Day 8: "Jangan Tanyakan Mengapa Karena Aku Tak Tahu..."

Sabtu, April 09, 2022

Hari kedelapan. Belum ada tanda-tanda perubahan nasib. Namun, perasaan saya sudah lebih mendingan. Saya tahunya dari mimpi saya semalam. Waktu #Day 1, mimpi saya buruk. Perasaan tertolak itu muncul di alam bawah sadar dan termanifestasi dalam ikon-ikon yang mengingatkan saya pada hal-hal yang berhubungan dengan pergumulan saya saat ini. Tapi tadi malam saya mimpinya manis. Mungkinkah mimpi kali ini adalah pertanda dan bukannya proyeksi insecurity saya? Biarlah kita simpan di alam kemungkinan dulu. Nanti waktu yang akan menjawab.  

***

Suatu ketika saya mendengarkan lagu Salahkah Aku Terlalu Mencintai-mu dari duo Ratu yang diputar di dalam cafe tempat saya biasa nongkrong. Sambil ikut nyanyi-nyanyi penuh penghayatan, saya tiba-tiba terkaget sendiri karena umur lagu ini ternyata sudah hampir 20 tahun. "Wah, waktu cepat sekali berlalu ya?". Saya mendengarkan lagu ini pertama kali waktu masih SMP dan bayi-bayi yang dilahirkan di tahun lagu ini dirilis adalah anak-anak yang sekarang menjadi mahasiswa saya. 

Kadang-kadang, saya sedih mendengar jawaban mahasiswa kalau ditanya soal cita-cita. Kebanyakan mindset-nya ingin menjadi pekerja. Selain jadi buruh, mahasiswa yang kaya pengennya jadi pengusaha. Jarang sekali yang punya minat di dunia pemikiran. Saya jadi menyadari kalau kebanyakan mahasiswa saya memang berasal dari kelas menengah yang pikirannya sudah dikondisikan untuk bekerja dan mengonsumsi. Kelas menengah adalah target pasar paling besar dalam sistem kapitalisme. 

Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan sahabat saya, Angel. Kenapa ya kita susah sekali mempengaruhi orang-orang dengan ide tentang pembebasan? Begitu kami berbicara tentang keadilan dan kesetaraan gender langsung kami ter-block. Meskipun ada juga yang senang dan kemudian pelan-pelan bertransformasi. 

Saya merenung. Yang ditakuti manusia kan keadaan yang tidak pasti. Sementara sistem patriarki sudah mapan dan menawarkan kestabilan. Sesuatu yang bisa diprediksi. Bagaimana kami bisa menang, apabila penjara yang ditawarkan itu membuat orang aman, nyaman, dan stabil? Feminisme adalah gagasan yang masih mencari-cari bentuk sebagai hasil perlawanan dari sistem yang sudah ada. Keadaan ini menyebabkan ketidakpastian dan ketidakamanan. Menjadi feminis berarti memiliki kesadaran bahwa dirinya berada dalam penjara. Bebas dari penjara yang satu, bisa masuk lagi ke penjara yang lain. Kadang-kadang bebas, tapi kadang-kadang juga masih terjebak. Sikap reflektif dan kritis pada diri sendiri dan dunia ini penting sekali disini. Yang kita lawan sesuatu yang mengontrol alam bawa sadar kita. Sesuatu yang disebut Gramsci sebagai hegemoni

Pembebasan berarti membiarkan diri masuk dalam kemungkinan tidak terbatas. Bebas berarti memiliki keleluasaan untuk menjalani hidup dengan sadar. Tapi, rupanya pembebasan itu bisa menjadi mengerikan buat manusia. Seperti bangsa Israel yang meski sudah bebas dari penjajahan Mesir, tapi kadang-kadang rindu untuk kembali dijajah ketika menghadapi rintangan. "Duh, ngapain sih kita susah-susah begini? Lebih enak dulu waktu masih di Mesir...". Kerentanan dan sulitnya beradaptasi menghasilkan tindakan yang inkonsisten. Pantaslah dulu Musa suka ngamuk-ngamuk sama mereka ya hehehe. 

Jujurly, saya juga masih merasakan turbulensi antara kondisi internal dan eskternal sebagai resiko atas pilihan menjalani skenario hidup yang saya desain sendiri. Menjadi beda ternyata meminta harga yang mahal. Berapa banyak orang yang mau bikin susah diri untuk bertahan dalam ketidakpastian? Berapa banyak di antara kita yang kuat? Mengapa kita tetap bertahan meski tahu jalannya tidak mudah?

Sayup-sayup suara Pinkan Mambo mengalun,"Jangan tanyakan mengapa, karena aku tak tahu..."

***

You Might Also Like

0 comments