Lombok dan Drama Malam Pertama

Senin, November 17, 2014

Nusa Tenggara baik yang ada di sebelah Barat maupun Timur adalah pulau-pulau yang tak pernah terpikirkan akan saya kunjungi. Ironisnya, di dalam darah saya mengalir darah Nusa Tenggara Timur, tepatnya tanah Flores, daerah asal ayah saya. Akan tetapi, kali ini takdir membawa saya ke Nusa Tenggara, bukan di sebelah Timur memang, tetapi di sebelah Barat. Saat ini saya hanya beberapa meter saja jauhnya dari Pantai Senggigi, Lombok. 

***

Waktu saya ke Papua untuk mengikuti konferensi Jaringan Antariman, saya berkenalan dengan Syamsul. Secara kebetulan, saya dan Syamsul menaiki feri yang sama ketika kami berkunjung di dua kampung di daerah Sentani. Dia tinggal di Lombok. Ia juga sempat mengutarakan ajakan untuk berkunjung ke Lombok. Saya cuma senyum-senyum saja. Tanda tak yakin tapi siapa yang tahu? masa depan selalu jadi misteri.

Lalu, apa hubungan antara Syamsul dalam cerita perjalanan ini? 
Beberapa bulan kemudian, ISKI atau Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia akan mengadakan konferensi nasional komunikasi. Tentunya sebagai pembelajar komunikasi, saya dan beberapa teman-teman angkatan yang tertarik dengan kajian akademik tak ketinggalan untuk terlibat. Kami mengirimkan paper dan akhirnya diterima untuk dipresentasikan. Coba tebak, ISKI memilih Lombok sebagai tempat pertemuan itu. Maka, di sinilah saya, di Lombok. Masih antara percaya dan tidak percaya.

Perjalanan saya dari Jogja menuju Lombok cukup melelahkan, meskipun saya memilih rute darat dan udara. Saya naik kereta ke Surabaya dan dari Surabaya melanjutkan perjalanan ke Lombok dengan pesawat. Dalam perjalanan kali ini saya bersama Mbak Eka, teman angkatan saya yang menjadi partner in crime. Tentu, setelah konferensi kami akan melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan sebelum berkutat kembali dengan proposal tesis masing-masing. 

Saya dan Mbak Eka tiba pas magrib waktu Lombok. Untuk menghemat dana, kami memutuskan naik damri dengan memabayar seharga Rp.30.000 perak. Kalau naik taksi sekitar Rp.150.000 - Rp. 200.000. Tujuan kami akan ke Senggigi karena itu daerah wisata. Karena baik saya dan Mbak Eka belum pernah sekalipun ke Lombok, kami hanya mengandalkan pertolongan Tuhan dan Google. Secara kebetulan kami memiliki teman yang tinggal di Lombok. Siapa lagi kalau bukan Syamsul dan Pak Indra, temannya Mbak Eka. Kami juga memberi tahu mereka bahwa kami akan Lombok.

Namun, dasar perempuan-perempuan tangguh, kami juga tak ingin merepotkan orang. Kami berencana menghubungi mereka setibanya di kota Mataram. Akan tetapi, sebuah peristiwa tak mengenakkan terjadi. Malam itu rupanya kami berdua saja penumpang yang turun di Senggigi. Ketika bus sudah sampai di terminal, saya merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Ketika saya bertanya kepada Pak Supir untuk meyakinkan perhentian selanjutnya adalah Senggigi, si Pak Supir yang duduk di muka mulai menjawab dengan tak pasti, "Ah ya, nanti dilihat ya, Mbak". Ia kemudian menelpon seseorang dengan menggunakan bahasa setempat. Yeah, meskipun tak mengerti bahasa Lombok, entah mengapa saya mengerti maksud si Pak Supir: Ia berencana mengoper kami kepada rekannya yang entah di mana. Bayangkan! Sudah hampir jam 9 Malam, dua anak perawan di sarang bus Damri. Hati macam apa yang tak risau?

Saya dan Mbak Eka mulai menangkap gelagat mencurigakan. Kami sepakat menghubungi rekan kami masing-masing. Saya menghubungi Syamsul. Syamsul merespon dengan cepat. Ia mengira saya baru turun dari pesawat, sehingga ia menyarankan saya turun di Labuapi, nanti dia akan jemput. Tetapi, saya sudah berada jauh dari Labuapi. Saya dan Mbak Eka berada di bandara lama yang terletak di daerah kota. Mbak Eka juga menghubungi Pak Indra. Bedanya, Pak Indra menghadapinya dengan cukup serius, ia malah ingin berbicara dengan Pak Supir. 

Bus Damri yang disiapkan Pemerintah itu berhenti di bandara lama. Penumpang sudah pada turun semua, kecuali kami. Saya dan Mbak Eka tentu saja mulai panik dan makin gelisah. Apalagi si Pak Supir sudah mulai banyak tidak kosisten ngomongnya. Ia bilang kami akan diturunkan di terminal kembali tetapi damri tak kunjung jalan. Feeling saya dan Mbak Eka sudah tak enak, tanpa koordinasi kami sepakat turun dari damri sekarang. Saya dan Mbak Eka mulai mengangkat koper kami dari bagasi di dalam mobil dengan panik (mana berat lagi!). Mobil tak kunjung dibukakan juga pintunya. Saya dan Mbak Eka sudah meminta dengan nada keras. Mobil itu malah jalan. Kami panik. 

Tiba-tiba saja, ada suara pintu diketuk-ketuk dengan keras. Ada bapak-bapak yang mengejar damri tersebut. Pak Supir terpaksa menghentikan mobil itu. Ternyata bapak itu ingin mengambil tasnya yang tertinggal. Saya dan Mbak Eka langsung tanpa ba-bi-bu langsung turun. Kami bersyukur ada bapak yang tertinggal tasnya itu mengejar damri kami. Tentu ini bukan kebetulan biasa. Si Pak Supir tetap mengejar kami yang berjalan dengan tergesa-gesa. Ia kemudian memohon maaf. Seperti takut untuk dilaporkan. Secara ajaib juga, baik Syamsul dan Pak Indra dalam perjalanan untuk menjemput kami.

***

Rupanya keadaan meningkatkan pariwisata Indonesia, khususnya Lombok dan menciptakan keadaan yang menyenangkan bagi wisatawan menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Menurut cerita Pak Indra dan Syamsul, kadang-kadang kalau malam (and only kalau malam) supir damri di Lombok itu suka "nakal". Mereka kadang menambah uang angkutan atau tidak menurunkan penumpang di tujuan yang semestinya. Padahal aturan mengenai itu sangat jelas. Banyak turis asing sering mendapat perlakuan seperti ini dan melakukan komplain besar-besaran. Apa yang menimpa kami memang tidak menyenangkan. Tetapi kami bersyukur, kami masih baik-baik saja, tidak dirampok atau diperkosa seperti ketakutan kami. Setelah itu, Pak Indra mengantarkan saya dan Mbak Eka di hotel yang berada di pusat kota untuk beristirahat. Saya pun sudah menepati janji saya pada Syamsul untuk menghubunginya kalau berada di Lombok. 

***

Begitulah dunia ini berputar pada sebuah lingkaran. Kita tidak pernah tahu alasan apa di belakang seseorang yang kita kenal, meskipun bisa saja orang tersebut menjadi perpanjangan tangan Ilahi untuk menolongmu dari kesulitan. Drama malam pertama kami di kota Lombok memang memberikan cerita tersendiri dan tidak mempengaruhi kesan saya pada Lombok yang seperti pulau-pulau di Indonesia, luar biasa indahnya. Untungnya saya tidak seperti kebanyakan orang yang suka menggeneralisir hal-hal apa saja yang ditonton di televisi. Saya tetap percaya, sebuah kota memiliki warna-warni, termasuk gelap dan kelabu sekalipun. 

Udah ah...saya mau menikmati matahari terbenam di pantai Senggigi dulu.



Cheers,


Meike





PS: Foto-foto dan cerita selanjutnya menyusul ya...

You Might Also Like

0 comments