Life Story

Monolog

Sabtu, Desember 21, 2013

*weheartit*



Wajahnya berseri-seri. 

Ia tersenyum jenaka sambil melontarkan lelucon yang membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa. Ia bertingkah konyol demi menghibur mereka yang diam-diam tengah bergumul. Tak ada yang tahu bahwa dibalik wajahnya yang memantulkan cahaya matahari itu, dibalik tingkahnya yang konyol, dan dibalik banyolannya yang lucu sampai garing, sesungguhnya ia menyembunyikan gemuruh di dadanya. Ia menyimpan banyak kemarahan. Sangat.

Ia adalah badut yang gagal. Membuat orang tertawa bukanlah kegemarannya. Bertingkah jenaka bukanlah pembawaannya. Dahulu ketika ia belum mengenal kejamnya hidup, ia adalah perempuan yang dingin. Airmata jarang membasahi pipinya dan ia tak punya rasa kasihan. Ia tak peka lagi perasa. Ia hanya melihat dirinya sendiri. Ia adalah matahari, yang menjadi pusat tata surya dimana planet-planet setia mengitarinya. Tapi itu dulu, sebelum gerhana tiba dan menggelapkan segalanya.

Akhir-akhir ini ia senang mendengarkan lagu-lagu ciptaan Freddie Mercury. Ia senang karena Mercury memiliki kesamaan dengannya, banyak menyimpan kemarahan. Ia marah pada dirinya, marah pada orang-orang yang disayanginya, marah pada sistem, marah pada lingkungan, dan marah pada takdir yang mengombang-ambingkannya kesana-kemari. Ia sadar, ia tak punya hak untuk marah pada Semesta, pada Dia yang menempatkannya dibawah sana. Bahwa memang sudah tugasnya untuk memuji-muji namanya, bernyanyi siang-malam seperti Serafim dan Kerubim untuk selama-lamanya, dan ia tak ingin dihardik seperti Ayub karena komplain dengan semua ini. Tapi ia manusia dan marah adalah bagian dari dirinya meskipun upayanya untuk menjadi anak baik dilakukannya sepenuh hati, ia tetap ditolak. Berulang-ulang sampai ia menengadahkan kepalanya ke langit dan berseru, "Apa mau-Mu?"

Ia pun teringat pada Srikandi, yang berperang karena cinta. Tak ada yang sia-sia dan tak ada yang benar-benar hilang. Mungkin benar, seperti yang dikatakan para pengkhotbah dari masa ke masa,"Jika orang itu tidak berubah maka orang itu yang dipakai untuk mengubah kita". Mungkin ia harus diubah dulu, dibentuk dulu. Segala persegi dalam hatinya harus dibentuk menjadi bulat, bundar seperti bola yang dimainkan dengan sukarela oleh anak-anak kecil di tanah lapang. Mungkin airmatanya harus diperas banyak-banyak, supaya kelak akan menjadi mutiara seperti yang dialami kerang-kerang di laut. Mungkin dengan begitu ia akan menemukan kebahagiaannya, apa yang dicarinya selama ini. Bahwa merasa penuh, merasa komplit, merasa utuh adalah sebuah perjalanan yang berakhir ketika telah sampai pada kesudahannya. 




diluar masih turun hujan merintih dalam sunyi, sehari sebelum Hari Ibu dan 4 hari menuju Natal. 

Special Moment

Happy Birthday, Mom

Senin, Desember 16, 2013

*tumblr*

A daughter is a mother's symbol. Orang bilang, anak adalah cermin orang tuanya, tapi ibu saya berpikir bahwa anak perempuan adalah simbol ibunya. Ibulah yang membentuk karakter anak dan dibutuhkan ibu yang cerdas untuk membentuk generasi yang baik. Tidak harus memiliki pendidikan yang tinggi, tidak harus menjadi perempuan karir untuk menjadi ibu ideal. Ibu ideal adalah ketika ia bisa dipercaya anaknya, ibu yang bisa menjadi sahabat dan saudara anaknya. Ibu yang baik adalah ibu yang berkorban untuk anak-anaknya.

Menjadi ibu yang baik bukan perkara mudah. Seorang perempuan tidak langsung terlahir untuk menjadi ibu yang baik. Perempuan dibentuk oleh tawa dan airmata, kebahagiaan dan penderitaan. Ibu adalah ksatria, yang mengorbankan apapun untuk anaknya. Kepentingannya, harga dirinya, bahkan hidupnya sendiri. Kelak, saya berharap dapat menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya nanti. 

Hari ini Mommy saya berulang tahun. Untuk pertama kalinya saya tidak merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Kali ini saya tidak bangun pagi-pagi, kemudian mengecup pipinya dan mengucapkan "selamat ulang tahun, Mommy". Biasanya saya hanya memberinya sebatang cokelat Silver Queen kesukannya. Itupun nanti lebih banyak saya yang makan. Dalam ulang tahunnya kali ini, saya menelponnya tepat pukul 12 malam, tapi beliau sudah tidur. Maka pukul 7 pagi tadi, saya menelponnya kembali. 

Mommy curhat, katanya Daddy -seperti tipikal laki-laki pada umumnya- kemungkinan besar melupakan ulang tahunnya. ,"Dia ingat saya ulang tahun tidak ya?," Mommy seolah bertanya pada dirinya sendiri. Setelah cerita banyak hal, telepon ditutup. 5 menit kemudian sms masuk, dari Daddy. Isinya, "Jangan lupa ke Gereja, kasih ucapan ulang tahun Mami-mu, Nak ini hari."

Orang tua saya memang saling bertolak belakang. Yang satu romantis yang satu datar. Tapi saya yakin mereka saling mencintai dengan caranya masing-masing. 

Mommy genap setengah abad hari ini. Di usia 27 Tahun, ia memiliki saya. Selama 22 Tahun ia mengasuh saya. Jika terlahir kembali saya ingin tetap jadi anaknya. Entah siapa yang memilih siapa. Tapi Tuhan yang mempertemukan kami, seperti jodoh. Darahnya dan separuh wajahnya ada pada saya.

Sebuah percakapan dengan Mommy pernah terlontar ketika ia sedang jengkel dengan Daddy.
"Tapi, Mam. Kalau tidak menikah sama Daddy, nanti bukan saya yang jadi anakmu."
setelah itu kami berdua berpelukan.



Selamat ulang tahun, Mommy. 
Tuhan Yesus menyertaimu senantiasa. 

Special Moment

Rumah Eyang

Sabtu, Desember 07, 2013

*rumah eyang*

Bagi saya rumah adalah jodoh. Rasanya seperti ketika bertemu dengan belahan hati yang terpisah jauh. Bagai menemukan ukuran sepatu yang pas, seperti menemukan kenyamanan dalam sebuah bra dan celana dalam. Rumah adalah tempat dimana kita merasa nyaman dan aman. Tempat dimana kita berlindung di bawah atapnya, tempat dimana kita tidak perlu merasa takut pada apapun. Menemukan rumah juga seperti menemukan tambatan hati. Ada sebuah proses yang harus dilalui, ada sebuah perjalanan yang harus ditempuh. Pada akhirnya, rumah pun adalah tempat dimana kita akan pulang setelah berkelana. Sejauh apapun kita pergi kita akan kembali ke rumah.

Sewaktu memutuskan kuliah di Yogyakarta, saya pun juga diliputi kegalauan dimana nanti saya akan tinggal. Saya tidak punya saudara dekat disini, tottaly alone. Seperti biasa saya akan curhat pada-Nya. Sempat down karena sepertinya tak ada horizon of expectation yang bisa dilihat. Benar-benar buram. Beberapa waktu kemudian saya bertemu dengan Kak Phio. Beliau adalah senior saya di KOSMIK. Perjalanan saya cukup unik untuk berjumpa dengan Kak Phio. Tapi saya yakin, Tuhan-lah yang menuntun kami untuk saling bertemu. Dial-lah orang yang kemudian dipakai Tuhan untuk membawa saya ke rumah ini, rumah Eyang.

It was love at the first sight, saat pertama kali melihat rumah bergaya joglo, minimalis, tapi ada unsur baratnya ini. Rumah ini benar-benar mencerminkan sang pemilik rumah, Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, seorang professor bidang Linguistik yang juga banyak disebut sebagai Bapak Sosiolinguistik di Indonesia. Beliau adalah pelopor pendekatan kontekstual dalam kajian bahasa di Indonesia, orang pertama dari Wonosari yang mendapatkan pendidikan ala Barat di Cornell University bersama kolega sekaligus kawannya, Umar Kayam. Dan yap, saya tinggal seatap, -sebelah kamar- malah dengan orang hebat ini.

Seperti dijodohkan, awalnya Kak Phio mati-matian mempromosikan tempat kos-nya ini pada saya. Tapi saya belum sreg. Apalagi karena alamatnya masuk gang (harap dicatat konteks gang di Yogyakarta sangat berbeda dengan konteks gang di Makassar).  Kak Phio menyarankan saya menggantikan kamar yang ia tempati setelah ia selesai menyelesaikan studinya di UGM. Kini saya tahu mengapa saya harus ke Yogya sewaktu berkas saya dulu dikatakan belum diterima di prodi. Salah satunya ternyata saya harus bertemu dengan “jodoh” saya ini. Kak Phio lalu mengajak saya dan Mami untuk melihat rumah ini dan disitulah kontak itu terjadi. I’m in love with him.

Rumah ini benar-benar besar, mungkin sekitar 1000 meter. Halamannya luas, dengan bangunan ala Joglo sebagai rumah utama, taman di dalam rumah, rumah tinggal, dan kamar-kamar di sekelilingnya. Didominasi kayu dan berlantai ubin, rumah ini benar-benar vintage. Kita bisa melihat dan merasakan atmosfir kolaborasi tradisional (jawa) dan barat jika tinggal disini. Menurut cerita Eyang, tanah ini dibeli saat ia pulang dari Amerika di tahun 70-an seharga 1000 dollar AS pada masa itu (silahkan konversi dalam rupiah saat ini) kemudian perlahan-lahan dibangun. Eyang memang jarang menempati rumah ini karena lama tinggal di luar negeri (Eyang pernah mengajar di beberapa Universitas di Amerika, Jerman, dan Brunei).

Keluarga Eyang sebagian besar tinggal di Amerika, sehingga anak-anaknya menyarankan agar rumah segede ini dijadian tempat kos untuk putri. Di rumah ini selain Eyang, ada Mba Par dan suaminya Pak Jono yang menjadi asisten rumah tangga Eyang. Hubungan kami dengan Eyang laksana ayah dan anak. Memang tidak semua anak-anak kos disini dapat berinteraksi seakrab itu satu sama lain, namun disini saya malah menemukan banyak hal. Saya menemukan kakek yang tidak pernah saya miliki sekaligus seorang mahaguru yang padanya tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan saja namun juga kehidupan itu sendiri. Saya menemukan kakak-kakak perempuan disini yang saya panggil Mbak Truly (she’s 26, smart, and  a lecturer in Sanata Dharma University) dan Mbak Indri (calon warga negara Amerika karena lagi ngambil master bidang American Studies dan pemuja Tom Hiddleston).
Merekalah keluarga saya di Yogya dan oleh karena itulah saya betah disini. 

Eyang pernah mengatakan pada saya bahwa saya sangat terlihat senang tinggal di Yogya. Mungkin begitulah spirit seorang yang jatuh cinta. Ketika segala tugas dan persoalan kampus terasa menyesakkan saya hanya tinggal duduk di teras-di kursi goyang kayu punya Eyang- sambil melihat keindahan taman yang rajin dirawat Pak Jono. Kalau saya lelah, saya tinggal tidur di atas tempat tidur yang berada di bawah jendela besar di kamar. Jika hujan turun suasananya membuat gloomy sekaligus romantis. Kak Dwi yang pernah berkunjung kesini sempat berkelakar, “dengan tinggal disini, harus bisa jadi satu novel, Mei.”

Hari ini Eyang berulang tahun yang ke-80 tahun. Di usianya yang semakin senja, beliau masih tetap mengabdikan dirinya bagi ilmu pengetahuan. Masih banyak yang membutuhkan beliau bukan saja untuk menjelajahi bahasa tapi hidup itu sendiri.

Selamat ulang tahun Eyang, semoga selalu sehat dan terus berkarya. Tuhan memberkati.


Yogyakarta, 6 Desember 2013

Special Moment

Suatu Malam di Kediri

Senin, Desember 02, 2013

*jam tua di stasiun (29/11/2013)*


Kereta malam yang membawa saya dari Yogyakarta tiba pukul 2 lewat 10 menit dini hari. Udara malam yang dingin langsung menyambut saya ketika turun dari kereta disusul para penumpang yang satu per satu turun dan langsung menuju gerbang keluar. Tidak banyak orang yang ke Kediri malam itu. Bahkan hanya saya dan Kak Wulan, dua perempuan yang ada di stasiun. Saya memutuskan berjalan-jalan di area tunggu kereta sedangkan Kak Wulan bertanya kepada petugas stasiun dimana kira-kira tempat untuk beristirahat yang terdekat. 

Bangunan tua stasiun terasa unik sekaligus angker. Seperti banyak kenangan yang pernah terjadi disini. Saya mengamat-amati jendela-jendala yang besar dan pintu-pintu kayu yang masih berdiri kokoh untuk ukuran bangunan tua peninggalan koloni. Semuanya masih awet dan terhitung bersih. Tak jauh dari saya memotret jam di atas, ada seorang pemuda yang diam-diam memperhatikan kami. Pemuda itu seperti ingin bertanya tetapi malu. Ia hanya berdiri di pojokan. Terlihat sedang menimbang-nimbang apakah akan keluar dari gerbang atau tetap di stasiun. Peraturan sudah jelas, kalau sudah keluar gerbang, kita tidak bisa masuk lagi. Maka lebih aman untuk menunggu di dalam stasiun sampai pagi menjelang.

Kediri, seperti layaknya kota kecil lainnya tidak memiliki transportasi umum 24 jam yang aman seperti taksi. Sedangkan perjalanan kami masih panjang, dari kota Kediri kami harus menuju Pare tepatnya dusun Tulungrejo yang memakan waktu 20-30 menit dengan mobil. Namun, dinginnya udara semakin menusuk. Saya sudah merasakan tanda-tanda akan demam: tenggorokan sakit dan mata yang terasa panas. Kak Wulan datang membawa informasi, katanya di depan stasiun ada tempat menginap entah model yang apa. Itu lebih baik daripada menunggu di stasiun dengan udara malam yang semakin menusuk.

Ketika kami berjalan keluar, pemuda itu akhirnya memberanikan diri menegur kami. Rupanya tujuan kami sama, pemuda itu ternyata ingin ke Pare. Dengan menggunakan rational choice theory, kami sepakat berangkat bersama-sama langsung menuju Pare. Rupa-rupanya di luar stasiun masih ada becak yang mau mengantar kami sampai ke pangkalan angkot yang secara ajaib masih mangkal. Angkot inipun satu-satunya yang ada disana malam itu. Biasanya hal ini sangat jarang terjadi. Kak Wulan bilang kami beruntung, saya merasa kami diberkati. 

Kadang-kadang dalam perjalanan kita bertemu dengan orang asing yang menjadi kawan seperjalanan karena memiliki tujuan yang sama. Entah apakah akan bertemu lagi atau tidak, perjalanan selalu menjadi misteri. Pemuda yang akhirnya kami ketahui bernama Fadil itu ternyata berasal dari Makassar dan ingin belajar bahasa Inggris di kampung Pare. Usianya beberapa tahun di bawahku dan anak ini tidak percaya bahwa kami sudah S2 (ternyata kami terlihat lebih muda dari usia sebenarnya, pemirsa). 

Bagi yang sudah pernah ke Kediri pasti tahu bagaimana jalan ke Pare. Selain gelap, di kiri-kanan masih banyak hutan-hutannya. Inilah yang menjadi pertimbangan bagi saya dan Kak Wulan yang awalnya ingin menunggu pagi baru berangkat kesana. Pertemuan dengan Fadil membuat kami jadi berani kesana, setidaknya ada yang "menemani" kami dan tindak kriminalitas kemungkinan kecil terjadi. Biaya pun jadi ringan karena ongkos angkot dibagi tiga.

Fadil akhirnya turun di camp tempat ia menginap sedangkan saya dan Kak Wulan menuju hotel Surya Kediri, satu-satunya hotel paling oke di Pare untuk istirahat. Paginya kami harus mengurus segala urusan yang menjadi tujuan kami kesana. Saya positif demam dan perjalanan yang seharusnya menyenangkan ini berubah jadi beban. 

Tapi saya percaya, perjalanan ini tidak berhenti disini saja. Masih ada perjalanan lain yang menunggu. Siapa yang tahu kemana angin membawamu pergi...

Mantra Kalimat

The Truth is....

Rabu, November 20, 2013

*tumblr*



sambil dengar Manhattan-nya Rod Stewart & Bette Midler. Di luar hujan turun rintih-rintih.

Special Moment

Like Mothers Like Daughters

Jumat, November 15, 2013

ulhjg


When two young lady become bestfriend, their mother could be too.





PS: Congratulation to my best friend, Tirta for her graduation, be success and happy :* 

Review Film

Upik Abu dalam Drama Korea

Rabu, November 06, 2013




Dongeng Cinderella tidak pernah mati. 

Kisah si Upik Abu yang akhirnya menikah dengan Pangeran tidak pernah menjadi kuno, setidaknya bagi saya. Cinderella terus bertransformasi lebih modern. Dia tidak harus mengenakan baju jaman dahulu kala atau memiliki saudara tiri yang jahat. Cinderella bisa saja sebagai anak bungsu atau anak tunggal yang mencari ayahnya. Kita tidak butuh ibu peri yang menghadiahi Cinderella kereta kencana atau gaun yang bagus. Cinderella modern bisa kerja part time atau memiliki sahabat kaya yang bersimpati padanya. 

Bagaimana dengan Pangeran? Dongeng- dongeng terdahulu tidak pernah menceritakan tentang riwayat hidup si Pangeran. Ia tahu-tahu muncul mencari si pemilik sepatu kaca. Pangeran selalu muncul belakangan seperti superhero, mungkin Batman atau Iron Man. Dengan kegagahannya, ia menjemput Cinderella ke istana dan hidup bahagia selamanya. Tamat. 

Pangeran jaman sekarang memiliki kompleksitas kehidupan. Keluarga yang tidak harmonis, persaingan antar saudara, ancaman dari pihak-pihak yang ingin mengambil alih kerajaan kecilnya atau menghadapi pernikahan politik demi bersatunya korporasi. Pangeran tidak harus menaiki kuda berwarna putih, jaman telah berubah, saat ini kita mengenal kuda putih itu dalam bentuk Ferrari atau Porsche. Pangeran menjadi pribadi yang kritis sekaligus romantis. Ia membenci ketidakadilan namun tidak rela melepaskan kemewahan yang dibangun diatas ketidakadilan itu. 

Begitulah gambaran kehidupan Cinderella dalam drama korea. Beberapa judul film drama korea bisa kita telusuri sambil mengingat-ingat kisahnya. Mayoritas cerita tersebut berkisah tentang gadis miskin yang dijatuhi cinta oleh pemuda kaya raya pewaris kerajaan bisnis. Intrik muncul dengan berbagai variasi. Saudara tiri yang jahat menjelma sebagai tunangan Pangeran. Cinderella memiliki ibu yang cacat. Rival Pangeran juga jatuh hati pada Cinderella. Kerajaan kecil tersebut juga mengalami konflik, Presiden Direktur yang hampir mangkat serta penggantinya, kakak sang Pangeran yang diliputi dilema sebagai bayang-bayang ayahnya. 

Itulah gambaran kisah Cinderella versi The Heirs yang dibintangi Lee Min Ho dan Park Shin Hye. Tentu saja seperti drama korea lainnya yang piawai mengemas cerita (meskipun sebenarnya standar) namun tetap mampu mengaduk-aduk emosi penonton lewat perkawinan scene dan backsound yang pas. Airmata siap meleleh dan impian memiliki kisah cinta dan kekasih seperti di film pun kian membabi buta. Maka, hanyutlah saya dalam perangkap pop culture dari Korean wave. Ironisnya, saya memuja sekaligus mencibir. 



PS: sebagai pencibir dan pemuja (gabungan yang sangat kontradiktif) sepertinya masih lama bagi saya untuk menamatkan serial ini. 

Review Film

When Harry Met Sally

Rabu, November 06, 2013



"...when you realize you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible." 
Harry

Sepanjang minggu ini saya menonton film-film lawas mulai dari era 60-an sampai akhir 90-an. Salah satu film lama yang memorable bagi saya adalah film "When Harry Met Sally" yang dibintangi Meg Ryan dan Billy Cyrstal. Film yang dirilis di tahun 1989 ini merupakan salah satu dari sekian film romantis legendaris Hollywood. Sejujurnya, film ini agak mengingatkan saya pada trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight karena kekuatan film ini terletak pada dialognya. Jika trilogi Before Sunrise-Sunset-Midnight termasuk "serius" dengan dialog-dialognya, berbeda dengan When Harry Met Sally yang cenderung ringan tapi mengena. Kita akan terbawa pada serunya perdebatan Harry dan Sally tentang relationship antara laki-laki dan perempuan.

Di tahun 1977, Sally Albright (Meg Ryan) berkenalan dengan Harry Burns (Billy Crystal) yang saat itu berpacaran dengan Amanda, roomate-nya saat kuliah di University of Chicago. Sally memberikan tumpangan pada Harry yang kebetulan memiliki tujuan yang sama ke New York. Sally ingin melanjutkan sekolah di bidang Jurnalisme sedangkan Harry ingin meniti karir di kota Big Apple itu. Dalam perjalanan menuju New York inilah mereka berdua selalu terlibat perdebatan sebelum akhirnya kemudian berpisah. Dalam dialog-dialog itu kita dapat melihat perbedaan sudut pandang laki-laki dan perempuan dalam melihat sebuah hubungan men-women friendship

Harry: Men and women can't be friends because the sex part always gets in the way. 
Sally: That's not true. I have a number of men friends and there is no sex involved. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: No you don't. 
Sally: Yes I do. 
Harry: You only think you do. 


Lima tahun kemudian, Sally dan Harry bertemu lagi. Kali ini Sally sudah menjadi jurnalis dan sedang berkencan dengan Joe yang ternyata teman lama Harry. Harry sendiri akan menikah, sesuatu yang membuat Sally takjub. Mereka pun tetap kembali berdebat tentang men-women friendship sampai akhirnya berpisah lagi.

Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Kali ini Sally sudah putus dengan Joe sedangkan Harry bercerai dengan Helen, istrinya. Sikon mereka yang pas itu membuat keduanya berteman. Harry mulai mengenal pribadi Sally, demikian juga sebaliknya. Tanpa disadari, Harry dan Sally pun mulai saling bergantung.

Harry: There are two kinds of women: high maintenance and low maintenance. 
Sally: Which one am I? 
Harry: You're the worst kind; you're high maintenance but you think you're low maintenance.

Persahabatan Harry dan Sally kemudian teruji ketika "sex involve into friendship" seperti yang pernah dikatakan Harry. Hubungan mereka pun merenggang. Namun, khas film Hollywood, hubungan Harry dan Sally tentu saja tidak berakhir sad ending macam film Asia. Menonton film ini membuat saya berpikir tentang konsep jodoh. Meskipun terpisah bertahun-tahun, namun entah mengapa kita akan kembali dipertemukan dengan orang itu. Bukan hanya itu saja, kita juga terkoneksi dengan orang-orang yang dekat dengan orang itu. Film ini cocok ditonton di malam minggu dalam keadaan sendiri maupun dengan orang terkasih. Soundtracknya juga pas membingkai jalinan peristiwa dalam film, seperti lagu Let's Call The Whole Thing Off-nya Ella Fitzgerald dan Louis Armstrong atau It Had To Be You-nya Frank Sinatra yang dibawakan Harry Connick, Jr. 

Menonton film ini membawa saya kembali ke masa kanak-kanak dan tentu saja kembali optimis seperti yang dinyanyikan dalam lagu It Had To Be You:
"It must have been that something lovers call fate, kept me saying," I Had To Wait". I saw them all, just couldn't fall 'till we met."


PS: menyempatkan menonton film di sela-sela hiruk-pikuk  Mid-Term :p

Cerita Lagu

Better Man

Selasa, November 05, 2013

Kita hanyalah individu yang bersosial. Bagaimanapun individualisnya seseorang, ia tetap membutuhkan orang lain. Orang yang mendukungnya untuk mengejar mimpi dan cita-cita. Orang yang berada di sisinya saat ia sedih. Orang yang memegang tangannya saat ia hampir jatuh. Orang yang turut berbahagia disaat ia juga berbahagia.

Bilamana situasi dan keadaan yang pas terjadi disaat bersamaan, saya pun akan menyanyi se-desperate Robbie Williams.




send someone to love me 
I need to rest in arms 
keep me safe from harm in pouring rain 

give me endless summer 
Lord I fear the cold 
feel I'm getting old before my time 

as my soul heals the shame 
I will grow through this pain 
Lord I'm doing all I can to be a better man

Special Moment

Hi, I'm Cronut

Kamis, Oktober 31, 2013

Ini adalah makanan yang lagi happening di Amerika menurut Mbak Indri yang lagi ngambil master American Studies. Cronut merupakan gabungan dari croissant dan donut makanya namanya Cronut dan merupakan menu untuk breakfast. 

cronut white chocolate



cronut choco


Rasanya jangan ditanya, bayangkan saja croissant dan donut ala-ala J.Co jadi satu, terus ditaburi gula pasir yang memberikan efek kriuk-kriuk. Perpaduan yang klop antara white chocolate atau chocolate dengan vla yang menyatu dalam adonan croissant donut ini. Di Yogya sendiri saya baru temukan di Parsley ( salah satu outlet pastry) harganya 8000 rupiah/buah. Cronut ini termasuk makanan manis, makanya di Amerika disajikan dengan kopi pahit. 

Tertarik mencoba? 

Life Story

Lady in Waiting

Selasa, Oktober 29, 2013



According to the title, I just waited for sunset in Vredeburg and took a pic of my dress till' my feet (include the shoes). I love the atmosphere, suitable with my soul. 

I rarely post lately. So many papers that i've to finish in this mid-term. Really want to sleep well and go shopping hahaha..

Wish me luck yaaa :))


Ps: Grad student must be tough! 


Love Story

Yoko

Selasa, Oktober 29, 2013


“Dia wanita yang kuat. Saya pikir, jika John mencintainya, pasti ada sesuatu dalam dirinya. John tidak bodoh". - Paul McCartney



Maka seperti Yoko Ono dan John Lennon, kita harus pintar-pintar untuk jatuh cinta.

Aku dan Tuhan

Selalu Cukup

Sabtu, Oktober 19, 2013



Pernah suatu kali saya dan Mami pergi ke bank. Saya sudah lupa jenis transaksi apa yang kami lakukan namun peristiwa setelah transaksi di bank itu yang tidak bisa saya lupakan. Saat saya dan Mami menuju ke parkiran, seorang bapak penjaga parkir datang menghampiri. Ia kemudian mengambil alih setang motor dari tangan Mami agar motor itu dapat dikeluarkan dari sesaknya parkiran di halaman bank. Setelah motor berhasil lolos, ia mengembalikan kepada Mami. Seperti lazimnya yang terjadi di tempat parkiran, orang akan membayar jasa petugas parkir tersebut. Biasanya sekitar lima ratus sampai dua ribu perak. Kami bersimpati pada bapak penjaga parkir itu karena ia rajin, biasanya banyak tukang parkir yang malas dan tidak peduli. Hari itu kebetulan baik saya maupun Mami tidak memiliki uang kecil. Akhirnya dengan tidak enak hati Mami memberi uang sebesar lima ratus perak (maksud hati ingin memberi seribu-dua ribu namun apa daya). Si bapak petugas parkir yang sudah cukup renta itu menerimanya. Mami kemudian bertanya: 

"Cukup ji daeng?".
Secara mengejutkan si bapak menjawab:
"Selalu cukup. Tuhan tidak pernah kasi' kurang."

Kata-kata si bapak petugas parkir itu sampai sekarang masih terngiang-ngiang. Disaat kiriman dari orang tua semakin menipis dan uang beasiswa dari pemerintah belum cair, perasaan khawatir kerap melanda. Namun disitulah gunanya iman. Saya selalu merasa bahwa hari esok pasti akan berbeda. Selalu ada berkat yang baru setiap hari. Akan ada duit yang ditransfer atau rejeki yang entah datang dari mana saja. Mungkin dalam bentuk traktiran atau oleh-oleh. Alhasil minimal uang yang ada dalam pundi-pundi rela saya habiskan demi membeli kesenangan kecil seperti buku atau es krim. Saya tak peduli. Saya ingin menikmati hidup. Dalam konteks tertentu apa yang saya lakukan memang boros tapi dalam hal tertentu saya hanya ingin merasakan sensasi jika keinginan itu terpenuhi. Nikmatnya memang candu tapi itulah hasrat manusia yang hidup.

Tetapi tentu saja boros bukanlah tindakan yang menguntungkan karena masa depan memang selalu tidak pasti. Setidaknya kita harus menyimpan sedikit sebagai jaga-jaga. Saya selalu teringat ayat dalam injil Matius ini,"Janganlah kamu khawatir akan hari besok, sebab hari besok memiliki kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah sehari". Ayat ini selalu menjadi pembenaran bagi saya untuk melakukan kelakuan hedonis sekaligus sebagai kekuatan dalam menghadapi pergumulan (jika menghadapi hari yang berat dan rasanya ingin semuanya cepat-cepat berlalu).

Benar kata bapak penjaga parkir itu, Tuhan memang selalu mencukupkan kita. Saya tidak pernah merasa berkelebihan atau berkekurangan. Selalu pas, cukup. Jika hari ini benar-benar abis, maka esoknya berkat yang baru tiba. Dalam hal ini saya belajar bahwa saya merasa cukup untuk apa yang saya butuhkan. Tetapi dilain sisi, saya merasa kurang untuk hal-hal yang saya inginkan.

Bukankah memang Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan?
Saya menutup hari ini dengan pengertian bahwa apabila Ia belum memberi apa yang saya inginkan saat ini berarti Dia tahu bahwa hal tersebut belum saya butuhkan. 

Life Story

Bahagia Memang Sederhana

Rabu, Oktober 16, 2013

*pic from Google*


Kata orang,"bahagia itu sederhana". Kita tak harus terpaku pada hal-hal besar yang menjadi standar kebahagiaan masyarakat kita. Punya pendidikan tinggi, punya pekerjaan bagus dengan gaji yang besar, memiliki barang-barang tertentu seperti mobil, motor Harley atau mungkin gadget-gadget terbaru. Kebahagiaan itu juga bisa berbentuk status. Ya, perbandingan orang-orang yang merasa tidak bahagia kalau belum menikah atau punya pacar berbanding lurus dengan orang-orang yang ingin pindah kelas, dari  bawah ke menengah, menengah ke atas,  atas ke langit. 

Kadangkala kita memang hanya terpukau pada hal-hal besar yang dibangun oleh masyarakat. Kita hampir lupa bahwa banyak hal-hal kecil yang berserakan di sekitar kita yang ketika kita hayati justru membawa pada rasa bahagia, gembira, dan yang namanya penderitaan entah menguap kemana.

Betapa bahagianya naik becak yang terpalnya dibuka pada malam hari sehingga membuatmu merasakan suasana malam. Kalau saya sih merasa seperti putri Keraton yang lagi dikirab hehe. Atau ketika sudah bersusah payah mencuci berember-ember baju kotor, begitu pakaian-pakaian itu kering betapa nikmatnya rasa kepuasan tersendiri itu. Ketika uang di dompetmu menipis dan tiba-tiba ada ajakan traktiran, mulutmu tak berhenti mengucap syukur. Bahkan ketika kita membuat orang lain tertawa karena tingkah konyol kita, kita pun merasa jauh lebih berbahagia.

Bahagia memang sederhana. Sesederhana mendengarkan suara anak-anak kecil tetangga sebelah yang berceloteh dalam bahasa Jawa dengan irama yang mendayu-dayu. Lagu yang indah untuk mengantarkan tidur siang hari ini.




PS: mau bilang lagi doyan tidur siang aja panjang ya hehehee...

Special Moment

Ladies's Night

Minggu, Oktober 13, 2013


Ini Mbak Indri, tetanggaku di kos-an. Mungkin ke depannya namanya dan beberapa nama penghuni kos yang lain akan sering muncul disini sebagai tokoh baru. Orangnya imut-imut kan padahal dia setahun lebih tua dari saya loh. Saat ini kami sama-sama mengambil program Master di UGM. Bedanya kalau saya transmigran dari Unhas ke UGM, Mbak Indri ini anak UGM sejati. Dulunya ia di FIB UGM, jurusan sastra. Sekarang ambil master di bidang American Studies. 

Oiya, Mbak Indri ini meski besarnya di Jawa tapi masih memiliki darah Bugis dari pihak ayahnya. Dia kepengen banget ke Makassar, makanya kalau ketemu ceritanya pasti gak jauh-jauh dari Makassar mulai dari kulinernya sampai budayanya. 

Beberapa hari ini saya ber-Ladies's night ria dengan Mbak Indri. Seperti hari ini kami makan mie ayam Mas Yudi dan kemudian sebagai dessert makan es krim  di Artemy yang sukses membuat dompet  kempis. Kami cerita ngalor-ngidul mulai dari kasusnya Dinasti Atut ( Mbak Indri ini tinggal di Cilegon dan dari ceritanya saya tahu masyarakat Banten tidak menyukai dinasti ini dan yang lain-lainnya), tentang kuliah yang berusaha disambung-sambungkan antara kajian masyarakat Amerika dan komunikasi, gosipin Lani "Frau" yang dulunya anak FIB UGM tapi sekarang sudah ke Inggris, tentang hidup ( yang ini merupakan hasil observasi kehidupan orang) dan pastinya tentang cinta *tetep ya.

Yang menyamakan kami apa ya selain hobi makan hehe mungkin karena kami sama-sama punya prinsip. Sama-sama gak mau nikah dulu sebelum jadi "orang" ( yang ini ada term and condition-nya ya soalnya jodoh kayak hujan di siang hari bolong). Intinya kami punya cita-cita dan keep fighting untuk mewujudkannya.

Dalam perjalanan pergi maupun pulang dari makan mie ayam Mas Yudi di daerah Sagan, Mbak Indri menunjukkan rumah idamannya di daerah ini. Daerah Sagan di Yogya itu termasuk daerah hijau karena asri dan juga strategis. Banyak banget tempat makan, distro, hotel, bahkan cafe-cafe. Rumah bergaya kolonial yang kuno tapi terawat bertaburan di tiap sudutnya. Mbak Indri punya mimpi untuk membeli rumah disini. Katanya sih harga tanah ( untuk 1 rumah ya harganya itu sekitar 10 M, ya ampun berapa tahun kerja jadi pegawai negeri yaa?). Mimpi itu dia tularkan pada saya karena saya menemukan sebuah rumah bergaya joglo kontemporer ( pokoknya Javanesse banget ) yang cocok untuk tinggal dan membuat keluarga. Tapi mengingat harganya hoaaa mimpinya berubah menjadi balon udara, tinggi membumbung tak tahu ujungnya. 

Entahlah, sejak tinggal di Yogya saya jadi sering "belanja" rumah idaman. Apa ini sindrom perempuan umur 20-an yang bukan lagi memikirkan "pacaran" tapi naik level ke "pernikahan"?

Kok saya jadi merinding ya...



Life Story

Yellow Submarine

Kamis, Oktober 10, 2013

Miss me?

hahahaaa...

Selalu menyenangkan ketika kita tahu bahwa ada yang merindukan kita. Ada orang-orang yang perhatian pada kita. Entah hanya bertanya "tugasmu sudah selesai?" atau "sudah makan hari ini?". Aristoteles memang benar, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Kita tidak bisa sepenuhnya sok antisosial, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Dan meskipun secara fisik kita sendiri, toh kita selalu menemukan teman -banyak teman malahan- yang membantu dan menemani kita.

Akhirnya saya mulai mendapatkan "klik" pada ritme kuliah saya. Benar apa kata kak Phio dan Kak Ipa bahwa semester 1 dan 2 adalah masa dimana akan banyak sekali tugas tapi kalau dinikmati semuanya tidak akan menjadi beban. Intinya lakukan dengan sepenuh hati, hasilnya akan berbanding lurus kok. Jangan terlalu ngoyo karena akan membuat lelah dan stress. Jangan bertingkah yang "terlalu" karena akan mendapat petaka. Jadi orang yang cerdas, cerdas sikap dan otak. 

Orang tua adalah pilar dalam hidup. It's good to know that they're always there for me. Doa, telepon, dan sms mereka adalah bensin yang membakar semangat yang mulai meredup. Mereka mentransferkan dukungan dan rindunya. Kuncinya adalah komunikasi. Kalau ada masalah yang saya cari Tuhan dan orang tua. Curhat dengan mereka the best deh. Kadang sih mereka menelpon disaat tidak tepat, misalnya ketika saya lagi mumet dalam mengerjakan tugas sehingga bawaannya emosi terus, tapi mereka mengerti dan keesokannya kami bisa cerita apa saja. I'm blessed 'cause have them as my parents

Sudah hampir dua bulan saya tinggal di rumah ini. Hubungan antar sesama penghuni sudah semakin dekat. Saya sudah dianggap sebagai bagian dari mereka begitupun sebaliknya. Terutama dengan Eyang. Awalnya saya segan dengan Eyang. Namun lama-kelamaan kedekatan emosional itu semakin tercipta. Begitu juga dengan Mbak Par, asisten rumah tangga - yang seperti ibu bagi kami-. Beberapa hari ini saya menemani Eyang ngobrol di ruang TV. Ngobrolnya tentang apa saja. Saya tidak pernah memiliki Opa kandung. Kedua Opa yang berasal dari pihak ayah maupun ibu sudah lama meninggal. Saya hanya mengenal mereka lewat cerita-ceritanya saja. 

Ketika Tuhan lewat perantara Kak Phio membawa saya ke rumah ini dan berkenalan dengan Eyang, saya senang luar biasa. Saya bakalan punya Opa -setidaknya merasa demikian. Istri, anak-anak, dan cucu-cucu Eyang juga tinggal berjauhan dengan Eyang sehingga kehadiran kami ini -para anak kos- yang menjadi obat rindu beliau. Hari ini saya sukses membuat Eyang tertawa sampai terbahak-bahak. Ternyata membuat orang lain bahagia itu adalah the most tremendous feeling in the world. 

Kemarin iseng-iseng saya bertanya pada Eyang. 
Me: Eyang, waktu The Beatles konser di Amerika, Eyang nonton tidak?
Eyang : Wah...tidak sempat waktu itu banyak pekerjaan.
Me: Ohhh...dulu top banget ya disana?
Eyang: Iya...lagu-lagunya populer pada masa itu,  ada lagunya yang submarine..submarine itu..
(yang Eyang maksud adalah lagu The Beatles yang berjudul Yellow Submarine, tentang pelaut yang menceritakan kisah hidupnya. Bayangkan dari semua lagu yang populer dari The Beatles, Eyang ingatnya yang Yellow Submarine ini. Gaul kan bapak kos-ku ini. hehee..)

Hari ini saya dan Eyang banyak ngobrol tentang linguistik, bahasa inggris, budaya Jawa, sampai urusan cinta. Eyang bilang saya tampaknya sangat senang tinggal di Yogya. Beliau juga bilang saya cocok jadi penyair. Saya anggap itu doa. Doa dari seorang professor Linguistik yang rendah hati meskipun beliau terkenal sampai ke mancanegara.


Kalau penasaran dengan lagu Yellow Submarine, ini lagunya. Beneran membawa ke suasana Amerika akhir tahun 60-awal 70-an


Life Story

Rumah Idaman

Minggu, September 29, 2013

Saya selalu suka dengn bangunan berarsitektur kolonial. Setiap jalan-jalan ke kota lain pasti yang saya perhatikan adalah bangunan lamanya. Kemarin saya berkunjung di sebuah cafe di daerah Kotabaru. Cafe itu baru saja di-launching. Arsitekturnya bergaya kolonial. Konon, rumah itu sudah lama berdiri mungkin sejak tahun 50-an. Pemilik rumah sudah tidak menempati rumah itu lagi lalu kemudian menyewakan sebagai tempat bimbingan belajar. Kemudian, disewakan lagi sebagai cafe. 

Saya selalu penasaran dengan cerita dibalik rumah-rumah tua. Kehidupan macam apa yang dijalani penghuninya dulu. Kisah-kisah seperti apa yang terjadi? Apakah romantis atau tragis? Sambil menikmati malam di rumah tua itu, saya kemudian memutuskan membuat impian. Ya, kelak jika sudah memiliki uang yang cukup saya ingin membangun  rumah ( atau mungkin membeli) rumah bergaya kolonial. Lalu kemudian memadukannya dengan desaign interior yang lebih modern misalnya perabotan minimalist atau retro. 

Membayangkannya saja sudah bikin senang. Tinggal menemukan partner yang memiliki visi dan misi yang sama. 


karena sudah malam jadi bangunan rumahnya tidak kelihatan


ruang tamu 


ada pintu lagi di ruang tamunya


konon ruang tengah


ruang makan atau dapur


mungkin disini dulu meja makannya


dulunya ini kamar tidur


mungkin ini ruang keluarga


view dari ex-kamar tidur

semacam bar



lokasi : Legend Cafe, Kotabaru, Yogyakarta

Life Story

Would You Be Happier?

Sabtu, September 28, 2013

*tumblr*


Orang yang mengatakan "hidup adalah perjalanan" tentunya sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Mereka yang mendefenisikan hidup sebagai sebuah perjalanan tentu telah memetakan "tempat-tempat" yang akan dia kunjungi. "Tempat-tempat" itu kita kenal sebagai cita-cita. Hidup tanpa cita-cita seperti makan gorengan tanpa sambal. Datar. Dan sebagai seorang traveller kehidupan, kita pun sudah punya itinerary menuju "tempat-tempat" itu.

Pernah suatu ketika dalam perjalanan pulang dari kampus saya tiba-tiba berpikir,"Inilah rutinitas itu". Sebuah fase dimana dahulu kau berusaha keras untuk menggapainya. Saat itu kau berusaha keras dan berdoa tanpa putus agar berada di posisi sekarang. Lalu apakah kau bahagia? Apakah kau lebih bahagia dibandingkan fase yang dahulu kau jalani?

Tiba-tiba saja suara Andrea Corr mengalun di kepala saya, "Would you be happier if you were someone together? Would sun shine brighter if you played a bigger part? Would you be wonderful if it wasn't for the weather? I think you're gonna be just fine". Dan zepp...saya jadi sadar. Tak ada gunanya mengeluh dengan segala ritme yang baru, lingkungan, atau orang-orang baru yang kau temui. Tak ada gunanya membanding-bandingkan kehidupan yang dulu atau milik orang lain. Saya hampir melupakan visi-misi saya untuk berada disini. Kalau meminjam lagunya Air Supply kira-kira duo itu akan mengejek dengan kalimat,"I've forgotten what I started fighting for". Yeah, atmosfir tempat baru membuat saya jadi tertatih-tatih melangkah. Padahal konon "a traveller doesn't thing they're foreigner". Saya hanya merasa kurang berjuang untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diberikan ini. Saya lupa memasukkan  kata "bersenang-senang" dalam fase yang kini harus saya hadapi. Semoga saya segera tersadar dan mulai menikmati perjalanan ini. 

Andrea dan saudara-saudaranya benar, " Don't worry baby, you're gonna be just fine."

Review Buku

Feminisme Dalam Dongeng

Minggu, September 22, 2013



Judul Buku     : Feminisme Dalam Dongeng
Penulis           : Meike Lusye Karolus
Penerbit         : Graha Ilmu
Tahun Terbit  : 2013
ISBN            : 978-602-262-040-2


Inilah "anak ketiga" saya. Namanya "Feminisme Dalam Dongeng". Kehadirannya di dunia tulis-menulis penuh dengan drama dari ngidam, mengandung, sampai melahirkan. Tidak pernah terpikirkan bagi saya untuk membuat sebuah buku berbau ilmiah. Cita-cita saya sederhana, saya ingin menulis novel atau kumpulan cerpen. Tapi ternyata menulis novel atau hal-hal berbau sastra sungguh diluar dugaan. Waktu yang diperlukan cukup lama. Kadang saya stuck, tak tahu harus membawa cerita itu kemana. Akhirnya, novel itu,ditinggalkan dan lama-kelamaan terlupakan.

Dongeng menjadi hal yang sangat dekat dengan saya. Kesenangan pada dongeng inilah yang menjadi nyawa dalam penelitian ini. Sejak kecil saya sangat suka membaca dongeng-dongeng. Entah itu dari buku atau diceritakan orang tua. Namun, perasaan saya menjadi tak enak kala saya beranjak remaja lalu menuju dewasa. Ada yang aneh. Mengapa perempuan harus menunggu? Mengapa perempuan yang jatuh cinta harus diam-diam menyimpan perasaannya. Jika mereka berusaha mengekspresikannya, mereka dicap negatif. Dibilangnya cewek agresif-lah, kegatelan-lah, dan celaan lainnya. Anehnya hal itu tidak berlaku buat laki-laki. Laki-laki sangat wajar bahkan harus mengejar perempuan. Padahal tidak sedikit teman laki-laki saya yang pemalu, bagaimana mau mengejar atau menyatakan cinta, berdekatan pun mereka tidak sanggup. Saya merasa ada yang ganjil. Sesuatu yang tidak adil. Ini bukanlah kodrat, ini adalah peran dan peran bisa dipertukarkan.

Keresahan-keresahan itu membuat saya mendiskusikan hal ini dengan sahabat-sahabat saya. Rata-rata pembicaraan itu berakhir dengan,"So, where's my Prince Charming?Does he exist?". Tapi persoalannya hidup tidak seperti dalam dongeng, bahwa kepasrahan akan membawa pada sebuah kemenangan seperti Putri Salju yang diselamatkan Pangerannya. Hidup penuh perjuangan, kita lahir ke dunia saja dengan perjuangan seorang ibu yang mengejan sekuat tenaga. Kita berhak memperjuangkan hak kita, termasuk memperjuangkan perasaan-perasaan kita. Namanya juga perjuangan, selalu butuh korban. Dalam hidup selalu ada konsekuensi.

Tapi tentu saja keresahan-keresahan saya itu harus bisa dibuktikan secara ilmiah. Saya harus menunjukkan ada diskursus dalam dongeng tersebut. Mengapa sih perempuan selalu dikonstruksi sebagai tokoh yang lemah dan pasrah? Jadinya saya meneliti diskursus dalam teks dongeng Putri Salju dan 7 Kurcaci. Saya ingin memperlihatkan konstruksi perempuan dalam dongeng. Hasilnya, dongeng tidak sesederhana yang kita pikir. Tidak hanya berfungsi mendidik atau menghibur, tapi juga mempengaruhi sampai ke tataran psikis dan tindakan. Dalam dongeng ada wacana yang terus diproduksi. Dongeng Putri Salju yang terus mengalami perubahan cerita seiring perkembangan zaman membuat saya terheran-terheran. Ada apa ini? Dan yap, rupanya ada kekuasaan maskulin  yang bersembunyi disana.

Ketika skripsi ini selesai saya pun berpikir,"alangkah bagusnya jika skripsi ini diketahui banyak orang". Tentu saja kerja keras mengerjakan skripsi akan terbayar lunas jika banyak orang yang membacanya. Sesuai dengan tujuannya bahwa skripsi harus bermanfaat bagi banyak orang. Tapi pertanyaannya, "Siapa yang mau repot-repot ke kampus membaca skripsi orang kecuali mahasiswa akhir yang mau skripsian?". Saya lantas berharap andaikata skripsi ini dapat dibukukan, dibaca, dan memberikan informasi bagi banyak orang. Sungguh materi tidak penting bagi saya. Namun saya ingin keresahan saya diketahui banyak orang. Saya ingin memperlihatkan kebenaran bahwa ketidakadilan benar-benar nyata di dunia ini. 

Kalian tahu, doa yang sungguh-sungguh diucapkan dapat memindahkan sebuah gunung. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tawaran untuk membukukan buku ini bagaikan doa yang dijabah. Semoga saja buku ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Terima kasih untuk kedua orang tua saya, para dosen Ilmu Komunikas Unhas terutama pembimbing skripsi saya (Pak Iqbal dan Pak Mul), para sahabat teman curhat, orang-orang baik yang sudi saya serap ilmu dan ceritanya, untuk mereka yang memberikan pelajaran berharga tentang arti "mencinta", "menunggu", dan "mengharap". Terutama untuk semua perempuan lajang dimanapun kalian berada. Pesan saya,"Menunggu Ksatria Berkuda Putih boleh-boleh saja, tapi jika dia tidak datang, sebaiknya berpikir untuk membeli kendaraan sendiri hihihii..."


Selamat membaca, semoga bermanfaat. 




NB: Bukunya bisa diperoleh di toko-toko buku seluruh Indonesia atau via online di web Graha Ilmu. 


Life Story

Usaha Penyelamatan Srintil dan Anaknya

Sabtu, September 07, 2013


Tinggal di Jawa membuat saya akrab dengan nama-nama yang sebelumnya saya temukan dalam novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka. Salah satu nama yang familiar adalah Srintil. Srintil menjadi nama tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diterbitkan di tahun 1982 dengan latar peristiwa Tragedi'65. Di tahun 2011, Srintil dihidupkan oleh sosok yang diperankan Prisia Nasution dalam film yang berjudul "Sang Penari". Tapi saya akan bercerita tentang Srintil yang lain. Srintil yang saya kenal. Srintil, kucing betina belang-belang milik Eyang.

Sudah tiga hari ini, suasana sore dan malam di Yogya terasa gloomy. Sorenya mendung. Malamnya pun tanpa bintang. Angin dingin pun menjadi teman setia. Dua hari ini saya menemani Eyang nonton tivi di pedepokannya. Seperti biasa pada pukul setengah 9, Eyang akan masuk ke kamarnya untuk istirahat. Biasanya saya dan Mbak Par atau anak kos yang lain seperti Mbak Indri atau Mbak Trully masih tinggal untuk ngobrol lalu kemudian masuk ke kamar masing-masing. 

Malam ini lain. Cuma saya serta Srintil dan kedua anaknya yang menemani Eyang sampai acara On The Spot selesai. Saya pun pamit untuk mandi. Eyang juga lebih dini masuk ke kamarnya. Pedepokan yang merangkap perpustakaan pribadi Eyang pun ditutup oleh Mbak Par. Suasana jadi hening, sesekali suara gaduh timbul yang disebabkan ulah Srintil anak-beranak. Pukul 9 malam, sambil membaca majalah Cita Cinta terdengar suara seperti kecemplung. Saya mendengarnya dengan jelas karena kamar saya bersebelahan dengan kamar mandi. Tak lama setelah itu terdengar suara "meong" yang lirih.

Awalnya saya tak mengacuhkan tapi lama-lama suara gaduh air dan rintihan kucing itu semakin menyayat hati. Dalam hal tertentu saya mengalami kontradiksi. Saya menyukai binatang tapi jijik untuk memegangnya. Hal ini sama kontranya ketika saya menyukai alam seperti gunung dan lautan tapi tidak berani menjelajahinya. Dalam kasus ini, mengangkat kucing yang kemungkinan mati dalam bak mandi itu sangat tidak kece.

Saya pun menuju kamar mandi dan mendapati Srintil-lah yang mengeong. Ia berdiri di atas tepi bak mandi sambil melihat ke dalam bak. Ketika mendengarkan langkah kaki saya, Srintil menoleh. Demi Langit! saya kaget melihat ekspresi Srintil dan suara yang dibuatnya. Meski sebelah mata Srintil sudah copot, tapi tatapannya nyata: khawatir dan panik. Jika ada komunikasi antar manusia maka ini adalah komunikasi antar manusia dan hewan. Srintil bicara dan saya mengerti. Ia seolah berkata," Mbak Ike, tolong anak saya kecebur ke dalam bak!!! Cepat cari pertolongan!!!"

Dalam imajinasi saya, saya melihat seorang ibu yang histeris melihat anaknya jatuh dalam sumur tanpa bisa berbuat apa-apa. Dengan segera saya berlari ke kamar Mbak Par dan memberi tahu kejadian ini. Mungkin saja anak si Srintil sudah meninggal. Beberapa waktu lalu, Mbak Par dan Kak Phio menemukan bangkai kucing di belakang kamar kos kami, masakan harus ditambah lagi?

Akhirnya kali ini yang bertindak adalah Pak Jono, suami Mbak Par. Ia segera menuju ke kamar mandi. Saya dan Mbak Par mengekor di belakang, bercampur ngeri dan geli. Angin malam pun semakin menusuk. Daster tipis yang saya kenakan   sama sekali tidak menolong untuk menghangatkan.

Saat Pak Jono masuk ke kamar mandi, Srintil langsung loncat dari tepi bak mandi. Pak Jono segera mengeluarkan anak kucing itu dari bak. Syukurlah ia tidak mati. Srintil membawa kedua anaknya lari sembunyi ke belakang lemari. Bisa saya bayangkan, Srintil dan kedua anaknya sudah berpelukan sambil bilang," kamu tidak apa-apa,Nak?". Saya bersimpati dengan Srintil sejak mengetahui bahwa semua anak jantannya tidak pernah berumur panjang. Tadinya kucing ini sangat menyebalkan karena sebagai kucing, ia terlalu kepo dengan pakaian dalam gadis-gadis penghuni kos. Srintil dan anak-anaknya kadang tidur di atas pakaian atau menarik-narik bh atau celana dari jemuran berdiri. Tentunya kejadian salah satu anaknya yang kecebur di bak mandi membuat Srintil hampir serangan jantung. Kejadian kritis sudah berlalu. Semoga anak Srintil yang kecebur itu baik-baik saja. Apesnya, besok pagi giliran kami yang sibuk membersihkan kamar mandi.

***

Setiap hari bagi saya adalah pelajaran. Binatang meski tak punya akal pikiran namun memiliki naluri yang sama dengan manusia. Naluri itu yang mampu membuat mereka berkomunikasi. Naluri pula-lah yang menggerakkan kita untuk mengerti meski akal kita tidak pernah belajar secara formal bahasa kucing. Adapun manusia yang kadang menyepelekan nalurinya, yang tidak menggunakan akal pikirannya justru malah berkomunikasi seperti binatang. Dan binatang dengan segala keterbatasannya lebih manusiawi daripada manusia.




PS: lain kali pintu kamar mandi harus ditutup rapat!

Life Story

Yogyakarta

Sabtu, Agustus 31, 2013



I'm dating. 

This city is my mate. As I remember, I live to reach my dreams. I want to fullfill my purpose. I've planned everything but life gives another way. Maybe it's like lover's meeting, wherever you go you'll find the way to meet your love. I still thinking about Makassar. Makassar is like the ex. Our relationship must ended but we can't move on from our memories. I feels excited about Yogyakarta, feels like I have a new boyfriend. This is a new me. Someone who loves walking. Walk with her new boyfriend. When I first time come to stay, he accepted me with four times of full moon. He's romantic, right?


Who knows I finally find what I always looking for. I still find out why I should stay in here. But in my heart, I know the good things come closer everyday.

Life Story

Seperti Es Teh Manis

Jumat, Agustus 02, 2013

*google*


Entah sejak kapan saya menyukai es teh manis. Mungkin sejak jadi mahasiswa, karena seingatku dulu-dulu kalau pesan makanan temen minumnya kalau bukan yang bersoda ya yang jus-jus-an. Mungkin juga karena seiring bertambahnya usia dan meningkatnya kesadaran dalam hal pengeluaran, saya jadi tahu bahwa harga segelas es teh manis tidak akan membuatmu bangkrut. Harga segelas es teh manis tidak sampai dari sepuluh ribu perak. Bahkan ada restaurant yang menjual es teh manis seharga lima ratus perak. Berapa coba gelas yang biasa saya minum dengan es teh manis semurah itu?. Belakangan saya baru tahu kalau ada restaurant di Jakarta dan Bali yang memberikan fasilitas es teh manis refill. Beli satu gelas bisa nambah sesuka hati. 

Saya jadi ingat iklan teh botol S**** yang terkenal dengan tagline-nya "apapun makanannya minumnya teh botol S****". Marilah kita mengasosiasikan teh botol bermerk itu dengan es teh manis (toh isinya sama-sama teh). Tagline itu memang benar-benar serupa doa yang dirapal si pemilik perusahaan. Apapun makanannya, minuman dominan yang saya pesan pasti es teh manis. Mulai dari makanan bertema seafood sampai western, es teh manis siap jadi pasangan. Es teh manis seolah menjadi ibu peri bagi mulut-mulut yang haus dan angin segar bagi dompet yang kering. Sudah murah enak lagi. Es teh manis dapat dinikmati semua kalangan, tidak memandang tua-muda, kaya miskin, jelek- cakep, es teh manis menjadi temanmu menyantap makanan. Saya berani taruhan, setelah air putih, es teh manis pasti merupakan minuman yang paling banyak diminum orang. Seperti air putih pula, ia adalah minuman yang netral.

Tapi ngomong-ngomong kenapa saya membahas es teh manis?

Saya akhirnya memasuki fase dimana saya menjadi perempuan umur 20-an. Masa dimana kemudaan, gairah, dan ambisi sedang meletup-letup. Saya bersyukur pada Tuhan atas anugerah yang luar biasa untuk mewujudkan cita-cita saya. Kurang dua minggu lagi saya akan hijrah ke kota yang baru. Kota yang sama sekali belum saya ketahui medannya seperti apa (ke sana saja untuk pertama kali tidak sampai 24 jam). Saya mengenal kota itu dari cerita orang-orang dan semoga saja memang seperti yang dikisahkan mereka. Dua hari ini saya mulai membereskan kamar. Saya bertekad sebelum berangkat, kamar saya harus rapi. Yang pertama yang dilakukan adalah membereskan meja rias saya yang berantakan. Akhirnya meja rias itu terlihat lebih ke-meja rias-an setelah memisahkan gelang, kalung, dan anting ke dalam tiga kontainer mini. Produk-produk kecantikan yang sudah kadaluarsa juga sudah dibuang. Saat ini meja rias saya sudah bersih dari tumpukan "sampah" (bayangkan! saya menyimpan undangan tertanggal tahun 2011).

aksesoris yang sudah dipak di kontainer *saya bisa buka toko aksesoris ini hehe...


Selanjutnya saya akan mulai membereskan rak buku dan lemari baju. Salah satu seni dalam hidup yang membutuhkan keahlian adalah seni berkemas-kemas. Sekali lagi ini bukan liburan tapi sebuah kepindahan. Saya akan berada jauh dari rumah dalam waktu yang lama. Otomatis saya harus lebih pintar dari George Clooney di film Up in the Air dalam soal berkemas-kemas. Ada barang yang ditinggalkan dan ada barang yang dibawa. Yang membingungkan adalah bagaimana jika barang-barang itu sama-sama penting sedangkan kita berusaha agar barang-barang itu cukup di satu koper dan tidak menimbun uang untuk masalah over bagasi? Sudah kubilang berkemas adalah seni dalam hidup yang membutuhkan keahlian.

Darwin punya teori "survival is the fittest" yang teruji ampuh bagi para perantau. Beradaptasi adalah kuncinya. Siapa yang tidak mampu beradaptasi akan dikalahkan oleh keadaan. Keadaan adalah tantangan dalam hidup. Hidup dapat membawamu ke dalam keadaan yang "up" atau "down". Semua tergantung pilihanmu. Salah seorang dosen saya memberi saya petuah untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan belajar disana. Seorang dosen yang lain juga memberi petuah agar saya mampu membawa diri dengan baik. Sekali lagi beda tempat, beda budaya. Apa yang kita anggap biasa di rumah sendiri belum tentu sama di rumah orang lain. Teman saya Sari yang sudah lebih dulu merantau berkata," Rule number 1, pelan-pelan kalo ngomong dan suara diturunkan nadanya 2-3 oktaf. Jangan pakarumbang nengkene nengkono". So what am I suppossed to do? ayah saya orang Timor, ibu saya orang Ambon, saya tinggal 22 tahun di Makassar. Jangan salahkan kalau suara saya lantang membahana. Tapi bagaimanapun kembali ke pasal satu: adaptasi. Saya pernah punya pengalaman kurang menyenangkan perihal latar belakang saya yang dari Makassar. Kadang-kadang di judgje oleh orang luar karena pemberitaan negatif media massa cukup...well, menyakitkan. Identitas ke"asli"an itu tentu harus dibawa namun kita harus sepandai hewan amphibi yang mampu bertahan hidup di dua dunia.

Ini pertama kalinya saya merantau dalam waktu yang lama. Sebelumnya saya pernah hampir satu bulan di Malaysia dan hampir dua bulan di Bangkok dalam occasion KKN dan magang . Tapi sekarang keadaanya beda. Dulu pikiran saya bercabang antara belajar dan liburan sehingga bisa dikatakan saya luar biasa boros. Sekarang tidak bisa begitu apalagi ada tanggung jawab yang diemban. Mami juga tak henti-hentinya memberi nasehat. Seorang perempuan muda yang penuh gejolak tentu merupakan godaan bagi pria manapun (wuizzz...). Mami berpesan untuk menjaga diri saya baik-baik, tidak boleh sembarangan. Kedua, jika jatuh cinta make sure laki-laki itu pure yang artinya bukan pacar orang dan bukan suami orang. Biarpun jomblo, kita harus menentukan sikap. Saya memilih menjadi jomblo yang bermartabat. Lebih baik single fighter daripada perusak hubungan orang apalagi rumah tangga orang. Itu prinsip saya dan prinsip adalah hal yang fundamental. Akhir-akhir ini saya baru tahu bahwa banyak orang (terutama perempuan) tidak tahan atau tidak kuat "sendiri". Status jomblo serupa momok yang menakutkan. Kadang-kadang saya juga begitu sih, pengen juga ada yang diandalkan, disayang-sayang, bla bla..bla..tapi semakin saya kepengen semakin saya sadar bahwa waktu saya untuk merasakan hal itu belum tiba. Saya merasa memiliki tugas yang harus saya laksanakan. Saya harus jadi es teh manis untuk banyak orang. Terakhir, andalkan Tuhan dalam hidup. Tuhanlah yang membuat saya mampu bertahan sendiri. Tak ada janji dan perlindungan yang mampu mengalahkan janji dan perlindungan dari sang Maha Kuasa. Di samping itu tentu saja agar saya berhasil menunaikan tugas saya seperti es teh manis yang memberikan kesegaran bagi siapapun yang meminumnya dalam segala kondisi.

Sometimes, the journey leads you to home and stranger you've met could give you the journey .