26

Senin, Mei 22, 2017

Ada sebuah cerita dari Injil yang mengguncang iman saya sejak kecil. 

Suatu ketika Isa menyuruh para murid duluan naik ke perahu sementara Ia sendiri pergi ke gunung untuk berdoa. Di tengah perjalanan, angin ribut datang dan perahu para murid pun oleng diterjang ombak. Di saat itu, datanglah Isa berjalan di atas air menghampiri murid-muridnya. Murid-murid yang matanya rada rabun karena air hujan histeris karena berpikir Ia adalah hantu. Tetapi sosok itu semakin mendekat, dan Isa berteriak, “Tenanglah. Jangan takut, ini Aku”. Maka, Petrus, salah seorang murid-Nya itu balas berteriak, “Jika kau benar-benar Tuhan, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air”. Isa membalas,”Datanglah”. Petrus pun turun dari perahu dan berjalan di atas air mendekati Isa. Tetapi, ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam. Ia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!”. Segera Isa mengulurkan tangannya dan memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”. 

Ada kebutuhan manusia untuk percaya. Dengan percaya, kita menemukan rasa stabil, suatu rasa aman bahwa “semuanya baik-baik saja”. Percaya membuka ruang untuk mengantungkan diri pada “sesuatu”. "Sesuatu" itu membuat kita aman menghadapi masa depan, suatu ketidakpastian. Konsep “percaya” ini tricky karena bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan kita. Inilah yang menjengkelkan Nietzsche yang mengagung-agungkan manusia yang kuat dan bebas. Konsep "kuat" dan "bebas" memang multitafsir sekaligus menggoda. Tetapi kita juga punya rasa takut yang alamiah. Adakalanya kita membutuhkan rasa percaya agar kita tidak takut lagi, agar aman lagi. Kita membutuhkan tangan yang digenggam, bahu untuk bersandar, kutipan ayat-ayat suci yang menguatkan, bahkan jimat dari para leluhur. Apapun yang membuatmu stabil dari ketegangan. Para Ignasian (pengikut spiritualitas St.Ignatius Loyola) percaya bahwa manusia harus mengatasi rasa takutnya. "Jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus dihadapi, gelap harus diterangi". Dan untuk menerangi kegelapan kita membutuhkan "pelita". Sesuatu yang menjadi "pegangan".  

Seberapa hebatnya kita sebagai manusia, pada akhirnya kita akan menghadapi situasi seperti Petrus. Awalnya, kita selalu “yakin” pada apapun yang kita perbuat, tetapi bila “angin” cobaan dan kesulitan datang, mampukah kita tegar berjalan atau justru takut dan tenggelam? Ketika saya membaca kisah ini saat masih anak-anak, saya meragu apakah saya mampu berjalan di atas air. Seiring bertambahnya usia, saya justru semakin mengikuti jejak Petrus. Saya percaya kuat-kuat dan pasti namun ketika ada badai datang, saya mulai bimbang. Saya takut cita-cita saya tidak terwujud. Saya ragu apakah saya akan menemukan seseorang untuk menjadi teman seperjalanan dalam hidup. 

Di hari ulang tahun saya yang ke-26, saya takut jika saya mati hari itu, tak ada yang peduli atau merasa kehilangan (well, keluarga dan para sahabat tentu bersedih) tetapi dunia akan terus berjalan seperti biasa. Ada dan tidak adanya dirimu tak ada bedanya. Setelah hari ke-40, kuburmu mulai jarang dikunjungi. Lalu waktu menghapus kenangan tentang dirimu. Ini mengerikan. Itulah sebabnya saya tak suka kuburan seberapa cantik, berseni, dan beradabnya kuburan itu. Tempat itu mengingatkan saya pada pelupaan. 

Saya merindukan rasa percaya itu. Rasa pasti bahwa ada Pribadi yang selalu menyediakan dan melakukan apapun untuk kebaikan saya. Rasa percaya seperti anak-anak pada orang tuanya. Seorang anak yang menangis di tengah orang asing akan langsung reda tangisannya ketika ia melihat ayah dan ibunya. Rasa percaya yang pelan-pelan dirampas oleh ironi, waktu, dan pengetahuan.

Karena semakin bertambahnya usia, saya menyadari saya tidak tahu apa-apa.
Selamat ulang tahun.



Note:

Saya menuliskan ini sambil mendengarkan salah satu album favorit saya dari dekade 1970-an. Homeless Brother (1974) adalah album filosofis dan hobo-nya Don McLean yang dikenal dunia lewat lagu American Pie dan Vincent (Stary-Stary Night). Lagu-lagu favorit saya antara lain Did You Know, The Legend of Andrew McCrew, Winter Has Me In Its Grip, dan Wonderful Baby. 

You Might Also Like

0 comments