Cerita Paskah Tahun Ini

Minggu, April 20, 2014

Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu, Yesus menangisinya, kata-Nya: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau” (Lukas 19:41-44).


***

Ini adalah Paskah pertama bagi saya di perantauan. Tanpa orang tua atau ambil bagian dalam kegiatan Paskah di Gereja. Entah mengapa saya diselimuti rasa ganjil, disebut kesepian juga tidak. Biasanya saya akan ikut ambil bagian dalam perayaan Paskah, entah menyanyi di paduan suara atau memainkan fragmen Paskah: menjadi antagonis atau protagonis. Tahun ini saya cukup merayakan Paskah dengan tindakan reflektif. Mengoreksi diri, apakah saya sudah cukup layak menjadi pengikut-Nya. Apakah saya sudah bisa menyangkal diri dan memikul salib dengan teguh?

Hidup terus berjalan dan pengertian akan sesuatu akan berubah seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman.Banyak teman-teman saya yang berbeda keyakinan menanyakan apa sih itu hari Paskah. Saya sendiri cukup sulit menjelaskannya. Persoalannya Paskah itu tidak sesederhana Natal. Paskah menyangkut iman percaya. Dan jika orang tidak percaya, sampai kapanpun mereka tidak akan mengerti. Maka, biarkanlah mereka cukup mengenalnya sebagai hari yang identik dengan telur. 

Kemarin ada seorang teman yang bertanya tentang makna telur dalam perayaan Paskah. Lalu saya menjawab,"Telur itu adalah simbol sebuah keadaan yang tampak mati, tetapi di dalamnya ada sesuatu yang hidup. Telur adalah simbol Tuhan Yesus yang "nampak"nya mati namun sesungguhnya tengah mempersiapkan kehidupan baru". Teman saya itu manggut-manggut, saya juga ikut manggut. Karena keadaan, maka tahun ini saya memutuskan merayakan Paskah dengan bertapa di dalam kamar. Keluar rumah hanya untuk ke Gereja dan cari makan. Maka semua ajakan untuk bersenang-senang saya tolak dengan halus. Namun, ternyata tidak semua hal dapat berjalan seperti yang kita inginkan. 

Di Sabtu Suci yang harusnya dinikmati dengan kesunyian, Bu Mery mengajak saya untuk menemaninya jalan-jalan ke Malioboro. Beliau butuh refreshing setelah sebelumnya proposalnya "ditolak" pembimbingnya. Dimana-mana rasa penolakan itu sama: tidak enak. Sedih, frustasi, putus asa, kesal, dan lain sebagainya. Maka saya berpikir, hanya dengan menemani Bu Mery saja atau dengan kata lain kehadiran saya saja sudah cukup menjadi berkat baginya. Hanya menemani, hanya menjadi teman itu sudah cukup. Tak perlu muluk-muluk untuk menolong sesama. Cukup katakan "iya" ketika ia sangat membutuhkanmu. Karena "tidak" yang diterima disaat kita lagi berbeban berat adalah duri yang beracun. 

Maka berangkatlah kami pagi-pagi. Jalan kaki dari rumah sampai di tempat pemberhentian bus. Di tengah perjalanan saya melihat seorang nenek tua renta yang sudah bungkuk tengah memikul beberapa potong kayu di atas punggungnya. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang kecil dan tongkat yang terbuat dari kayu, ia berjalan kaki diantara kendaraan yang lalu lalang di belakangnya. Melihat nenek tua berjalan kaki memikul kayu-kayu di punggungnya bukanlah pemandangan lazim di keramaian kota. Pertanyaannya kemudian,"Darimanakah ia mendapat kayu-kayu itu?", "Kemanakah ia hendak pergi?", "Jauhkah rumahnya dari sini?", "Apakah ia akan berjalan kaki sampai ke lereng Merapi dimana terdapat banyak desa-desa dengan penduduk yang masih setia pada alam?". Hati saya langsung jatuh. Saya tidak tahu bagaimana cara menolongnya. Belum tentu pula ia mau menerima uang yang tak seberapa ini. Saya jadi sedih karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak mampu. 

 *** 

Sesampainya di Malioboro Mall, saya dan Bu Mery mampir ke Solaria untuk makan siang disana. Solaria sedang ramai siang itu. Untungnya kami masih mendapatkan satu meja yang tersisa. Meja itu berdampingan dengan meja lain yang ditempati satu pasangan muda yang tampaknya sedang bermesraan. Cowoknya mengenakan baju kalos hitam ( wajah dan gayanya mengingatkan saya pada teman saya Kemas) sedangkan si cewek mengenakan terusan lutut tanpa lengan berbahan ketat dengan leher V rendah. Baju itu sangat menonjolkan bagian dadanya. Wajah cewek itu tampak cantik dengan make up tebal yang dikenakannya. Saya jadi bertanya-tanya apakah bila make up-nya dihapus, wajahnya masih akan tetap cantik? 

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan mereka. Sampai saat makanan yang saya pesan sudah tiba dan mata saya menangkap gerakan pasangan itu. Sejujurnya saya tidak terlalu suka memperhatikan orang asing. Hanya saja posisi duduk saya memungkinkan mata saya untuk memperhatikan pasangan itu. Si cowok- seperti kebanyakan cowok-cowok zaman sekarang- yang memiliki selera cewek mirip girlband korea, memandang cewek yang memang nampak seperti anggota SNSD itu dengan penuh nafsu. Dari gerak-geriknya cowok itu tengah berusaha merayu si cewek sambil sesekali melirik ke arah dadanya yang membusung. Piring di depan si cowok sudah licin tandas. Dan demi Tuhan, cowok itu mirip sekali Kemas! 

Si cewek nampak sedang asyik bermain handphone. Lalu mereka berdua foto-foto selfie. Si cewek memesan nasi goreng spesial dan dengan keadaan siang hari yang bikin lapar, ia nyaris tidak menyentuh makanannya. Mungkin lagi diet pikir saya. Tapi kemudian ada yang nampak aneh. Meskipun si cowok menggombal dan banyak gerakan tambahan, si cewek tetap tenang, tidak terlalu menanggapi, singkatnya biasa-biasa saja. Saya biasanya senang melihat pasangan yang sedang kasmaran. Ada letupan dan gelombang tidak biasa di antara mereka. Meski tak berkata-kata sekalipun, bahasa tubuh mereka sudah menyiratkan bahwa ada daya magnet diantara mereka. Dengan hanya melihatnya saja sudah cukup membahagiakan (bagaimana kalau merasakan?). 

Karena kebahagiaan itu menular, biasanya saya juga ikutan senang. Tapi tidak kali ini. Saya merasa ada yang ganjil. Pertama, si cowok memakai pakaian yang terkesan biasa untuk ukuran kencan dengan pacar. Hellooo, sudah naluri manusia untuk selalu nampak sempurna di depan orang yang mereka suka. Kedua, si cewek memakai pakaian yang tidak umum dipakai perempuan Indonesia di siang hari bolong apalagi di tengah kencan dengan pacar, kecuali kalau kamu memang berniat ngajak pacarmu "bobo-bobo ciang" setelah makan. Baju seksi yang dikenakan si cewek pantasnya dikenakan untuk malam hari. Dan kalau mau jujur, baju dengan model seperti yang dikenakannya itu memang mengundang birahi. Tak berapa lama kemudian, mereka pun pergi dari Solaria. Kepergian mereka membuat saya lebih leluasa membicarakan mereka dengan Bu Mery. Dari analisa kami, semua clue mengarah bahwa pasangan tadi mungkin pasangan one night stand. Alasannya:
1. Si cewek memakai baju terlalu seksi. Ada dua jenis seksi, seksi yang elegan dan seksi yang ganjil. Seksi elegan itu akan membuat yang memandang berdecak kagum dan hanya sampai tahap menikmati keseksian itu. Yang memakainya biasanya akan tetap dipandang masih dalam lingkaran perempuan baik-baik. Seksi yang ganjil adalah jenis seksi yang memang mengundang birahi dan membuat orang ingin segera melepaskan nafsu gara-gara melihatnya. Si pemakai membawa aura perempuan nakal, admit it suka tidak suka. Jadi bila bukan si cewek memiliki selera fashion yang buruk, ya kemungkinan besar dia masuk kategori cewek nakal. 
2. Biasanya memang pasangan one night stand begitu. Cowoknya yang blingsatan sementara ceweknya nampak tidak terlalu tertarik!
3. Di area Malioboro ini banyak sekali hotel-hotel dari yang harganya paling murah sampai yang mahal. Mengingat cerita the other side of Jogja yang sempat ramai diberitakan beberapa waktu lalu, semuanya menjadi mungkin.  Sampai disini mengerti kan? 
4. Logikanya, jika ada pasangan yang terlalu "lebay" di depan umum, maka apa jadinya jika tak ada orang?
5. Tidak ada daya magnet di antara  mereka, lebih ke seperti anak bayi dan baby sitter-nya.

Pemandangan itu membuat saya berpikir kembali mengenai bisnis pelacuran yang setua umur peradaban manusia. Ini bukan persoalan gender semata mengingat pelacur perempuan dan laki-laki 11-12 banyaknya. Namun, sampai kapan seks dihargai seperti itu? Memang benar seks adalah kebutuhan dasar manusia. Memang benar seks adalah makanan tubuh yang muncul secara alami dan merupakan anugerah seperti anggota tubuh lainnya bagi manusia. Tapi seperti halnya semua hal di muka bumi ini, ada yang bersifat estetika dan fungsionalis. Seks kemudian dominan jatuh pada tataran fungsional daripada estetikanya. Saya lantas teringat satu kalimat yang tak bisa saya lupakan dalam kitab Assikalaibineng (kitab persetubuhan Bugis kuno, sejenis Kamasutra atau Serat Centini-nya orang Bugis). Disitu tertulis secara singkat," manakala sepasang manusia bersatu (orgasme) maka mereka telah mengintip pintu surga". Lalu saya berpikir, bersatunya dua manusia saja sudah dikatakan "mengintip pintu surga" maka bagaimana dahsyatnya jika manusia yang bersatu dengan Tuhan? Maka bolehkah kita mengatakan bahwa kematian itu sebenarnya nikmat? 

*** 

Sore itu, saya dan Bu Mery menunggu taksi untuk pulang. Tak lama kemudian hujan turun. Dan apesnya, taksi menjadi susah didapat takkala hujan turun di Jogja. Banyak orang berebutan. Taksinya juga aneh, nyala lampu dan mati lampu podo wae, selalu supirnya bilang,"lagi isi". Sore itu ditengah hujan yang cukup deras, kesabaran kami diuji. Taksi yang muncul datangnya dari seberang jalan. Kami pun pindah ke seberang jalan tersebut. Eh, saat posisi sudah sisi jalan yang memungkinkan taksi datang, malah sisi jalan yang kami tinggalkan tadi yang ramai dengan taksi. Saya dan Bu Mery lantas memutuskan jalan kaki ke titik O Km Jogja yang berada di perempatan jalan besar. Harapannya kami lebih mudah menemukan taksi. Nyatanya hasilnya nihil. Hujan semakin lebat. Taksi-taksi yang muncul memiliki jawaban yang sama: sudah punya penumpang. 

Saya dan Bu Mery bergumam, meminta Tuhan mengirimkan taksi dan meredakan hujan. Tak lama kemudian, seorang bapak penjual jajanan sate jeroan dan ronde yang mangkal di km 0 memberi kantong plastik hitam untuk dipakai menutup kepala kami. Mungkin dia kasihan, mungkin masih ada kasih. Hujan memang belum berhenti dan taksi tak kunjung datang. Banyak mas becak datang silih berganti menawari kami jasanya. Namun, semua mundur teratur saat kami bilang rumahnya terletak di jalan Kaliurang ( yang notabene jauh dari Malioboro, jauh kalau kamu jalan kaki atau mengayuh becak. Saya jadi ingat nenek tua yang memikul kayu bakar lagi). Hujan semakin deras, terima kasih untuk bapak penjual sate jeroan dan ronde yang memberi kantong plastik penutup kepala.

Saya dan Bu Mery menimbang-nimbang lagi. Mau naik bus kota, jauh karena bus-nya mampir di terminal dulu, kami akan tiba lama di rumah. Mau naik trans Jogja, yang antri juga bejibun. Akhirnya kami pindah ke arah jalan menuju Taman Pintar. Karena tak kunjung mendapat taksi setelah sebelumnya berebutan dengan seorang bapak dan seorang ayah dan anak lelakinya, kami memutuskan naik becak sampai ke Mall Malioboro lagi dengan pertimbangan banyak taksi disana. 
Tahukah kau bahwa naik becak di Jogja itu mahal? Karena selain jadi transportasi juga sebagai objek wisata? Akhirnya kami naik becak setelah sebelumnya berpesan pada Mas becak untuk menghentikan taksi yang kebetulan lewat di jalan.

Belum satu meter becak itu jalan, kami akhirnya menemukan taksi. Hujan juga reda. Saya dan Bu Mery langsung pindah ke taksi tersebut. Di dalam perjalanan menuju rumah, saya merenungi lagi. Coba seandainya kami lebih bersabar lagi. Kami tidak perlu kerja dua kali seperti tadi. Tapi pikiran lain juga tiba-tiba berkelebat. Mungkinkah kami lulus ujian kesabaran hari ini? Sehingga Tuhan berbaik hati mengabulkan permintaan kami: taksi dan hujan reda. Sesampai di rumah, saya kembali merenung. Untuk merayakan Paskah tidak perlu larut dalam kesunyian seperti cita-cita semula saya. Tuhan dengan cara-caraNya yang tak terselami akal manusia telah menunjukkan pada saya bahwa Paskah yang sebenarnya ada di luar sana. Bahwa masih banyak manusia yang menderita dan tak berdaya. Bahwa setiap hari kita harus berjuang untuk hidup. Bahwa setiap hari, ada proses yang harus kita lalui. Dan setiap proses itu memiliki lukanya masing-masing. Bahwa kita harus sadar kita tidak boleh sombong karena kita tidak abadi. Dan pada akhirnya, kita memang hanya memerlukan Penebus.Karena kita memang tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri. 

Kejadian hari ini membuat saya teringat akan cerita di kitab suci tentang Yesus yang menangisi kota Yerusalem, menangisi manusia. Apakah saat ini Ia juga masih menangisi kita? 


Selamat merenungi Paskah.

You Might Also Like

0 comments