Sepasang Mata Yang Sedih

Jumat, November 07, 2014

Ada luka di mata itu.

Sepasang mata yang bersedih dan berwarna cokelat bagai telaga yang rasanya ingin kuceburkan diriku dalam-dalam disana. Sepasang mata itu seperti meminta untuk dikenali, dimengerti, dan dikasihi. Maka aku dengan sukacita mendatangi pemilik sepasang mata itu, merentangkan tangan lebar-lebar, dan menawarkan sebuah peluk. Tentu saja ia bingung sekaligus heran. Perempuan ini aneh, pikirnya. Tapi, aku tak peduli. Aku terlanjur simpati pada sepasang mata yang menyimpan luka. Dan aku pun tahu jika semakin lama kupertahankan simpatiku, aku resmi jatuh cinta padanya. 

Pernah suatu hari ia mendatangiku lalu menawarkan apakah aku mau dibelikan kopi. Ia mau ke coffee shop dan karena tak enak minum sendiri ia terpaksa menawari. Aku sebenarnya tidak suka kopi murni. Aku lebih suka cappuccino. Jadi aku pesan satu. Ia tersenyum dan menawarkan sepasang mata sedih yang butuh usaha keras untuk melihatnya lekat-lekat. 30 menit kemudian ia datang, meletakkan begitu saja cappuccino yang kupesan dan kembali ke mejanya. Ia tidak memesan kopi tapi minuman berwarna hijau yang kucurigai racikan buah alpokat yang tersedia juga di coffee shop. Aku mengamati punggungnya. Rambutnya yang baru dicukur, cuping telinganya, sampai kemeja warna hijau limau yang dikenakannya. Aku bertanya-tanya,"Sampai kapan ia bertahan membohongi dirinya?".

Hari itu adalah hari terakhirku di sana. Aku harus pulang. Sepasang mata yang sedih itu kembali hadir. Warnanya masih tetap cokelat dan bila si pemilik tersenyum butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat. Ia tak berkata apa-apa. Namun, aku melihat seorang bocah di sana, berdiri kaku dan kesepian. Sebentar lagi ia akan kehilangan teman. Teman yang tak biasa. Bukan jenis teman yang diajak bersenang-senang dan berbagi cerita palsu. Ia membutuhkan teman yang memahami lukanya, kesepiannya, dan kesedihannya. Teman yang tak perlu banyak-banyak memberi nasehat. Teman yang tak perlu sering-sering bersua. Tapi ia tahu teman itu memperhatikannya sekalipun dari jauh. Teman yang tak perlu utuh hadir tapi ia rasakan adanya. 

Ada luka di mata itu. 

Aku kembali untuk bertemu dengannya namun sepasang mata yang sedih itu sudah tak ada lagi. Tak ada bocah yang berdiri kaku dan tampak kesepian. Tak ada sepasang mata yang sedih serta butuh usaha untuk melihatnya lekat-lekat saat pemiliknya tersenyum padaku. 

Jika aku rindu pada sepasang mata berwarna cokelat yang dulu ingin kutercebur ke telaganya dalam-dalam, aku hanya perlu mengambil cermin dan menatap di sana.



PS 1: balasan buat Kak Emma :)
PS 2: based on true event. 

You Might Also Like

0 comments