Solitude 23

Senin, Mei 12, 2014

*tumblr*




Apa yang sudah kau perbuat untuk sesamamu?


Akhirnya saya punya waktu juga untuk menulis. Lebih tepatnya menyempatkan diri untuk menulis. Ulang tahun saya memang telah lewat tiga hari yang lalu. Tapi seperti kata pepatah: meski nasi sudah jadi bubur, ada baiknya bubur itu ditambahkan ayam suir supaya jadi bubur ayam...nikmat. Saya harus dan mendesak untuk menuliskan refleksi ulang tahun saya yang ke-23. Ulang tahun bukan hanya sekedar hari sambil lalu, tapi hari dimulainya seorang manusia menjadi penduduk di muka bumi. Hari dimana ia menjalani kehidupan, lengkap dengan segala macam problemanya. Sebuah sejarah, titik awal. Jadi jika jadi orang hebat dan terkenal suatu hari nanti, maka para biograf akan menulis,"...Ia lahir dalam suasana perang di musim panas pada tanggal......". 

Tiga hari ini saya banyak memikirkan tentang makna hari ulang tahun itu sendiri. Bagi saya, satu hari istimewa di tiap tahun itu selalu memberi debaran tersendiri. Bayangkan dari 365 hari, ada satu hari dimana kaulah menjadi pusat dari tata surya. Perasaan saya selalu deg-degan setiap beralihnya tanggal 8 ke tanggal 9 di bulan Mei. Saya harap-harap cemas, apakah saya akan melewati ulang tahun saya dengan lancar atau sebaliknya. Apakah umur saya akan sampai ke anak tangga berikutnya atau...

Kelahiran memang selalu berpasangan dengan kematian. Keduanya sama-sama sebuah peralihan. Ada satu lintasan yang harus dilalui semua manusia. Mereka yang berasal dari-Nya, masuk ke dunia, dan kembali lagi kepada-Nya. Tapi saya tidak mau berbicara tentang kematian. Kematian selalu penuh misteri, selalu terasa ganjil, dan jujur saja bikin ngeri untuk dibicarakan. Di hari yang berbahagia ini, saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan. Sebuah refleksi standar orang yang berulang tahun.

Semua orang senang jika ada yang mengingat ulang tahunnya. Itu artiya ia menjadi bagian dari ingatan orang lain, menjadi sesuatu yang disayangi orang lain. Saya tidak mengerti jika ada orang yang membenci hari ulang tahunnya. Kita toh tidak tahu akan hidup sampai umur berapa. Jadi, selagi masih hidup, setiap hari, setiap jam, menit, sampai detik harus kita nikmati dengan penuh syukur. Saya pernah mengucapkan selamat ulang tahun pada seseorang dan ia hanya membalas, "Terima kasih, tapi saya tidak merayakan ulang tahun". Baginya hari ulang tahunnya sama seperti hari-hari yang lain, tanpa rasa, hambar. Betapa sedih hati saya takkala ucapan saya dibalas dengan kata-kata demikian. Saya kasihan pada orang itu, betapa tidak bersyukurnya ia akan hidup yang diberikan padanya. Lalu saya memikirkan kembali. Mustahil ada orang yang tidak menyukai hari kelahirannya (kecuali kalau ia menderita penyakit kejiwaan), tapi kalau ia sehat walafiat dan waras, ia akan senang jika orang mengingat dan mengucapkan selamat padanya. Maka saya terpikir, bukan dia yang membenci hari ulang tahunnya, tapi ia membenci orang yang mengucapkan selamat padanya. 

***

Selama 23 tahun, saya menghabiskan setengah umur saya dengan menggugat Tuhan. Umur 13 tahun saya sudah berani menggugat Tuhan. Mengatakan bahwa Ia tak adil dan sebagainya. Saya menyimpan banyak kemarahan yang disebabkan hal-hal yang tidak saya mengerti. Mengapa si A tidak suka pada saya? Mengapa Si B bisa punya mobil sedangkan saya tidak? Mengapa Si C bisa memiliki handphone model terbaru padahal otaknya pas-pasan sedangkan saya yang merasa diri lebih pintar dari si C tidak bisa memilikinya, mengapa si D, Si E, dan mungkin Si F begitu sempurna cantik, pintar, kaya, idola para remaja pria di sekolah, sedangkan Si G, Si H, atau Si I adalah kebalikannya. Tidak hanya dibenci tapi juga ditindas, mengapa begini dan begitu, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Saya ngambek pada Tuhan. Saya marah padanya. Bagi saya dia seperti orang tua yang suka pilih kasih. Saya memutuskan tidak mau masuk gereja. Tidak mau pergi sekolah minggu lagi. Saya lebih suka nonton TV di rumah daripada pergi pelayanan. Padahal waktu itu ibu saya menjabat sebagai ketua BPK Persatuan Wanita (sekarang namanya Persatuan Kaum Perempuan), jenis jabatan yang seharusnya membuat anaknya rajin-rajin di gereja. Tapi saya bersikap apatis. Menjelang naik kelas 3 SMP (berarti sekitar 1 tahun lebih saya ngambek sama Tuhan), saya mulai merasa ada yang kurang. Saya membutuhkan suatu kebutuhan spiritual yang tidak bisa diberikan program acara TV manapun. Suatu ketika, seorang teman datang pada saya. Ia mengajak untuk ikut paduan suara di gereja. Tentu saja saya menolak. Berkali-kali ia mengajak, berkali-kali pula saya tolak. Hingga pada suatu ketika karena terperangkap tak bisa kemana-mana, saya akhirnya ikut juga latihan paduan suara di Gereja bersama teman saya itu. Singkat cerita, dunia saya jungkir balik. Kebutuhan spiritual saya terpenuhi sedikit demi sedikit. Saya yang tadinya malas ke gereja, mendadak rajin. Setiap saat pelayanan ke mana-mana. Ibu saya bilang, itu adalah doanya yang dijawab Tuhan.

Tapi, saya tetap kritis. Tetap menggugat Tuhan. Sampai SMA saya merasa ibadah saya kosong. Iya, nyanyi-nyanyi dan doa tiap saat tapi saya tidak merasakan Tuhan di dekat saya. Tuhan itu terasa jauh diatas sana. Mungkin Ia sedang duduk-duduk di sofa besar dengan malaikat-malaikat-Nya. Ibadah kemudian hanya sebatas rutinitas. Apalagi kalau dalam liturgi tiba bagian khotbah dan doa syafaat. Oh, itu terasa sangat menjemukan. Saya lebih suka nyanyi-nyanyi saja. Bagian yang ngobrol-ngobrol antara Pendeta dengan Jemaat atau Jemaat dengan Tuhan di-skip saja. Jangankan ibadah, doa malam yang selalu saya ucapkan sepenuh hati kini nampak seperti hafalan. Bahkan mungkin Tuhan sudah bosan mendengarnya. 

Setelah di-sidi, barulah saya mengerti bahwa ibadah dalam rangkaian liturgi merupakan satu kesatuan utuh. Mungkin kedewasaan mengiringi iman, atau sebaliknya. Entahlah. Tapi kemudian, saya mulai menikmati ibadah. Saya memahami bahwa baik lagu-lagu yang dinyanyikan, ayat-ayat kitab suci yang dibacakan, sampai khotbah Pendeta itu semua saling berhubungan. Bacaan firman dan khotbah tidak hanya soal pengajaran tapi adalah perkataan Tuhan sendiri yang menjawab kegelisahan-kegelisahan hati. Doa-doa juga menjadi penting. Tanpa Doa, ibadah menjadi sesuatu yang bersifat satu arah. Doa membuat kita ngobrol dengan Tuhan sekaligus mendengarkan Tuhan ngomong. Ibadah menjadi makanan jiwa. Jiwa yang kelaparan membutuhkan ibadah. 

Perlahan-lahan, bertambahnya umur, bertambahnya pengalaman spiritual, gugatan-gugatan pada Tuhan yang semakin berkurang tapi juga kadang-kadang bertambah membuat saya memahami bahwa Tuhan bukan Pria Tua berjanggut yang duduk di sofa besar dengan malaikat-malaikat yang melayani Dia. Ia tidak berada dalam negeri awan-awan. Tuhan ada dimana-mana. Ia berbicara melalui apa saja. Tukang bentor yang kebetulan mengantar pulang dari kampus, senyum pengamen di lampu merah, orang tua yang menegur, teman yang marah, iklan di TV, petikan lirik dalam sebuah lagu, sampai dialog dalam sebuah film. Tuhan adalah pribadi. Jika kita peka saja, Ia sebenarnya ada di dekat kita. Tidak hanya itu saja, Ia ada di dalam diri kita. Kita bisa dipakai sebagai pembawa pesan pada seseorang atau sebagai penolong bagi yang sedang bersusah hati.

Ini adalah ulang tahun pertama yang saya rayakan di perantauan. Orang tua jauh di rumah, tapi bersyukurlah bahwa teknologi komunikasi semakin canggih sehingga memudahkan komunikasi lintas pulau. Doa dari mereka juga adalah perisai untuk menghadapi situasi apapun. Sejauh apapun rumah, orang tua tetap tidak pernah jauh dari kita. Menjelang tanggal 9, saya bertekad merayakan ulang tahun dalam kesunyian saja. Kita membutuhkan kesunyian untuk merenung. 

Akan tetapi, 

Orang-orang yang menyayangi kita tidak akan tinggal diam. Malam itu saya merayakan ulang tahun bersama Mbak Truly, Bu Mery, Pendeta Anra, dan teman-teman pemuda dari GMII Tiranus. Tidak banyak memang, tapi jika kau seorang diri di perantauan, maka persaudaraan dan pertemanan secuil apapun menjadi berarti. Rasanya kesunyian yang direncanakan itu gagal total. Kami merayakan ulang tahun saya tanpa kue maupun lilin yang ditiup. Tapi tak mengapa. Kado yang paling utama adalah doa. Doa orang-orang yang mengingat kita juga adalah perisai dalam hidup. Di angkringan salah satu jalan di Jogja, kami menyantap makanan yang tersedia sebagai ungkapan syukur. Musisi jalanan yang biasanya mahasiswa yang mencari dana kegiatan berganti-gantian menyanyi. Sampai...."Happy Birthday, Meike.....". Para mahasiswa itu menyanyikan lagu "Happy Birthday" dengan nama Meike jelas-jelas di tengah keramaian angkringan itu. Lagu berikutnya mungkin merupakan lagu ciptaan mereka. Saya tidak hapal liriknya tapi lagunya sangat bagus, lagu sederhana dengan kasih yang luar biasa.

Maka di usia yang disebut-sebut ilmu psikologi sebagai titik awal kedewasaan manusia, saya ingin belajar satu hal: belajar menerima. Saya ingin mengurangi gugatan-gugatan saya pada Tuhan. Karena siapa lagi yang paling memahamimu selain Dia yang menciptakanmu. Di penghujung tanggal 9 Mei, saya diperhadapkan pada satu pertanyaan besar," Apa yang sudah kau perbuat bagi sesamamu?". Dengan lagu terakhir yang dibawakan para mahasiswa itu, mata saya berkaca-kaca. Tak pernah diduga akan mendapat surprise seperti itu. Ah, betapa romantisnya. 

Terima kasih Tuhan karena Kau mengerti kalau aku tidak mengerti hal-hal yang Kau izinkan hadir dalam hidupku yang kuanggap sebagai kesedihan-kesedihan. Terima kasih Tuhan, untuk kepercayaan pada tugas yang masih harus aku selesaikan. Terima kasih untuk orang tua yang dipilihkan bagiku, yang kasihnya seperti sungai yang mengalir tanpa henti. Terima kasih untuk para sahabat, teman, dan saudara-saudara yang jauh dan dekat yang mengirimkan doa dan mengajari banyak hal tentang hidup. Terima kasih. 



Yogyakarta, 12 Mei 2014

You Might Also Like

0 comments