Kalau Tidak Ada Kejadian Seru, Lucu, Seram, dan Aneh, Maka Apa Yang Bisa Dikenang dan Diceritakan Dari Sebuah Perjalanan?

Jumat, April 04, 2014

dhdk


Ini saya dan Tirta. Kami lagi dinner di Ta Wan, salah satu restaurant masakan China di Ciputra World, Surabaya. Saya dan Tirta sudah membuat kesepakatan, siapapun di antara kami (termasuk Erwin juga) berkunjung ke kota masing-masing, wajib bertanggung jawab atas kelangsungan hidup tamunya tersebut. So, pengeluaran saya tidak terlalu mencekik pas di Surabaya, soalnya ada ibu auditor yang menalangi. Perhatikan baik-baik foto diatas, wajah kami happy-happy saja. Kami puas cerita ngalor-ngidul, curhat tipis-tipis, gosip, dan sebagainya. 

Kami juga membeli kasur lipat, bantal guling, dan sarung bantal guling untuk bekal tidur sebentar malam mengingat tempat tidur Tirta hanya untuk satu orang. Malam pertama kami sudah tidur berdempet-dempetan dan malam kedua Tirta yang sudah tidak tahan memutuskan tidur di lantai beralaskan seprai karena belum punya kasur. Malam ini, kami sepakat tukaran dengan catatan Tirta harus beli kasur. Persoalannya, kami tidak tahu apa yang terjadi 10 menit kemudian.

Adegan 1: Parkiran Basement

Saya dan Tirta berboncengan naik motor pinjaman milik teman kantor Tirta. Jangan salah, kantornya Tirta cuma berjarak beberapa meter dari kos-nya. Jadi dia tidak mendesak membutuhkan kendaraan. Saat pemeriksaan STNK di parkiran, Tirta ternyata lupa membawa STNK motor dan Ciputra World punya peraturan tegas tentang motor yang tidak ber-STNK: tidak bisa keluar sampai STNK-nya diperlihatkan pada petugas. Tirta melancarkan aksinya: wajah memelas dengan manja-manja andalannya. Tapi tidak mempan. Ia lantas mengeluarkan KTP-nya. Sayangnya, KTP-nya KTP Makassar alias tidak kuat dijadikan jaminan. "Wah, dulu banyak yang pakai KTP luar kota dan sampai sekarang tidak diambil-ambil. Seandainya KTP mbak KTP Surabaya, kami masih bisa menolerir," begitu kata petugas parkiran.

Lalu, saya kemudian turun tangan. Pertama, mencoba negosiasi. Sayangnya tetap tidak berhasil, karena pada dasarnya kami memang mau tidak mau mengakui jelas-jelas salah. Akhirnya, saya mengeluarkan kartu mahasiswa saya sebagai jaminan. Setidaknya nama besar UGM bisa dipakai disini. Dan yap, kami diijinkan keluar dengan KTP Tirta dan kartu mahasiswa saya dijadikan jaminan. Besok pagi baru bisa diambil dengan catatan: STNK dibawa serta.

Adegan 2: Jalan-Jalan Raya Menuju Kos Tirta

Keluar dari Ciputra World, kami pun langsung pulang. Tentunya Surabaya sebagai kota besar dengan mall-mall dan bangunan pencakar langit dimana-mana tidak sekecil Jogja yang kalau ke mall palingan cuma 10 menit sampai. Surabaya itu luasnya ampun-ampun, sampai sakit pantat saya saking terlalu lama duduk di atas motor. Harap dicatat, saya sedang memangku kasus lipat yang akan saya pakai tidur dan ada sebuah guling yang ditaruh di bagian depan motor. Agak bikin gengsi sih tapi mau bagaimana lagi: pilih gengsi atau salah urat?

Tak berapa lama kemudian, hujan turun. Hujannya turun deras sekali. Kami tidak memiliki dan memakai mantel hujan. Saya dan Tirta memutuskan berteduh di toko roti yang tidak jauh dari salah satu restaurant yang namanya saya lupa apakah diambil dari kisah Mahabharata, nama kerajaan Jawa kuno, atau nama salah satu raja Jawa. Cukup lama juga kami berteduh di toko roti itu sampai toko roti itu tutup. Di depan toko roti itu ada Mesjid besar yang rupanya sedang ada acara ibadah, karena banyak sekali bapak-bapak yang memakai baju koko, bersarung, dan berpeci serta bus-bus pariwisata yang parkir disana. Jalanan itu mengingatkan saya pada jalan A.P Pettarani yang mengarah ke kampus UNM di Makassar. Bapak-bapak berbaju koko, bersarung, dan berpeci dalam jumlah banyak juga sedang berteduh disana, serta ada juga beberapa remaja tanggung yang lagi kasmaran. Begitu hujan tidak terlalu deras, saya dan Tirta memutuskan melanjutkan perjalanan dengan menembus hujan. Kasur lipat yang saya pangku meski tertutup tas plastik namun tetap saja bagian tas yang dilapisi kain mulai menujukkan tanda-tanda air hujannya merembes ke dalam.

Adegan 3: Masih di Jalan Raya

Tirta melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Maklum jalan raya terbilang licin meskipun hujan sudah tinggal rintik-rintik. Tiba-tiba terdengar suara Tirta, dari nadanya sepertinya ia sedang tidak yakin.
"Kayaknya saya lupa jalannya weee..."
Saya mendelik, meski Tirta tidak bisa melihat sekalipun dari kaca spion.
"Maksudmu??? Coba ingat-ingat dulu. Pelan-pelan saja jalannya". Pantat saya sudah mulai cenat-cenut. Sudah pukul 10 malam lebih sedikit.

Saya lantas mengedarkan pandangan saya ke kiri-kanan jalan dan tetap memangku kasur lipat itu. Lalu mata saya tertumbuk ke papan nama restaurant yang saya lupa namanya apakah diambil dari kisah Mahabharata, nama kerajaan Jawa kuno, atau nama salah satu raja Jawa. Saya masih berpikir mungkin itu adalah salah satu cabang restaurant itu. Tapi kok toko roti yang menjadi tempat berteduh kami juga ada disitu yang memang berhadapan dengan Mesjid besar dengan bus-bus pariwisata yang masih belum beranjak darisana. 
"Tir, kok kita kembali ke tempat yang tadi?"
"Iya ya. Kita berputar dong tadi ya?"
Lalu kami berdua tertawa ngakak. Bisa dikatakan kami mulai tersesat.

Perjalanan yang ditempuh tidak mudah pemirsa. Entah berapa kali kami melewati jalan yang sama atau sekedar berputar-putar disitu. Sampai akhirnya kami berhasil memasuki kawasan jalan Raya Darmo yang artinya daerah Ngagel dimana kos Tirta berada sudah dekat. Alhasil kami tiba di rumah pukul 11 malam lewat. Pantat sudah nyut-nyutan dan baju yang setengah kuyup. Kami rasanya ingin sekali tidur.

Adegan 4: Kamar Tirta

Memang hari itu bukan tanggal 13, namun rasanya kekonyolan atau kelucuan (kalau tidak mau menyebutnya kesialan) tetap mengiringi kami sampai di rumah. Pertama, kasur yang susah payah dibawa meski harus menembus hujan badai ternyata basah di beberapa tempat yang vital yaitu bagian tengah dan pingirannya. Apesnya, saya yang akan tidur dengan kasur itu malam ini. 

Kedua, Tirta berinisiatif mengeringkan kasur lipat yang kebetulan tipis itu dengan hair dryer. Lagi asyik-asyiknya si Tirta mengeringkan kasur, tiba-tiba hair dryer itu mati. Hair dryer mati adalah pertanda kekacauan akan penampilan hari esok. "Saya tidak bisa hidup tanpa hair dryer", diantara kesal, lelah, dan merasa lucu Tirta mulai ngomel. 

Wajar saja sih, Surabaya itu udaranya bikin gerah, jadi kita harus cuci rambut biar rasa enakan. Dan hair dryer adalah alat untuk mempercepat rambut itu kering, apalagi kalau rambutmu sepanjang rambutnya Tirta yang juga memiliki kebiasaan main game dulu sebelum ke kantor (waktu SMP-SMA, sebelum ke sekolah Tirta dan Erwin selalu menyempatkan diri untuk nonton Spongebob dulu). Tirta mulai merajuk,"Bagaiman mi ini Meike?," ia mulai terlihat frustasi. Besok pagi kami harus ke Gereja, dan kami tidak siap menghadapi dunia dengan rambut basah. Tinggal di Jogja ternyata memberikan efek positif: tetap tenang dalam segala situasi-kondisi. Saya menenangkan Tirta sambil melapisi kasur itu dengan seprai supaya tidak terlalu terasa basahnya.

Ketiga, sarung bantal yang dibeli ternyata bukan sarung bantal untuk guling tapi untuk bantal kepala. Padahal di sampulnya tertulis masing-masing 2 untuk bantal kepada dan guling. Namun, faktanya malah hanya ada 2 sarung untuk bantal kepala (pantas saja bungkusnya tidak terlihat gemuk dan agak besar). Tirta kembali ngomel-ngomel dan kemudian tertawa, dia sendiri yang memilih sarung bantal itu, jadi tidak ada yang bisa ia persalahkan. Karena masih jengkel ia menyalahkan keadaan. "Kacaunya wee....kenapa dengan hari ini?"

Apakah sudah berakhir? 
Keempat, untungnya Tirta sudah mengambil laundry-nya dan di dalam kantong laundry-nya ada sarung bantal untuk guling. Apa yang terjadi? sarung bantal itu ternyata tidak memiliki tali pengikat. Tirta kembali merajuk. Saya tetap tenang (sudah mulai jadi orang Jogja sejati). Saya meminta Tirta mencari 2 buah karet gelang untuk mengikat sarung bantal itu. Untung ada. Dengan sigap saya mengikat masing-masing ujung bantal guling itu, sebuah pekerjaan yang biasa saya lakukan kalau bantal guling saya juga tidak ada talinya. 

Rupanya Tirta tidak terima. Sempat-sempatnya ia memikirkan unsur estetika. 
"Ihh..kayak pocong," ujarnya mulai merajuk. 
Saya menimpali,"Daripada tidak ada, mana ko pilih?".
"Tapi jelek dilihat," ujarnya masih tidak terima.
"Sudah...saya ji yang pake toh. Ko tenang saja," saya menutup percakapan.

Kelima, masih ada? iya.
Lampu kamar dimatikan. Tirta naik ke tempat tidur. Saya juga langsung memerawani kasur baru dengan bantal guling berikatkan karet gelang yang saya jadikan bantal kepala. Celakanya, saya tidak bisa tidur tanpa memeluk bantal guling. Tirta mengalah. Ia memberikan bantal gulingnya (di kamar Tirta cuma ada 3 bantal: 1 bantal kepala, 1 guling, dan 1 guling yang baru dibeli dan berikatkan karet gelang yang dibilang Tirta mirip pocong). Mungkin ia sebagai tuan rumah yang baik mengalah pada tamunya. Entahlah, kejadian malam ini sudah membuat kami lelah untuk kembali berdebat untuk masalah bantal guling. 

Sudah hampir jam satu subuh. 
"Tir...,"saya membuka suara.
"Apa...," Tirta menyahut.
"Basah we..."
Kami berdua tertawa.


***


Kesusahan sehari cukuplah sehari. 


You Might Also Like

0 comments