Surabaya, sebuah kota sebuah cerita

Kamis, April 03, 2014

skl
di depan patungnya Suro Ing Boyo (maskotnya Kota Surabaya)


Surabaya bukanlah kota yang asing bagi saya meskipun ini kali pertama saya berkunjung kesana. Kota ini adalah salah satu kota yang menjadi destinasi tujuan merantaunya orang Ambon selain Makassar dan Jakarta. Tapi kota ini cukup berbeda. Kota ini adalah penghubung antara saya dengan Opa kandung saya, Opa Manu, papanya Mami yang telah lebih dulu dipanggil Tuhan jauh sebelum Mami saya menikah. Itulah sebabnya, saya berusaha menapak tilas jejak Opa yang hanya saya kenal dari cerita-cerita orang. Opa Manu pernah tinggal di kota ini. Ia bertugas sebagai polisi. Dan konon, di kota inilah ia bertemu dengan Oma saya. Oleh sebab itulah, selain kondisi geografisnya mirip-mirip Makassar (sama-sama panas), kota ini adalah benang merah untuk merasakan atmosphere masa lalu itu. Harap dicatat, Surabaya adalah kota pahlawan, cikal bakal lahirnya Hari Pahlawan, 10 November. 

Kota ini juga penting bagi sahabat saya Tirta, yang pernah menghabiskan masa kecilnya disini. Tiga hari setelah wisuda, ia diterima bekerja sebagai junior accountant di salah satu kantor akuntan publik di Surabaya. Saya, Tirta, dan Erwin berjanji akan saling mengunjungi. Rencana itu pernah terlontar di awal Februari. Sayangnya, saat itu bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud. Tirta juga pernah datang ke Jogja di akhir Januari kemarin untuk urusan kantor, tetapi kami tak sempat bertemu. Waktunya tidak pas.

Kira-kira dua minggu lalu, saya dan Hugo saling kontak-kontakan. Hugo adalah saudara se-marga saya. Kami sama-sama Sahetapy tapi beda trah. Hugo datang ke Indonesia untuk liburan sebelum upacara wisudanya di University of Canberra, Australia. Hugo adalah sahabat dan saudara setelah Tirta dan Erwin. Kami sama-sama teman sekolah sewaktu SMP. Hugo juga adalah tokoh penting yang mengiringi saya dan Tirta di masa awal kuliah S1. Hugo menemani saya dan Tirta mendaftar ulang di universitas, pertemuan mahasiswa baru, sampai ia benar-benar berangkat ke Canberra.

Hugo mencari saya dan Tirta, tapi kami tidak ada di Makassar. Saya di Jogja, Tirta di Surabaya. Rupanya Hugo punya rencana ke Surabaya. Setelah rembukan, kami sepakat ketemu di Surabaya. Apalagi memang ada libur panjang (saya kuliah sampai Kamis, tetapi Senin-nya bertepatan dengan hari Nyepi). Saya menghubungi Tirta dan syukurnya Tirta tidak sedang dinas keluar kota. Segala sesuatu memang ada waktunya. 

Percayalah, dalam setiap perjalanan, kamu tidak benar-benar sendiri. Ada perbedaan besar antara orang yang bekerja dan yang anak kuliahan. Orang kantoran terikat dengan sistem perusahaan, mengharuskan mereka bekerja sesuai dengan ketentuan perusahaan dan jika dilanggar bisa mengakibatkan PHK yang berarti pemasukan akan terputus sementara hidup harus terus disambung. Sedangkan anak kuliahan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Jikalau dia malas-malasan, dia sendiri yang akan menanggung malu atas hasil IP-nya. Opsi terakhir, ia bisa di-DO kalau terlalu lama kuliah. Itulah sebabnya, Tirta tidak bisa menemani saya dari pagi sampai jam 7 malam. Ia hanya punya waktu setelah jam kerja dan kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan dari satu mall ke mall yang lain hanya untuk cari...makan. 

Adalah Dimas, teman kuliah saya, yang sejak awal telah berjanji kalau-kalau saya ke Surabaya dia akan menjadi guide-nya. Dimas adalah salah satu penyiar TVRI Jatim, jadi setiap weekend pasti dia akan pulang ke Surabaya. Dari Jumat-Sabtu, Dimas menemani saya city tour di Surabaya. Kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan enaknya pergi sama warga asli, kita akan mendapat banyak cerita-cerita seputar kota yang tidak mainstream. Pagi sampai siang wisata sejarah dengan Dimas, malamnya wisata gaya metropolitan sama Tirta. 

kjgy
dengan Dimas di kereta api menuju Surabaya. Di tengah perjalanan, kami melihat abu vulkanik yang turun di Klaten akibat batuk-nya Merapi. 



soto Ambengan, andalannya si Mami kalau ke Surabaya



Tugu Pahlawan, sayangnya pas saya kesana sedang ditutup. Padahal saya penasaran sekali dengan museum bawah tanah dan prasasti tentang tubuh-tubuh tak teridentifikasi yang ditanam pasca peperangan 10 November 1945. 


loi
tempat wajib yang harus saya kunjungi kalau ke sebuah kota: berkunjung ke kota tua-nya. 




Hotel Yamato (zaman Jepang, Hotel Oraje saat zaman Belanda, dan sekarang namanya Hotel Majapahit). Di hotel inilah Insiden Bendera terjadi, kala pemuda Indonesia merobek bendera biru dari bendera Belanda yang akhirnya menyisakan bendera Merah-Putih. 



Jembatan Suramadu



Saya dan Tirta bertemu Hugo, setelah pulang Gereja. Kami juga berkenalan dengan teman kuliah Hugo sewaktu di Aussie, Natassya. Natassya, lulusan arkeologi, sehingga ia dan saya banyak terlibat pembicaraan tentang masa lalu. Hugo bilang setidaknya tahun ini kami naik kelas, ketemuannya di Surabaya (ini juga yang bikin kita gemes, harusnya Erwin nyusul hihihi). Ia juga tak absen mengajukan pertanyaan, "kapan kalian yang mengunjungi saya di  Aussie?". Pertanyaan konyol selanjutnya pun muncul," Kapan menikah?". 


iuy
Tirta - Hugo - Saya



Tidak ada yang mustahil. Hidup senang memberi kejutan. Kalau kita peka saja sedikit, setiap perjalanan itu adalah misi. Kadang kita harus menjadi pengantar pesan untuk seseorang tanpa kita sadari. 

Lagipula, siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok. Bukankah, segala sesuatu ada waktunya?

You Might Also Like

0 comments