Life Story

Cintailah Dia

Jumat, Juni 28, 2019

Uzul mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Kawasan Babarsari mulai padat seiring matahari pukul 4 sore yang perlahan menuju ke ufuk barat. Ia bercerita tentang takdir yang membawanya sebagai dosen. Sebuah keberuntungan kalau bukan mujizat. Berkali-kali ia tidak menyangka. Ia yang harusnya tak lulus bisa lulus. Ia yang rela melepas posisi dan gaji besar puluhan juta demi sebuah pengabdian. Uzul bertanya bagaimana kita bisa hidup dengan gaji yang sebegitu kecil. Ia sudah terbiasa memegang uang banyak dan tampaknya ia agak susah payah beradaptasi. “Tetapi uang yang banyak itu tidak berkah, selalu cepat habis," Uzul menguatkan diri. Saya yang duduk di jok samping kemudi, memandangnya, dan berkata,"Tenang. Semua pasti akan cukup”

Yu, Vir, dan Us yang duduk di jok belakang kemudian mulai berbagi cerita bagaimana mereka bisa sampai ke posisi ini. Baru saja kami menerima SK yang memantapkan posisi kami dalam dunia sosial, politik, dan ekonomi. Tentu, kami masih berada di fase “percobaan”. Tetapi, penantian panjang yang melelahkan dan seringkali diiringi isak tangis dan tawa bahagia sudah terbayar sudah. 

“Yu, berapa lama kamu menantikan saat ini?,” saya bertanya padanya. 
“Sejak aku masih kecil. Aku suka bermain peran sebagai guru,” Yu menjawab dengan mata berkaca-kaca. 
“Aku juga Yu. Aku menantikannya selama 10 tahun. Sejak Bapa-ku menaruh ide itu di hatiku: kenapa kamu mau menjadi wartawan, kalau kamu bisa menjadi gurunya wartawan?,” aku menjawab sambil mengusap-ngusap 18 angka nomor induk kepegawaianku. 
Vir ikut menimpali,"Kalian berdua memang ingin jadi dosen ya? Kalau aku seperti tercebur kesini. Tidak sengaja,” ujarnya. 
“Aku juga,” Us menambahkan. Ia bercerita petualangannya dari seorang guru, menjadi wartawan, hingga menjadi dosen. Sebuah perjalanan yang panjang di usianya yang belia. 

Mobil Uzul melaju lebih pelan. Jalanan semakin padat. Kami melihat kiri kanan kawasan Babarsari dengan cermat. Berbagai kampus, kantor, café, rumah makan, bahkan mall ada disini. Kawasan ini akan menjadi bagian dari kehidupan kami sampai kami pensiun kelak. Mobil berhenti di depan gedung kampus Atma Jaya. Ia terlihat megah. Perasaan saya diliputi melankoli. Teringat tahun 2016, saya menangis sejadi-jadinya ketika tidak diterima menjadi dosen disana. Teringat bahwa saya melepaskan dua kampus lainnya untuk bisa menjadi bagian dari rasa aman dan nyaman dimana komunitas se-iman-ku banyak disana. Waktu itu rasanya begitu pas. Seperti jodoh. Tetapi, ternyata bukan dia yang Tuhan kasih. Berkali-kali saya melamar ke sana, berkali-kali pula saya ditolak. 

Persis di sebelahnya, kampus II kampus kami terlihat. Ia tampak agung dari depan. Kami menelusuri area kampus dan berhenti tepat di parkiran yang mengarahkan kami pada bagian belakang gedung tersebut. Ada rasa gembira yang membuncah di dalam dada. Namun, ada juga rasa perih. Seperti hati-Nya, yang merasakan bara cinta tetapi juga merasakan duri. Saya, Uzul, Vir, Yu, dan Us memandang bagian kampus tersebut dengan takjub dan sedih. Kampus itu tampak tua dan lelah. Ia seperti pejuang perang yang kesepian. Ia merindukan kekasih. Ia membutuhkan perubahan dan pembaharuan. Sayup-sayup terdengar suara Pak Wakil Rektor yang menyambut kami dengan pidatonya, "Kampus ini memiliki semboyan menuntut ilmu dengan hati tulus dan suci. Belajarlah mencintai kampus ini. Karena Anda sudah ditakdirkan berada disini," begitu katanya. Saya merinding. Tak satupun dari kami yang pernah bermimpi akan mengajar di kampus ini. 

Kami berlima kemudian pulang dengan membawa harapan. Semoga kelak kami bisa menjadi pemikir dan pendidik yang berhati tulus dan suci dalam memberikan ilmu bagi generasi bangsa ini. Akan ada banyak kisah dan kenangan yang dilalui. Akan ada banyak pelajaran yang mengubahkan diri. Akan ada banyak prestasi yang terukir. Dan dalam perjalanan ini sebaiknya kita tidak sendiri. 

Cintailah dia.

Aku dan Tuhan

Tuhan Lama vs Tuhan Baru

Kamis, Juni 20, 2019

Tetot : Kenapa ya kita tersingkir?
Memoy: Karena kita melawan Patriarki
Tetot: Iya, kita melawan Tuhan.
Memoy: Kenapa ya orang-orang setia pada Tuhan yang Lama?
Tetot: Tuhan yang mengizinkan pertumpahan darah demi kekuasaan. Tuhan yang melarang perempuan masuk ke tempat ibadah saat menstruasi. Tuhan yang mendukung poligami. Tuhan yang berpihak pada yang kuat daripada yang lemah. Tuhan yang meminta mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
Memoy: Padahal ada Tuhan yang baru. Ia penuh kasih. Tuhan ini mengangkat penderitaan perempuan yang sakit pendarahan selama 12 tahun. Tuhan yang mau menyentuh dan mengasihi orang-orang lepra. Tuhan yang mau bergaul dengan pendosa. Tuhan yang mau mengenal dan mendengarkan kisah dari seorang perempuan yang sudah memiliki 7 suami. Tuhan yang mengajarkan orang-orang setia pada pasangannya. Tuhan yang menyuruh kita memberikan pipi kanan ketika pipi kiri ditampar orang. 
Tetot: Iya ya? Mengapa kita setia pada kekerasan daripada pada cinta? 

Mantra Kalimat

Aslan and Lucy

Selasa, Juni 18, 2019



“Please - Aslan,” said Lucy, “Can anything be done to save Edmund?” 
“All shall be done,” said Aslan. “But it may be harder than you think.” 

And then he was silent again for some time. Up to that moment Lucy had been thinking how royal and strong and peaceful his face looked; now it suddenly came into her head that he looked sad as well. But next minute that expression was quite gone. The Lion shook his mane and clapped his paws together.

(The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch, and The Wardrobe). 

Mantra Kalimat

The Shape of You

Kamis, Juni 13, 2019

"Unable to perceive the shape of you, I find you all around me. Your presence fills my eyes with your love. It humbles my heart, for you are everywhere." 

Nukilan puisinya Hakim Sanai dalam Walled Garden of Truth yang muncul di film The Shape of Water (2018). 

Life Story

Kita Tidak Sendiri Lagi, Juni

Rabu, Juni 12, 2019

Cinta adalah pertemuan dan percakapan dua liyan. Dia dapat mengatakan apa yang tidak bisa kamu ucapkan dan kamu dapat mengatakan apa yang tidak bisa dia ucapkan. Dia dapat merasakan apa yang hilang dari dirimu dan kamu dapat merasakan apa yang hilang dari dirinya. Dia memahamimu dan kamu pun memahami dia meski tanpa penjelasan. Kalian akan selalu saling mencari dan pada akhirnya saling menemukan satu sama lain. Entah itu dalam jarak, kisah, lagu, tarian, buku, pesan singkat, angin malam, hujan, dan kering daun pepohonan. Dia tidak akan meninggalkanmu dan kamu tak akan meninggalkan dia sekalipun dia dan kamu punya 1001 alasan untuk saling meninggalkan. Kamu tidak akan segan-segan marah pada dia. Dia tidak akan sungkan untuk mendiamkanmu. Mungkin kamu tak setuju dengan apa yang dia kemukakan dan dia memiliki pandangan berbeda denganmu. Tetapi, kamu dan dia akan belajar menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan. Segala persamaan akan disyukuri tanpa dibandingkan. Di hadapan dia, kamu menjadi dirimu sendiri. Bagimu, dia selalu indah ketika menjadi dirinya sendiri. 

Cinta ini melampaui hasrat-hasrat badaniah. Cinta yang selalu utuh dan tak pernah habis. Cinta ini tidak membutuhkan api karena ia adalah terang itu sendiri. Cinta yang tak kenal warna kulit, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, pilihan hidup, hingga luka masa lalu. Jika kamu berbahagia, dia akan ikut bahagia dan kamu pun akan ikut bahagia manakala dia berbahagia. Jika dia iri padamu, dia akan belajar menerima kelebihanmu dan menerima kekurangannya, begitupun sebaliknya kamu akan mengakui kelebihannya dan belajar menerima kekuranganmu. Kamu tidak akan terburu-buru menghakimi dia dan dia tidak akan mudah percaya sebelum menanyaimu. Jika yang satu jatuh, yang lain akan menopang. Kalian akan menjadi jangkar bagi satu sama lain. Jika kamu terluka, dia akan menangis. Yang tertusuk padanya akan berdarah padamu, begitu kata penyair Sutardji Calzoum Bachri. 

Namanya Junita. Tanpa nama akhir. Satu kata saja seperti Musa. Orang-orang memanggilnya Shaloom, artinya damai sejahtera. Dalam hati dia menyimpan rahasia. Dia percaya dia dipakai Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi orang lain seperti Yohanes Pembaptis. Maka, dia menyerahkan hidupnya untuk bukan lagi menjadi miliknya. Juni adalah cinta dalam wujud persahabatan. Dia hadir menemani saya, seorang Mei, dalam perjalanan hidup yang berliku dan penuh drama. Pertemuan kami bukanlah cinta pada pandangan pertama. Dia tidak menonjol dan tidak senang menonjolkan diri. Saya cukup menonjol dan senang diperhatikan. Dia duduk di belakang, di sudut ruangan, dan diam mengamati. Saya duduk paling depan, baris utama, dan sibuk berbicara. Saya memiliki suatu kebijaksanaan yang belum terasah sementara dia tidak mengharapkan hal-hal yang terlalu besar dan ajaib baginya. 

Namun, pada suatu ketika, terjadilah pertemuan dan percakapan itu. Suasana asrama UKDW sudah sepi. Angin sepoi-sepoi berhembus mengajak untuk terlelap. Orang-orang sudah pulang dari kegiatan Sekolah Lintas Iman yang kami ikuti bersama. Saya sedang menunggu ojek langganan yang akan menjemput. Juni menghampiri dan duduk di samping saya. Kami bercakap-cakap. Ia menanyakan cita-cita dan mimpi-mimpi saya. Saya menanyakan bagaimana ia sampai di Jogja dan apa rencananya ke depan. Pada saat itulah, jiwa kami berhadapan seperti bercermin. Persahabatan tidak jatuh dari langit. Relasi ini merupakan interaksi dua subyek yang setara. Dalam proses itu, ternyata kami mengenali dan mencintai Pribadi yang sama. Kami memiliki tujuan yang sama meskipun mengambil peran yang berbeda-beda. Rasanya luar biasa berbahagia bertemu sahabat seperjalanan. Kami juga bertemu (kalau bukan dipertemukan) dengan sahabat-sahabat seperjalanan kami yang lain. Sebuah jaringan yang begitu indah berwarna-warni dengan tawa sedih dan airmata bahagia. Kami bersyukur telah merasakan cinta meskipun kami menanggung beban dan kuk dengan hati yang penuh parutan luka. Sungguh berbahagia mengetahui kita tidak sendiri lagi. 

Selamat ulang tahun, Juni.
Jangan takut, Jangan gelisah, Jangan gentar, dan Jangan patah hati. 

Aku dan Tuhan

Antua

Sabtu, Juni 08, 2019

“Anyway, I’m not good at prayer, but before you think I was a little rough on God, there’s another thing you need to know about my people. Our relationship with God was different from other people and their Gods. Sure there was fear and sacrifice and all, but essentially, we didn’t go to Him, He came to us. He told us we were the chosen. He told us He would help us to multiply to the ends of the earth. He told us He would give us a land of milk and honey. We didn’t go to Him. We didn’t ask. And since He came to us, we figure we can hold Him responsible for what He does and what happens to us. For it is written that “he who can walk away, controls the deal.” And if there’s anything you learn from reading the Bible, it’s that my people walked away a lot. 

You couldn’t turn around that we weren’t off in Babylon worshiping false gods, building false altars, or sleeping with unsuitable women (although the latter may be more of a guy thing than a Jewish thing.) And God pretty much didn’t mind throwing us into slavery or simply massacring us when we did that. We have that kind of relationship with God. We’re family.

Excerpt From: Christopher Moore. “Lamb, the Gospel According to Biff, Christ's Childhood Pal.” 

Note: "Antua" berarti beliau dalam bahasa Melayu Ambon.