Menunggu

Senin, Desember 21, 2020




Sejujurnya, aku tidak suka menunggu. Mungkin banyak orang yang juga seperti itu. Padahal, hidup adalah tentang menunggu. Apalagi menunggu dalam celah. Sebuah sela. Sebuah antara. Mau mundur tidak bisa, mau maju juga tidak bisa. Terjebak. Stagnan. Tidak bisa kemana-mana. Ketika keadaan itu terjadi tanpa kita prediksi, apa yang akan kita lakukan? Bertahan atau mundur dan menyerah? 
 
***

Tempat kerjaku adalah tempat penantian. Di sana sudah ada sekelompok orang-orang dalam jumlah besar yang sedang menunggu. Mereka telah menunggu enam tahun lamanya dalam ketidakpastian. Hukum alam pun berlaku: yang kuat bertahan, yang tidak tahan akhirnya mundur. Tak ada yang akan menahanmu pergi dan tak ada yang memperjuangkanmu untuk tinggal. Semua pilihan diserahkan kepada masing-masing individu. Namun, ada secercah harapan yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk terpenuhi. Bahwa suatu ketika, apa yang dinantikan itu akan diterima. Keadaan mereka akan dikembalikan seperti sedia kala. 

Seperti orang-orang yang sedang dalam masa penantian, mereka pun berada dalam kegelisahan hebat. Ketakutan akan masa depan. Ketakutan untuk kehilangan yang selama ini dimiliki. Menunggu memang melelahkan. Luka dan ketidaksabaran memproduksi kemarahan yang besar. Kemarahan itu menjadi kebencian. Pertanyaannya, mengapa tetap bertahan meski tidak pasti? Padahal bisa saja mereka pergi dan menemukan kehidupan yang jauh lebih baik. Butuh waktu lama bagiku untuk memahami itu, sampai akhirnya aku meluputkan satu hal yang penting dari perenunganku saking sederhananya. Ya, orang-orang itu memang tidak mau pergi. Rasa cinta-lah yang menahan mereka. 

*** 

Aku teringat film The Terminal yang dibintangi Tom Hanks. Film itu tentang menunggu. Semua orang menunggu dalam hidup dan masa penantian tidak pernah mudah. Kita akan berhadapan dengan suatu frasa yang kutemukan dalam lagu berbahasa Perancis, yang kalau diterjemahkan menjadi the joys of a maybe. Ketidakpastian membuat manusia kadang hilang dan tersesat. Namun, ketidakpastian menawarkan kemungkinan: sesuatu yang terwujud sesuai dengan keinginanmu bahkan lebih atau sesuatu yang jauh sama sekali berbeda sehingga membuatmu kecewa. Seperti percakapan antara tokoh Viktor Navroski yang diperankan Tom Hanks dengan Officer Torres, petugas imigrasi: 

Officer Torres: "Why do you wait here two hours every day when I’ve told you there’s nothing I can do for you..." 
Viktor: "I have a chance go New York, 50:50…” 

Berdasarkan pengalamanku, aku takut pada kemungkinan bukan karena kekecewaan, tapi karena kepercayaan. Ketika aku memiliki keyakinan bahwa sesuatu itu akan terjadi dengan indah, namun ternyata hal itu tidak terjadi, maka rasanya kemampuanku untuk percaya yang dirampas. Tanpa rasa percaya tidak akan ada harapan. Hidup tanpa harapan membuat orang seperti hidup dalam neraka. Kemungkinan secara paradoks menyediakan ruang bagi kita untuk percaya sekaligus disaat yang sama membuka ruang bagi kita untuk menjadikan rasa percaya sebagai taruhan. Kehilangan rasa percaya sangat menyakitkan. Rasa percaya adalah dasar cinta. Ketika kita kehilangan rasa percaya, disaat itulah kita kehilangan kemampuan kita untuk mencintai. 

*** 

Aku punya keyakinan bahwa penantianku tidak akan sia-sia. Aku percaya cintaku akan kembali pada waktu dan cara yang indah. Untuk tahu apakah kita ditakdirkan bersama, maka aku harus merelakannya. Inilah paradoks cinta: semakin kamu mencintainya, semakin kamu harus melepaskannya. Untuk tahu apakah itu milikmu, kamu harus membiarkannya pergi untuk melihat apakah dia akan kembali lagi padamu. Kepercayaan itulah yang membuatku berjuang. Meski orang-orang –bahkan yang sekalipun mencintaiku- melemahkan semangatku karena mereka takut aku terluka. Aku tetap percaya dan terus berjalan. Tentu saja, ada kalanya aku merasa bodoh, marah, sedih, lelah, dan merasa ditinggalkan. Ada kalanya aku merasa apa yang sudah aku lakukan terasa sia-sia. 

Tapi, disinilah seni berjuang. Berjuang itu artinya tidak pantang menyerah. Ketika ada tantangan dan masalah, maka kita tidak mundur. Tantangan harus dihadapi dan masalah harus dicari solusinya. Prof. Cornelis Lay, Guru besar Ilmu Politik UGM pernah bilang bahwa,”Iman Kristen itu sederhana. Mengasihi Tuhan dan sesama dan bagaimana itu diperjuangkan dalam hidup sehari-hari.” 

Aku tidak hanya memperjuangkan cintaku saja, tapi inilah imanku. Di minggu Advent yang terakhir ini, minggu masa penantian, aku meminta pada Tuhan untuk menguatkan aku dalam perjuanganku. Cinta itu bertahan. Bertahan itu juga pelayanan. Aku mencintainya. Itulah kenapa aku tidak mau pergi sekalipun ia melepaskan aku. Aku sudah berjanji akan menemani dia menghadapi dunianya. Aku berjuang untuk menepati janjiku seperti Viktor Navroski menepati janjinya pada almarhum ayahnya. 

***

Ketika orang mencintai, mereka berusaha untuk membuktikan cintanya. Orang juga memiliki kecenderungan untuk menguji cinta itu. Aku tidak perlu membuktikan padanya cinta seperti apa yang aku berikan untuknya. Cinta sejati tidak perlu dibuktikan. Cinta itu akan hadir secara konstan dalam tindakan yang konsisten. 

Generasiku seringkali dicibir oleh generasi sebelumnya sebagai generasi yang lembek dan manja. Generasi yang mudah menyerah begitu dihantam badai. Aku akhirnya memahami ketidaktahanan itu karena kami berjuang tidak pada jalurnya. Kita berjuang, namun cara berjuangnya salah karena kita tidak setia pada jalan perjuangannya. Kita mudah pindah-pindah jalur, tidak konsisten pada jalan perjuangannya. Kesetiaan hanya bisa dilihat dari konsistensi. Jalan perjuanganku adalah iman, pengharapan, dan kasih; dan yang paling besar dari ketiganya adalah kasih. Dan aku menambahkan satu nilai untuk melengkapinya: ilmu pengetahuan. Ya, inilah jalan perjuanganku. Sisanya adalah kehendak Tuhan. 

Kejarlah kasih itu!

You Might Also Like

0 comments