Day 3: Setiap Orang Memiliki Perjuangannya Sendiri-Sendiri

Senin, April 04, 2022

Hari Ketiga. Saya bangun dan nangis lagi karena lapar (udah kayak bayi ya hehehe). Saya bermimpi sedih dan perasaan saya menjadi tidak enak. Pikiran saya jadi keruh sejenak. Ketakutan saya muncul. Tampaknya, alam bawah sadar saya bergejolak hebat, meskipun dari luar saya terlihat baik-baik saja. 

Namun, hari ketiga ini jauh lebih baik.  Ada harapan guys. Sebelumnya, saya merasa tidak ada harapan, panik, dan menemukan kebuntuan yang membuat saya jadi putus asa. Setelah berdoa malamnya, besok siangnya saya menemukan celah. Yap, ketika semua pintu dan jendela tertutup, ternyata Tuhan membuka sebuah celah. Celah itu memang kecil, potensinya juga 50:50. Tapi, itulah pilihan yang rasional dengan situasi saya saat ini. Maka, saya memilih mencobanya. Saya juga diskusi dengan beberapa teman dan mereka mendorong melakukan hal tersebut. Seorang teman menyarankan saya mengontak seorang kolega di kampus yang ternyata sudah secure. Ketika tahu bahwa kami bergerak ke tujuan yang sama, dia senang sekali. Saya juga senang sekali karena paling tidak, kalau saya jadi kesana, saya sudah punya teman disana. Tapi, saya masih tertahan di satu hal ini. 

Kolega saya bercerita panjang lebar tentang prosesnya. Terdengar mudah. Dia tidak perlu tes berulang-ulang seperti saya. Satu kali mencoba langsung lolos. Ketika mendengar itu, saya jadi minder. Lalu, saya masuk dalam perenungan panjang. Saya mencoba tidak membanding-bandingkan diri, setiap kali membanding-bandingkan diri hati saya sakit. Ternyata, saya masih terbelenggu oleh sisa-sisa kontestasi ala sistem patriarki. Setiap orang ditandingkan, dikompetisikan, dan siapa yang jadi juaranya. Suara Yuseptia, sahabat dan kolegaku di kampus terngiang dengan sedih,"Kita ini kalau dilihat dari atas tidak kelihatan. Jadi, kita harus bertahan sambil tetap kasih vitamin buat diri sendiri". Saya sudah berusaha dan harusnya mengapresiasi diri sendiri karena mau berjuang.  

***

Dalam perenungan itu, saya melihat ke belakang. Sejak dulu saya tidak pernah bertanya mengapa saya selalu berhasil dan cemerlang dalam segala hal yang saya tekuni. Saya tidak pernah bertanya kenapa saya bisa berhasil meraih cita-cita saya sementara ada orang lain yang terpaksa harus mengubur cita-citanya. Saya kerap merasa bahwa saya tidak perlu berusaha keras seperti orang lain untuk mendapatkan nilai bagus atau mendapatkan penghargaan. Kini, roda berputar. Buat orang lain itu mudah, buat saya ternyata sulit. Ternyata semua peristiwa ini adalah cara Tuhan untuk membentuk saya. Ia mau mengikis kesombongan saya. 

Akhirnya, saya menyadari bahwa selama ini kesuksesan dan kecemerlangan itu berhasil diraih karena ada yang membantu saya. Bukan saya sendiri yang hebat ternyata. Saya tidak mengapresiasi kehadiranNya dan mengakui Dia yang telah melakukan banyak hal untuk saya. Saya mengabaikan cintaNya. Saya akhirnya menjadi sombong dengan apa yang saya raih dan merasa itu karena upaya saya sendiri. Ketika saya membaca ulang beberapa tulisan lama saya di blog ini pun, saya ngeri-ngeri sedap melihat diri saya dulu. Angkuh dan merasa punya power. Kemegahan diri... ohhh dosa turunan di keluarga saya. 

Sepertinya peristiwa ini mengajarkan saya untuk belajar rendah hati dan bersyukur. Memang kemarin reaksi saya sempat marah-marah dan bersungut-sungut, tetapi itu hal yang manusiawi. Yang tidak manusiawi adalah mengakui kalau saya salah. Mengakui kalau saya lemah dan terbatas dan berdamai dengan kelemahan dan keterbatasan itu. Lalu, mohon ampun dan mengakui kesalahan kita di hadapanNya. Bertobat. 

Di bulan Ramadhan ini, saya teringat bahwa jihad yang paling berat adalah jihad melawan kebatilan diri sendiri. 

You Might Also Like

0 comments