Review Film

High Fidelity

Senin, Januari 18, 2021



What came first, the music or the misery? People worry about kids playing with guns, or watching violent videos, that some sort of culture of violence will take them over. Nobody worries about kids listening to thousands, literally thousands of songs about heartbreak, rejection, pain, misery and loss. Did I listen to pop music because I was miserable? Or was I miserable because I listened to pop music?

(Rob Gordon, High Fidelity, 2000)


Catatan:

  • Ini salah satu film yang script-nya keren. Khususnya, untuk anda yang suka musik dan film setipe Almost Famous (2000). 
  • Selalu kagum dengan aktingnya John Cusack yang bisa hapal dialog panjang. Kemampuannya setara Woody Allen kalau lagi membintangi film-film yang dibuatnya sendiri. 
  • Setelah nonton film ini, saya jadi pengen punya toko yang jual vynil, buku, dan cafe buat diskusi kayak karakter utama Rob yang punya vynil store bernama Championship. Oiya, plus mau jadi produser musik juga. 
  • Hulu memproduksi remake High Fidelity dalam bentuk serial yang diperankan oleh Zöe Kravitz. Yang suka musik, urban fashion, dan cerita patah hati wajib nonton. 

Cerita Lagu

"I Go Crazy, Baby..."

Senin, Januari 18, 2021



What can I do, honey?
I feel like the color blue

(Aerosmith - Crazy)


Catatan:

  • Hampir semua band aliran glam rock/hair metal terpengaruh musiknya Aerosmith, termasuk Guns N' Roses, Bon Jovi, dan Bad English.
  • Waktu nonton video klipnya, saya jadi berandai-andai punya bapak rockstar dan muncul di video klipnya seperti Liv Tyler (anaknya Steven Tyler, vokalisnya Aerosmith). Tapi, ya namanya juga manusia, cuma boleh berkhayal. hehehe...
  • Salah satu lagu terbaiknya, Aerosmith. Lagu ballad dengan musik yang garang tapi sentimentil. Liriknya cenderung cengeng, tapi eike suka. Style gitarnya Joe Perry juwara! 

Cerita Lagu

Hungry Heart

Senin, Januari 18, 2021



"Everybody needs a place to rest 
Everybody wants to have a home 
Don't make no difference what nobody says 
Ain't nobody like to be alone
....
Everybody's got a hungry heart."

(Bruce Springsteen - Hungry Heart)


Catatan:

  • Musiknya moodbuster banget meski tidak sinkron dengan liriknya yang bercerita tentang seorang laki-laki yang meninggalkan anak dan istrinya demi (mungkin) mencari jati diri.
  • Lagu ini sering muncul di film-film hollywood. Favoritku ada di scene film Under The Influence (1986) saat Keanu Reeves nyanyiin lagu ini diiringi juke box di sebuah bar. Tuhaaann, meleleh jo kita. *ihik. 
  • A happy sad song. Musiknya itu bikin kita ingin joget meski suasana hati sedang sedih.
  • Terima kasih buat Mami yang sudah menanamkan American popular culture ke dalam otakku sejak tengkorakku masih lembek. Kalau aku jadi hopeless romantic nan mendayu-dayu begini itu salah Mami Mes. Titik. 

Cerita Lagu

It's Okay When You're Feeling Alone

Senin, Januari 11, 2021



"Read between the lines 
What's fucked up and everything's alright 
Check my vital signs 
To know I'm still alive and I walk alone...."

(Green Day - Boulevard of Broken Dreams)


Note: 
  • Ada cuplikan dari deskripsi Wikipedia tentang lagu Boulevard of Broken Dreams yang ditulis Billy Joe Armstrong, sang vokalis, "Armstrong wrote the song about his time in New York City, about "feeling alone" and trying to take power from that fact. Armstrong felt the song fit nicely with the album's storyline, which is about "going away and getting the hell out, while at the same time fighting their own inner demons."
  • 41 detik terakhir adalah "teriakan" dari nada-nada minor yang menjadi pamungkas dari lagu ini. 

Cerita Lagu

Isobel

Jumat, Januari 08, 2021



"My name Isobel 
Married to myself 
My love Isobel 
Living by herself 
When she does it she means to..."

(Björk - Isobel)

Cerita Lagu

On and On - Stephen Bishop

Jumat, Januari 08, 2021



"On and on
I just keep on trying 
And I smile when I feel like dying 
On and on
On and on
On and on..."


Note: album Careless (1976) ini asyik-asyik lagunya. Sendu tapi asyik. Ada beberapa musisi besar yang ikut terlibat di album pertama Stephen Bishop ini, antara lain Eric Clapton, Lee Ritenour, Art Garfunkel, dan Chaka Khan. Selain On and On, ada Never Letting Go, Careless, Sinking In An Ocean of Tears, Save it For A Rainy Day, Rock and Roll Slave, dan It’s The Same Old Tears On A New Background. Kalau didengarkan full, album ini seperti suara hati orang yang sedang letih tapi masih punya harapan. Thank you, Stephen.

Review Film

"Live To The Fullest"

Rabu, Januari 06, 2021

Setelah menonton film Soul (2020) saya terkenang keadaan tiga tahun lalu ketika saya ditolak untuk PhD ke Jerman. Sahabatku Shinta mencoba menghiburku. Caranya unik. Ia mengundangku ke kosnya untuk menginap. Saat pillow talk, Shinta bercerita tentang salah seorang temannya. Temannya itu ingin sekali studi di luar negeri. Ia bercita-cita mengambil masternya di Amerika. Teman itu kemudian berjuang apply kampus dan beasiswa. Ia juga mengalami jatuh bangun. Tak sedikit ia mendapat penolakan hingga kemudian waktunya tiba. Akhirnya setelah berdarah-darah, temannya Shinta akhirnya mendapatkan beasiswa dan kampus di Amerika. Kampus sudah siap, beasiswa sudah di tangan, visa dan tiket sudah di tas. Tahukah kamu apa yang terjadi? Dua hari sebelum berangkat, ia meninggal dunia. Ya, setelah semua pencapaiannya. Kisah itu seperti tamparan telak bagiku dan juga bagi Shinta, bahwa hidup ini bukan milik kita. Hidup terlalu berharga untuk setiap detiknya. 

***

Kata Afif, film ini merupakan antitesa dari kehidupan masyarakat modern yang penuh ambisi dan mengejar keberhasilan. Demi tujuan hidup itu, mereka lupa menjalani hidup. Mereka lupa mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup. Film ini dibuka dengan kehidupan Joe Gardner sebagai guru sekolah yang punya cita-cita menjadi pemain piano jazz. Mimpi terbesar Joe adalah manggung bersama musisi besar dan memainkan pianonya. Ia merasa disitulah tujuan hidupnya. Di hari Joe mendapatkan kesempatan itu, ia mengalami kecelakaan dan masuk ke Alam Sesudahnya. Joe berontak dan ingin lari sebab ia belum menunaikan mimpinya itu. Joe kesasar ke Alam Sebelumnya yang ternyata tempat untuk mempersiapkan jiwa-jiwa yang belum lahir untuk turun ke bumi. Disana ia dijadikan mentor untuk membimbing Jiwa nomor 22 agar menemukan "spark"-nya. 

Jiwa nomor 22 ternyata rumit. Berbeda dengan jiwa-jiwa lain, ia susah menemukan spark itu. 22 juga satir. Kalimat favoritku waktu 22 bilang, " Can't crush a soul here. That's what life on Earth is for".  Ia sudah mencoba semuanya tetapi belum bisa menemukan spark-nya. 22 juga sebenarnya tidak mau ke Bumi karena penderitaan yang dilihatnya. Ia merasa nyaman dengan kehidupan di Alam Sebelumnya. Para mentor terdahulu sudah putus asa menghadapi 22, mulai dari Bunda Teresa, Archimedes, Abraham Lincoln, Copernicus, Muhammad Ali, Marie Antoinette, hingga George Orwell. Joe Gardner dan 22 pun membuat kesepakatan, Joe akan membantu 22 menemukan spark-nya yang mana nanti akan menjadi kartu pass ke Bumi. Joe akan menggunakan kartu itu untuk kembali hidup. 22 sendiri setuju karena penasaran melihat Joe kembali ke kehidupannya yang sedih. 

***

Sama seperti Joe, kita semua punya tujuan jiwa. Namun, kita perlu berhati-hati. Jiwa yang terobsesi dan cemas dengan tujuannya akan terputus dengan kehidupan. Kita akan menjadi jiwa-jiwa yang hilang. Film Soul mengingatkan kita bahwa spark bukanlah tujuan jiwa. "Merasakan kehidupan" bukanlah dengan mencapai tujuan tertentu, tetapi proses menuju tujuan itu. Proses itulah yang membentuk kita menjadi sekarang. Tujuan jiwa seseorang bisa bermacam-macam: mulai dari mengajar, meneliti, bekerja di industri, membuat konten youtube, atau kerja-kerja humanitarian lainnya. Tapi merasakan percikan hidup adalah hal yang lain. Percikan itu bisa hadir dari daun yang jatuh dan mengenai keningmu. Angin yang berhembus dan membuat hatimu berdesir. Senyum sapa penjaga mini market. Kabar baik dari sahabat-sahabatmu. Ucapan sayang dari kekasih hatimu. Suara orang tuamu yang menyapamu untuk sekedar menanyakan kabar. Bahkan hanya berjalan kaki saja sambil melihat langit biru. Hal-hal kecil yang tampaknya sepele itulah percikan hidup, itulah yang membuat kita menjalani hidup dan bersedia terbuka pada berbagai kemungkinan.  Ketakutan Joe mencerminkan ketakutan kita semua, " I'm just afraid that If I died today my life would have amounted to nothing". Apa yang bisa kita tinggalkan untuk dunia ini?

Ketika akhirnya Joe menerima hal ini, ia pun berserah dan meninggalkan semuanya. Ia memberi kesempatan pada 22 untuk merasakan hidup. Lihatlah, ending kisah ini menarik karena Joe justru mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup. Dia berjanji pada dirinya bahwa ia akan "going to live every minute of it". 

Mantra Kalimat

Kata Rachel Kepada Ross

Selasa, Januari 05, 2021

" Ross, look, whatever this relationship stuff is that Emily wants just give it to her. The bottom line is that you love her. So just fix whatever she wants fixed. Just do it. You're going to have to try. You'll just hate yourself if you don't."


PS: love Friends so much. Ini serial ditonton berkali-kali tetap tidak bikin bosan. 

Life Story

Jam

Senin, Januari 04, 2021

Saya punya semacam ketertarikan khusus pada jam. Terinspirasi film Hugo, yang punya kutipan terkenal tentang dunia yang seperti mesin dan bagaimana kita -sekecil apapun peran kita- adalah penting agar "mesin" dunia bekerja, saya jadi suka ke toko jam hanya untuk mengamati ahli jam memperbaiki jam-jam rusak. Entah mengapa jam saya juga suka rusak. Di momen itulah, saya menikmati pemandangan asyik disana. Betapa lincahnya jari-jari para ahli jam itu memukul, menarik, mengunci, mengganti, dan memotong baut-baut, baterai, atau tali-tali jam. Mesin jam ternyata rumit. Salah atur bisa membuat jamnya terlalu cepat atau terlalu lambat. Ketepatan membuat jam mekanik begitu mempesona. Ada sih jam digital. Sungguh canggih. Tapi, saya lebih suka mendengar suara detak jarum jam. Well, what can I say? I'm just an old fashioned girl. Jam mekanik itu ada iramanya. Ada temponya. Teratur seperti derap kaki kuda atau langkah prajurit yang baris-berbaris.

Saya juga suka melihat jam, menunggu ia bergeser dari detik ke menit, menit ke jam. Gara-gara nonton film Soul kemarin jadi kembali memikirkan bagaimana seharusnya hidup ini dijalani. Hidup dengan merasakan hidup itu setiap waktunya. Tidak perlu mengkhwatirkan apa yang akan dihadapi di depan sana. Film ini awalnya biasa saja pas ditonton, tapi pas selesai justru bikin penonton terhenyak. Kadang-kadang kita suka tidak sabaran melewati hari demi hari. Menunggu dengan harap-harap cemas. Ada jenis sakit yang obatnya memang hanya pelukan. Ada jenis sakit yang obatnya hanya cuma ketemuan saja. Ada jenis sakit yang obatnya cuma dengan pesan singkat saja dari dia yang dirindu. 

Ahhh...kangen ini tidak tahu malu. Ia juga membuat waktu berjalan lambat sekaligus berjalan cepat. 

Berdamai Dengan Luka

Sabtu, Januari 02, 2021

Semua orang punya trauma. Trauma penolakan, trauma ditinggalkan, trauma kehilangan, dan banyak lagi. Trauma itu menciptakan ketakutan. Trauma itu menyebabkan orang lari dari lukanya atau meredamnya begitu dalam. Kata Eyang Freud, luka-bagaimana pun diredam- pada suatu ketika akan muncul ke permukaan tanpa kita pernah sadari dan hasilnya tidak akan baik. 

Aku ingin bercerita tentang trauma penolakanku. Trauma penolakan pertama kali datang dari keluarga, terutama dari ayah dan nenek. Penolakan itu juga muncul bukan tanpa sebab. Ada peristiwa yang melatarbelakanginya. Ayah mungkin tidak siap dengan ekspektasi yang tidak kesampaian untuk memiliki anak laki-laki sementara nenek melihatku sebagai representasi dari ketidakberuntungannya. Keduanya akhirnya membesarkan dan mencintaiku dengan cara yang unik. Aku anak perempuan yang dibesarkan dengan gender anak laki-laki. Aku cucu yang diharapkan sebagai investasi jangka panjang. 

***

Lalu, tibalah masanya aku mengenal cinta romantis. Cinta masa sekolah yang berakhir dengan banyak penolakan. Namun, yang paling berkesan adalah cinta pertama dengan seseorang yang kusamarkan saja namanya sebagai Bonbon. Dia kakak kelasku di SMA. Dia kelas 2, aku kelas 1. Kalau ditanya apa yang membuatku jatuh cinta pada Bonbon, maka jawabannya tidak tahu. Aku sama sekali tidak pernah berinteraksi langsung atau ngobrol dengannya. Inilah kenapa kisah cinta SMA itu dangkal hehehe. Yang aku tahu, Bonbon lahir dari keluarga Batak. Anak kedua dari tiga bersaudara. Bintangnya Gemini. Dia tinggi sekali dan jago main basket. Memang dia figur maskulin yang mempesona. Hanya itu. Aku tidak tahu kepribadiannya atau apakah kami memiliki kesamaan. Aku hanya suka lihat Bonbon waktu itu. Naksir aja karena dia cakep. Setiap Bonbon lewat, teman-teman gengku mulai men-cie-cie-in kami. Inilah yang tidak disukai Bonbon. 

Suatu hari, teman kelasku Suneo yang tahu aku naksir Bonbon bertemu dia. Mungkin maksud Suneo hanya ingin bercanda. Suneo bilang, "Bon...ciyee, pacarmu Meike yaa?," sambil ketawa-ketiwi. Bonbon langsung marah. Dia menganggap serius bercandaan Suneo. Alih-alih marah pada Suneo, Bonbon marah besar padaku. Dia mengira aku mengaku-ngaku jadi pacarnya. Dia tidak suka. Di sisi lain, aku tidak tahu apa-apa. Bonbon mendampratku secara tidak langsung melalui teman kelasku, Widiana. Bisakah kau membayangkan? orang yang kau sukai membencimu sementara setiap malam kau berdoa pada Tuhan semoga orang itu jatuh cinta padamu.

Cara Bonbon menolakku adalah dengan melakukan silent treatment dan penghindaran. Kalau aku muncul, dia menghindar. Kalau aku ada, dia buang muka. Kebetulan karena kami sama-sama pengurus OSIS, kami pernah terlibat di beberapa kepanitiaan. Setiap kali aku menyapanya, dia hanya diam. Anehnya, dia ramah pada teman-temanku. Tapi, begitu aku muncul dia langsung dingin. Aku tidak pernah naksir orang lain di masa sekolah sehebat dengan Bonbon. Mungkin karena dia tidak bisa digapai ya?. Bonbon juga tidak punya pacar. Ada yang dia naksir, tapi sepertinya bertepuk sebelah tangan juga. Kisahku dan Bonbon ini menjadi salah satu legenda cinta bertepuk sebelah tangan paling memorable di sekolah. Dari Bonbon aku kemudian tahu bahwa didiamkan dan dihindari adalah bahasa penolakan. 

Penolakan Bonbon menimbun trauma penolakan yang sudah kudapatkan. Alasan Bonbon menolakku katanya karena aku agresif. Ya, agresif. Kata itu jadi momok buatku. Aku merasa tidak agresif. Aku tidak pernah meneror dia. Aku tidak pernah menelpon atau kirim surat cinta padanya. Aku hanya hadir disitu dan Bonbon langsung merasa "diserang". Perlu kukasih catatan bahwa aku tidak pernah mengaku-ngaku jadi pacarnya. Waktu aku bertemu kembali dengan dua teman SMA-ku, Rio dan Edo, mereka bilang kalau aku memang "aneh". Tidak seperti cewek kebanyakan. Feminitas itu tidak ada padaku. Kata mereka, laki-laki tidak suka kalau perempuan itu mendominasi. Kelak, aku tahu agresivitas itu adalah kuasa laki-laki. Itu kekuatan maskulin. 

Ketika Bonbon lulus, aku sedih sekali. Meski pahit, Bonbon yang membuat hari-hariku menyenangkan di sekolah. Sungguh ngeri kita melihat kekerasan sebagai bentuk cinta. Kami pun melanjutkan hidup masing-masing. Dia pergi ke Jakarta untuk kuliah disana. Saya mulai disibukkan dengan persiapan UAN dan masuk perguruan tinggi. Setahun kemudian, kami bertemu lagi dalam acara reuni tim basket sekolah. Acara itu digelar selama tiga hari dengan menginap di sebuah villa di Malino. Di momen itu, aku mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya mengikuti kata hatiku waktu itu. Aku tidak berharap Bonbon akan membalas cintaku. Aku hanya ingin Bonbon tahu kalau aku menyukainya. Dia punya hak untuk tahu. Setelah aku mengungkapkan perasaanku yang mana butuh keberanian besar dan merupakan suatu pembangkangan pada nilai patriarki (karena hanya laki-laki yang boleh mengungkapkan perasaan), Bonbon hanya diam. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keesokan paginya, dia langsung pulang. Sebelum dia pergi, dia berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Entah siapa yang dia lihat karena di kamarku ada dua temanku yang masih tidur dan air di bak mandi terus mengalir. Tapi, aku sudah separuh sadar waktu itu. Aku melihat dia berdiri cukup lama, lalu pergi. Itu terakhir kalinya aku bertemu Bonbon. 

***

Setelah duduk di bangku kuliah, aku mencoba mengusahakan perdamaian dengan Bonbon. Aku meng-add Facebook-nya. Aku mengirim pesan via Facebook untuk menjelaskan maksudku. Responnya? aku di-block. Upaya perdamaianku ditolak. Hingga akhirnya, aku sampai di titik aku sudah selesai dengan Bonbon. Setelah Bonbon, aku lebih berhati-hati lagi. Setidaknya, laki-lakinya sudah aku kenal dan berinteraksi. 

Penolakan Bonbon membuatku bertanya-tanya tentang diriku. Kenapa aku ditolak? Barulah ketika aku belajar Psikoanalisa Feminis aku menemukan jawaban rasional. Aku adalah seorang phallic woman. Aku perempuan yang memiliki kuasa maskulin. Seorang perempuan yang memiliki kuasa maskulin harus dihukum dengan sadis. Dalam struktur patriarki, laki-laki adalah subyek. Laki-laki bukanlah obyek seksual. Pengungkapan hatiku dilihat sebagai obyektifikasi pada laki-laki yang mana dianggap sebagai pelanggaran. Aku harus dihukum dan dibuang ke Tartarus. Di situ, aku menyadari bahwa aku bukan obyek. Aku adalah abjek, subyek yang terusir. Aku menganggu superego sehingga aku dipinggirkan. 

Tahukah kalian apa yang terjadi setelah itu? Bonbon menjadi arketipe penolakan yang muncul dalam mimpiku manakala aku merasa ditolak atau merasa sedih akan suatu hal. Selama kurun waktu 2006-2020, empat belas tahun lamanya, penolakan itu mengambil sosok Bonbon dan hadir untuk mengingatkan traumaku. Itu sungguh sangat menyakitkan dan melelahkan. Setelah aku bermimpi Bonbon, aku pasti akan merasa sedih keesokan harinya. Aku menjadi kesulitan merasakan dicintai karena aku selalu merasa ditolak. Dampaknya, aku sering melakukan self-abuse, menyalahkan diriku atas keberbedaanku. 

***

Tahun 2020 merupakan tahun yang menuntunku untuk menemukan siapa diriku ini. Perjalanan ini tidak mudah. Rasanya semua trauma bangkit dengan cara yang tidak terduga. Hanya pertolongan Tuhan saja aku bisa melewati semua itu. Ada teman-teman yang menolong, tapi lama-lama mereka juga letih dalam proses pendampingan ini. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku hanya merasa sedih, aku telah membuat mereka susah hati. 

Singkat cerita, aku memutuskan untuk pulih. Ada dua sosok yang aku ingat waktu itu. Keduanya sudah meninggal. Mami dan Adit, temanku. Mami pasti marah besar dan sedih melihatku menyiksa diri seperti itu. Ia membesarkanku untuk menjadi petarung, bukan pecundang. Adit datang mengingatkanku untuk menghindari kesalahan yang dibuatnya. Aku lalu mencari pertolongan. Aku mengunjungi psikolog untuk membantuku mengurai luka-luka ini. Waktu itu aku mengalami gangguan kecemasan sebagai produk dari traumaku. Depresi membuatku tidak bisa bangun dari tempat tidur, menangis sepanjang hari, tidak mau melakukan apa-apa, dan hanya ingin hidup ini segera berakhir. Jika boleh ini disebut suatu keuntungan, aku tetap kuat makan dan minum gula (yang membuat glukosaku naik). Waktu itu aku mikir, untuk bersedih aku butuh energi hehehe. Walaupun begitu berat, aku berjuang melawan depresiku. Aku tetap berusaha menyelesaikan pekerjaanku dan semua tugas yang diberikan atasan. Beberapa tulisan lahir di fase ini. Kolegaku memuji pekerjaanku, "Kamu menulis karya ilmiah dengan puitis". Upaya mengadvokasi kebijakan dan pendampingan mahasiswa juga tetap kulakukan. Kadang-kadang aku heran, betapa baiknya Sang Pemilik Hidup telah memberi kekuatan yang membuatku tetap berdiri sampai hari ini. Ternyata benar, kebijaksanaan lahir dari rasa sakit. 

Butuh keberanian besar untuk melangkah maju. Tapi, aku tidak mau kalah dengan traumaku. Aku menyadari bahwa trauma tidak akan hilang seumur hidup. Menyadari keberadaannya membantu kita untuk terlatih lagi menghadapinya. Aku beruntung dipertemukan dengan orang-orang hebat yang membantuku melatih diri untuk meningkatkan kemampuan well-being yang lebih baik. Semacam latihan rohani. Tugasku adalah melatih diri menyeimbangkan energi feminin dan maskulin di dalam diriku. Aku dituntut untuk bisa mengendalikan emosiku. Misalnya, karena aku terbiasa ditolak, maka aku cenderung melakukan pembuktian diri. Di sinilah aku melatih diri untuk mendorong sisi femininku yang mengambil alih kontrol. Pengakuan tidak perlu selalu didapat dari luar, cukup dari diri sendiri. Feminitas mengajarkanku untuk merasakan kemegahan diri tanpa harus dipamerkan. Kemegahan diri yang dipamerkan adalah maskulinitas. 

Tentu saja, manakala ada peristiwa atau seseorang yang mentrigger, maka trauma itu bangkit. Namun, aku sekarang sudah jauh lebih terlatih. Ketika trauma itu datang, aku menghadapinya. Aku biarkan dia ngomong. Kadang dia bicara tidak berhenti dari jam 1 subuh sampai 5 subuh. Lalu, ketika sudah selesai, aku menenangkannya. Aku menguatkan dan meyakinkan dia atas semua perjalanan yang sudah dilalui. Betapa ia sangat dicintai dan berharga di dunia ini. Perdamaian itu dimulai dengan diri sendiri. Kemampuan menerima dan mencintai diri apa adanya. Memaafkan diri sendiri untuk semua yang sudah terjadi. Memaafkan orang-orang yang menyakiti kita, terutama karena orang-orang itu kita cintai. Mencintai diri yang terlahir unik dan harus berjuang lebih keras bukan saja untuk diterima dunia, tetapi terlebih lagi untuk dicintai oleh diri sendiri. Keunikan itu yang membuat warnamu indah dan cantik. Berlian yang ditatah dengan air mata dan luka-luka. Pelajaran berharga itu yang menjadi dayaku untuk mau berbagi dan menolong orang lain. Pelajaran untuk memahami dan bukan menghakimi. Prosesnya memang menyakitkan, tetapi buahnya manis. Inilah yang membentuk karakter. Seperti ada tertulis: kepandaian, kekayaan, dan kejayaan akan berlalu, tetapi karakter yang baik akan bertahan. 

***

Di hari terakhir tahun 2020, aku jatuh tertidur lebih cepat. Malamnya aku bermimpi. Aku bertemu Bonbon lagi. Tapi, kali ini dia tidak sejahat biasanya. Dia tidak menolakku, tapi juga tidak menerimaku. Dia lebih welcome dibanding biasanya. Aku bangun pagi dengan perasaan aneh yang diikuti suatu keyakinan baru. Empat belas tahun lamanya aku memimpikan hal yang sama, namun kali ini mimpinya berbeda. Mimpi sebagai proyeksi luka di alam bawah sadarku sudah menunjukkan (kemungkinan) bahwa aku sudah pulih. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri dan orang-orang yang pernah menyakitiku. 


P.S.: Buat Aquaman, terima kasih sudah jadi partner lawan tanding yang luar biasa. Besi menajamkan besi. I always love you!

Life Story

Bowie dan Ulat Bulu

Sabtu, Januari 02, 2021

source photo: https://www.wallpaperflare.com/search?wallpaper=David+bowie


I'm stepping through the door 
And I'm floating in a most peculiar way 
And the stars look very different today 
For here am I sitting in a tin can 
Far above the world 
Planet Earth is blue 
And there's nothing I can do

(Space Oddity - David Bowie)


Membunuh ulat bulu adalah pekerjaan pertamaku pada hari kedua di tahun 2021. Ya, ulat bulu. Bentuknya gemuk, berbulu, dan panjangnya sekitar kira-kira 5cm. Aku membunuhnya atas perintah Eyang. Awalnya aku tak mau membunuhnya. "Kasihan, Eyang...," kataku. Tapi, Eyang tidak suka dengan ulat bulu itu, katanya nanti bikin gatal. Sungguh sedih rasanya. Sesuatu yang tampaknya kecil, sepele, lucu, dan imut dapat menciptakan ketakutan. Ulat bulu itu akhirnya kuinjak. Cairan tubuhnya muncrat. Ia masih sempat menggelepar sebentar sebelum terdiam. 

***

Aku tidak tahu akan seperti apa tahun 2021 ini. Rasanya benar-benar masuk dalam "the unknown". Butuh keberanian besar untuk melangkah. Butuh keberanian untuk menghadapi apapun yang ada di depan sana. Aku menenangkan diri. Setidaknya aku punya musik yang bisa menguatkanku terus berjalan manakala manusia sudah lelah untuk menemaniku menyusuri "ketidakterbatasan" ini. Proses pencarian ternyata melelahkan. Pendampingan itu juga melelahkan. Ya, setiap orang ada batasnya. Butuh kesabaran. Ya, kasih itu sabar.

Terima kasih David Bowie, terima kasih menemaniku menghadapi keanehan hidup. Terima kasih untuk menerima kalau sebagian kecil dari kita mengalami ketidaknormalan. Terima kasih sudah menciptakan lagu-lagu yang menguatkan para alien ini. Terima kasih karena membuat kami merasa keren dan tidak sendiri.