Banyak Bacot Tentang Humanisme

Rabu, Juli 22, 2020

Halo good people
and evil people
juga people yang belum bisa memilih menjadi good or evil...

Pagi ini saya terbangun dengan banyak pertanyaan di kepala. Saya memang punya banyak pertanyaan dalam hidup. Mungkin ini bagian dari sikap keberimanan saya yang apinya kadang nyala kadang redup, fides quaerens intellectum (iman yang mencari-cari pengertian atau iman yang memahami). Semuanya dipicu beberapa peristiwa yang terjadi secara simultan dan percakapan dengan para sahabat. Pertanyaan-pertanyaan itu cukup banyak: Kenapa orang baik selalu tersakiti? Kenapa orang tulus yang selalu ditinggalkan? Kenapa ya orang mudah memperlakukan manusia lain dengan tidak manusiawi? Kenapa sih orang-orang makin egois? Kenapa ya orang-orang makin mementingkan dirinya sendiri? Kenapa sih ada orang hilang begitu saja padahal sedang pdkt dengan seseorang atau berkomitmen dengan orang itu? Kenapa kita mudah menjadikan manusia lain sebagai barang pemuas kebutuhan? Kenapa ada orang jago ngomong humanisme tapi prakteknya kok nol besar? 

Nah, pertanyaan terakhir ini yang cukup menghentak. Di zaman dimana menjadi spectacle atau tontonan adalah sebuah simbol kemapanan yang wajar diikuti, homo sapiens tampaknya bertransformasi lagi. Saya tetap percaya sifat dasar altruistik manusia itu ada. Tapi, sifat altruistik itu tidak murni lagi. Sifat itu terkontaminasi dengan hal-hal yang imateriel lainnya yang bersifat abstrak seperti pengakuan, status sosial, bahkan kekuasaan. Hal-hal imateriel ini kemudian dipertukarkan dengan hal-hal yang materi. Kita membentuk citra kita untuk dipandang atau dilekatkan dengan sesuatu. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa saya orang yang humanis, saya menunjukkan dengan memposting di instagram gambar-gambar plus caption yang bernarasi tentang kebaikan atau penghormatan pada kemanusiaan. Ya, pada titik ini sih hal-hal tersebut masih terasa wajar. Tetapi, ketika kemudian citra itu menjadi tidak matching dengan aksi/tindakan, bukankah kita menjadi pembohong dan menipu diri sendiri dan orang lain? Dimana etika kita?

Dulu saya punya teman-teman yang suka sekali berdandan seperti gembel. Tidur di emperan atau memakai baju yang itu-itu saja. Beberapa juga tidak mandi untuk menunjukkan kegembelannya. Mereka ngomongin tentang ketimpangan kelas dan relasi kuasa. Mereka rajin bicara tentang humanisme dan potensi manusia untuk melakukan hal-hal baik. Mereka tak segan membagi ilmu. Mereka juga tak segan berbagi makanan dengan teman-teman yang kelaparan. Mereka naik angkot atau jalan kaki. Mereka ikut aksi menentang penggusuran. 

Siapakah mereka ini sebenarnya? Ya, teman-teman ini kebanyakan anak-anak orang kaya. Mereka punya priviledge. Sebagian anak pejabat dan sebagian lagi keturunan bangsawan yang harta kekayaannya tak habis tujuh turunan. Mereka bisa menolong orang lain karena memang mereka mampu untuk menolong. Saya sempat mengagumi mereka atas keberaniannya menyuarakan suara kaum tertindas. Saya kagum akan keberpihakan mereka. Namun, saya pelan-pelan curiga apakah mereka ini benar-benar hatinya tulus atau jangan-jangan mereka sedang mengalami sindrom Sidharta Gautama? Itu loh, sindrom yang banyak dialami anak-anak orang kaya yang melihat kemiskinan dan penderitaan sebagai hal yang eksotik. Saya ragu mereka memang benar-benar berempati pada orang-orang lemah atau sebenarnya itu pemberontakan untuk melawan Patriak atau Matriak di rumahnya? Mereka kemudian terbagi dua: Mereka yang dengan bersemangat melihat penderitaan bagai anak kecil yang memandang makhluk-makhluk air dari balik aquarium raksasa atau mereka yang benar-benar tenggelam bersama mereka yang benar-benar terpinggirkan. 

Lalu masalahnya dimana? Kan hak setiap orang untuk memilih mau berpijak dimana. Nah, beberapa kejadian membuat saya bingung. Saya menemukan inkonsistensi dan tidak adanya korelasi antara apa yang mereka bicarakan dengan kemudian relasi-relasi interpersonal dan berkomunitas yang mereka lakoni. Pacar-pacar mereka mengadu sebab mengalami kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual. Tapi, yang paling parah jenis kekerasan simbolik. Waktu itu kami belum belajar Bourdieu dan kekerasan simbolik masih menjadi istilah asing. Tapi, yang mereka rasakan hampir sama. Ada kekuatan (biasanya lewat wacana yang mereka buat) yang kemudian menudukkan pacar-pacar mereka ini. Ada ikatan tidak kasat mata untuk mengikat mereka kepada fantasi tentang relasi yang romantis dan indah. Pacar-pacar mereka ini ditundukkan secara body, mind, and soul dan mereka bersedia patuh padanya. Akibatnya fatal, pacar-pacar ini hanya bisa pasrah dan memaklumi apabila diperlakukan kasar dan tidak adil. Dalam berkomunitas, mereka ternyata terbagi-bagi lagi. Ada yang suka mengadu domba. Ini taktiknya proxy war banget. Ada yang opurtunis. Ada lagi yang sebenarnya apatis tapi suka mencitrakan kepedulian yang mendalam. So, humanisme yang kau bacotkan itu apa ya? Bagaimana orang lain bisa percaya kontribusimu pada masyarakat jika dalam hubungan interpersonal saja kamu sudah menjadi tiran? 

Sejak saat itu, saya jadi belajar tidak mudah terkesima dengan orang-orang. Ini juga tidak mudah buat saya karena saya liyan dan ada sejenis hasrat untuk bisa fit in di dunia yang menolak saya. Dengan kenal atau dekat dengan mereka, saya seperti merasa diterima. Sayangnya, hanya karena mereka punya kisah hidup yang wow dan bicaranya sangat inspiratif, belum tentu mereka adalah orang-orang yang tulus hati dan punya kemauan menolong orang lain. Belum tentu mereka tetap mau memperlakukan manusia lain dengan manusiawi. Belum tentu orang-orang yang bacot tentang humanisme adalah orang-orang yang bisa memanusiakan manusia. 

Saya sendiri juga jadi berhati-hati. Karena setiap kata-kata yang saya keluarkan harus bisa saya pertanggungjawabkan. Mempertahankan konsistensi, komitmen, dan kesetiaan itu sangat sulit. Mengapa? karena realitas selalu memaksa kita untuk beradaptasi. Adaptasi yang membuat kita harus memilih. Kalau harus memilih antara kebenaran dan kasih, kamu akan memilih apa? Sungguh ini tidak mudah. Tapi kita selalu punya pilihan. Memilih untuk setidaknya mencoba atau memilih pergi berganti haluan. Memang gampang bicara tentang humanisme, tetapi lebih berat lagi mempraktekkannya. 

You Might Also Like

0 comments