bantal guling itu, sebuah pekerjaan yang biasa saya lakukan kalau bantal guling saya juga tidak ada talinya. 

Rupanya Tirta tidak terima. Sempat-sempatnya ia memikirkan unsur estetika. 
"Ihh..kayak pocong," ujarnya mulai merajuk. 
Saya menimpali,"Daripada tidak ada, mana ko pilih?".
"Tapi jelek dilihat," ujarnya masih tidak terima.
"Sudah...saya ji yang pake toh. Ko tenang saja," saya menutup percakapan.

Kelima, masih ada? iya.
Lampu kamar dimatikan. Tirta naik ke tempat tidur. Saya juga langsung memerawani kasur baru dengan bantal guling berikatkan karet gelang yang saya jadikan bantal kepala. Celakanya, saya tidak bisa tidur tanpa memeluk bantal guling. Tirta mengalah. Ia memberikan bantal gulingnya (di kamar Tirta cuma ada 3 bantal: 1 bantal kepala, 1 guling, dan 1 guling yang baru dibeli dan berikatkan karet gelang yang dibilang Tirta mirip pocong). Mungkin ia sebagai tuan rumah yang baik mengalah pada tamunya. Entahlah, kejadian malam ini sudah membuat kami lelah untuk kembali berdebat untuk masalah bantal guling. 

Sudah hampir jam satu subuh. 
"Tir...,"saya membuka suara.
"Apa...," Tirta menyahut.
"Basah we..."
Kami berdua tertawa.


***


Kesusahan sehari cukuplah sehari. 


Life Story

Surabaya, sebuah kota sebuah cerita

Kamis, April 03, 2014

skl
di depan patungnya Suro Ing Boyo (maskotnya Kota Surabaya)


Surabaya bukanlah kota yang asing bagi saya meskipun ini kali pertama saya berkunjung kesana. Kota ini adalah salah satu kota yang menjadi destinasi tujuan merantaunya orang Ambon selain Makassar dan Jakarta. Tapi kota ini cukup berbeda. Kota ini adalah penghubung antara saya dengan Opa kandung saya, Opa Manu, papanya Mami yang telah lebih dulu dipanggil Tuhan jauh sebelum Mami saya menikah. Itulah sebabnya, saya berusaha menapak tilas jejak Opa yang hanya saya kenal dari cerita-cerita orang. Opa Manu pernah tinggal di kota ini. Ia bertugas sebagai polisi. Dan konon, di kota inilah ia bertemu dengan Oma saya. Oleh sebab itulah, selain kondisi geografisnya mirip-mirip Makassar (sama-sama panas), kota ini adalah benang merah untuk merasakan atmosphere masa lalu itu. Harap dicatat, Surabaya adalah kota pahlawan, cikal bakal lahirnya Hari Pahlawan, 10 November. 

Kota ini juga penting bagi sahabat saya Tirta, yang pernah menghabiskan masa kecilnya disini. Tiga hari setelah wisuda, ia diterima bekerja sebagai junior accountant di salah satu kantor akuntan publik di Surabaya. Saya, Tirta, dan Erwin berjanji akan saling mengunjungi. Rencana itu pernah terlontar di awal Februari. Sayangnya, saat itu bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud. Tirta juga pernah datang ke Jogja di akhir Januari kemarin untuk urusan kantor, tetapi kami tak sempat bertemu. Waktunya tidak pas.

Kira-kira dua minggu lalu, saya dan Hugo saling kontak-kontakan. Hugo adalah saudara se-marga saya. Kami sama-sama Sahetapy tapi beda trah. Hugo datang ke Indonesia untuk liburan sebelum upacara wisudanya di University of Canberra, Australia. Hugo adalah sahabat dan saudara setelah Tirta dan Erwin. Kami sama-sama teman sekolah sewaktu SMP. Hugo juga adalah tokoh penting yang mengiringi saya dan Tirta di masa awal kuliah S1. Hugo menemani saya dan Tirta mendaftar ulang di universitas, pertemuan mahasiswa baru, sampai ia benar-benar berangkat ke Canberra.

Hugo mencari saya dan Tirta, tapi kami tidak ada di Makassar. Saya di Jogja, Tirta di Surabaya. Rupanya Hugo punya rencana ke Surabaya. Setelah rembukan, kami sepakat ketemu di Surabaya. Apalagi memang ada libur panjang (saya kuliah sampai Kamis, tetapi Senin-nya bertepatan dengan hari Nyepi). Saya menghubungi Tirta dan syukurnya Tirta tidak sedang dinas keluar kota. Segala sesuatu memang ada waktunya. 

Percayalah, dalam setiap perjalanan, kamu tidak benar-benar sendiri. Ada perbedaan besar antara orang yang bekerja dan yang anak kuliahan. Orang kantoran terikat dengan sistem perusahaan, mengharuskan mereka bekerja sesuai dengan ketentuan perusahaan dan jika dilanggar bisa mengakibatkan PHK yang berarti pemasukan akan terputus sementara hidup harus terus disambung. Sedangkan anak kuliahan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Jikalau dia malas-malasan, dia sendiri yang akan menanggung malu atas hasil IP-nya. Opsi terakhir, ia bisa di-DO kalau terlalu lama kuliah. Itulah sebabnya, Tirta tidak bisa menemani saya dari pagi sampai jam 7 malam. Ia hanya punya waktu setelah jam kerja dan kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan dari satu mall ke mall yang lain hanya untuk cari...makan. 

Adalah Dimas, teman kuliah saya, yang sejak awal telah berjanji kalau-kalau saya ke Surabaya dia akan menjadi guide-nya. Dimas adalah salah satu penyiar TVRI Jatim, jadi setiap weekend pasti dia akan pulang ke Surabaya. Dari Jumat-Sabtu, Dimas menemani saya city tour di Surabaya. Kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan enaknya pergi sama warga asli, kita akan mendapat banyak cerita-cerita seputar kota yang tidak mainstream. Pagi sampai siang wisata sejarah dengan Dimas, malamnya wisata gaya metropolitan sama Tirta. 

kjgy
dengan Dimas di kereta api menuju Surabaya. Di tengah perjalanan, kami melihat abu vulkanik yang turun di Klaten akibat batuk-nya Merapi. 



soto Ambengan, andalannya si Mami kalau ke Surabaya



Tugu Pahlawan, sayangnya pas saya kesana sedang ditutup. Padahal saya penasaran sekali dengan museum bawah tanah dan prasasti tentang tubuh-tubuh tak teridentifikasi yang ditanam pasca peperangan 10 November 1945. 


loi
tempat wajib yang harus saya kunjungi kalau ke sebuah kota: berkunjung ke kota tua-nya. 




Hotel Yamato (zaman Jepang, Hotel Oraje saat zaman Belanda, dan sekarang namanya Hotel Majapahit). Di hotel inilah Insiden Bendera terjadi, kala pemuda Indonesia merobek bendera biru dari bendera Belanda yang akhirnya menyisakan bendera Merah-Putih. 



Jembatan Suramadu



Saya dan Tirta bertemu Hugo, setelah pulang Gereja. Kami juga berkenalan dengan teman kuliah Hugo sewaktu di Aussie, Natassya. Natassya, lulusan arkeologi, sehingga ia dan saya banyak terlibat pembicaraan tentang masa lalu. Hugo bilang setidaknya tahun ini kami naik kelas, ketemuannya di Surabaya (ini juga yang bikin kita gemes, harusnya Erwin nyusul hihihi). Ia juga tak absen mengajukan pertanyaan, "kapan kalian yang mengunjungi saya di  Aussie?". Pertanyaan konyol selanjutnya pun muncul," Kapan menikah?". 


iuy
Tirta - Hugo - Saya



Tidak ada yang mustahil. Hidup senang memberi kejutan. Kalau kita peka saja sedikit, setiap perjalanan itu adalah misi. Kadang kita harus menjadi pengantar pesan untuk seseorang tanpa kita sadari. 

Lagipula, siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok. Bukankah, segala sesuatu ada waktunya?