Tentang Trauma

Senin, Juli 06, 2020

Saya sedang tidak bisa fokus. 

Ceritanya saya memiliki banyak deadline. Namun, saya tidak bisa melaksanakannya. Tidak bisa menulis. Setiap saya memulai untuk menyelesaikan tulisan tersebut saya seperti membeku di tempat. Padahal, ide-ide itu sudah meletup-letup di otak saya. Tapi, saya tidak bisa bersalin, saya tidak bisa beranak. "Anak" saya yang kesekian ini sepertinya sungsang. Loh penyebabnya apa? Trauma saya ke-trigger. Kali ini lebih intens. Trauma itu sudah ada sejak lama dan saling berkelindan. Lalu, peristiwa-peristiwa setelahnya memperdalam betul trauma itu. 

Saya punya tiga trauma yang berhasil diidentifikasi. Trauma pertama tentang penolakan. Trauma penolakan itu sudah dimulai sejak saya masih janin. Hal inilah yang menjelaskan mengapa wajah saya jika dalam mode "default face" tampak seperti orang marah atau merengut, padahal saya sama sekali tidak marah. Beberapa orang menghakimi saya karena wajah saya ini dibilang seperti orang yang judes atau sombong. Saya tidak pernah menyadari betul hal itu sampai saya memperhatikan foto-foto saya yang diambil secara candid. Ketika saya sadar dengan kamera dan tersenyum, wajah saya ceria dan ramah. Begitu saya tidak tersenyum, wajah saya jadi menakutkan. Rassel, teman saya yang fotografer, mengatakan bahwa wajah saya itu memang seperti respon terhadap penolakan. Mungkin begitulah wajah orang yang dilahirkan dalam amuk badai. Di beberapa video yang saya lihat ketika menjadi pembicara, saya menangkap suatu inkoherensi. Apa yang saya ucapkan dengan yang saya ekspresikan tidak nyambung. Tapi, mungkin dengan latihan public speaking itu bisa diubah. Trauma penolakan yang lain adalah bullying dan body shaming semasa saya SD-SMP. Saya baru menyukai tubuh saya dalam proses panjang ketika duduk di bangku SMA-kuliah S1. Tampaknya, proses penerimaan diri ini merupakan proses seumur hidup. 

Trauma kedua adalah pelecehan seksual yang saya alami di jalan. Saya masih sulit menceritakan detilnya. Kejadiannya waktu saya duduk di bangku SMA sekitar tahun 2008. Saya baru menceritakan hal itu pada Mami di tahun 2017. Sejak saat itu, bersama teman-teman penyintas kekerasan seksual lainnya kami concern berjuang untuk pemulihan dan keadilan hukum pada korban. Sayangnya, di beberapa kasus dimana saya pernah ikut mengadvokasi bersama teman-teman, trauma saya ke-trigger. Di saat itu, saya ingin sekali menggapai orang-orang terdekat saya. Ketika salah satu diantara mereka tidak bisa ada secara emosional, maka akan memicu trauma saya yang ketiga.  

Trauma ketiga adalah trauma karena ditinggalkan/diabaikan yang muncul karena saya menghadapi kematian orang-orang yang tercinta secara mendadak, dalam waktu yang dekat dan beruntun, serta tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Kita semua berhak mendapatkan perpisahan yang layak. Sayangnya, perpisahan itu menjadi menyakitkan karena terjadi tanpa persiapan. Seperti manusia pada umumnya, kita semua takut mati. Tapi, setelah peristiwa kematian-kematian itu, saya mulai berpikir bahwa mati itu lebih enak daripada hidup. Saya kaget dengan pemikiran saya itu karena saya termasuk orang yang berencana ingin hidup 1000 tahun lagi. Pola tidur dan makan saya juga tidak teratur. Saya ingin tidur saja. Tetapi, kalau saya tidur saya bermimpi buruk dan sedih. Akhirnya, saya takut untuk tidur. Akibatnya, saya seperti zombie: hidup tidak bersemangat, mau mati pun tapi belum waktunya. 

Waktu itu, saya membaca artikel tentang PTSD dan tampaknya saya mengalami beberapa simpton dari PTSD. Saya juga ikut dalam tes online dan hasilnya ada indikasi saya berada di fase depresi ringan. Dengan menyadari peristiwa yang menurut saya "ganjil", saya langsung mendiskusikan hal itu dengan Laili yang juga pernah mengalami trauma menghadapi kematian beruntun di keluarganya dan dia menyarankan saya ke psikolog. Syukurnya, psikolog yang saya temukan cocok. Guys, pilih psikolog seperti menemukan jodoh, salah pilih bisa bahaya. Kadang psikolog yang salah ini bisa memperburuk keadaan kita. Sebagian dari mereka suka menghakimi dan memaksakan diagnosis atau pendapat mereka kepada kita. Saya beruntung bahwa psikolog yang men-treatment saya lebih banyak mendengar dan membantu saya menemukan kualitas-kualitas diri saya yang baik. Ia juga tidak menghakimi. Di akhir sesi, setelah menangis, kami berpelukan. Nah, psikolog serta curhat dengan orangtua dan para sahabat adalah bantuan eksternal. Ada beberapa teman yang memilih yoga dan meditasi untuk trauma healing-nya. Saya memilih menulis seperti yang saya lakukan di blog ini. 

***

Pada titik ini, saya bersyukur masih memiliki kesadaran untuk mengontrol hidup saya. Saya bisa menangkap sense of danger dan bisa segera mencari pertolongan sebelum keadaan itu menjadi parah dan tidak bisa ditangani. Saya juga cukup beruntung karena pergaulan saya membuat saya aware dengan kesehatan mental. Di negara-negara maju, kesadaran terhadap kesehatan mental merupakan hal yang menjadi fokus perhatian sehingga banyak anak muda juga tidak segan mencari pertolongan ke psikolog atau psikiater. Sayangnya, hal yang sama belum berlaku di Indonesia. Masih banyak orang yang tidak mau menghadapi kenyataan bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan stigma pada pasien kesehatan mental sangat negatif. Saya memiliki beberapa teman yang struggle dengan hal yang sama dan kami berjuang saling support untuk bisa survive. Kami membentuk support system supaya bisa saling menjaga dan berjalan bergandengan tangan bersama. Kami semua adalah penyintas.  

Ya, saya sangat suka sekali kata "penyintas". Penyintas adalah korban yang berusaha bangkit dari keterpurukannya. Ia punya kemauan dan ada daya untuk bangkit lagi. Kita tidak bisa menghindar dari tindakan yang menyakiti kita. Menjadi penyintas atau tetap menjadi korban adalah pilihan. Apa bedanya? Penyintas berusaha berjuang untuk mengubah keadaan tersebut supaya tidak dialami lagi oleh orang lain. Penyintas berusaha memahami mengapa "hal itu terjadi" dan berdamai dengan itu. Penyintas memberikan dorongan yang lebih positif kepada orang-orang di sekitarnya. Ia akan lebih memahami trauma orang lain dan bisa memberikan pertolongan yang efektif. Di sisi lain, korban memiliki ketidakberdayaan. Ia marah dan dendam dengan peristiwa yang dialaminya dan pada orang yang melakukannya. Aura korban memang negatif karena penuh dengan kemarahan, kekecewaan, dan putus asa. Rasa sakit yang tidak terperi. Kita semua yang terluka adalah korban, tetapi ketika kita tetap menjadi korban kita akan memiliki sejenis rasa "hak untuk menjadi jahat" karena sudah diperlakukan tidak adil oleh hidup dan orang lain. 

Kata Mbak Puput teman kos-ku yang kuliah ilmu Psikologi, semua orang pasti punya trauma. Kita semua ini punya cacat dan tidak ada manusia yang bisa bilang dengan percaya diri bahwa dia "tidak punya kepahitan atau tidak punya gangguan jiwa". Orang yang bilang "aku tidak punya gangguan jiwa" adalah pasti punya gangguan jiwa. Mbak Puput memberi contoh pada orang-orang yang bangga mengakui dirinya perfeksionis. Perfeksionis sendiri adalah gangguan jiwa. Bagaimana bisa kamu ingin sempurna di dunia yang tidak sempurna? 

Trauma ini bukan tentang orang yang melakukannya pada kita. Namun, trauma terjadi karena tindakan orang tersebut. Efek setelah mengalami tindakan itu yang menyebabkan traumanya muncul lagi. Misalnya: Si A punya trauma penolakan dan ditinggalkan/diabaikan. Suatu hari ia mengekspresikan rasa cinta dan rindunya pada pacarnya melalui surat. Tetapi, tanpa diduga, pacarnya tidak mau berkomunikasi lagi dengannya selama berbulan-bulan setelah menerima surat itu. Padahal, sebelumnya tidak ada pertengkaran dan hubungan mereka juga baik. Kalau pacarnya ingin berpisah, kenapa tidak ada kata selesai? Kalau A ada salah dengan mengirim surat itu, kenapa pacarnya tidak memberitahu letak kesalahannya? kenapa pacarnya malah diam? A tidak menemukan koherensi sebab-akibat dalam peristiwa itu. Apalagi suratnya adalah niatan baik untuk menguatkan dan menghibur pacarnya. Trauma A tentang penolakan muncul lagi akibat respon pacarnya dan berkelindan dengan traumanya karena ditinggalkan tiba-tiba. Ada juga cerita Si B. Dia punya trauma karena diremehkan orang tuanya. Sehari-hari dia bekerja dengan baik dan berhubungan sosial dengan baik juga. Namun, suatu hari Bosnya mengatakan sesuatu yang meremehkan dia atau membuat dia merasa tidak diperhitungkan. Trauma B langsung ke-trigger dan dia langsung down. B berpikir untuk bunuh diri. B merasa tidak layak meskipun dia dikelilingi orang-orang lain yang menyayangi dia seperti pacar dan sahabat-sahabatnya. Perlu dicatat, meskipun ini tidak semua dan kasuistik, ada memang kecenderungan mereka yang memiliki trauma untuk menyalahkan diri dan menyakiti diri. Efek lain adalah mereka bahkan tidak merasakan apa-apa atau kebas (numb) padahal yang mereka alami adalah trauma hebat. 

Hal yang membedakan kita yang masih bisa berfungsi dan bekerja dengan baik dengan pasien yang dirawat di RSKD adalah tingkat keparahannya. Mereka yang dirawat di RSKD sudah ada di level fisiologis dan psikotik yang tidak saja membutuhkan treatment berupa konseling, tetapi juga pengobatan untuk bisa berfungsi lagi. Kita yang belum di level itu sebenarnya ada di level neurotik. Tapi penjelasan mengenai ini bisa dibaca di website lain yang lebih komprehensif tentang kesehatan mental.

***

Pada akhirnya, pilihan tetap di tangan saya. Saya mau menyembuhkan trauma saya. Saya berusaha belajar menerima, ikhlas, dan berdamai meskipun itu sangat berat dan sulit ketimbang pilihan untuk menjadi jahat dan melakukan balas dendam yang jauh terasa lebih mudah. Saya memilih cinta. Saya memilih kebaikan. Semuanya saya lakukan supaya saya bisa menjalani hidup saya dengan tenang dan bahagia. Saya pikir dengan tetap berbuat kebaikan dan berdamai, maka trauma itu akan hilang. Tapi rupanya traumanya tidak hilang begitu saja, pemirsa. Trauma itu bisa muncul lagi apabila ter-trigger oleh suatu peristiwa, tindakan, atau hal-hal ekternal lainnya tanpa kita bisa prediksi atau kontrol. Ini benar-benar sangat melelahkan karena seperti berhadapan dengan setan yang sama berulang-ulang. Benar kata Nara, seperti orang yang kena tipes, trauma ini suka kambuh. Trauma bisa menimbulkan efek dominonya yaitu stress dan bisa berujung pada depresi. Depresi yang membuat kita tidak menghargai hidup lagi. Depresi yang membuat kita berpikir "kematian pun makin akrab" seperti judul puisi Subagyo Sastrowardoyo. 

Tulisan ini tentang trauma dan bagaimana trauma mempengaruhi cara kita bertindak dalam hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Tindakan kita bisa sangat berakibat fatal pada orang lain. Kita pun juga tidak bisa mengontrol tindakan orang lain yang mentrigger trauma kita. Mungkin kita tidak bermaksud jahat, mungkin tindakan kita hanya respon dari upaya kita melindungi diri. Namun selalu ingat, kita tidak pernah bisa benar-benar lepas sepenuhnya dari jaring-jaring hidup yang rumit. Kata temanku Didin, jangan pernah mengharapkan jawaban yang sederhana karena kita semua berangkat dari pengalaman yang berbeda-beda. Mungkin jalan tengahnya adalah dengan mencoba melakukan humanisasi, memanusiakan manusia. Ini adalah titik temu ketika orang-orang yang punya trauma bertemu dan berinteraksi. Apalagi ketika mereka saling mencintai. 

You Might Also Like

2 comments

  1. Peluk Meike. Kita semua hidup dengan trauma masing-masing, dan semoga kita tetap bertahan...

    BalasHapus
  2. Peluk Kak Dwi.... Iya kak, semoga kita tidak hanya kuat tetapi juga tahan ya.

    BalasHapus