Pada Bulan Purnama

Kamis, September 03, 2015

Bulan purnama telah tampak sekalipun langit masih terang. Senja bahkan tak mampu menutupi kecantikan Dewi Ratih. Dengan berkebaya ala Bali, saya berboncengan dengan Nirvanda menuju Pura. Sudah sejak lama saya ingin mengikuti upacara sembahyang umat Hindu. Apakah itu upacara rutin seperti upacara Purnama dan Tilem atau upacara khusus seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Sayang, selalu ada halangan. Keinginan itu berawal karena kesukaan saya membaca kisah Mahabharata sejak kecil, lalu berlanjut dengan membaca 1/10 Bhagavad Gita yang membuat saya berhenti makan anjing, dan dipicu peristiwa pada suatu sore. Saat itu saya berpapasan dengan Dayu dan Nirvanda yang sedang siap-siap berangkat menuju Pura. Mereka mengenakan kebaya Bali. Sebuah selendang berbentuk pita mengikat erat di pinggang mereka yang ramping. Saya terkesan. Mereka berdandan sedemikian indah untuk bertemu Sang Hyang Widhi. 

Mau kemana? 
Mau ke Pura, Mbak. 
Ohhh...ada upacara apa? 
Tilem, Mbak. 
Apa itu? 
Bulan Mati. Setelah Purnama, lalu bulan Tilem (mati). Lalu, kembali purnama lagi. 
Lalu secara spontan saya berseloroh, "Nanti kapan-kapan, saya boleh ikut sembahyang?."
Boleh Mbak. 

Dan “nanti” selalu berujung pada penundaan yang entah sampai kapan. Begitulah. Kesempatan itu terhalang sampai setahun berlalu. Akhirnya pada Sabtu lalu, genap sudah keinginan itu. Saya dan Nirvanda ke Pura untuk mengikuti upacara Purnama. Ia tampak terkejut ketika saya mengatakan ingin ikut dan bertanya mengapa. Saya jawab karena ingin tahu. Tetapi diam-diam saya meyakini bahwa Tuhan itu universal. Dia ada dimana-mana. Dalam segala agama. Dalam tradisi dan ritual manapun. Hanya masing-masing kita mengenali-Nya dengan nama yang berbeda. Nirvanda juga sepikiran. Maka berangkatlah kami bersama-sama mengenakan kebaya putih, kain endek Bali, dan selendang merah muda yang mencolok. Kain endek dan seledang yang saya kenakan adalah kain yang saya titip pada Nirvanda sewaktu dia pulang ke Bali setahun silam. Siapa sangka, saya malah memakai kain itu tepat ketika akan pergi ke pura bersama dia.


Berpakaian kebaya Bali setahun lalu. Kebaya yang sama saya pakai ketika pergi ke Pura bersama Nirvanda. Sayang, tak ada kesempatan untuk berfoto berdua. (foto: truly)



Pura Jagatnatha terletak agak jauh dari poros jalan Solo. Banguntapan nama daerahnya. Sebuah daerah yang tampaknya banyak dihuni oleh orang Bali. Hal ini terlihat dengan lumayan banyak rumah berarsitektur Bali lengkap dengan sanggah di depannya. Tak jauh dari Pura, kami melewati banyak tempat makan babi. Orang Bali memang pemakan daging babi sebab sapi adalah binatang suci dan tak boleh dimakan. 

Apa karena sapi adalah Nandi, kendaraan Btara Syiwa? 
Nirvanda mengangguk. Ya, selain itu sapi adalah lambang ibu. Sebab dari susunyalah mengalirkan kehidupan. 

Langit sudah gelap ketika saya dan Nirvanda sampai di Pura. Sudah banyak orang yang berada di Pura, entah yang mau pulang maupun yang baru datang. Orang-orang yang beribadah didominasi para pemuda dan pemudi. Sejauh mata memandang golongan orang tua tidak terlalu banyak. Saya berasumsi bahwa mungkin mereka sudah ke Pura pagi tadi atau memilih mengikuti upacara bersama pada jam 7 malam nanti. Sambil menunggui Nirvanda membeli canang untuk berdoa, tiba-tiba saya merasa terasing. Secara fisik, tak ada sedikitpun jejak Bali pada diri saya. Saya merasa kerdil di antara mereka semua. Saya tersadar bahwa identitas saya semakin nyata. Di situlah untuk pertama kali saya merasa terlihat lebih Flores-Ambon-Belanda dibanding sebelumnya. Identitas etnis itu mewariskan agama pada saya sama seperti Nirvanda dan lainnya yang mewarisi agama dari identitas etnisnya. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku yang memilih kamu. Saya lalu meminta satu canang pada Nirvanda. 

Mbak Meike mau berdoa? 
Ya. Saya mau ikut berdoa. 

Kami memasuki gerbang Pura. Alas kaki harus dilepas. Permukaan lapangan bersemen langsung menyambut telapak kaki kami. Di depan gerbang terdapat tempayan berisi air suci. Nirvanda memerciki dirinya dengan air suci. Ia menoleh pada saya dengan tatapan apakah-saya-mau-juga-diperciki, saya melangkah maju membiarkan kepala saya diperciki air suci. Air suci yang dipercikkan ke kepala itu mengingatkan saya pada momen ketika saya dibaptis dan pada tradisi gereja Katolik yang mengambil air suci sambil melakukan tanda salib sebelum masuk dan keluar gereja. Betapa sesungguhnya banyak ritual yang mengambil makna yang serupa. 

Kami lalu memasuki gerbang utama. Di meja panjang, Nirvanda mempersiapkan sesaji, canang, dan dupa. Dupa melambangkan unsur api yaitu sang Hyang Agni. Di atas canang itu, Nadia menaruh sekeping uang logam sebagai persembahan. Setelah selesai mempersiapkan semuanya, Nirvanda melangkah mendahului saya menuju tugu atau pelinggih yang ada di dalam pura. Seperti anak yang baru mengikuti upacara sembahyang dan mengikuti ibunya dengan takjub, begitulah saya mengikuti Nirvanda kemana-mana. Nirvanda juga lebih tinggi dan ramping dari saya, sehingga gambaran maternal itu kian terang.


Pelinggih dan Pedanda di Pura Narmada yang dibangun Raja Karanganyar, Gusti Ngurah, di Lombok, NTB (foto:meike)



Sebelum melangkah ke pelinggih, Nirvanda meyakinkan saya apakah saya ingin menghampiri satu-per satu pelinggih itu. Kalau saya tidak salah ingat ada lima pelinggih, dengan satu pelinggih utama di tengah. Saya bisa saja memilih menunggu sambil duduk di lapangan. Tapi saya ingin ikut. Saya ingin ikut sembahyang. Pelinggih utama disebut padmasana merupakan simbol dari Trimurti: Brahma-Wisnu-Syiwa. Kesitulah kami pertama-tama. Saya memperhatikan Nirvanda meletakkan canang dengan dupa di atasnya, lalu ngayap dan berdoa. Pelinggih itu paling besar dibandingkan yang lainnya. Nirvanda menjelaskan kemudian bahwa bagian dasar pelinggih berbentuk Bedawang Nala, seperti penyu dan naga. Secara keseluruhan berbentuk tegak dengan bagian bawah yang lebar menyerupai padma (teratai). Dalam berbagai kepercayaan, bunga teratai adalah simbol Tuhan. Gelap malam membuat saya tidak bisa melihat rupa pelinggih itu dengan jelas, namun samar-samar ia mengingatkan saya pada candi,  Candi Prambanan tepatnya. Dari cerita Nirvanda, masing-masing Pura memiliki pelinggih yang berbeda-beda. Pelinggih yang ada di Pura ini berbeda dengan yang ada di Pura Karanganyar Lombok, setidaknya dari arsitekturnya. Pelinggih di Puri Narmada (Lombok) berbentuk rumah yang bersusun tiga khas arsitektur Bali sementara pelinggih di Jagatnatha terbuat dari batu ala candi-candi yang banyak ditemui di Jawa. Pelinggih padmasana itu bagaikan tubuh perempuan yang anggun dengan latar bulan Purnama. Angin malam berhembus menyentuh tengkuk dan mengalirkan desir di dada.


Padmasana di Puri Jagatnatha (sumber foto: purahindu.wordpress.com)



Setelah itu, kami berjalan searah jarum jam menuju pelinggih-pelinggih lain yang mengelilingi padmasana, termasuk pelinggih di sebelah timur tempat Btara Surya bersemayam. Nirvanda meletakkan canang dan dupa serta melakukan ngayap pada setiap pelinggih yang kami datangi. Entah mengapa saya teringat tabernakel, tempat di mana hosti sebagai tubuh Kristus disimpan dalam tradisi gereja Katolik. Setiap kali melewati tabernakel, orang harus berlutut dan melakukan tanda salib. Pelinggih atau tabernakel mengingatkan saya bahwa Tuhan atau sang Hyang dalam bentuk materi ada disana. Ini tentu berbeda dengan penyembahan berhala. Berhala tidak selalu berbentuk patung. Berhala bisa kekayaaan, kekuasaan, bahkan pacar. Bagi saya berhala adalah ketika kita mengagungkan atau mendahulukan yang lain melebihi dari Yang Kuasa. Mengakses facebook, path, atau instagram saat ibadah sedang berlangsung itu baru berhala. 

Setelah menghampiri setiap pelinggih di dalam pura, saya dan Nirvanda pun melakukan sembahyang. Ada dua macam model sembahyang. Pertama, sembahyang bersama yang dipimpin seorang pedanda. Biasanya ada pembacaan dharma dan khotbah. Kedua, sembahyang secara pribadi. Kami memilih yang kedua. Katanya kalau yang pertama cukup lama. Ini tentu hal yang baru bagi saya. Seumur hidup, saya melakukan ibadah ke gereja secara kolektif. Doa pribadi biasanya dilakukan di rumah dengan waktu yang bersangkutan inginkan. Adapula kebaktian yang diadakan di rumah-rumah, tapi itupun juga secara kolektif. Semua itu adalah bagian dari karakteristik gereja yang koinonia (persekutuan). 

Kami mengambil tempat di lapangan yang menghadap ke padmasana. Tak ada kursi. Lapangan itu sudah disemen dan ada beberapa bagian yang ditumbuhi rumput. Adapun tata cara berdoa, yaitu bagi laki-laki berdoa dengan cara duduk bersila sementara bagi perempuan dengan cara bersimpuh. Lagi-lagi hal ini berbeda dengan ketika beribadah dalam gereja di mana umat duduk di atas kursi, berada dalam ruangan yang nyaman, dan ber-AC. Di dalam pura kami benar-benar duduk di lapangan bersemen. Tak ada atap yang menaungi. Hanya ada umat dan alam semesta. 

Nirvanda memberitahukan tata cara berdoa Hindu. Ia menyebutkan suatu mantra tapi saya tak tahu mantra itu. Satu-satunya mantra dalam Hindu yang saya tahu hanya Mantram Gayatri. Itupun yang versi India. Mantram Gayatri Hindu Bali ternyata agak berbeda dengan India. Maka, saya hanya duduk sambil sesekali melirik ke Nirvanda. Ia khusyuk membacakan mantra, dalam posisi bersimpuh, kedua tangannya dikatupkan di depan dada dengan dua ibu jari saling menempel. Keadaan bersimpuh membuat saya tak nyaman karena tak kuat menahan kram. Beberapa kali posisi saya berganti-ganti. Sebaliknya, Nirvanda yang sudah terbiasa tak goyah sedikit pun. Saya lalu berdoa, tanpa mantra apapun. Saya mengucapkan puja-puji pada Tuhan semesta alam dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus: Tritunggal. Itulah Tuhan yang saya kenal, yang pribadinya saya rasakan selama ini. Doa itu lebih berisi ungkapan syukur. Belum ada permohonan. Hanya pujian. Setelah mengucapkan amin, saya melirik Nirvanda. Rupanya matanya masih terpejam. 

Sambil menunggu instruksi selanjutnya dari Nirvanda, pandangan saya lalu terarah ke padmasana. Rasa asing menyergap lagi. Biasanya saya menghadap salib, namun kini saya berhadapan dengan pelinggih simbol Trimurti. Dalam rasa asing itu, saya berpikir bahwa konsep Trimurti dalam agama Hindu relevan (meskipun tidak persis sama) dengan konsep Tritunggal dalam tradisi kekristenan saya. Orang Kristen percaya bahwa Kristus adalah firman yang menjadi manusia. Ia sehakekat dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Mereka adalah pribadi yang allos (sesuatu yang lain dari jenis yang sama) bukan hetero (sesuatu yang lain dari jenis yang berbeda). Bukankah ini tak jauh berbeda dengan Rama, Sri Krishna, atau Begawan Parasurama yang merupakan salah satu dari sepuluh avatar Btara Wisnu? Bukankah Mahadewa Syiwa yang menjelmakan Wisnu dan Brahma untuk melakukan tugasnya masing-masing? Namun, seperti pertikaian antara Katolik dan Protestan di Eropa pada abad pertengahan, pertikaian antara penganut Syiwa dan penganut Wisnu juga terjadi di Nusantara. Bagaimana bisa umat yang menyembah Tuhan yang sama saling bertikai? 

Pikiran saya terhenti, Nirvanda menginstruksikan tata cara berdoa selanjutnya. Kami mengambil sedikit kelopak bunga dalam canang, menyelipkannya di sela-sela ujung jari, dan dengan tangan terkatup terangkat sejajar dengan kepala, kami berdoa. Kata Nirvanda, pada bagian ini kita bebas menghaturkan permohonan. Gerakan itu diulang sebanyak 4 kali. Pada gerakan ketiga, salah satu kelopak bunga diselipkan pada rambut. 

Angin kembali berhembus ketika kami sama-sama berdoa. Terasa damai dan sejuk hati ini. Cuaca begitu cerah, langit terang oleh Purnama. Saya pernah mengalami perasaan serupa ketika berdoa di dalam gereja Immanuel Gambir di Jakarta pada ibadah Natal tahun lalu. Rasa syahdu itu datang kembali, pada tempat yang berbeda, pada ritual yang berbeda. Dalam posisi bersimpuh itu, saya seperti tertarik dalam suasana Nusantara abad ke-9 sampai 12 M. Di masa itulah kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di tanah air. Meskipun kejayaan itu telah berlalu, namun warisan Hindu masih hidup dalam kehidupan kita sampai hari ini. Istilah “Ibu Pertiwi” yang disebut-sebut itu mengacu pada Btari Parwati. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara kita pun lahir dari pemikiran para raja-raja Hindu itu hampir seribu tahun yang lalu. Setelah berdoa, kami menghampiri meja panjang dekat pelinggih untuk sekali lagi diperciki air suci dan mengambil beras yang nanti akan diletakkan di dahi dan bagian pusat leher yang letaknya sejajar dengan tulang belikat. Beras yang menempel di dahi dan leher itu tidak boleh dibersihkan, melainkan dibiarkan saja sampai jatuh sendiri. Di saat yang bersamaan seorang pendanda yang memakai sarung dan baju serba putih mulai memimpin upacara bersama-sama. Karena kami sudah sembahyang, kami tak ikut. Upacara itu ditutup dengan memberikan sesajen pada penghuni pohon beringin di depan Pura. 

Sebelum pulang, saya dan Nirvanda singgah untuk makan malam. Kami mampir makan daging babi di rumah makan Bali yang tak jauh dari Pura. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal. Termasuk pergumulan perempuan dengan agama minoritas di Indonesia: menemukan pasangan yang seiman. Selain minornya jumlah kami, ada faktor-faktor lain. Nirvanda bercerita bahwa ia berbenturan dengan sistem kasta sementara saya jarang menemukan cowok Kristen yang pikirannya dalam. Ada sih, biasanya Katolik. Tapi entah mengapa dalam situasi yang saya temui, cowok-cowok Katolik kadang melihat cewek Protestan "berbeda" dengan mereka.

***

Malam itu memberikan saya suatu pengertian yang lebih luas tentang iman. Di titik inilah saya menyadari bahwa sungguh kita tidak boleh memaksakan agama pada orang lain, bahkan melalui pernikahan sekalipun. Kita tidak bisa memaksakan iman kita pada orang lain. Iman adalah persoalan meyakini. Dan untuk yakin orang harus percaya dulu. Untuk percaya kita terlebih dulu mengenal. Walaupun saya senang membaca tentang Hinduisme dan tahu tentang dewa-dewa Hindu, tetap saja bukan sosok Syiwa atau Wisnu yang saya kenal. Begitupula sebaliknya, orang-orang dari agama Hindu tidak mengenali sosok Muhammad, Yesus, atau Yahwe. Agama bukan cuma persoalan identitas dan ritual. Agama adalah persoalan iman. Iman tidak bisa diukur dengan rasionalisasi. Sebagai catatan, tidak semua pula orang beragama itu beriman. Persoalan tentang Tuhan selamanya menjadi misteri. Saya lantas teringat kalimat imanmu menyelamatkan engkau yang sering dikatakan Yesus setelah ia menyembuhkan orang-orang dari penyakitnya. Mengapa harus iman yang menandai suatu perbuatan mujizat?

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Begitulah yang tertulis dalam kitab Ibrani ribuan tahun lalu. Ya, mungkin karena iman-lah yang membantu kita mengenali Sang Ilahi. Karena iman kita mengasihi Dia, sebagaimana apapun Dia.  

Sekian.

You Might Also Like

4 comments

  1. mbak Meike tulisannya bagus👏 ga nyangka ternyata kemarin mbak Meike merhatiin ritualnya se-detail itu..
    tp mau aku tambahin dikit yaa mbak buat padmasana, dasar pelinggihnya itu berbentuk Bedawang Nala, seperti penyu dan naga. trs pelinggihnya secara keseluruhan berbentuk tegak dgn bagian bawah yg lebar spt padma (teratai) 😊
    moga laiin kali bisa ngeliat ritual wkt hr raya galungan sm nyepi yaa mbak hehe

    BalasHapus
  2. Terima kasih ya Nad, sudah diajak ke Pura.....koreksiannya sudah saya tambahkan ke dalam tulisan. Semoga lain kali bisa ikut upacara lainnya. :)

    BalasHapus
  3. Meike cantik pake kebaya Bali ^^

    BalasHapus