Setelah Dia Pergi

Jumat, Juli 03, 2020

Reinkarnasi. Konsep ini menjadi mengerikan buatku sekarang. Saya membayangkan kita menjalani hidup yang penuh penderitaan ini lalu kemudian mati dan terlahir kembali untuk menjalani hidup yang sama menderitanya di kehidupan selanjutnya. Namun, saya lebih ngeri lagi membayangkan terlahir kembali dan tidak menemukan Mami dan Daddy sebagai orang tua saya lagi. Di kehidupan kali ini, saya sangat terberkati mendapatkan mereka sebagai orang tua. Hidup bersama mereka tidak bisa dibilang mulus bagai serial TV Amerika, tapi kami bertiga belajar bersama-sama. Kami belajar mengasihi dan menerima apa adanya. Kami belajar untuk sama-sama bertumbuh. Kami belajar mengampuni dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Kami belajar bekerjasama. Kami belajar untuk saling melindungi. Kami belajar untuk setia, kuat, dan bertahan. Kami belajar menjadi versi terbaik dari kami masing-masing.

Ingatan saya kembali ketika saya masih sangat kecil. Mungkin di usia yang baru bisa belajar berbicara. Di atas motor RX King punya Daddy, kami bertiga berboncengan. Kadang saya berdiri di tengah, kadang duduk di depan. Lalu Daddy akan memacu motornya di jalan Panakkukang Mas. Mami akan bertanya, "Kakak itu gambar apa?," sambil menunjuk lampu hias berbentuk bermacam-macam hewan. Lalu, saya akan mulai mengabsen mereka satu per satu, "ikan, bebek, udang, kupu-kupu...". Bahagia sekali keluarga muda itu. Kami selalu bertiga. Hingga suatu hari yang tidak diduga, dia yang selalu menjadi perekat, perantara, dan penegah di antara mereka bertiga itu menyelesaikan perziarahannya di dunia ini. Chaos!

Tidak terasa sudah 2 tahun Mami pergi. Sejak saat itu saya bangun dengan merasakan lubang hitam di dalam dada. Ada kesedihan yang tidak bisa dideskripsikan. Namun, ada juga sejenis kelegaan bahwa Mami sudah berada di tempat yang lebih baik. Sisi rasional saya memandang Mami sudah tidak perlu merasakan rasa sakit dari kehidupan lagi. Ia sudah selesai dengan semuanya. Mami sangat mencintai saya. Maka, meninggalkan saya pun adalah hal yang juga berat baginya. Ya, kepercayaan itu membuat saya lebih bisa menerima kepergiannya. 

Saya dulu berpikir kematian adalah akhir dari segalanya. Tidak ada ikatan lagi antara orang yang hidup dan orang yang mati. Orang yang mati hanya menjadi kenangan. Tapi saya salah. Kematian tidak memisahkan kita dari orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Seperti ada tertulis, cinta kuat seperti maut dan nyalanya seperti nyala api Tuhan. Cinta tetap ada meski raga sudah tak ada. Cinta membentuk ikatan yang tidak bisa dilenyapkan oleh waktu dan dibatasi dunia antara yang hidup dan mati. 

Sejak saat itu, pelan-pelan saya mengasah rasa. Belajar bersentuhan dengan yang halus dan rahasia. Melihat dengan hati. Membaca yang tidak terselami. Ada yang bisa kita kenali ketika tubuh sudah tak dikenali lagi. Kadang saya tidak mengerti bahkan meragukan kewarasan saya. Tapi, rasa itu sangat kuat. Ia hanya bisa semampu itu. Ada jurang tak terjembatani di antara kami. Ia tidak bisa kembali lagi kesini, tetapi suatu saat nanti saya bisa pergi ke tempatnya berada. 

Daddy juga sudah banyak berubah. Saya melihat kualitas-kualitas yang ternyata sama dengan Mami. Mereka berdua memang sejoli. Daddy memiliki komitmen yang kuat. Ia sangat loyal. Dia memiliki konsistensi. Dia jujur dan tulus. Dia punya dunianya sendiri. Dia tidak pandai menunjukkan perasaannya. Tapi, melalui tindakan yang konsisten dengan mengingatkan makan atau mengirimkan ayat-ayat kitab suci, ia sedang menunjukkan rasa sayangnya. Kami sudah jarang bertengkar lagi. Ini hal yang sangat kusyukuri. Kami belajar berkomunikasi dengan baik. Rasanya hidup di tahun ini lebih baik dan stabil untuk kami berdua. 

Namun, ada berita duka. Selain corona yang entah kapan akan berakhir, Daddy baru saja kehilangan sahabatnya, Om Yoseph. Walaupun saya tidak pernah bertemu langsung dengannya, Om Yoseph adalah salah satu tokoh penting yang turut menyelamatkan keluarga kami. Tuhan memakai Om Yoseph untuk memperingatkan kami mengenai hal-hal sehingga kami bisa waspada. Perannya mengingatkanku pada nabi Natan. Selain Om Yoseph, sebelumnya ada Om Aman, temannya Mami yang juga dipanggil Tuhan. Saya terakhir berjumpa dengan beliau di pemakaman Mami Ice. Rasanya sangat ngeri dan mengejutkan bahwa kematian memang mengintai kita setiap saat. Saya mengenang Om Aman sebagai arranger musik gereja yang mumpuni. Di waktu kecil, dia sering sekali ngobrol dengan Mami sambil membicarakakan saya, “Kak Meis, itu Meike diajak menyanyi”. Mami hanya akan membalas dengan tertawa, “Edede… jangan mi..nda disitu bakatnya”. 

Ya begitulah. Hidup masih terus berjalan. Banyak gelombang. Banyak kejutan menanti. "Mami, bagaimana kabarmu disana? Ramai mi toh… banyak mi temanmu disana. Hehehe..”.

You Might Also Like

0 comments