Gedono

Senin, Juli 17, 2017

*Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, Salatiga (foto: Meike)



Di tempat ini, keheningan adalah sahabat yang dicari. Alam menjadi ruang pertemuan antara yang fana dan yang Ilahi. Sekilas terasa tembok-temboknya mengingatkanmu pada suasana pedesaan di Eropa, namun bangunannya menghidupkan keasrian tanah Jawa dan Sumatra. Romo Mangun, sang arsitek (meskipun tak sampai selesai), adalah lelaki yang romantis. Ia merancang suatu tempat bersemayam bagi para perempuan pemuja misteri Kristus.

Para perempuan itu mengabdikan hidupnya dengan kaul dan ketaatan. Dalam kesederhanaan, mereka menyambut tubuh Kekasihnya dengan doa dan wajah berseri. Seumur hidupnya, mereka memuja Tuhan tujuh kali dalam sehari, mendoakan dunia. Bibir mereka tak hentinya mendaraskan Mazmur. Tangan-tangan mereka tak henti bekerja: menanam sayur-buah, membuat kefir dan butter, juga membersihkan segalanya. 

Hari itu tak banyak orang. Hanya kami dan seorang ibu paruh baya yang datang mencari sang Hening. Seorang perempuan yang cemas hati dan tak kuat dengan kejamnya waktu. Seorang perempuan yang menanti jawaban. Seorang perempuan dengan harapan yang tak muluk. Para lelaki dengan pikirannya masing-masing: pada panggilan atau realita. Masing-masing asyik dengan pergumulannya.

Kala malam, bulan purnama menggantung di langit. Seperti tahu bahwa kami membutuhkan teman. Mungkin juga pertanda akan adanya harapan. Di kala terang, matahari memberikan lukisan indah kompleks pertapaan dengan Gunung Merbabu sebagai latarnya. Siapakah lagi gerangan Sang Seniman itu?

***

Disinilah aku, dengan segala gelisahku, menangis tersedu-sedu.




Gedono, 7-9 Juli 2017

You Might Also Like

0 comments