Love Story

Summertime

Jumat, Desember 30, 2016

Hackescher Markt, Mitte, Berlin. Setelah melalui jalan ini, saya bertemu band yang menyanyikan lagu Summertime itu di tikungan (dokumentasi pribadi)




Menjelang hari-hari terakhir di tahun 2016, saya banyak merenung (sampai ketiduran). Tahun 2016 adalah tahun yang penuh warna. Ada airmata dan tawa sukacita. Ada kejutan dan mujizat. Ada dukacita dan kepedihan. Seperti Yin dan Yang, semuanya terasa imbang. Sesuatu yang anehnya juga terasa ganjil. Tahun ini saya belajar menjadi manusia dewasa. Tahun ini saya juga belajar menggunakan otak dan hati dengan seimbang. Namun, seperti manusia-manusia romantis pada umumnya, saya tetap berharap bahwa tahun ini juga akan ditutup dengan hal yang romantis. Sesuatu yang dinantikan, meskipun mungkin dianggap terlambat atau tak penting lagi. Semua orang membutuhkan pertanda ketika takdir tak dapat dipermanai. 

Cuaca di Makassar saat ini sungguh-sungguh tak menentu. Satu jam pertama bisa panas, kemudian dua jam kemudian hujan lebat, lalu setelah hujan keras kira-kira dua jam-an, matahari muncul lagi. Sambil menikmati cuaca yang labil, entah mengapa saya teringat lagu Summertime-nya Billie Holiday. Lagu ini sudah banyak sekali dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi dari berbagai genre musik. Lagu-lagu blues itu banyak sekali mengandung nada-nada minor, tidak selalu easy listening, populer di kalangan tertentu, dan hanya ajaib didengarkan pada momen-momen khusus saja. Seumur hidup mendengarkan lagu itu, saya tidak begitu menikmatinya. Hingga pada suatu hari, saya merasakan langsung keajaiban lagu itu. 

Semuanya bermula pada musim panas tahun ini ketika saya berkunjung ke Berlin. Saat itu saya sedang berjalan-jalan di daerah Mitte, menikmati musim panas dengan langit kelabu. Ada banyak musisi jalanan disekitar sana. Musisi yang kalau di negara kita sudah tampil di café-café mentereng. Adapula keramaian kecil khas flea markets atau kalau di Jogja seperti pasar SunMor UGM. Para penjaja berbagai dagangan mulai makanan, pakaian, hingga buku-buku bertaburan. Sambil menikmati suasana, tiba-tiba terdengar suara perempuan bernyanyi,” Summertime...and the livin’ is easy...”. Perempuan itu mengenakan terusan baby doll putih selutut dan bowler hat warna hitam. Suaranya jazzy lembut namun bertenaga. Ia adalah satu-satunya perempuan dari band yang beranggotakan lima orang. Para lelaki di band itu memainkan gitar, double bass, drum akustik, dan saxophone. Gaya mereka asyik. Saya sempat mencuri pandang pada pemain double bass-nya. Rambutnya gondrong dan wajahnya mengingatkan saya pada Jared Leto. Saya tidak sempat memvideokan penampilan mereka karena teman-teman saya sudah berjalan duluan dan tidak enak menjadi orang yang ditunggu. Momen itu memang sekejap tapi bermakna. Saya tak tahu apakah karena tempatnya, suasananya, cuacanya, atau suara penyanyinya yang mengajak saya jatuh cinta pada musim panas. Pengalaman itu menyadarkan saya bahwa momen magis tidak dapat direkam dengan teknologi. Ia hanya mampu terekam dalam ingatan dan hati. Sedihnya, setelah kembali ke Indonesia, saya tidak menemukan lagi keajaiban lagu Summertime itu. Ia kembali menjadi lagu yang susah dirasakan dan dipahami. 

Mungkin dalam hidup ini, kita akan bertemu dengan orang-orang yang serupa dengan lagu Summertime (atau lagu apapun yang membuatmu menemukan momen ajaib di saat tertentu saja). Ia indah di saat tertentu dan peristiwa itu tak bisa diulang. Begitu momen itu berlalu, ia menjadi lagu dengan ritme yang sulit dipahami. Sekalipun kata Adorno, kita mungkin bisa “patuh” padanya, mencintainya. Mereka adalah kombinasi sempurna dari ironi dan paradoks. Seperti musim panas di Berlin: panas tapi dingin, dingin tapi panas.

Anonim (kadang-kadang disebut sebagai Oscar Wilde) pernah mengatakan, “You don’t love someone for their looks, or their clothes, or for their fancy car, but because they sing a song only you can hear”. Lama saya merenungi kalimat itu. Jika memang lagu itu ditakdirkan hanya untuk didengarkan mereka, mengapa begitu rumit untuk menyanyikannya bersama-sama? Apakah ada yang tidak menangkap nadanya? Apakah mungkin hanya salah satu pihak saja yang terlalu bersemangat bernyanyi? ataukah jangan-jangan mereka tidak sedang mendengarkan lagu yang sama? Mungkinkah kini lagu itu menjadi lagu Summertime yang telah kehilangan momen magisnya? 

Kerinduan pada orang yang tidak kita ketahui kapan akan bertemu juga memiliki momen magisnya sendiri. Dalam ketidakpastian dan tanda tanya. Dalam harapan dan debar-debar. Ia seperti sepenggal lirik lagu Tommorow dalam pertujukan musikal Annie, “You’re always a day away”.

Aku dan Tuhan

Natal Tahun Ini

Selasa, Desember 27, 2016

sumber: tumblr



Sudah dua hari berlalu sejak Natal dan saya masih mendapat ucapan selamat dan mengucapkan selamat dalam suasana kasih dan persaudaraan. Dari semua ucapan-ucapan itu, ada beberapa kawan yang menanyakan kado Natal apa yang telah saya terima. Saya sudah lama tak menerima kado dalam bentuk fisik. Pertukaran kado merupakan tradisi, sementara keluarga saya tak ikut tradisi itu. Cara keluarga saya memaknai Natal telah mendidik saya bahwa bisa merayakan Natal bersama dengan keadaan yang baik adanya adalah kado yang luar biasa dan itu jauh lebih bermakna daripada apapun. Tahun ini, salah satu Oma saya berpulang padahal biasanya setiap Natal kami akan sowan ke rumah beliau. Kami gembira menyambut Natal, tapi kami juga diliputi rasa sendu.

Pertanyaan tentang kado itu membuat saya berpikir bahwa orang-orang telah mengidentikkan Natal dengan kado. Natal memang selalu dikonstruksi sebagai hari yang penuh sukacita. Ada banyak kemeriahan bahkan kemewahan yang lahir dari selebrasi ini. Tahun ini saya malah merasakan Christmas spirit justru hadir di Mal-Mal dibandingkan di dalam Gereja. Sejak masa Advent, Gereja terlihat murung. Ornamen keceriaan Natal tetap ada di gereja, tetapi seperti gadis cantik yang patah hati, ia bermuram durja. Berbagai peristiwa dan tekanan yang dialami Gereja (dari perbatasan Palestina-Israel, Suriah, Jerman, sampai Indonesia) menjadikan Gereja memaknai Natal dengan bijak. 

Tak ada yang salah sesungguhnya dengan sukacita dan semarak. Bagi yang mengimani, Natal adalah hari yang penuh kebahagiaan karena keselamatan telah nyata bagi kami. Seperti seorang tahanan yang bebas dari penjara, kami menyambut hari Natal dengan gegap gempita. Ada sukacita, ada damai, dan ada debar-debar. Namun, Natal tidak selalu tentang perayaan dan sukacita. Natal tidak selalu tentang kebahagiaan. June, sahabatku yang juga seorang teolog, pernah berkata bahwa keselamatan lahir bersamaan dengan penderitaan. Ada saudara kembar tak terpisahkan dan harus direnguk bersamaan untuk menyambutnya. Ia mengatakan itu dengan sedih. 

June juga yang pertama kali mengajakku merefleksikan kisah Kelahiran Mesias yang terjadi dua millennium yang lalu dengan cara yang berbeda. Kami berfokus pada konteks politik di masa itu. Kisah sedih yang bermula dari kedatangan tiga orang Majus. Para Majusi adalah orang-orang asing. Teks lain merujuk mereka sebagai raja dari negara-negara tetangga di luar Israel. Teks lain juga berbicara bahwa mereka adalah para mistikus yang mempercayai sihir dan mitologi. Kedatangan Pemimpin Baru yang merevolusi umat manusia telah diramalkan sejak ratusan tahun lalu, disimpan selama berabad-abad dan dibacakan setiap hari Sabat. 

Para Majusi melihat bintang-Nya. Bintang Timur, bintang di atas segala bintang. Bintang yang menandakan suatu peristiwa besar di dalam mitologi. Bintang itu menunjuk suatu tempat. Para Majusi pun bergegas kesana dengan membawa persembahan: emas, kemenyan, dan mur. Dalam perjalanannya itu, mereka bertanya-tanya dimana sang Raja yang baru saja dilahirkan itu. Orang-orang asing yang datang ini menggemparkan orang-orang lokal. Tak terkecuali penguasa disana, Raja Herodes, yang terkejut dan kemudian merasa terancam. Ia memanggil penasehat dan ahli-ahli Taurat yang mengonfirmasi ramalan purba tentang kedatangan Mesias. Tak puas, Herodes memanggil para Majusi, bertanya-tanya darimana mengetahui hal itu, sambil menitip pesan, “Kalau udah ketemu Anak itu, kabari gue ya…” 

Namun para Majus tak kembali menemui Herodes. Mereka (secara politik) melindungi Anak itu. Raja Herodes berang bukan main. Kemunculan pemimpin baru selalu menakutkan bagi pemimpin lama. Dititahkannya untuk menyingkirkan lawan politiknya itu. Tentu saja bukan dengan potongan video yang diposting di Youtube. Herodes menitahkan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang mengerikan. Ia dengan hati dingin melakukan operasi pembantaian anak-anak laki-laki berusia dua tahun ke bawah yang berada di seluruh daerah kekuasaannya. Apakah kau bisa membayangkan betapa paradoksnya sukacita Natal bila diiringi tangisan ribuan bayi yang tewas dan ribuan ibu yang meratapi kematian mereka? Ini sebuah turbulen. 

Walaupun dibayangi penderitaan dan kesedihan, sukacita Natal tetap terang benderang. Ia menjadi matahari dalam dingin dan gelapnya dunia. Pada hari itu, orang-orang diperkenankan untuk berharap sesuatu yang istimewa akan terjadi. Meskipun sesuatu itu sangat tak mungkin terjadi. Simbol Santa Claus menjadi bermakna karena kita boleh percaya pada kemustahilan, percaya pada keajaiban. Pada hari itu, anak akan bertemu dengan orang tuanya, kekasih akan bertemu dengan kekasihnya, dan sahabat yang telah lama tak berjumpa akan bertemu kembali. Tangis bayi mungil yang dibungkus lampin itu mengingatkan kita akan harapan. Tetapi, tangis ribuan bayi yang dibantai mengingatkan kita akan derita dan ketidakadilan. 

Mungkin begitulah cara Tuhan menyapa manusia. Meskipun kau telah melihat berbagai ketidakadilan. Meskipun penderitaan berat menekan hidupmu. Kau hanya perlu ingat satu hal: kau selalu punya Harapan.


Selamat Natal.

Life Story

Cinta?

Selasa, Desember 20, 2016

"If both people are into each other, then a big romantic gesture works: Dobler, but if one person isn't into the other, the same gesture comes off serial-killer crazy: Dahmer." (How I Met Your Mother)

Katanya cinta menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mulai dari yang remeh-temeh seperti membangun seribu candi sampai mengakibatkan dua kerajaan hancur seperi kisah Helen dari Troya. Sayangnya, kita lupa bahwa ada perspektif yang mendefiniskan suatu tindakan cinta. Seperti malam ini, sambil menunggu makan malam siap, saya menonton ulang film Endless Love (1981) yang dibintangi Brooke Shields dan Martin Hewitt. Pertama kali menonton film itu sewaktu saya masih SMP. Karena masih unyu’, saya mengenang film itu sebagai film tentang remaja pria yang membakar rumah pacarnya. Kini saya memahami, David, tokoh di film itu, membakar rumah Jade, pacarnya, hanya supaya ia bisa merebut hati orang tua Jade dan mereka bisa bertemu lagi. David ingin menjadi pahlawan. Namun dunia tidak melihat tindakan itu sebagaimana David menginginkannya. Atas tindakannya, ia dipidana dan masuk rumah sakit jiwa. Lain halnya ketika kita menonton film Notting Hill (1999), ketika William (Hugh Grant) muncul di konferensi pers-nya Anna (Julia Roberts) dan menanyakan apakah Anna mau memaafkan dirinya. Selanjutnya, kita tahu bersama bahwa scene berikutnya adalah salah satu adegan paling romantis dan ikonik dalam sejarah film romance modern di dunia. 

Sesungguhnya persoalan cinta memang rumit. Apakah harus dialami satu pihak atau harus kedua belah pihak? Kita harus berterimakasih pada orang Yunani yang dengan penuh dedikasi membuat klasifikasi cinta pada bahasa mereka, sehingga kita, yang cukup keren dengan kata cinta, kasih, dan sayang ini bisa lebih variatif memaknai cinta. Agape merujuk pada cinta ilahi, yang tak terbatas. Filia, merujuk pada kasih persahabatan. Storge, cinta dari orang tua ke anak. Terakhir, Eros adalah cinta berdasarkan hasrat. Hari ini cinta menjelma banyak makna. Menipu orang bisa karena cinta. Memfitnah orang juga dimungkinkan karena cinta. Bahkan, cinta mendasari orang untuk membunuh.

Banyak orang jadi takut jatuh cinta karena takut terluka. Orang menjadi kehilangan rasa percaya karena takut dikhianati. Orang menjadi curiga pada sesamanya. Prasangka semakin menguat. Yesus mengajak kita melihat dunia seperti mata kanak-kanak. Sayangnya, kita telah kehilangan kanak-kanak kita. Kita menjadi pendendam. Menjadi dingin karena kecewa. Sinis karena marah dan sedih. Terlebih lagi kita takut untuk mencintai dan dicintai. Kita takut hati akan hancur lagi. Padahal bukankah hati manusia memang terbuat untuk hancur dan sembuh lagi? Dari tepi sungai Yordan, Lelaki itu memandangi Yerusalem dari jauh. Ia menangisi kota itu. Yerusalem tertawa-tawa. Yerusalem mendidih karena amarah dan dendam. Airmata Lelaki itu bercucuran. 

Lalu, bagaimana dengan pembunuhan Duta Besar Rusia di Turki kemarin? Bagaimana bisa seorang petugas kepolisian menembak sendiri orang yang semestinya ia lindungi. Terlepas dari latar belakang politik dan ideologi, mungkinkah cinta menggerakkan Mevlut Mert Aydintas untuk menembak Andrei Karlov? Apakah kita perlu bersimpati pada teror ketika penguasa tidak mendengar jeritan rakyat yang tertindas? Apakah darah adalah satu-satunya bukti tanda cinta?

 Ah…Apakah cinta itu?

Life Story

Like a Virgin

Senin, Desember 19, 2016

Di tahun 1984, Madonna, the Queen of Pop, merilis hits singlenya yang berjudul Like a Virgin. Sepanjang karirnya di dekade 1980-an, Madonna telah mencerminkan diri sebagai perempuan pemberontak yang independen nan seksi. Segala hal dieksplorasinya, termasuk kerap kali menggunakan simbol-simbol agama, terutama Kristen, meski tidak selalu untuk menyampaikan maksud lagunya. Di video klipnya, Madonna mengenakan kalung salib dan simbol St.Mark, yaitu kepala singa. Meskipun sebenarnya lagu Like a Virgin bercerita tentang bagaimana seseorang bertahan dalam situasi sulit dan kemudian bertemu dengan orang yang memberinya harapan atau membuatnya move on, Madonna dan seksualitasnya menginterpretasi lagu itu dengan cara yang berbeda. Ia telah membangkitkan “iblis betina” di dalam diri setiap anak perempuan.





Karir Madonna juga tak luput dari kontroversi. Eksploitasi Madonna terhadap simbol-simbol Kristen mendapat kecaman oleh Gereja-Gereja di Barat, terutama Katolik dan beberapa Reformed Church. Madonna dianggap melakukan penistaan agama. Gereja mengeluarkan fatwa, menyanyikan lagu dan ngefans sama Madonna dianggap menyembah Lucifer, si raja Iblis. Saya lantas teringat seorang teman yang tumbuh di kalangan fundamentalis Kristen. Ia tak pernah mendengarkan Rolling Stones atau Madonna. Bahkan komik dan Pokemon pun dibakar di lingkungan rumahnya. Menariknya, antipati Gereja terhadap Madonna justru menguntungkan posisinya. Magnet Madonna sebagai ikon budaya Pop justru semakin menguat. Para kawula muda pun menyembah dirinya. Ini mungkin mirip dengan elektabilitas Ahok dalam masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta saat ini. Semakin Gereja mensetankan Madonna, semakin keras golongan konservatif menyerang Ahok, Madonna dan Ahok justru mendapat simpati. Madonna jadi orang kaya, Ahok? Hmmm… kemungkinan ia bisa terpilih kembali.

Pemaknaan terhadap sesuatu sangat tergantung terhadap subyek yang memaknai. Maka, kita juga perlu hati-hati dalam menerima makna yang diberikan kepada kita. Saya ingat waktu pertama kali belajar fotografi. Seorang pemateri di pelatihan tersebut mengatakan bahwa foto yang bagus tidak selalu dipengaruhi oleh kamera yang canggih. Mata orang yang menggunakan kamera adalah faktor utama. The man behind the gun, begitu ia menyebutkan sebuah frase yang kemudian kucatat dalam hati. Senjatanya boleh sama, tetapi orang yang menggunakannya bisa berbeda. Setiap orang memiliki interpretasi dan motif yang berbeda-beda. Sama seperti saat ini. Menjelang Natal, suasana di pertokoan dan pusat perbelanjaan sangat semarak. Ornamen Sinterklas atau Santa Claus, Pohon Natal megah, dan lampu-lampu kelap-kelip dipadukan dengan instrumen atau lagu-lagu Natal menciptakan suasana yang syahdu. Ada sukacita dan juga rasa damai. Suasana yang sebetulnya paradoks karena justru dialami di Mal-Mal, bukan di Gereja. Gereja saat ini sedang berduka. Ini adalah masa Advent yang berat. Bahkan dekorasi Natal terlihat murung. Sukacita dan damai itu digerogoti perasaan takut dan cemas. Gereja seperti anak perawan yang bingung dan takut melintas di jalan. Segerombolan orang datang, berteriak-teriak, dan melarang pemasangan atribut Natal. Orang dilarang beribadah di tempat umum. Belum lagi ancaman teror bom. Dan yang menyedihkan kata “kafir” muncul entah darimana, tersemat seperti kata “lonte”.

Tadi malam saya menonton video yang diposting Ayu Utami di Twitter. Video lagu Like a Virgin. Kali ini bukan Madonna yang menyanyikan lagu itu. Seorang biarawati Katolik yang menyanyikannya. Seperti Madonna, kalung salib juga tergantung di dadanya. Suster Cristina namanya. Meskipun rambutnya tertutup kerudung, jubah biarawatinya menutup aurat, dan ia memakai kacamata, sungguh ia memiliki mata yang indah.




Suara Suster Cristina mengalun merdu. Lembut namun bertenaga. Like a Virgin menjelma lagu spiritual yang seksi begitu kata Mbak Ayu. Lirik lagu itu berubah makna. Bukan anak tak perawan yang merasa seperti perawan lagi. Tapi lebih jauh. Seorang Perawan yang melepaskan dirinya untuk menjadi tabut perjanjian Allah. Padahal lagu itu adalah lagu yang sama dengan yang dinyanyikan Madonna tiga dekade silam. Pemberontakan menjelma pemujaan. Begitulah, the man behind the gun bekerja.

Namun, siapa aku yang membuat penilaian. Seperti kata Awkarin, “ Kalian semua suci, aku penuh dosa…”