Attachment

Minggu, September 27, 2020

Guruku, Bhagawan Eyang Pomo pernah memberi nasehat,”Dalam hidup, kita harus punya sikap prihatin”. Lalu saya bertanya, “Prihatin itu bagaimana, Eyang?”. Eyang menjawab,”Kalau sakit itu diterima. Jangan ditolak, jangan diingkari”. 
 
*** 

Trauma pertama manusia adalah ketika mereka lepas dari rahim Ibu. Itulah rasa sakit pertama kita. Ketika dimuntahkan ke dunia, disitulah tanda keterpisahan itu bermula: rasa sakit dan sedih keluar dari rasa aman dan nyaman bak Adam dan Hawa yang keluar dari Taman Eden. 

Banyak orang bisa berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain dalam level kepentingan bersama. Namun, belum tentu ketika masuk dalam relasi interpersonal yang lebih intim seperti persahabatan dan percintaan, manusia bisa merawat hubungan yang sehat, aman, dan stabil. Persoalan keintiman menjadi suatu masalah yang mendasari timbulnya kekerasan di ranah privat. Jika kekerasan di ranah privat masih terus terjadi, maka jangan heran jika kekerasan di ranah publik juga terjadi. Begitulah kira-kira teori Anthony Giddens dalam karyanya yang terkenal Transformation of Intimacy. Keintiman menjadi dasar menuju demokrasi. 

Keintiman bukan persoalan jatuh cinta dan mendapatkan orang yang ditaksir semata. Dalam kuliahnya Mbak Dian Arymami, dosenku dulu di UGM, keintiman melampaui batas-batas seksualitas. Keintiman merupakan “sesuatu yang berada di dalam” tentang apa artinya menjadi manusia dalam relasinya dengan subjek manusia dan non-manusia dan pada ide–ide sosial dalam ruang dan waktu. Keintiman hanya bisa dicapai dengan pengungkapan diri (self disclosure) di antara kedua belah pihak. Keintiman juga tercipta di antara Tuhan dan manusia. Keintiman ini hadir ketika yang Rahasia mengungkapkan dirinya. Jalan ini hanya bisa dicapai dengan rasa

*** 

Hubungan kita dengan manusia lainnya saat dewasa sangat ditentukan dengan proses pengasuhan yang diberikan pengasuh utama kita (entah orang tua, kakek-nenek, om-tante, kakak, atau babysitter) di masa awal tumbuh kembang. Begitulah bunyi teori Attachment yang dikemukakan pakar Ilmu Psikologi, John Bowlby. Dulu saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Nara, sahabatku yang seorang peneliti kesehatan jiwa. Sayangnya, waktu itu teori Narsistik dan Borderline Personality Disorder jauh lebih menarik buatku. Namun, teori Narsisitik dan Borderline tampaknya terlalu ekstrim dan kurang tepat dalam membaca konflik hubungan asmara saya. Ada hal-hal yang tidak sinkron dan dapat dipatahkan argumentasinya dengan data yang ada. Seperti Archimedes yang berteriak Eureka!, Attachment theory tampaknya jauh lebih cocok untuk memahami pergumulan asmara sekaligus bisa memahami diri dan pasangan dalam berelasi. 

Berdasarkan teori Attachment, dalam berhubungan intim, manusia terbagi ke dalam empat kategori: secure, anxious, dismissive avoidant, dan fearful avoidant. Sebenarnya, keempatnya ini dalam diri manusia, tetapi selalu ada dua yang dominan. 

Pertama, secure. Orang yang secure terbentuk karena ketika ia masih balita, ia mendapatkan kebutuhan emosi yang cukup dari pengasuhnya. Sang pengasuh selalu “hadir” dan membuat dia merasa aman dan stabil. Ketika dewasa, orang-orang secure akan memiliki hubungan intim dengan pasangannya yang stabil dan sehat secara intelektual, emosional, dan spiritual. Mereka bisa meregulasi emosi dan merespon emosi dirinya dan orang lain dengan konstruktif. Mereka bisa mandiri (independent) sekaligus juga bisa co-dependent dengan pasangannya. Mereka tidak posesif dan membebaskan pasangannya. 

Kedua, anxious. Singkatnya, orang yang anxious atau cemas terbentuk karena sewaktu balita sang pengasuh kadang ada dan kadang tidak ada. Mereka merasa ditolak dan diabaikan. Tetapi, karena pengasuhnya kadang muncul, maka mereka butuh untuk diyakinkan. Ada trust issue disini. Saat berhubungan romantis di masa dewasa, orang-orang anxious sering meminta afirmasi atau validasi dari pasangannya. Pertanyaan, apakah aku dicintai? Apakah aku dirindukan? Apakah dia selingkuh?dll merupakan pertanyaan orang-orang cemas yang dipicu rasa insecure. Orang-orang anxious cenderung menjadi needy, clingy, dan mungkin jadi posesif selama ia tidak mendapat validasi dari pasangannya. 

Ketiga, dismissive avoidant. Ini yang rumit. Mereka yang dismissive avoidant adalah anak-anak yang tidak mendapatkan kebutuhan emosi di masa sangat membutuhkan kebutuhan emosi dari pengasuhnya. Entah orang tuanya pada saat itu sedang bekerja atau studi lanjut sehingga tidak bisa secara emosional hadir untuk mereka atau mereka memang ditinggalkan. Akibatnya, si anak merasakan penolakan dan diabaikan. Perasaan inilah yang menjadi trauma. Namun, berbeda dengan mereka yang anxious, dismissive avoidant merepresi luka itu dengan berjarak dengan keintiman. Akibatnya, ketika berhubungan romantis mereka tidak suka jika pasangannya demanding dan cenderung membatasi diri untuk intim dengan pasangannya. Orang-orang dismissive avoidant ini tidak bisa dimiliki, tidak bisa dipakaikan rantai di lehernya. Secara tidak sadar, mereka mensabotase sendiri hubungan mereka sehingga membuat pasangannya yang akhirnya memilih meninggalkan mereka. Orang-orang dismissive avoidant juga kesulitan mengungkapkan perasaannya dan meregulasi emosi yang intens karena sejak kecil sudah terlatih membangun tembok pertahanan diri. Jika orang pada umumnya membangun batasan dengan orang yang tidak terlalu dekat, maka orang avoidant membangun batasan justru dengan orang-orang yang penting dan paling mereka cintai. Tujuannya, mereka tidak mau lagi merasakan luka yang sama yang mereka alami di masa kanak-kanak. 

Keempat, fearful avoidant. Hampir sama dengan dismissive avoidant. Fearful avoidant merupakan gabungan dari anxious dan dismissive avoidant. Orang yang fearful avoidant adalah mereka yang merindukan keintiman sekaligus ingin berjarak dengan keintiman itu. Mereka takut ketika mereka sudah cinta setengah mati, orang yang dicintai akan meninggalkan mereka. Yes, trauma ini karena takut kehilangan. Sama seperti dissmisive avoidant, mereka juga cenderung melakukan sabotase dalam hubungan untuk mengetes pasangannya. Kalau orang non-avoidant mengetes pasangannya dan berharap pasangannya berhasil, maka orang fearful avoidant justru berharap pasangannya gagal. Mereka yang fearful avoidant berharap untuk dikecewakan. Kasarnya, harapan mereka seperti ini: "Nah, bener kan, dia sama saja dengan yang lain. Mereka akhirnya meninggalkanku". Akhirnya, sebagai avoidant, baik yang dismissive maupun fearful memilih membangun dinding es yang tebal untuk melindungi dirinya. 

*** 

Terus, konflik asmaranya apa? 

Hmm..masalah muncul ketika si Mbak yang secure dan anxious ini menjalin hubungan dengan si Mas yang dismissive avoidant dan fearful avoidant. Orang yang ada anxious-nya secara inheren percaya bahwa mereka ditolak sementara orang yang ada avoidant-nya percaya bahwa orang-orang akan meninggalkan mereka. Sisi secure si Mbak diperoleh dari ibunya yang selalu hadir setiap saat baik secara fisik, emosional, dan spiritual. Namun, sisi anxious-nya lahir dari ayahnya yang ternyata seorang avoidant sejati. Di masa awal kembang, sang Ayah bertugas di luar kota. Bahasa cinta sang Ayah adalah act of service, ia suka memenuhi kebutuhan orang-orang yang dicintainya. Namun, si Mbak akan merasa dicintai kalau diberi quality time. Ia mau berbincang dengan ayahnya tentang apa yang dia jalani dan rasakan dalam percakapan yang mendalam atau paling tidak ayahnya hadir mendukung dia dalam momen-momen di hidupnya. Hal ini bentrok karena Ayahnya punya luka dengan keintiman di masa muda. Menjadi intim dengan orang-orang yang dicintainya sama dengan mengoyak lukanya di masa lalu. Selama bertahun-tahun, si Mbak mencari validasi dari sang Ayah, apakah aku ini dicintai? Apakah aku ditolak? Barulah, ketika ada quality time akhirnya ia memahami bahasa cinta ayahnya. Sungguh, cerita menara Babel tentang pengacauan bahasa memang menjadi sumber konflik manusia. 

Di sisi lain, si Mas terbentuk menjadi seorang yang dismissive avoidant dan fearful avoidant. Sisi secure si Mbak bisa berdamai dengan sisi avoidant si Mas, tetapi sisi anxious si Mbak membuatnya bersusah hati. Mengharapkan validasi dari orang yang avoidant itu seperti mengharapkan hujan turun di musim panas. Apalagi sisi dismissive si Mas tidak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, dia semakin menjauh. Sebagai mekanisme pertahanan dirinya, maka orang-orang dismissive avoidant cenderung mengabaikan emosi. Bagi mereka, emosi itu tanda kelemahan. Si Mas membeku bukan karena tidak mencintai si Mbak, tetapi karena ia butuh untuk merasa “aman” dan tidak kehilangan dirinya. Namun, sisi fearful avoidant-nya memiliki sensitivitas dan merindukan keintiman sekaligus takut ditolak dan ditinggalkan. Lagi-lagi ada trust issue ini. Dari yang biblis menuju profan, inilah makna "diterima tetapi dianggap sepi" (Hosea 3) itu. Si Mas mencintai dalam diam. Ia merindu dalam diam. Si Mas membalikkan makna “diam” yang umumnya dipahami sebagai bentuk penolakan, hukuman, atau penghindaran. Si Mbak didiamkan bukan karena dia ditolak, dibenci, atau dihindari, melainkan karena dia sangat dicintai. Si Mas seperti sang “Mistikus Cinta"-nya Dewa: 
apa yang sedang kurasa
apa yang sedang kau rasa 
adalah cinta yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata

Alexythymia adalah sindrom ketika seseorang tidak dapat mengenali atau menyampaikan perasaannya. Ia tidak punya kata-kata untuk bisa mengungkapkan perasaan yang dia rasakan. Sebagai catatan, keadaan ini berbeda dengan tidak memiliki perasaan. 

Kalau sudah begini, bagaimana? Hubungan ini tampaknya impossible hehehe. 

Sudah benar memang doa mereka dulu. Ajaib memang, mereka mendoakan hal yang sama. Hanya Tuhan saja yang bisa menjadi perantara, penengah, dan pemersatu. Namun, beliau jugalah yang jadi alasan pemisah. Si Mas sebagai anggota kopassus, pasukan elit Yang Mulia Komandan, harus menunaikan misi khusus: disuruh sekolah, belajar berkomunikasi, dan juga berdamai dengan masa kecilnya. Sebaliknya, si Mbak yang seorang anggota Infanteri alias pasukan tempur pejalan kaki disuruh bertempur dulu disini. Banyak urusan dan drama yang harus diselesaikan. Selebihnya, adalah kasih karunia Komandan. 

Untuk melanjutkan hidup, si Mbak harus belajar mengelola rasa anxious-nya dengan mencari tahu dan berfokus pada kebutuhan personalnya. Jika rasa anxious-nya terkelola dengan baik, sisi secure-nya akan mengambil alih dan membuat beban di hatinya terangkat. Begitu juga dengan si Mas. Ia harus belajar menerima bahwa tidak apa-apa berhadapan dengan emosi, itu bukan tanda kelemahan. Tidak apa-apa sekali-kali menjadi rentan. Si Mas harus berani dan percaya bahwa orang-orang yang benar-benar mencintainya tidak akan meninggalkan dia. Dengan begini, si Mas akan pelan-pelan bertransformasi untuk menjadi pribadi yang secure

*** 

Barangkali benar kata Rsi Meike Walmiki kepada Mpu Afif Tantular,” Bukan masa lalu yang menakutkan, tetapi masa depan. Terlalu banyak kemungkinan yang tidak sanggup dibayangkan.” 
Ya. Makanya kita hanya bisa berusaha sebaik-baiknya untuk hari ini”, ujar Mpu Afif Tantular. 
Rsi Meike Walmiki mengangguk,” Ya, seperti kata Yesus, kesusahan sehari cukup sehari, hari esok memiliki kesusahannya sendiri. Kita tidak pernah tahu, apakah besok lusa kita masih ada dunia ini atau tidak. Atau apakah kesempatan itu bisa datang dua kali.”

You Might Also Like

0 comments