Day 5: Cintai Dia Selagi Ada

Rabu, April 06, 2022

Kenapa sih kita mencintai?

Orang mencintai karena ia memiliki kebutuhan untuk berbagi. Ia ingin memberi dirinya kepada orang lain. Namanya saja mencintai, ada kata kerja aktif disitu. Beda dengan dicintai yang sifatnya pasif. Kata seorang sahabat,"Mencintai itu berat. Hanya orang-orang yang kuat saja yang bisa". Lalu, sahabat yang lain juga pernah berkata,"Carilah orang yang lebih mencintai kamu daripada kamu mencintai dia supaya kamu tidak sakit". Adapula sahabat yang berkata,"Lebih enak dicintai daripada mencintai". Sahabat saya itu mengira ketika dia yang dicintai, dia mendapat kuasa dan kontrol atas orang yang mencintainya. Dia lupa, orang yang mencintai justru yang memegang kendali. Kapan dia berhenti mencintai, disitulah akhirnya. Disitulah baru kita merasakan kehilangan. Ternyata, kalau dia sudah tidak ada, aku bukan apa-apa ya.

Dasar sebagai pecinta adalah memiliki empati. Empati itu ternyata karunia yang harus diasah. Oleh sebab itu, harusnya pendidikan dan pengalaman hidup membuat kita bisa mengasah empati itu. Kalau sudah punya empati, maka orang bisa mencintai. Kalau kamu mencintai, kamu akan merawat cinta itu. Kamu tidak mungkin menghancurkan. Kenapa cinta jadi menyakitkan? karena masih ada orang yang tidak menggunakan kapasitasnya untuk mencintai. Kalau cuma setengah manusia di dunia ini saja yang mau mengasihi, sementara sisanya membangun benteng pertahanan, maka kita akan terus-menerus terluka karena cinta. Kekerasan terjadi dimana-mana, baik yang disengaja atau tidak. 

Setiap ciptaan itu memiliki sifat-sifat ilahiah dan salah satu sifat ilahi itu adalah mengasihi. Tetapi, sakitnya hidup membuat manusia pelan-pelan kehilangan kemampuan mencintainya. Mencintai tidak harus mahal. Menunjukkan perhatian adalah salah satu bentuknya. Misalnya, waktu tahu saya sedih, sahabatku Angel langsung spontan mengirimkan coklat supaya saya tidak bersedih. Angel berada jauh di kota seberang dan coklat itu adalah representasi kehadirannya. Melalui cokelat itu, Angel mau bilang "Aku ada disini untukmu, Meike". Gesture Angel itu adalah bahasa non verbal yang saya terima bahwa saya tidak sendirian menghadapi derita ini. Saya tidak ragu karena ada sahabatku Angel yang ikut menangis bersamaku. 

***

Cinta adalah suatu jenis pekerjaan yang tidak bisa diukur. Namun, para pecinta dapat terluka apabila cintanya tidak diapresiasi, tidak dihargai, atau tidak direkognisi. Sakit juga kan memberi terus-menerus tetapi tidak dihargai. Tuhan saja bisa capek, apalagi manusia. Katrine Marçal di buku Who Cooks Adam Smith's Dinner? menyoroti kerja-kerja kasih sayang yang tidak dihargai dalam dunia modern yang patriarkal, rasis, dan kapitalistis ini. Salah satu manifestasi cinta tercermin dalam pekerjaan domestik. Namun, karena dianggap tidak memberi profit materi, maka pekerjaan domestik itu dilihat sebatas pengabdian atau dedikasi. Akibatnya, jangan harap pekerjaan ibu rumah tangga itu dihargai atau diapresiasi seperti orang-orang mengapresiasi pentingnya urusan politik, ekonomi, atau teknologi.  Masyarakat modern baru melihat sesuatu itu berharga atau sukses ketika bisa diukur dengan membandingkan antara usaha dan hasil. Ketika itu sifatnya "pemberian" atau "anugerah", hal itu kemudian digampangkan. 

Saya pernah jatuh dalam pandangan yang patriarkal itu. Saya menganggap remeh perempuan yang tidak bekerja dan masuk dalam ranah domestik. Hingga sampai di suatu ketika, ibu saya meninggal dunia dan saya diserahi tongkat estafet merawat rumah. Saya tidak tahu mana yang lebih sedih: masa depan saya tanpa Ibu atau tanggung jawab saya untuk mengurus rumah tangga. Ternyata, mengurus rumah tangga itu tidak mudah. Untuk memasak saja, saya harus mikir keras bahan-bahan apa yang akan digunakan. Berapa beda harganya kalau beli di supermarket atau di pasar ? Sejak saat itu, saya menaruh hormat pada ibu rumah tangga. 

***

Meskipun jalannya terjal berliku, pada akhirnya saya tetap memilih cinta kasih. Cinta kasih itu bisa berwujud dalam relasi personal maupun kolektif. Semuanya itu penting dan jihad saya adalah berusaha menyeimbangkannya sehingga tidak ada yang merasa seperti hidup dalam hierarki. 

Suatu ketika dalam kelas trauma healing, kami dibawa dalam suatu refleksi. Refleksi itu meminta kami untuk membayangkan kapal yang akan tenggelam dan kami diminta untuk memilih 10 orang yang kami cintai untuk naik di dalam sekoci penyelamatan. Kami tentu menulis nama-nama orang-orang yang kami cintai: orang tua, pasangan, anak, saudara, sahabat, dst. Permainan semakin mengerikan karena lama-kelamaan kami diminta untuk mengurangi jumlah penumpang yang bisa dimasukkan dalam sekoci itu. Bayangkan, kamu harus mengorbankan orang-orang yang kamu cintai! Kamu harus memilih antara orang tuamu, pasanganmu, anak-anakmu, saudaramu atau sahabatmu. Ini akan sangat menyakitkan bagi yang tidak dipilih. Apakah ukuran kita bisa memilih yang satu dari yang lain? Bukankah akan sangat menyakitkan ada yang menjadi prioritas dan ada yang tidak? Ada yang berada di hierarki paling atas dan yang di paling bawah? 

Refleksi itu ditutup dengan pemahaman bahwa pilihan untuk memilih siapa yang ter- di antara orang-orang yang kita cinta itu sangat mengerikan dan menyakitkan. Tetapi, kita beruntung karena kita punya Tuhan yang tidak mengajari kita untuk membangun hierarki. Tuhan mau menyuruh kita membangun jembatan. Istilah Pontifex dalam bahasa Latin yang kemudian dipakai untuk Paus sebagai pemimpin gereja Katolik artinya "pembangun jembatan". Entah mengapa para paus ini lebih banyak bertingkah sebagai patriakh (kepala/pemimpin) daripada pembangun jembatan yang menghubungkan dunia yang terputus ini. Tapi syukurlah, Paus yang terakhir ini sudah mulai menginisiasi membangun jembatan.

***

Kadang-kadang hati saya sakit bukan karena cinta itu tidak ada. Tetapi, karena dia dianggap selalu ada, makanya disepelekan. "Ah, Meike kan selalu ada. Meike pasti mengerti". Jadi, orang-orang yang kucintai ini kadang bersikap semena-mena. Mereka hanya mencariku ketika susah. Ketika tidak ada lagi tempatnya pulang, barulah mereka ingat padaku. Ini Meike apa Tuhan Allah? hahahaha.

Dan, sama seperti relasi Meike dengan orang-orang yang dicintainya. Relasi Meike dengan Tuhan juga seperti itu. Karena Tuhan selalu ada buat Meike, sehingga Meike juga jadi sesuka-suka hatinya sama Tuhan. Meike tidak merekognisi Dia. Meike tidak mengapresiasi Dia. Ya, Meike rajin berdoa dan melakukan ritual keagamaan, tetapi tampaknya Yang Maha Kuasa ingin Meike mengasihinya dengan kesadaran penuh. Meike harus sadar bahwa Tuhan mencintainya sehingga dia tidak perlu meragu lagi. Dia tidak perlu takut lagi. Meike punya banyak trauma dan takut kecewa lagi. Ia ternyata membangun jarak sama Tuhan. Karena dia takut kecewa lagi, dia lebih percaya pada rasionalitasnya daripada percaya sama Tuhan. 

Mungkin peristiwa ini mau mengajarkan saya bahwa penderitaan ini terjadi karena absennya Yang Maha Kuasa. Ia tampak menarik dukungannya. Ia tampak "tidak melakukan apa-apa" untuk membantu Meike seperti biasanya. Dan, Meike baru sadar bahwa ketika Cinta itu ada, ia tidak menghargainya. Tuhan mengizinkan ini terjadi bukan untuk menghukum Meike, tetapi untuk membuat Meike ingat padaNya.

Cintailah Dia selagi ada.


"Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." (Amsal 3:5-6)

You Might Also Like

0 comments