Day 7: Bagaimana Kita Diajarkan Menerima Kegagalan?

Jumat, April 08, 2022

Tanpa terasa sudah masuk di hari ketujuh dalam masa pemulihan luka emosional-spiritual saya ini. Kadang saya bingung, saya harus ke pendeta atau psikolog ya? hehehe. 

Kemarin malam saya movie marathon serial Maya and The Three di Netflix. Ada kutipan di serial itu yang mengingatkan saya bahwa "daripada mengeluh untuk hal yang tidak saya miliki, lebih baik saya mensyukuri apa yang saya miliki". Film itu membahas tentang perjuangan melawan tiran. Karakter utamanya berasal dari representasi kelompok liyan yaitu mereka yang hybrid atau dianggap beda secara fisiologis. Dalam penelitian saya bersama teman-teman PLUSH tentang kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, kami menemukan akar penyebab kekersan yang mereka alami. Kami bertanya mengapa mereka mendapat kekerasan? jawabannya "karena kami beda, kami tidak seperti yang masyarakat harapkan". 

***

Inilah masalah dunia hari ini: unrealistic social expectations. Ada standar ideal yang membentuk hierarki ketimpangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Manusia modern punya kecenderungan untuk memilih dan menyukai sesuatu atau seseorang yang memenuhi kualitas-kualitas yang mereka inginkan. Manakala seseorang/sesuatu itu tidak memenuhi standar, maka ia cenderung diremehkan, dinomorduakan, atau dibuang. Orang-orang yang tidak masuk ke dalam standar kemudian dianggap gagal dan kerap dijadikan  tumbal untuk memapankan hierarki yang sudah terlanjur tercipta.

Ketika ada yang menanyakan progress-ku dan setelah saya ceritakan apa adanya, respons orang-orang sungguh menarik. Hambatan yang saya alami dianggap kegagalan. Dalam imajinasi mereka, kesuksesan meraih sesuatu itu lancar jaya. Semudah satu kali mencoba dan langsung dapat. Ketika ada yang prosesnya tidak selancar yang dibayangkan, maka yang bersangkutan dianggap tidak mampu. Lalu kita tidak berpikir kritis lagi. Kita tidak bertanya mengapa ia bisa tidak mampu? Mengapa ada orang yang sama-sama berjuang, sama-sama berikhtiar, sama-sama berusaha keras, tetapi akhirnya yang satu bisa terbang, sementara yang satu sayapnya terbelenggu sehingga sulit terbang? 

Dalam proses menerima itu, timbul obsesi saya untuk mempertanyakan hal-hal "mengapa ini terjadi". Sayangnya, sikap itu dirasa menganggu, bahkan dianggap menjadi beban. Saya berhadapan dengan dilema ini. Kalau saya protes pada Tuhan, maka saya dituduh kurang bersyukur. Kalau saya mengeluh tentang ketidakadilan sistem, maka saya dicibir salah sendiri siapa suruh terlahir dalam kelas menengah ngehek yang aksesnya terbatas.  Lalu, kemanakah kubawa risalahku ini? 

Dalam masyarakat kapitalis, kegagalan bukanlah hal yang harus diceritakan. Narasi kegagalan itu disingkirkan, menjadi "the other". Orang hanya mau membahas kesuksesan saja dan tidak memberi tempat pada kegagalan. Sudah beberapa kali saya menerima kata "jangan sedih lama-lama ya". Tidak sedikit saya menerima kata-kata penghiburan seperti: "Ya gak papa, mungkin belum waktunya""Ya, jangan sedih ya, nanti coba lagi", atau "sabar saja, masih ada yang lebih baik". Wacana ini menggampangkan proses saya. Proses saya menerima keadaan itu juga mau dipercepat, mau di-instan-kan, mau digampangkan. Tepat disinilah, masyarakat telah melukai saya. 

Kurangnya empati membuktikan bahwa kemanusiaan kita pelan-pelan terkikis. Masyarakat kita lebih bergairah untuk mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu dianggap berhubungan dengan kesuksesan. Kesuksesan itu diukur dengan standar-standar yang digerakkan ideologi dominan dan industri. Kita sedang dalam pabrik raksasa yang sistematis membentuk orang menjadi seragam dengan pola pikir yang sama. Manusia tidak diarahkan untuk memiliki kebahagiaan atau kesuksesan versi mereka sendiri. Penyeragaman ini menciptakan benturan langsung ke individu yang tidak sejalan dengan pihak eskternal di luar dirinya. Kondisi ini yang oleh Marx disebut alienasi. Kita terputus dengan dunia di sekitar kita, menjadi kesepian, dan depresi. 

***

Tadi malam saya berdoa. Tuhan, saya tidak mengerti cara kerja dunia ini. Mungkin saya tidak cocok tinggal di dunia ini. Saya cocoknya tinggal di Dunia Fantasi saja. 

You Might Also Like

0 comments