Review Film

Posesif

Sabtu, Oktober 28, 2017

Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino) di film Posesif (2017)


Persoalan cinta memang persoalan yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Masalah ini sama peliknya dengan persoalan ekonomi-sosial-budaya-politik yang selalu membuat umat manusia saling debat. Sayangnya, banyak orang berusaha tak hirau dengan soal cinta. Mereka bilang cinta itu remeh-temeh, gak penting. Saya jelas tak sepakat, wong cinta ini masalah substansial dalam hidup manusia kok. Hal yang paling esensial sehingga selalu laku jadi komoditi dalam industri budaya.

Perhatian saya lantas terpaku pada film Posesif (2017) yang disutradari oleh Edwin. Nama Edwin sudah saya kenal gegara film Babi Buta Ingin Terbang (2008), film yang pernah diputar di festival film jaman saya kuliah dulu. Film garapan Edwin terlihat non-mainstream sehingga rasa penasaran untuk menonton film komersial seperti Posesif menjadi faktor utama yang mendorong saya menonton film ini. Faktor kedua adalah karena isunya tentang kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja. Hampir dua tahun saya concern ke isu kekerasan seksual dan saya berusaha membaca film ini untuk menemukan tanda-tanda yang digunakan Edwin untuk menghadirkan wacana tentang kekerasan, terutama di kalangan remaja. Ketiga, saya suka dengan Adipati Dolken, entah mengapa wajahnya mengingatkan saya pada Ryan Hidayat (fix gak move on dari idola sejak masih buta huruf :p). 

Saya tidak akan menceritakan resensi film ini (silahkan cari di blog lain). Saya lebih tertarik dengan wacana kekerasan yang diproduksi para pembuat filmnya. Ada beberapa tanda yang menarik didedah. Pertama, kekerasan hadir berulang dalam relasi. Pada mulanya adalah cinta, tetapi cinta bertalian dengan kepemilikan. Kita tak mungkin peduli pada sesuatu yang dengannya tidak kita sayangi. Karena kita sayang, makanya kita merasa memilikinya. Ketika kita sudah merasa memiliki, maka kita akan merasa takut kehilangan. Ada banyak faktor yang membuat obyek yang dicinta bisa hilang, bisa karena keinginan si obyek, bisa karena faktor esktenal lain. Demi melindungi supaya si obyek tak hilang, si subyek yang merasa memiliki berusaha menundukkan si obyek. Ketika si obyek "bebas" , orang-orang yang posesif ini justru menghukum obyek yang dicinta, berikut orang-orang yang mengancam akan merebut si obyek darinya. Di titik inilah, kekerasan tercipta. Kekerasan tidak jatuh dari langit, ia adalah produk dari mekanisme relasi subyek-obyek yang berulang. Hal ini tampak dari perlakukan Ibu Yudhis ke Yudhis dan direproduksi oleh Yudhis ke Lala. Tidak ada kekerasan dalam hubungan yang setara alias subyek dengan subyek. Coba bandingkan bagaimana ayah Lala dengan Lala yang cenderung membebaskan anaknya terhadap pilihan-pilihannya. 

Kedua, rasa sayang yang berubah menjadi rasa kepemilikan itu mengerikan karena akan menciptakan belenggu dalam relasi. Tak ada lagi relasi yang setara, yang satu akan senantiasa menundukkan yang lain untuk menjaga status kepemilikan itu. Kebebasan si korban terancam. Ada adegan menarik dalam film Posesif, ketika Yudhis mengaitkan kalung kepada Lala sebagai hadiah ulang tahun dengan simbol inisal nama mereka. Dalam budaya, kalung (rantai) yang diikat di leher adalah simbol penaklukkan dan kepemilikan. Kita bisa lihat pada anjing yang dirantai lehernya sebagai simbol kepemilikan dan penaklukkan atau para budak tanah jajahan. Mereka yang dirantai tidak bisa bebas, mereka mudah dikendalikan. Selama Lala memakai kalung itu, pilihan-pilihannya selalu disetir oleh Yudhis. Yang menarik dari film ini, Lala berusaha melakukan resistensi dalam diam (adegan ketika ia memilih kuliah di UI yang sebenarnya bertentangan dengan bujukan Yudhis). Relasi subyek-obyek tidak bisa disederhanakan dengan menganggap kontrol ada di si pemilik. Ketika kalung itu hilang, Lala justru mencari Yudhis yang malah "meninggalkan"-nya. Relasi subyek-obyek tidak akan pernah putus sampai salah satu pihak dengan gagah berani melepaskan ikatan itu ("..lepaskanlah ikatanmu dengan aku biar kamu senang..." *nyanyik)

Ketiga, ciri khas konsekuensi dari relasi seperti ini biasanya adalah korban melakukan self-blame atau menyalahkan diri sendiri. Self-blame kerap kali dilakukan korban kekerasan untuk membenarkan  persepsinya tentang kekerasan yang dilakukan pelaku (bisa karena kekerasan itu tanda cinta, dll) dengan tujuan melindungi pelaku (lihat adegan dialog antara Lala dengan ayahnya di tempat cuci piring). Adegan-adegan seperti itu banyak muncul dalam film ini, seperti ketika Lala melarang ayahnya untuk menelpon polisi atau ketika Lala bercerita kepada Ega, sahabatnya. Di kehidupan nyata, ketika kamu berhadapan dengan korban kekerasan dalam rumah tangga (atau pacaran dan cinta bertepuk sebelah tangan :p) tak jarang korban melakukan self-blame seperti ini. Ketika pelaku meminta maaf dengan cara-cara yang lebay yang bagi korban dianggap "romantis" (seperti Yudhis di film ini), korban akan luluh dan merasa bahwa ialah satu-satuya yang bisa mengubah si pelaku menjadi orang yang baik. Keadaan ini kemudian mengingatkan kita pada dongeng Beauty and The Beast dimana Belle berusaha mengubah The Beast menjadi orang baik (dan tampan) lagi. 

Kekerasan fisik dan psikologis yang dihadirkan dalam film ini tak melulu soal relasi. Namun, juga kekerasan simbolik yang dilakukan masyarakat terhadap keperawanan perempuan. Masyarakat patriarkal mengagung-agungkan keperawanan perempuan dan memandang hina perempuan yang sudah tidak perawan. Menariknya, tokoh Lala tidak terbebani dengan hilangnya keperawanannya. Ya, dia memang meminta maaf sebatas karena membuat ayahnya sedih dan malu. Tetapi, sebagai perempuan ia tidak melakukan self-blame seperti perempuan pada umumnya yang melakukan hubungan pra-marital seksual dengan pacarnya. Tampaknya, hubungan seks antara Lala dan Yudhis (meskipun tidak ditampilkan secara visual) terjadi atas persetujuan bersama. Artinya, baik Yudhis dan Lala sama-sama menginginkan hubungan itu, tahu resikonya, serta bertanggung jawab atas pilihan itu. Hubungan seks konsensual seperti ini menghilangkan kultur kekerasan seksual serta menghilangkan beban "perawan" ala masyarakat patriarkal yang ditanggung perempuan. Jika perempuan bertanggung jawab dalam hubungan seks yang konsensual seperti itu, ia tidak perlu meminta pertanggungjawaban atau menyalahkan pihak laki-laki jika sewaktu-waktu relasi mereka berakhir. 

Saya banyak melihat perempuan yang menderita karena sudah terlanjur melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Banyak diantara mereka yang akhirnya memasrahkan diri dalam relasi yang  tidak setara dan menjadi korban kekerasan (fisik, psikologis, seksual). Mereka tidak bisa disalahkan karena mereka dibesarkan dalam masyarakat yang menaruh nilai pada tubuh mereka. Dalam masyarakat patriarki, keperawanan perempuan dimaknai sebagai segel dan barangsiapa yang pertama kali membukanya maka ia menjadi pemilik dari obyek yang dibuka segelnya itu. Perempuan yang segelnya dibuka mau tidak mau akan mengikatkan diri pada si pembuka segel. Maka, tak heran meskipun menderita dalam relasi timpang seperti itu mereka tetap bertahan. Sedih dan mengerikan bukan?.

Overall, film ini berhasil menghadirkan wacana kekerasan dengan baik, baik secara teks maupun visual. Tak ada kesan vulgar dan menggurui. Edwin menawarkan isu ini dengan lembut dan menyusup ke kesadaran penonton. Salut untuk aktingnya Adipati Dolken yang terlihat maksimal disini. Ia sukses menghadirkan karakter Yudhis yang charming sekaligus psycho. Putri Marino juga tampil dengan baik sebagai Lala. Seperti lagu I Just Called To Say I Love You-nya Stevie Wonder di film Babi Buta Ingin Terbang, Edwin juga menyelipkan satu lagu tertentu sebagai "penanda" di film Posesif yaitu lagu Dan yang dinyanyikan Sheila on 7. 

Film ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa ada sisi gelap dari romansa. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam mendefiniskan tindakan kasih dari orang-orang yang kita cintai. Mendapatkan pendidikan dan membaca buku-buku anti penindasan tidak menjadi jaminan seseorang tidak mereproduksi kekerasan. Selama ia masih memandang relasi antara manusia sebatas subyek-obyek, maka selama itu pula ia akan menundukkan orang lain. Jürgen Habermas pernah bersabda bahwa hanya dengan memandang manusia lain sebagai subyek yang setara, maka dialog akan tercipta untuk menghasilkan pemahaman dan tindakan yang tidak merugikan salah satu pihak. 

Pertanyaannya sekarang, apakah kamu sudah memandang manusia lain sebagai subyek yang setara? Selamat berkontempleasi. Saya mau nyanyi dulu.

"Lupakan saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala..."

Mantra Kalimat

When Universe Speaks to You...

Kamis, Oktober 19, 2017

Me with Mandala, photo by: Junita



For the last couple of days, I have been binge-watched Orange is the New Black, an American serial television, which was suggested by my best friend, Tirta. To be honest, I have been encountered with unpleasant situations lately. I must admit I have some dilemmas, should I choose to survive or to resist?  In terms of deal with things, I suddenly had wanted to get signs in order to convince myself. I didn't care if it's from the sky or maybe someone. I just needed to make myself comfortable. And guess what? I have been touched by some lines from the dialogue between Yoga Jones and Chapman in the film. It was also funny yet mysterious because it happened right after I got "unfortunate situation". By looking at this context, I think universe seemingly speaks to me through the movie.  


Yoga Jones: Do you know what a Mandala is? 
Champan: Those are those around Buddhist art things
Yoga Jones: The Tibetan monks make them out of dyed sand, laid out into big beautiful designs. And when they’re done, after days or weeks of work, they wipe it all away. 
Chapman: Wow… that’s a lot
Yoga Jones: Try to look at your experience here as a mandala, Chapman. Work hard to make something as meaningful and beautiful as you can. And when you’re done, pack it in and know it was all temporary. You have to remember that. It’s all temporary. 
Chapman: It’s all temporary 
Yoga Jones: I’m telling you. Surviving here is all about perspective

(Orange is The New Black, session 1 ep. 1)

Life Story

Billy Joel, Jakarta Sebelum Pagi, dan Hal-Hal Yang Belum Selesai

Sabtu, Oktober 14, 2017


photo by: Toa Heftiba  (www.unsplash.com)


Ketika kamu bekerja, weekend merupakan waktu yang selalu dinanti. Saya selalu menyukai hari Sabtu (kemudian teringat bahwa waktu sekolah dulu, saya tetap masuk di hari Sabtu) lebih-lebih kalau cuacanya  mendung atau sekalian hujan. Rasanya semua perasaan sendu-romantis menghambur di dada, menyebabkan kantuk, dan berakhir dengan tidur sampai siang yang nikmat.

Sabtu yang mendung juga mengingatkan saya dengan lagunya Roxette yang dimulai dengan lirik, "Milk and toast and honey, make it sunny on a rainy Saturday...". Saya suka lagu itu karena musiknya seksi. Namun, di siang yang mendung kali ini, saya memilih mendengarkan lagunya Billy Joel yang judulnya Just The Way You Are yang diambil dari album kesukaan saya The Stranger (1977). Lagu ini membuat suasana jadi romantis terutama pada suasana mendung meskipun anda mungkin sedang tidak jatuh cinta. Billy Joel menciptakan lagu ini untuk istrinya, Elizabeth, yang kemudian tak lama setelah lagu itu dirilis justru bercerai dengannya. 

Begitulah cinta. Magis dan aneh. Cinta punya banyak dimensi. Dimensi terluar adalah dimensi fisik yang berhubungan dengan hal-hal yang membuat kita menakar seseorang untuk layak dijadikan pasangan. Dimensi yang menurut saya sangat politis. Karena orang bisa tidak dicintai hanya karena agamanya berbeda, rupanya unik (tidak sesuai gambaran manusia ideal versi iklan produk kecantikan), atau karena dia sama sekali tidak cerdas. Cinta yang lain memiliki dimensi substantif, alias mencintai karena sesuatu yang esensial. Itu loh jenis cinta yang meski orangnya berganti rupa atau identitas sekalipun, kamu tetap mencintainya. Mencintai orang karena esensi adalah yang paling sulit sekaligus juga jarang terjadi di dunia yang segala sesuatu mudah dipertukarkan. Meskipun demikian, saya punya satu keyakinan tentang cinta: Jika kamu mencintai, kamu akan melakukan apa saja untuk yang dicinta. Bagi saya, cinta membuat kita melakukan apa saja bahkan jika hal itu diluar batas kemampuan kita.  

Inilah yang terkonfirmasi dari novel Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Novelnya diceritakan dengan penuturan yang unik. Mungkin hanya orang yang punya selera humor bagus yang mengerti cara Ziggy bercerita. Dari novel inilah, saya menemukan tokoh Abel, seorang yang memiliki phobia terhadap suara dan sentuhan. Abel jatuh cinta pada Emina, yang suaranya lantang dan anaknya heboh. Kebayang kan, bagaimana Abel harus mengutarakan perasaannya dengan mengatasi ketakutan-ketakutannya itu. Sebagai catatan, orang yang phobia bisa mati karena ketakutannya. Abel merasa ditusuk-tusuk atau terbakar jika ada yang menyentuhnya atau ingin mati rasanya ketika mendengar suara yang besar. Ketika akhirnya ia berupaya mengaitkan telunjuknya ke telunjuk Emina, bisa Anda bayangkan betapa beraninya ia?

Seperti Abel saya punya ketakutan saya sendiri. Saya takut dengan waktu, bahkan sejak dalam kandungan. Namun kali ini, saya harus mengalahkan diri saya, ketakutkan saya demi cinta saya padanya. Ia tidak mudah digapai. Ia berdiri di puncak Himalaya. Dan kau tahu, jika kau ingin mendaki puncak Himalaya maka persiapannya tidak sama seperti ketika kau ingin mencapai puncak Semeru. Kau tahu resikonya. Kau tahu kesulitannya. Tapi kau tetap melakukannya. Kau mencintainya, maka kau berusaha mengalahkan dirimu untuk melalui semuanya itu demi mendapatkannya. Untuk seseorang yang selau dikabulkan keinginannya sesuai waktu yang dikehendakinya, menunda dan menunggu sesuatu seperti membuatnya ditusuk dan dibakar. Tapi saya harus tetap tabah, demi cinta. Demi sesuatu yang belum selesai.  

Cinta pada ilmu pengetahuan membuatmu penuh. Namun, jalannya sunyi dan berliku. Saya tak menduga, jalannya memang sesepi ini.