Hantu Perawan Tua (bagian 2)

Jumat, November 07, 2014

"Laku" dan "Tidak Laku" adalah dikotomi yang kita temukan dalam perdagangan. Barang yang laku akan mendatangkan keuntungan bagi penjualnya sedangkan barang yang tidak laku -karena pengaruh waktu- akan dicampakkan ke tempat sampah. Namun, tidak selalu karena banyak pula barang tak laku yang diturunkan harganya dan diobral. "Laku" dan "Tidak Laku" adalah pengalaman tak enak di masa remaja saya.

***

Waktu saya masih SMP, ada seorang anak laki-laki di kelas saya bernama R. Wajahnya tampan setidaknya demikian menurut konstruksi zaman itu. Banyak pula anak gadis yang naksir padanya. Pada masa itu, legitimasi siapa yang cantik dan ganteng diukur dari kuantitas para pemujanya. Jika banyak anak laki-laki naksir si A, maka A dikatakan cantik begitu pula sebaliknya. R termasuk ganteng. Saya juga diam-diam senang melihatnya. Sayangnya, R memiliki mulut yang tidak sopan. Ia senang mengatai anak lain secara fisik.

Suatu hari saat pelajaran olahraga, saya lupa apa persisnya yang mendasari, ia begitu saja mengatai saya monyet. Saya tidak terima. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Ia terlihat begitu sempurna (sekali lagi menurut konstruksi) lalu apa yang bisa saya hina dari sebuah kesempurnaan? Saya mengadukan hal itu pada Mami. Dan Mami saya menjawab, "Kenapa kau tidak balas? Kalau dihina orang lawan, jangan diam!". Kali berikutnya ia mengatai saya monyet, saya juga membalas dengan kambing karena nama belakangnya kalau diplesetkan dekat dengan kata "kambing". Tapi kambing kebagusan untuk R. Siapapun yang pernah dikatain monyet (bukan dalam konteks bercanda) pasti sepakat.

Tapi yang paling mendukakan hati adalah ketika kami bertengkar entah karena apa (saya juga tidak tahu kenapa saya dan si R ini suka bertengkar kami bahkan pernah masuk ruang BP sama-sama) ia mengatakan kalau saya tidak laku. Saya tidak tahu alasan pasti kenapa kata itu keluar dari bibirnya tetapi besar kemungkinan adalah karena pada masa itu, di antara teman se-geng, sayalah yang belum punya pacar. Kau tahu, jika ada anak laki-laki mau mukanya ganteng atau buruk rupa mengataimu "cewek tidak laku" bagaimana perasaanmu? Untuk sekejap saya terpaku. Shock. Jika saya adalah barang yang dijual di supermarket maka akan ada label menempel di dahi saya "tidak laku". Sampai saya SMA (anyway, saya juga satu SMA dengan si R) kata "tidak laku" itu juga  setia mengikuti. Kata itu seperti hantu, tidak kelihatan tapi menakutkan.


***

Setelah duduk di bangku kuliah, saya mulai menganalisis apa persisnya yang membuat saya begitu ketakutan dengan kata "tidak laku" yang sering diucapkan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Jawabannya sederhana yaitu ketakutan kolektif menjadi perawan tua. Mengapa kita takut menjadi perawan tua? Ada banyak faktor, antara lain:

1. Ketakutan tidak menikah.

2. Karena tidak menikah itu berarti kita akan hidup sendiri. Hidup sendiri selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang tidak lengkap. Bagai sebuah inisiasi lanjutan, kau bukan manusia kalau belum menikah. Takut hidup sendiri juga muncul karena sejak kecil kita dininabobokan dengan dongeng-dongeng akan datangnya Pangeran yang menyelamatkan. Ketika beranjak dewasa, kita senang membaca metropop atau novel-novel picisan dan mengharapkan kisah-kisah cinta bak di novel-novel itu terjadi juga di hidup kita. Kita tidak rela mengakui kalau novel atau film-film romantis itu terlalu menyederhanakan hidup manusia yang sebenarnya kompleks artinya banyak kebohongan yang dibangun oleh industri media yang termediasi dalam novel dan film.

3. Menjadi beban bagi orang lain. Tidak menikah berarti menjadi beban bagi orang lain: orang tua atau saudara yang menampung. Tapi faktor ini sudah ketinggalan zaman karena banyak perempuan sudah mandiri secara finansial bahkan jadi tulang punggung keluarga.

4. Tak berhubungan seks. Kebutuhan seks adalah kebutuhan alami manusia. Seks adalah makanan tubuh kata seorang professor bahasa dari UPI. Masalahnya, oleh agama kita dilarang berzinah sehinga untuk melegitimasi hubungan seks kita membutuhkan pernikahan. Sayangnya, dalam pernikahan juga terdapat banyak masalah. Realitas lebih banyak daripada romantisme jadi jangan sombong bilang "I'm the happiest wife in the world" kalau baru menikah 6 bulan. Tunggu 30 tahun baru berani bilang begitu di media jejaring sosial.

5. Tak ada yang mencintai. Kita punya keluarga, kita punya sahabat, kita punya kolega, tapi entah mengapa kita tetap saja tidak pmerasa komplit. Memang sudah sifat manusia untuk tak puas sehingga wajar saja ketika segala cinta filia, agape, dan storge kita miliki, kita mau juga cinta eross. Mau heteroseks atau homoseks, diam-diam kita membutuhkan objek cinta yang selalu membuat kita merasa gemilang bahkan ketika mengingatnya. Kita tak hanya butuh objek cinta tapi kita mau objek cinta itu mencintai kita juga. Ini yang biasanya mendatangkan kegalauan. Perasaan tidak lengkap karena tak ada yang mencintai seperti yang kita imajinasikan ini yang kadang-kadang menyiksa.

6. Mau punya anak. Sebenarnya tak butuh pasangan jika ingin punya anak. Kita bisa mengadopsi, kita bisa melakukan suntik sperma, dan berbagai solusi medis supaya punya anak tanpa menikah. Namun, seperti yang sudah saya bilang, manusia tak pernah puas. Mereka maunya punya anak dengan orang yang mereka cintai. Yang jadi persoalan ketika sudah bersama orang yang mereka cintai belum tentu juga mereka bisa punya anak.

Konsep perawan tua sesungguhnya terbentuk karena persoalan waktu. Secara biologis, perempuan dan laki-laki memiliki masa reproduksi yang berbeda. Perempuan mengalami menopause yang berarti ia pensiun dari tugas reproduksi lebih dulu daripada laki-laki yang masanya masih sangat panjang. Oleh sebab itu, perempuan sebaiknya menikah secepatnya sebelum masa menopause itu datang. Bahkan di usia akhir 30 atau awal 40 tahun, perempuan yang melahirkan memiliki resiko yang lebih besar ketimbang ketika mereka masih di usia 20-an. Karena persoalan waktu inilah, jika perempuan belum menikah di ambang usia menopause-nya maka ia menyandang predikat perawan tua.

Sebaliknya, bagi laki-laki karena usia reproduksinya lebih panjang dan biasanya didukung dengan kekuatan finansial, mereka bisa saja menikahi perempuan-perempuan muda yang mereka mau. Jadi, predikat bujang lapuk tak menganggu mereka kecuali bagi laki-laki yang tidak memiliki kekuatan finansial. Nah, perawan tua di jaman nenek dan ibu kita hidupnya memang jauh lebih menderita karena selain tidak bereproduksi lagi, masih sangat sedikit dari kaum mereka yang memiliki kekuatan finansial. Biasanya perawan tua seperti ini menumpang di rumah saudara dan umumnya semakin getirlah hidup mereka. Tapi ini kasuistik, tidak menggeneralisir. 

Menurut saya, istilah perawan tua sudah tidak relevan lagi di era Posmo ini. Pertama, perempuan yang bekerja - dan karena itu membuat mereka mandiri- tidak bergantung lagi dengan laki-laki. Mereka mencari yang lebih dalam dari sekedar teman tidur dan kenyamanan finansial. Mereka mencari lelaki yang dalem yang bisa menjalin intimate relationship: mereka bisa berbagi pikiran, memiliki visi-misi yang serupa tapi mungkin tak sama, memiliki komitmen, dan bersedia memasuki gelombang kehidupan bersama. Tapi kenapa perempuan-perempuan ini tetap tahan melajang? ada beberapa jawaban: 1. rutinitas pekerjaan yang membuat mereka tak punya waktu pacaran, 2. belum menemukan yang diinginkan, 3. memang tak mau menikah, 4. karena stock laki-lakinya di pasar tidak seperti keinginan. Di zaman ini, istilah "laku" dan "tidak laku" tidak cocok lagi digunakan, bagaimana bisa kita mencap suatu barang laku atau tidak laku kalau tak ada pasar yang meminta. Yang sebenarnya adalah kita masih berada pada level produksi yang artinya mengkualitaskan diri dulu sebelum siap dilepas dalam pasar.

Sayang sekali, sampai sekarang, masyarakat senang mencibir perempuan-perempuan yang belum menikah. Mau sekolahnya tinggi, mau kaya, mau miskin, perempuan tetap tak akan sempurna kalau ia belum menikah. Mungkin hantu perawan tua masih bergentayangan, tetapi kita semestinya tidak perlu takut lagi. 



PS: tulisan ini didedikasikan untuk perempuan-perempuan tangguh di luar sana yang sadar akan pilihan-pilihan yang diambil dalam hidupnya. 

You Might Also Like

0 comments