Review Film

Nonton Dilan

Jumat, Februari 02, 2018

sumber: harian nasional


Pernahkah kamu melakukan sesuatu yang sebetulnya pernah kamu cela tetapi di kemudian hari kamu malah melakukannya? 

Yang kumaksud tidak hanya sekedar mencela cowok-cowok badboy namun kalau dideketin mereka ternyata bisa luluh, tetapi juga mencela produk media populer jaman now, misalnya nonton film Dilan 1990 dan malah sampai membaca dua buku lanjutannya dalam waktu dua hari karena saking penasarannya. 

Yep. Saya kena karma dan karma memang tidak pandang bulu meskipun kita rajin sembahyang dan tak lupa menabung. Setelah nonton Dilan 1990, Laili mengirim pesan melalui wa dan terjadilah percakapan ini: 

Laili: "Gue cuma heran kenapa tipe-tipe cewek yang disukai cowok tahun 1990 sampai 2018 sama semua?"
Meike: "Konstruksinya kayak gimana?
Laili: "Secara fisik yang kalem, rambut panjang, kurus, halus, lembut..."

Percakapan itu berlanjut dengan bagaimana Laili melting melihat Dilan persisten mengejar Milea. Cara pdkt Dilan memang unik, ada usaha disana. Bayangkan pertemuan pertama saja, Dilan merayu Milea dengan cara diramal. Pada saat Milea ulang tahun, orang-orang mengucapkan selamat dengan cara yang klise, tetapi Dilan justru memberi kado TTS yang sudah diisi semua biar Milea tidak pusing mencari jawabannya. Waktu Milea sakit, ia mengirim mbok tukang pijat. Semua cewek senang dikasih surat cinta, tetapi Dilan mengirimkan surat cinta kepada Milea melalui Bu RT atau Simbok. Perbuatan Dillan yang lain adalah memberi cokelat yang ia titipkan kepada pengantar koran dan menelpon Milea tiap hari. Belum lagi puisi-puisi yang ia tulis untuk Milea yang diam-diam ditunjukkan oleh ibunya Dilan. Ia juga rela tidak solider dengan teman-teman geng motornya yang ingin tawuran karena Milea mau jalan-jalan hari itu juga. Semua yang Dilan lakukan membuat cewek-cewek mupeng, mereka ingin diperlakukan manis seperti itu. Anak muda itu sudah puas dengan pencapaiannya sebagai panglima tempur geng motor dan membuat Milea ketawa. 

"Aku cuma pengen punya cowok yang bisa buat aku ketawa, Meik," katanya lirih sewaktu aku ketemu dia keesokan harinya.
"Iya ya. Cowok-cowok yang dekat sama kita semuanya bikin dahi berkerut". Kami berdua tertawa ngakak. 

Saya akhirnya benar-benar menonton Dilan 1990 bersama Shinta. Kami ingin menikmati film ini dengan khusyuk bersama segenap murid-murid SMP dan SMA yang mendominasi bioskop sore itu. Lupakan dulu sejenak senjata teori-teori kritis yang dipelajari. Harus kuakui, gombalan Dilan memang receh, konyol, kadang-kadang jijay, bodoh, tapi anehnya....manis. Satu kata: kontradiksi. Film ini lebih mengeksplorasi proses bagaimana Dilan pdkt ke Milea hingga mereka jadian dengan cara yang unik dan mengesankan. Maklumlah, di jaman itu teknologi komunikasi belum canggih dan suasana represif ORBA masih kuat. 

Menurut Shinta, Dilan itu sebenarnya seperti anak-anak Kiri jaman now. Mereka datang dari kelas menengah ke atas dengan akses bacaan, memiliki semangat perlawanan, dan punya orang tua yang sanggup membelikan mereka motor. Kata Dilan, syarat jadi anggota geng motor ada dua: punya motor dan mau. Dalam masa yang represif, rasa keadilan mereka terganggu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali dengan menjadikan hidup ini sebagai komedi satir. Rasa perlawanan itu akhirnya terkonversi ke dalam semangat ber-geng motor. Geng motor disini bukan yang kita anggap begal sekarang. Geng motor-nya Dilan hanya akan tawuran kalau mereka diserang duluan. Ingat, jaman itu tidak ada kebebasan untuk berserikat dan berorganisasi. Kumpul-kumpul seperti itu membuat mereka tetap waras. 

Shinta menambahkan bahwa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pidi Baiq, penulis novel Dilan, adalah kehidupan remaja tahun 1990-an seperti relasi mereka dalam keluarga, bagaimana mereka berkomunikasi, konflik apa saja yang mereka hadapi, hingga aktivitas dan kesukaan apa yang sedang hits di zaman itu. Dilan 1990 membantu kita membaca periode 1990-an melalui kacamata Dilan dan Milea. Kita juga bisa melihat Bandung tahun 1990-an yang masih sepi dan adem. Aku manggut-manggut setuju mendengarnya. Pemilihan Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla juga pas. Film ini tidak lebay dan terkesan sendu. Menurut kami berdua, si Iqbaal cocok menghidupkan sosok Dilan karena wajahnya yang imut, gemes, dan terkesan bandel. Maskulinnya tidak dengan bentuk badan yang kekar, tetapi dengan sikap.

"Shin, setelah ini aku gak keberatan deh kalau pacaran sama berondong."

Kami berdua tertawa terbahak-bahak.