Kita Coba Lagi Ya...

Kamis, Desember 31, 2020

foto by: Clément M (www.unsplash.com)


Sepuluh hari yang lalu saya menerima e-mail yang mengatakan kalau aplikasi saya untuk mendaftar PhD di salah satu universitas di Australia ditolak. Seperti kejadian yang sudah-sudah, alasan penolakannya juga "aneh" setelah sebelumnya dikasih harapan tinggi. Bak bermain kencan online, sepertinya kami memang tidak jodoh setelah sudah bercakap-cakap mesra. Jujur saja saya kecewa. Namun, berhubung saya sudah banyak kali ditolak, penolakan kali ini lebih bisa kuterima dengan lapang dada. Sisi positifnya, saya berhasil mengatasi ketakutan untuk memulai lagi dan menyelesaikan proposal dengan ide yang baru. Sayangnya, penolakan itu memicu traumaku atas penolakan lanjut studi yang dulu terjadi. Kepercayaan diriku langsung drop shay hehehe. Ya, studi S3 memang sulit, daftarnya aja susah hehehe. Untuk orang-orang yang senang belajar, penundaan untuk sekolah itu menyakitkan. Niat baik saja ternyata tidak cukup untuk mencapai tahta ilmu pengetahuan. Kita butuh kemampuan, kesiapan intelektual, mental, dan fisik serta  akses dan support system yang memadai. Ilmu pengetahuan dan gelar tidak jatuh dari langit. Ia butuh kapital. Pintar saja tidak cukup, anda butuh keberuntungan.

Sebagai manusia biasa yang lemah, saya mau mengambil hak saya untuk mengeluh dan mengasihani diri. "Tuhan, apa aku bodoh sekali ya sampai tidak bisa menulis proposal dengan baik? Tuhan apa aku begitu hina sampai gak ada yang mau menerimaku? Tuhan, apa aku begitu kecil sampai Engkau tidak melihatku?. Dan terputarlah lagu yang sering kunyanyikan dengan Angel manakala kami merasakan ketidakadilan, "Yesus....Tuhan...dengar doaku....Orang lain Kau hampiri, jangan jalan terus...". Lalu, setelah puas mengeluh dan mengasihani diri, saya lalu menghibur diri. "Tidak apa-apa, belum waktunya" dan "dunia ini belum siap untukmu" sambil mengpuk-puk diri sendiri. 

Kalau Mami masih hidup, beliau pasti bilang, "Tidak apa-apa, coba lagi ya..jangan menyerah". Saya cerita pada Daddy dan seperti biasa dia mencoba menghibur, tapi penghiburannya malah terkesan tidak merestui untuk sekolah di tempat yang jauh. Setelah menangis dan lelah sampai jatuh tertidur, saya mencoba menggapai sahabat-sahabat terdekat untuk cerita. Mereka yang sama-sama paham apa artinya kegagalan dan penolakan. Lalu, kami mulai saling menghibur dan menguatkan. Kami malah menertawakan kejadian kegagalan itu. Tawa dapat menjadi bahasa orang-orang kalah. Ya, humor adalah salah satu cara terbaik bertahan dalam tragedi. Saya beruntung memiliki sahabat-sahabat yang tetap mendorong untuk maju. Salah satunya adalah Dee. Dee bilang,” Namanya juga berjuang dari bawah ke atas. Itu tidak gampang”. Saya dan Dee berencana untuk membuat pertemuan rutin agar proposal kami bisa diperbaiki lebih baik lagi. 

Saya menuliskan kisah ini sebagai bentuk terapi. Butuh keberanian besar untuk mengakui kalau kita gagal di dunia yang selalu menuntut kesempurnaan dan keberhasilan. Kegagalan adalah cara lain untuk kreatif dalam hidup, begitu kata Judith/Jack Halberstam, seorang queer theorist. Pengakuan membantu kita untuk tidak denial. Kalau kita sudah mengakui kegagalan kita, maka kita bisa menarik napas sejenak. Istirahat. Kumpulkan tenaga dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. 

Malam tahun baru ini kututup dengan keinginan untuk beristirahat dulu. Setelah babak belur dihantam pandemi dan mengalami perkara-perkara mistik, saya ingin ambil jeda. Ini bentuk cinta pada diri sendiri. Tahun ini dia bertempur terus tanpa istirahat. Nanti kalau sudah pulih energinya, ia akan berjuang lagi. Buat teman-teman di luar sana yang mengalami hal yang sama, semoga tetap semangat dan jangan menyerah. 

Kita coba lagi ya... 

You Might Also Like

0 comments