Dekonstruksi Tuhan

Kamis, September 11, 2014

*pic from wehearit*




Pertanyaan mendesak dalam hidup manusia adalah: siapakah Tuhan?

Tapi manusia lebih banyak berdiskusi tentang bagaimana mereka diciptakan, "Siapa" adalah sesuatu yang jauh, yang tak terjamah, sesuatu yang liyan. Maka berduyun-duyunlah manusia membuat teori-teori canggih tentang penciptaan: teori big bang, teori bang-bang, teori bleh-bleh, atau teori bla-bla. Semenjak saat itu segala sesuatu sebaiknya dijelaskan dengan rasional dan tuhan menjadi sebuah konsep untuk sesuatu yang tidak dijangkau oleh rasionalitas.

Tapi saya tidak suka dengan hal yang demikian apalagi ketika Hollywood mulai mengonstruksi Tuhan. Tuhan menjadi sesuatu yang rasional. Tuhan adalah suara berat dengan awan-awan. Tuhan adalah pria dengan janggut putih. Mengapa juga harus tuhan-tuhan itu berbentuk laki-laki? Pernahkan Tuhan menyebut dirinya laki-laki atau perempuan? Pada Musa ia berkata dengan tegas: Aku adalah Aku. Siapakah namamu? Musa memaksa. Tuhan diam. Tuhan tak mau jadi rasional. Tuhan melampaui rasionalitas. Perjanjian Baru menyebutnya "melampaui segala akal."

Tapi Hollywood sudah membuat gambaran indah (namun menyedihkan) tentang Tuhan. Tuhan seperti gambaran pada suatu masyarakat tertentu menjelma dan berubah-ubah. Lama-kelamaan ia menjadi ganteng. Ia punya otot dan six pack, sehingga anak-anak gadis akan memandang tubuh indah itu terpaku pada tiang kayu, dengan darah yang mengucur dari bilur-bilurnya, melewati badannya dan turun di antara sela-sela kakinya. Manusia tak terima jika sebenarnya yang disebut Tuhan jauh dari perkasa. Manusia tak bisa terima yang disebut "bahkan orang memalingkan wajahnya dari Dia...", atau menurut pria baik hati dari Kirene,"Ia begitu ringkih dari yang lain". 

Saya tidak menyukai tuhan yang jauh
Saya tidak menyukai tuhan yang gigantis, yang terasa sangat besar dan menakutkan
Saya tidak suka tuhan yang ada dalam kalender-kalender dan patung-patung segala zaman.
Saya tidak suka dengan tuhan yang berwajah datar, seolah-olah penderitaan manusia bisa membuatnya tidur nyenyak. 

Saya lebih senang membayangkan tuhan seperti seseorang dalam bus seperti dalam lagunya Joan Osborne. Mungkin ia adalah laki-laki dengan letak mata kiri dan kanan yang tak sejajar, ia bongkok, dan jalannya pincang. Mungkin juga ia adalah seorang gadis bertumbuh gempal dengan jerawat di wajahnya. Ia begitu merasa dirinya tak menarik sehingga tak ada satu pun anak lelaki di sekolah yang menyukainya. Mungkin ia adalah seorang nenek tua renta dengan kebaya dan jarik, yang menyambung hidup dengan berjualan kerupuk bulan 4000 perak. Mungkin ia adalah bapak tua seperti Oemar Bakrie dengan kepala lesu karena gajinya begitu sedikit sementara anaknya yang berjumlah lima orang menuntut beli iphone. 

Mungkin tuhan seperti perempuan berwajah sendu itu, yang sedang dalam perjalanan pulang. Menunggu seseorang menelponnya dan berkata, "Apa kabar?".




Jogjakarta, 11 September 2014

You Might Also Like

0 comments