"Aku Pergi Takkan lama"

Sabtu, Mei 23, 2020

Sudah menjadi kebiasaanku jika langit sedang cerah dan banyak bintang, maka aku akan mencari bintang yang paling terang dan mengklaim-nya sebagai bintangku. Dia yang menemaniku. Seperti malam ini, suatu kegembiraan manakala malam-malam sebelumnya menampakkan langit kelabu. 

 *** 

Ingatanku melayang pada perempuan-perempuan pesisir di kota Makassar. Pertemuanku dengan mereka teramat singkat dan diliputi kesedihan yang menggigit. Waktu itu aku sedang melakukan riset tentang perempuan pencari kerang yang termarginalkan pasca reklamasi pantai. Area laut yang menjadi lahan pencaharian mereka diprivatisasi. Hal itu tidak saja mempengaruhi keadaan ekonomi mereka, tetapi juga jiwa mereka. Mereka terpisah dengan kekasihnya, sang laut yang setia memberi. 

Aku datang ke rumah Ibu Ani, salah satu perempuan pencari kerang dengan niat untuk mewawancarainya sebagai salah satu informan. Sejak reklamasi, ia dan teman-temannya tidak bisa leluasa lagi mencari kerang. Untuk mencukupi kebutuhannya, mereka juga harus membeli ulang dari penjual lain di pasar lelang ikan. Itu berarti modalnya harus banyak dan keuntungannya menjadi berkurang dibandingkan ketika dulu mengandalkan laut. 

Rumah Bu Ani sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan beratap seng. Rumahnya berlantai tanah. Jangan mimpi melihat tegel keramik atau marmer. Rumah-rumah khas pesisir memang dibuat seperti itu untuk gampang bertahan dari air dan arah angin. Mungkin juga supaya mudah dibongkar. Disitulah, Ibu Ani tinggal bersama suami dan 8 anaknya. 

Seusai wawancara, Ibu Ani mengambil seember besar penuh berisi kerang sebagai oleh-oleh bagi saya. Saya menolak menerimanya. Pertama, rasanya ada yang tak benar secara etika. Kedua, saya juga tidak memberinya apa-apa jika itu mau dianggap sebagai relasi transaksional. Bukannya sombong atau tidak berterima kasih, tapi saya tahu kerang-kerang itu adalah harta paling berharga Bu Ani. Kerang-kerang itu bisa menambah napas Bu Ani sekeluarga hingga beberapa hari ke depan.  Kerang-kerang itu akan lebih berarti buat Bu Ani daripada buat saya, lebih-lebih karena saya sendiri tidak doyan makan kerang. Namun, Bu Ani tetap bersikeras untuk memberi kerang-kerang itu. Ia bilang ia akan merasa sangat sedih jika saya menolaknya. 

Akhirnya, saya pulang ke rumah dengan membawa seeember penuh kerang yang entah akan dibuat apa. Di rumah, hanya Mami yang makan kerang dan lama-lama dia takut darah tinggi karena makan kerang tiap hari. Akhirnya, Mami mengolah sisa kerang-kerang itu menjadi kerang rica-rica dan membawa ke kantornya. Pulang dari kantor, Mami melaporkan kalau kerang-kerang itu habis dimakan orang-orang dan semuanya senang. Kerang-kerang itu menjadi berkat. 

Sudah beberapa tahun berlalu sejak kejadian itu. Riset itu sendiri sudah dipublikasikan di buku Ekofeminisme IV. Namunyang akhir-akhir ini membuatku teringat peristiwa itu adalah bahwa dalam keterbatasannya, seseorang masih mau memberi. Ia tidak hanya sekedar memberi. Ia memberi sesuatu yang paling berharga dari miliknya untuk orang lain. Ia memberi miliknya yang paling berharga untuk orang asing yang mungkin belum tentu akan kembali menjenguknya. Sebegitu dalamnya ia menghargai orang asing yang mau mendengarkan cerita sedihnya. Dan meskipun orang asing itu sudah lama pergi dari hadapannya dan mungkin Bu Ani sudah lupa juga pada wajahnya, suatu simpul kenangan yang indah tetap mengikat mereka. Suatu pelajaran penting: orang tulus memberi bukan karena mampu, orang tulus memberi karena mengasihi. Seperti tulisan-tulisan itu, yang aku berikan untukmu karena itulah yang terbaik yang aku miliki. 

*** 

Aku menceritakan kisah kerang Bu Ani pada Juni dan Juni membalasnya dengan menceritakan kisah sebelum Yesus naik ke surga. Dalam kisah itu, Yesus meminta makanan pada murid-muridnya dan mereka memberinya sepotong ikan goreng (Lukas 24 : 36 - 49). “Bayangkan, mereka hanya memberinya sepotong ikan goreng”, tak habis Juni menalarnya. Ya, kadang memang kita hanya mampu memberi dalam spontanitas dan kemampuan kita pada momen itu. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan selalu menerima apapun yang kita persembahkan untuknya. 

Itulah pertanyaanku sejak semula. Apa yang bisa kuberikan bagiMu, wahai Engkau yang memiliki segalanya? Dapatkah kita seperti anak kecil dalam lagu Natal “Little Drummer Boy”?. Anak kecil yang mempersembahkan permainan drumnya untuk bayi Yesus. Ia memainkan drum yang terbaik untuk sang Raja. Itulah yang berharga dan yang sanggup ia berikan. 

Sebelum Yesus naik ke surga ia mengucapkan bahwa Ia akan menyertai kita selamanya. Tidak pernah perjalanan ini dijanjikan ringan atau tanpa rintangan. Tapi, Ia selalu beserta kita. Itu janjiNya. Maka, ketika aku menangis, aku harus mengingat bahwa aku sedang menangis bersamaNya. Jika aku tertawa, maka aku pun sedang tertawa denganNya. Hari ini adalah hari KenaikanNya. Ia pergi. Tapi, Ia akan kembali lagi. Seperti lagu yang diciptakan Minggus Tahitoe dan dinyanyikan kembali oleh putranya, Ello, “Aku pergi takkan lama. Hanya sekejap saja ku akan kembali lagi, asalkan engkau tetap menanti…”

Setialah. Berjaga-jagalah. 

You Might Also Like

0 comments