“Berikanlah Milikmu Yang Paling Berharga”

Jumat, September 18, 2020


Kumaknai lukisan ini sebagai penyatuan Bunda Maria dan Yesus. Aku lupa nama pelukisnya, tetapi lukisan ini kulihat dalam sebuah pameran seni di Taman Budaya, Yogyakarta. Sehari sebelum kami berdua bertemu dan membicarakan perasaan masing-masing. 




Aku merasa seperti Ekalaya dalam pewayangan. Dia seorang anak dari kelompok marginal yang bercita-cita untuk menjadi pemanah terbaik di dunia. Ekalaya sangat mengagumi Guru Drona dan percaya dibawah bimbingan Drona, ia bisa mewujudkan cita-citanya itu. Sayangnya, Drona juga punya ambisi pribadi. Gelar pemanah terbaik di dunia sudah ia siapkan untuk Arjuna, putra raja Hastinapura yang elit dan memiliki segalanya. Ia menolak menjadikan Ekalaya muridnya demi menjaga posisi itu untuk Arjuna. Ekalaya pun pulang, namun tidak putus asa. Ia mendirikan sebuah patung Drona. Ia percaya ia bisa belajar sendiri meski dibawah “bayang-bayang” Drona. 

Selama satu tahun, aku seperti Ekalaya dalam fragmen ia belajar di bawah patung Drona. Aku mencintai seseorang yang merupakan representasi Dia yang kucinta. Aku melihat Tuhanku dalam dirimu. Sejak saat itu, aku merasakan kesepian yang dalam sekaligus cinta yang membara. Cinta yang tidak bisa dipahami oleh orang banyak. Cinta ini adalah suatu rasa yang sejati. Cinta yang mengubahkan. Cinta yang mengalami keterpisahan dan kemudian diutuhkan dalam suatu pertemuan. Ia bisa memahami yang kau rasakan dan mengatakan yang tak bisa kau ucapkan. Ia mewakilkan kasih Tuhan yang paling menggelisahkanmu. Di matanya, aku adalah sosok Tuhan yang mengetuk terus pintu hatinya. Bagiku, dia adalah sosok Tuhan yang indah dan diam. Pada akhirnya, kami berdua merasakan kasih karunia itu. Tetapi, itu tidak sederhana. 

Seperti Ekalaya yang mencintai Drona, aku juga mencintai Tuhanku. Seperti Drona, Ia pun tidak bisa kugapai. Kekasihku kemudian menjadi representasi patung Drona/Tuhan yang bisu. Ditemani diamnya, aku sendiri yang berlatih, jatuh, dan luka hingga akhirnya bangkit, pulih, dan menemukan tujuan latihan ini. Ya, aku sendiri. Tetapi, aku tidak sendirian. Aku selalu ditemani oleh Dia, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang datang menemani dan menguatkanku. Aku seperti Harry Potter. Harry bertahan bukan karena kekuatannya sendiri. Tetapi, ia memiliki support system yang kuat. Ada orang-orang yang mencintainya, peduli, dan rela berkorban untuknya. Ini yang membedakan Harry dengan Voldemort. 

Pelan-pelan aku akhirnya menyadari latihan ini memang untuk tujuan yang lebih besar. Ini untuk tanggung jawab yang lebih besar lagi. Orang-orang terdekatku melihat perubahan itu: lebih sabar, lebih bisa mendengarkan orang lain, dan mau menunggu. Aku telah mendapatkan pendidikan latihan tempur-ku kali ini dengan penuh airmata dan sukacita. Latihan ini untuk berhadapan dengan mereka yang membutuhkan pertolongan. Ada banyak hati yang perlu disembuhkan. Orang-orang yang memiliki harapan namun dikecewakan terus-menerus. Mereka yang kesepian karena tidak dicintai dan diterima sepenuh hati. Mereka yang ditolak dan diabaikan. Mereka yang terluka karena ditinggalkan. Untuk bisa menjadi penolong, aku harus mengenal diriku lebih dulu dan semua luka-lukaku. Langkah pertama yang kulakukan adalah menerima bahwa aku sakit dan cacat. Langkah kedua adalah aku mau pulih. Aku tidak mau orang lain, generasi mendatang, mengalami kepedihan yang kurasakan. Aku kini menyadari penuh tujuan dan peranku. Aku dilatih dan berlatih untuk mengasihi. Jika harus disuruh memilih antara hukum atau kasih, aku akan memilih kasih. Aku bukan pembela kebenaran yang baik. 

***

Dulu aku pikir aku sekedar menemani kekasihku yang mengenakan mahkota duri dan memikul salib. Ternyata, aku sendiri-lah yang justru mengenakan mahkota duri dan memikul salib itu. Menanggung adalah salah satu bentuk ketekunan dalam iman selain tetap berharap pada Dia. Inilah tanggung jawab besar itu. Setiap orang memiliki kekuatan di dalam dirinya. Ketika kekuatan yang dimiliki itu tidak diarahkan pada Dia, maka ia akan menjadi sebab kehancuran diri dan orang lain. Tetapi, jika kekuatan itu dipusatkan pada Dia, maka itu akan membawa perubahan besar yang membawa kebaikan, sebuah metanoia. Tuhan tidak lagi di atas langit, tetapi hadir di tengah-tengah kita. 

Dalam cerita wayang, Drona yang tahu kemampuan Ekalaya yang melampaui Arjuna itu tidak terima. Drona tetap ingin Arjuna yang memegang posisi sebagai pemanah terbaik di dunia. Untuk mewujudkan ambisi itu, Drona memanfaatkan rasa cinta Ekalaya kepadanya dengan meminta sembah bhakti. Ia meminta milik Ekalaya yang paling berharga: jari jempol kanannya. Tanpa jari jempolnya, mustahil Ekalaya bisa memanah lagi. 

Lalu, apakah yang dilakukan Ekalaya? Inilah cintanya yang paling tinggi. Ia menyerahkan miliknya yang paling berharga itu: kemampuannya. Aku pun juga memberikan milikku yang paling berharga: hatiku. Hatiku sebagai persembahan padaNya. Seperti Ekalaya, aku tahu hikmat yang kudapatkan ini bukan sekedar pemberian. Tetapi, hasil dari merespon anugerah itu. Tak perlu ada pengakuan siapa yang menang atau kalah. Rasa cintanya tidak bisa diadu. 

Aku ikhlas melepas kepergian kekasihku dengan damai. Aku tahu Allahku tidak seperti Drona. Allah tidak meminta tumbal. Allahku adalah kasih. Kasih itu membebaskan dan kekal. Aku sangat mengasihinya, maka aku melepaskannya agar ia bahagia dengan apapun pilihan hidup dan jalan yang ia pilih. Dengan melepaskannya, aku mengalami kepulihan. Aku tidak perlu menggenggam terlalu erat lagi. Pada akhirnya, semuanya bukan milik kita: ibumu, ayahmu, anakmu, kekasihmu, saudaramu, sahabatmu, hartamu, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan bahkan kebijaksanaan itu sendiri. Aku memilih dan akhirnya merasakan kepenuhan di dalam Dia. Aku harus selalu mengingat ini karena aku juga masih berdarah dan lemah. Aku sudah utuh. Inilah kebahagiaanku yang sejati. 

Selebihnya adalah misteri.

You Might Also Like

0 comments